Summary: [Sequel "Soaring Dragons", AU Pembasmi Setan] Fang telah diculik. BoBoiBoy, Ocho dan Tuan Tarung bergabung dengan Kaizo untuk melacak jejak Fang. Perjalanan Sai dan Shielda dimulai setelah amukan koloni naga di Nissenoah. Sementara itu, Raja Iblis mulai bangkit dan Akhir Dunia semakin dekat. [No-pairings]

.

.

BoBoiBoy adalah milik Animonsta Studios

Tak ada keuntungan materi apapun yang saya ambil dari sini.

.

.

Cuplikan dalam "Soaring Dragons":

Rute Kaizo - ia adalah putra mahkota dari Kaisar Raijin Kanayama, seorang penguasa besar di Negeri Selatan yang ambisius. Klan Kanayama terkenal sebagai pembasmi setan yang luar biasa dan Kaizo merupakan pembasmi setan berkekuatan menakutkan. Karena besarnya kekuatan rohnya, Kaizo mengemban tugas sebagai pembawa segel pelindung dunia manusia dari dimensi Raja Iblis Magog Ghur. Segel ini terpatri di punggung Kaizo dan kian hari kian melemah. Kaizo memiliki misi ke Anatolia untuk memperbaharui segel Raja Iblis, namun ia malah menemui Fang dan rencananya ke Anatolia harus ditunda.

Rute Fang - Fang adalah anak yatim-piatu yang memiliki kekuatan ruh yang disangka mitos, yakni esensi hidup dan kesembuhan. Kekuatan Fang dapat membangkitkan armada Raja Iblis, karenanya Kaizo mengambil Fang sebagai bawahan agar Fang tak jatuh ke tangan para setan dan diselewengkan untuk membangkitkan lagi kekuasaan Raja Iblis. Namun saat di Desa Wagana, Fang diculik oleh dua ekor setan dan akhirnya dibawa pergi.

Rute BoBoiBoy - Boboiboy adalah anggota terakhir dari klan pengendali elemental yang dianggap sudah punah. Boboiboy memiliki keistimewaan yaitu ia dapat mengendalikan tujuh elemen namun ia sering tak bisa mengendalikan besarnya kekuatannya. Desa Rintis, tempat Boboiboy tinggal bersama Tok Aba dan Yaya lalu hancur diserang dan Boboiboy harus pergi dari sana. Bersama Ocho, siluman burung, Boboiboy mulai mengembara mencari guru namun nasib mempertemukannya dengan Kaizo dan Fang di Desa Wagana. Boboiboy akhirnya menjadi murid Tuan Tarung dan ia bergabung ke dalam Tim Kaizo.

Rute Sai dan Shielda - Mereka adalah kembar dari Raja Kinan dan Ratu Aisha di Kerajaan Nissenoah. Sai dan Shielda adalah keturunan para naga dengan tanda lahir tiga titik hitam di bawah mata. Kerajaan Nissenoah di kunjungi oleh Kaisar Raijin, ayah Kaizo, dengan maksud mengikat Kaizo dan Shielda dalam pernikahan, namun ternyata Kaisar Raijin mengincar koloni para naga yang bersemayam di dalam gunung berapi dan melepaskan para naga hingga menyerang Nissenoah. Terjadi pertempuran dan hal terakhir yang Sai serta Shielda ingat adalah mulut seekor naga menyemburkan api ke arah mereka.

.

Sekarang, perjalanan mereka berlanjut...

.

Chapter I

Prologue

.

.

Fang I

Fang meringkuk di dalam penjara kecilnya—tidak, ini lebih tepat disebut kandang hewan sempit daripada penjara. Kandang itu terbuat dari pasak-pasak besi berkarat, panjangnya hanya 2 meter. Ia dicampur bersama beberapa lima tawanan lain yang tampak menyedihkan dengan tubuh penuh lumpur dan luka yang membusuk. Fang meringkuk dalam-dalam di sudut kandang, ia bisa mencium bau urine dan feces manusia yang menyengat sekali bercampur keringat, daging busuk, nanah dan darah. Hampir sehari Fang terkurung di kandang sempit ini bersama tawanan lain dan hidungnya mulai terbiasa mencium berbagai bau busuk itu. Perutnya tak lagi mual seperti saat pertama ia dijebloskan ke kandang ini. Ia hanya perlu membiasakan diri dan mengabaikannya.

