A kannushi, also called shinshoku, is a person responsible for the maintenance of a Shinto shrine as well as for leading worship of a given kami. The characters for kannushi are sometimes also read as jinshu with the same meaning.

.

.

A miko is a shrine maiden or a supplementary priestess. Miko were once likely seen as a shaman but are understood in modern Japanese culture to be an institutionalized role in daily shrine life, trained to perform tasks, ranging from sacred cleansing to performing the sacred Kagura dance.

.

.

A priest or priestess is a religious leader authorized to perform the sacred rituals of a religion, especially as a mediatory agent between humans and one or more deities. They also have the authority or power to administer religious rites; in particular, rites of sacrifice to, and propitiation of, a deity or deities.

.

.

She Is

By Riryzha

Fandom Kimetsu no Yaiba

Main Character Zenitsu Agatsuma

.

.

Anak itu ditemukan dalam keadaan basah dan panas. Di dekat kuil, di depan patung dewa keberuntungan dengan dupa yang mati akibat angin dan hujan deras. Sebuah kepahitan yang mendalam karena anak itu dibuang orang tuanya dengan mengharap keberuntungan. Manusia memang sadis.

Para kannushi yang menemukannya pagi-pagi sekali segera melaporkannya pada para pendeta. Kemudian bayi mungil itu diberikan baju ganti dan diberi kasih sayang agar keadaannya membaik.

Seminggu penuh bayi mungil itu demam. Membuat beberapa pendeta yang kebetulan mendiami kuil tersebut serta para miko memanjatkan doa serta kesembuhan dan keselamatan bayi tak berdosa itu. Para kannushi sampai bolak balik memanggil dokter untuk memastikan kondisi bayi itu tidak memburuk.

Bayi itu seminggu penuh menangis dan tak lelap dalam tidurnya. Wajar. Bayi kecil itu harus menahan kerasnya alam dari ia dilahirkan kedunia tanpa sentuhan kasih sayang yang cukup. Namun berkat para pendeta, miko, dan kannushi serta bantuan dokter dan Kami tentu saja, bayi itu akhirnya tenang. Terlelap dalam kelegaan karena telah melewati masa-masa kritis pertama dalam hidupnya.

Dan tepat bayi itu membuka mata, menunjukkan manik keemasannya yang berpadu dengan cokelat manis yang indah, mereka menamainya Zenitsu. Dengan harapan di masa depan ia menjadi lebih percaya diri, dan lebih bersemangat untuk menjadi pribadi yang positif, serta selalu berusaha agar hidupnya dapat bermanfaat untuk banyak orang.

Dan dari sanalah, kisah hidup seorang bayi perempuan yang tumbuh dan berkembang menjadi wanita cantik nan mempesona dituliskan para pendeta dengan campur tangan Kami.

.

.

Para pendeta memerintahkan miko untuk mengurusnya. Sehingga miko di kuil milik keluarga Agatsuma ini amat sangat tahu sifat, karakter serta perilaku anak perempuan bernama Zenitsu dalam kesehariannya.

Zenitsu itu periang. Ia ramai dan senang sekali membuat kegaduhan keseluruh kuil dengan tawa bahagianya dan langkah kakinya. Dan seiring dengan waktu, tawa khas anak-anaknya berubah menjadi tawa halus dan syarat akan keelokan. Membuat salah satu shinobi yang menjaga area milik Agatsuma kerap kali jatuh terjerembap dari atas pepohonan yang rindang.

Para miko yang melihat kejadian tersebut harus berkali-kali menahan tawa kala shinobi dengan helai putih dan mata merah itu jatuh dan kabur bersembunyi di tempat tak terlihat.

"Ah, shinobi itu sepertinya sakit kakinya." Komentar Zenitsu sembari mencari sang shinobi kesetiap sudut kuil.

Shinobi dengan nama Uzui Tengen itu pun bersembunyi dengan wajah merah padam.

Selain shinobi, banyak juga para pendekar pedang yang entah kenapa sering sekali berdoa di kuil tersebut. Dan tentu saja, datang di waktu tertentu. Misalnya saat Zenitsu sedang menyapu halaman.

Zenitsu akan berusaha menundukkan pandangan dan fokus dengan pekerjaannya. Namun beberapa pendekar pedang terkadang dengan tidak tahu malunya menarik Zenitsu dan mengganggunya.

"Um, maaf. Aku harus menyelesaikan tugasku." Cicit Zenitsu sedikit ketakutan karena dikelilingi para pendekar yang tampan lagi kuat. Dan tentu saja masing-masing membawa pedang-pedang tajam mereka. Zenitsu takut membuat mereka marah dan meregang nyawa di ujung pedang tersebut.