Fang menatap lingkungan sekeliling. Koloni setan ini tengah melintasi hutan sekarang. Fang tak tahu ia dan tawanan lain akan dibawa ke mana, dua ekor setan perut buncit yang menculiknya langsung mengurung ia ke kandang ini bersama lima orang lain. Fang dengar ia akan dimakan, namun bisa jadi saat menyadari betapa kurusnya Fang dan ia malah menjadi budak para setan itu. Sejujurnya Fang lebih memilih dimakan yang hanya sakit sebentar lalu mati daripada menjadi budak dan mengalami penyiksaan lebih panjang. Setan tak memiliki moral, hanya perwujudan dari hawa nafsu. Mereka akan menyakiti dan menyiksa manusia yang ada dalam genggaman mereka tanpa simpati dengan jeritan para korban. Walau mereka buruk rupa dan tampak bodoh, namun mereka sangat kreatif dalam membuat metode penyiksaan yang paling menghibur urat humor mereka.

Fang memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya dalam-dalam. Ia benar-benar takut sekali dengan nasibnya. Badannya kecil, ia takkan bisa melawan para setan ini, lagipula kekuatannya bukan untuk memusnahkan namun memulihkan. Ia tak sehebat Master Kaizo dan tak sekuat anak aneh bernama Boboiboy itu. Hati kecilnya sangat berharap Kaizo menyelamatkannya, namun ia sendiripun sangsi dengan ini. Kaizo bukan tipe penyelamat dan simpatik pada rasa sakit Fang. Jikalau Kaizo menyelamatkannya, itu hanya karena ia tak ingin kekuatan Fang jatuh ke Raja Iblis dan mempercepat datangnya kiamat. Bukan karena ia sayang padanya, bukan pula karena Kaizo menganggap Fang penting baginya.

Tak apa Master Kaizo tak sayang padaku, asal aku selamat dari sini, batin Fang dalam hati.

Beberapa helai rambut menggelitik matanya. Fang menyisirnya ke samping—rambutnya sudah kotor sekali, bahkan ada yang kaku karena tanah bercampur darah. Ia sudah berada di kandang ini hampir sehari dan Fang merasa ia seperti berada selama dua minggu. Bajunya terkena lumpur, darah dan urine tawanan lain, bahkan ujung celananya telah mengeras akibat terkena feces tawanan di sebelah Fang. Rasanya ia ingin membalas ulah tawanan yang mengelap kotorannya ke celana Fang itu. Katanya, apa boleh buat dan walau menggerutu, Fang mahfum. Baru saja sehari mereka disekap di sini, jika saja kandang ini tertutup sempurna pastilah Fang sudah gila akibat ruang terlalu sempit itu—setidaknya kandang ini berbentuk jeruji besi yang membuat Fang bisa memandang alam sekitarnya dan kewarasannya tak cepat sirna.

Tiba-tiba saja seekor setan setengah ular mendesis ke arah Fang menampakkan taringnya. Fang cepat-cepat mengalihkan pandangan karena takut.

Koloni setan itu terus berderap maju, iring-iringan panjang meniti jalan agak terjal di hutan, membuat kandangnya sering oleng. Kandang ini dibawa di atas gerobak kayu yang berukuran besar. Ditarik dengan delapan kuda setan, gerobak sebesar ini tak hanya muat membawa para tawanan tapi juga senjata. Selama sehari mereka bergerak, Fang sudah menyaksikan sebuah desa dihancurkan dengan membabi-buta. Kawanan setan ini sama sekali tak menyisakan apapun dan siapapun, tanpa pandang bulu memporak-porandakan semuanya dan berbuat sesukanya. Fang benar-benar akan merasa bahagia jika Kaizo datang dan membabat habis makhluk-makhluk sombong ini hingga ke akar-akarnya—apapun yang berjalan di muka bumi dan hanya tahu merusak memang harus dimusnahkan demi kemaslahatan orang.

Fang lalu mengalihkan pandangan agar ia tak terus-menerus melihat kondisi kandangnya dan tawanan lain. Ia menengadahkan wajah ke langit—awan berarak seolah segerombol domba yang digembalakan pada langit biru. Fang mengigit bibirnya yang kering pecah-pecah, ia berharap langit mendung dan hujan turun agar ia bisa meminum sesuatu. Seharian ia hampir tak meminum apapun, Fang sering sakit kepala akibat dehidrasi dan tubuhnya lemas. Ia biasa tak makan, namun Fang tak tahan bila ia puasa minum terlalu lama. Tapi rupanya hujan takkan datang hari ini. Fang harus menahan perihnya rasa haus yang membakar tenggorokan dan menunggu air dari langit, atau seorang setan menyiramkan air padanya.

Dengan lemas, Fang menyandarkan kepalanya di jeruji. Ia lalu memejamkan mata, memutuskan untuk tidur untuk menyimpan tenaganya. Setidaknya, ia mau melupakan segalanya barang sekejap.

.

.

.

Shielda I

Shielda terbelalak bangun, ia lalu terduduk dan memandang sekitarnya.

Bau arang dan asap tercium keras, sejauh matanya memandang hanya ada abu dan bekas kebakaran hebat. Puing-puing bangunan kastil berserakan di mana-mana dan tampak hangus menghitam, semua bangunan telah dirobohkan hingga rata oleh tanah dan hancur dimakan api—namun kini Shielda melihat api telah padam, menyisakan asap tipis, jelaga serta arang. Suasana di sini sunyi, hampir tak terdengar suara apapun kecuali hembusan angin. Mayat-mayat hangus tampak bertebaran di sekeliling Shielda, angin lembut membawa bau daging bakar menusuk hidung hingga ia merasa mual. Hanya ada satu pertanyaan di benaknya: apa yang telah terjadi di sini? Di mana semua orang?

Shielda berusaha berdiri sambil mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum ia pingsan—tulang dan ototnya menjerit pedih memaksa Shielda kembali duduk sambil meringis. Seluruh tubuhnya terasa sakit, terutama kepala dan lengannya. Tak hanya itu, baju zirahnya juga tampak mengenaskan dengan darahnya bercampur abu, menghitam layaknya kayu eboni. Shielda menyentuh kerudung yang masih ia kenakan, terasa darah yang mengering dan luka robek yang sudah penuh kerak darah. Shielda berusaha menenangkan diri dan menganalisa tiap rasa sakit di tubuhnya—lengannya terasa sakit sekali dan tak bisa digerakkan, mungkin tulangnya patah. Kedua kakinya pun sakit namun tidak sesakit lengannya, Shielda pikir hanya terkilir atau lebam.

Walau kondisinya kurang memungkinkan, Shielda mencoba lagi untuk berdiri dengan bertumpu dengan lengan yang sehat. Ada sensasi seolah disayat-sayat ratusan pisau pada sendi dan ototnya namun Shielda tahan dan ia dengan kepayahan duduk bersandar pada reruntuhan batu besar. Pertanyaan demi pertanyaan terus menganggu alam pikirannya. Mengapa hanya ia yang ada di sini? Apa yang terjadi? Bagaimana bisa tempat ini seperti habis dihancurkan? Siapa saja yang masih hidup? Bagaimana nasib Sai dan kedua orang tuanya?

Tiba-tiba Shielda teringat kejadian terakhir sebelum ia pingsan. Mulut naga yang dipenuhi taring menganga lebar kemudian kobaran api yang memenuhi pandangannya laksana kabut. Seseorang berteriak nyaring memanggilnya dan Shielda merasakan seluruh tubuhnya dilingkupi hawa panas namun tak membinasakannya. Kemudian, ia seolah terjatuh ke dalam lubang yang sangat dalam, lubang hitam yang tak berdasar. Ia mencari-cari pegangan namun ia akhirnya terjerumus ke dalam kegelapan pekat dan panas membara.

Shielda tersentak dan segera memaksakan dirinya untuk berdiri—seluruh sarafnya seolah menjerit protes namun Shielda berusaha tak menghiraukan. Akibatnya ia akhirnya kembali tersungkur karena tulang dan ototnya tak mampu mengikuti keinginannya. Sang gadis lalu merangkak menyeret tubuhnya, rasa sakit pada lengan dan sendinya begitu menyiksanya hingga ia ingin berteriak kencang namun ada yang harus ia lakukan. Tak ada waktu yang terbuang, ia harus mencari Sai dan kedua orang tuanya—mereka lebih penting daripada rasa sakit yang menulikannya ini. Apakah mereka selamat? Apakah mereka terluka? Di mana semua orang? Berapa orang yang masih hidup? Sudah pergikah para naga?