Para pendekar pedang itu tak menanggapinya dan semakin memojokkannya. Entah dengan kalimat penuh nafsu atau tawaran menjadi istri mereka. Tentu saja, Zenitsu menolak sehalus mungkin.

Entah saat itu Zenitsu sedang beruntung atau bagaimana, beberapa pendekar pedang dengan kekuatan terkuat di antara mereka ikut berdoa di kuil. Dengan cepat kedua pendekar itu membubarkan kelompok yang mengelilinginya dengan satu perintah.

"Kau tidak apa?" Tanyanya dengan suara serak dan penuh dengan ketenangan. Pria di sebelahnya hendak memeriksa Zenitsu ketika ia ingat ia tidak bisa sembarangan menyentuh miko dan membuatnya takut.

"Um, tidak apa. Terima kasih." Ujar Zenitsu sembari menunduk.

"Giyuu, Sabito! Ayo!" Pekik seseorang kelewat semangat sembari berlari kearah mereka.

"Sebentar, Kyojuro!" Sahut lelaki dengan helai merah muda dan luka di dekat bibirnya. Lelaki dengan helai hitam itu masih menatap Zenitsu dengan manik birunya.

Kyojuro pun berdiri di samping Giyuu dan menatapnya dengan penuh tanda tanya. Giyuu jelas mengabaikan tatapan Kyojuro dan kembali bertanya pada perempuan dengan helai kuning keemasan di depan ketiganya, "kau yakin? Omong-omong siapa namamu?"

"Namaku Zenitsu. Salam kenal." Zenitsu mengangkat kepalanya dan memberikan senyuman tipis kearah tiga pendekar itu.

"Kalau boleh tahu, siapa nama kalian wahai para pendekar pedang yang gagah berani?" Tanya Zenitsu lembut. Senyum masih menghiasi bibir merah mudanya.

Butuh lebih dari lima detik untuk ketiganya menjawab secara bersamaan.

"Giyuu."

"Sabito."

"Kyojuro."

"Ah, terima kasih pendekar pedang Giyuu, pendekar pedang Sabito dan pendekar pedang Kyojuro. Kalau begitu saya undur diri. Masih banyak tugas yang harus saya selesaikan." Senyum diberikan dan Zenitsu pun meninggalkan ketiganya yang mematung dengan wajah memerah. Serta seorang lelaki yang bersembunyi di balik pepohonan dengan raut marah dan penuh akan kecemburuan.

Selain pendekar pedang, beberapa pemuda dan pemudi di sana sering sekali berdoa untuk kelimpahan panen dan kemakmuran hidup mereka. Sering sekali Zenitsu mendapati beberapa di antaranya berdoa dengan main-main. Zenitsu yang gemas pun mendatangi mereka dan memperingatkan mereka.

"Tolong, berdoa yang benar lagi tenang di sini." Ucapnya sehalus mungkin.

"Haa? Kenapa begitu? Berdoa kan yang penting niatnya." Sahut lelaki dengan badan tinggi tegap dan rambut hitam-biru. Lelaki dengan rambut hitam dan pendek darinya pun mengangguk mengiyakan ucapan temannya.

"Maaf, tapi kuil merupakan tempat yang suci. Alangkah baiknya kalian menghormati dan berperilaku sesuai adab." Ujar Zenitsu pelan.

Satu orang lelaki dengan dua orang perempuan mendatangi mereka. Ketiganya baru saja selesai berdoa.

"Maafkan teman kami, Miko-san." Ujar perempuan dengan ikat kupu-kupu berwarna biru. Perempuan dengan ikat kupu-kupu warna merah muda hanya diam sembari membungkukkan badan.

"Tidak apa. Saya hanya merasa tidak nyaman akan keributan kecil ini." Senyum ramah diberikan Zenitsu pada perempuan tersebut.

Perempuan dengan ikat kupu-kupu biru itu kemudian menjitak kepala dua lelaki yang membuat keributan tadi.

"Inosuke! Murata! Jaga perilaku kalian jika kesini."

Keduanya yang dipukul hanya menggerutu dalam diam. Zenitsu tanpa sadar tertawa. Membuat perhatian pemuda pemudi itu kembali padanya dengan tatapan penuh minat.

"Ah, maaf. Hanya saja saya terlalu senang ada orang seumuran dengan saya yang mau meramaikan kuil dengan doanya." Zenitsu menghentikan tawa tersenyum malu-malu.

Lelaki dengan anting hanafuda yang sejak tadi diam pun akhirnya bertanya,"siapa namamu?"

"Nama saya Zenitsu. Salam kenal."

Dan lagi, senyuman itu kembali memikat hati lainnya.