Apakah mereka semua sudah mati? Tanyanya dalam hati.

"Sai... Ayah, Ibu..." panggil Shielda, lirih. Ia bersusah-payah merangkak dengan tangannya yang masih sehat di antara puing-puing kebakaran itu, penuh abu, asap dan arang. Shielda masih tak percaya kerajaannya bisa hancur sampai tak bersisa seperti ini namun yang penting ia harus memastikan semua orang—

"Shielda!" teriak sebuah suara familiar. Hati Shielda melonjak kaget dan ia menoleh. Dari sebuah sudut reruntuhan dinding, Sai berlari mendekatinya. Shielda tak pernah begitu gembira melihat kakak kembarnya itu.

"Sai!" panggil Shielda lega. Sai lalu berlutut di samping adiknya dan mengangkat tubuh Shielda ke dalam dekapannya seraya menangis bahagia.

"Oh, Tuhan," isak Sai. "Kukira kau sudah mati. Hampir seharian aku mencarimu di puing-puing dan ternyata kau terpental cukup jauh dari menara."

Shielda balas mendekap kakaknya dengan sebelah tangan. Tanpa sengaja Sai memeluknya dengan menekan tempat yang patah namun Shielda bisa mengabaikan rasa sakitnya karena terlalu gembira dan lega. Ia merasakan bahu Sai gemetar hebat karena haru-biru perasaan haru dan bersyukurnya. Shielda mau tak mau ikut membasahi kelopak matanya.

"Kau terluka?" tanya Shielda sambil melepaskan rangkulan kakaknya.

"Hanya lebam dan kata perawat, rusuk dan lenganku retak," ujar Sai. "Tak apa sekarang. Sudah minum air bunga poppi tadi."

Shielda lalu mencengkram erat pundak kakaknya. Rasa khawatir kembali datang walau Sai telah selamat.

"Sai, bagaimana dengan Ayah dan Ibu?" tanya Shielda penuh cemas dan harap. Mendengar pertanyaan itu, raut wajah Sai langsung menggelap dan Shielda merasa takut dengan jawabannya. Ia mengguncang bahu kakaknya dengan agak kencang.

"Sai?" panggil Shielda. Sai lalu mengigit bibirnya dan wajahnya penuh kesedihan. Ia mengenggam tangan adiknya erat-erat.

"Ibu selamat," jawab Sai. "Tapi Ayah telah tiada karena melindungi kita."

Darah Shielda seolah berhenti mengalir, ada sensasi dingin menjalari tiap helai tubuhnya seakan ia tenggelam dalam danau es. Otaknya belum bisa menerima kenyataan mengejutkan itu, benarkah ayahnya sudah mati? Ayahnya yang tadi dengan berani menantang para naga? Ayahnya yang tadi dengan tangkas menjawab situasi terburuk sepanjang masa pemerintahannya dan dengan berani melawan sang kaisar tiran yang sangat kuat itu, telah mati?

Shielda pikir ini hanya mimpi dan ia salah dengar—rasanya terlalu cepat dan terlampau tiba-tiba perpisahan itu. Ayahnya baru saja berdiri di sebelahnya dan menghadang para naga, tak mungkin ayahnya sudah mati. Shielda hendak menolak dusta ini dengan mentah-mentah dan ia sangat marah dengan bualan konyol itu, namun saat melihat Sai menatapnya dengan begitu sendu dan duka yang mendalam, realita akhirnya benar-benar menghantam otaknya.

Shielda tak sadar ia meraung begitu keras dan meracau akan membunuh Kaisar Raijin dengan tangannya sendiri atas semua kehancuran dan penderitaan ini.

.

.

.

BoBoiBoy I

Kaizo, Boboiboy dan Tuan Tarung terus berderap maju, Ocho terbang mengikuti mereka dari atas.

Semerbak harum pinus menyerang indera mereka berpadu dengan bau tanah basah yang terendus cukup berat di udara. Pepohonan tumbuh lebat dan cukup rapat untuk berlari leluasa di antara celah, namun mereka terus menerobos berlari memburu jejak Fang. Penciuman Tuan Tarung menyatakan koloni setan yang menculik Fang hanya berjarak beberapa jam di depan mereka—bila mereka terus bergerak cepat, sebelum matahari terbenam Fang akan ditemukan.

Sayangnya, fisik Boboiboy tak mampu menandingi dua pembasmi kaliber berat macam Kaizo dan Tuan Tarung. Ia mulai kehabisan nafas dan tenaga. Langkah Boboiboy telah tertinggal jauh, paru-parunya sudah sesak karena kurangnya oksigen. Seluruh sendi dan ototnya kian lemah, lututnya selemas jeli. Boboiboy berupaya menghirup nafas dalam-dalam namun trakeanya seperti dicekik oleh karet. Sulit sekali ia menarik nafas hingga ia kepayahan, namun ia paksa untuk terus berlari walau langkahnya terseok-seok. Fang perlu diselamatkan secepat mungkin, tak ada waktu untuk berlambat-lambat. Harusnya fisikku tidak lemah seperti ini, pikir Boboiboy dengan agak menyesal. Matanya mulai berkunang-kunang dan akibatnya ia tak melihat akar pohon yang melintang dan kakinya tersandung.

Boboiboy jatuh tersungkur ke depan, kedua telapak tangannya terkelupas akibat gesekan keras dan kedua lututnya sobek akibat beradu dengan batu. Melihat temannya celaka, Ocho segera terbang turun dan menghampirinya, tubuhnya yang sudah berubah menjadi raksasa tampak setinggi pohon pinus.

"Boboiboy! Ayo naiklah ke punggungku, kau sudah tertinggal jauh."

Boboiboy bangkit dengan meringis menahan pedih, baju, tangan dan wajahnya penuh tanah bercampur darah dari lukanya. Ia lalu menatap ke depan mencari sosok Kaizo dan Tuan Tarung—kedua pembasmi itu sudah tak tampak lagi karena sudah sangat jauh. Boboiboy lalu menoleh ke arah Ocho.

"Oke, oke, aku memang tak kuat lagi," ujarnya seraya berusaha berdiri walau kedua lututnya perih. Ocho lalu merundukkan tubuhnya dan Boboiboy segera menaiki punggung siluman burung itu lalu berpegangan erat pada leher temannya. Setelah yakin Boboiboy takkan jatuh, Ocho lalu mengepakkan sayapnya dan menciptakan angin kencang hingga pepohonan di sekitarnya merunduk. Dengan itu, ia lalu mengudara.

Sementara itu, Tuan Tarung dan Kaizo terus berlari kencang seraya berbicara untuk bertukar informasi.

"Penyerangan di desa itu sangat tak biasa, terutama jumlahnya yang sampai sebanyak itu," gumam Tuan Tarung. Pria setengah siluman itu lalu melompati batu besar dan mendarat dengan bunyi debam keras.

"Tak aneh, para setan dari berbagai pelosok dunia datang hendak mengabdi pada raja mereka," ujar Kaizo, mata delimanya menatap lurus ke jalan.

"Desa-desa sepanjang jalur ke Gunung Bosra tempat disegelnya Raja Iblis akan menjadi sasaran serangan," sambung Tuan Tarung. "Kita harus peringatkan mereka tentang ini, kirimkan burung tercepat."

"Aku bisa melakukan pemanggilan burung pengirim, aku membawa stempel kerajaan untuk pengiriman surat," kata Kaizo. "Setidaknya ada 23 desa di sepanjang jalur menuju Gunung Bosra. Kerajaan Ronarim akan paling terkena dampaknya."

"Hm," gumam Tuan Tarung. "Kau lakukanlah pemanggilan, biar aku dan anak ini meneruskan mencari Fang."

"Baik."

Sementara itu dari angkasa, Boboiboy dan Ocho terbang menyusul lari Kaizo dan Tuan Tarung—hamparan hutan pinus seolah tak bertepi, menghiasi permukaan bumi dengan warna zamrud tua. Boboiboy memandang kagum semua pemandangan di bawah sana, walau sudah berkali-kali ia menaiki punggung Ocho, ia tetap tak jemu-jemu dengan sensasi mengudara bersama kawan baiknya dan menatap separuh wajah bumi dari atas. Matanya dengan antusias menangkap tiap detil pemandangan yang familiar namun asing pada saat bersamaan, ia pandang semua sudut dengan lamat-lamat—karenanya tak perlu waktu lama bagi Boboiboy untuk menyadari kepulan asap nun jauh di cakrawala. Warnanya abu samar dan cukup banyak, seolah mengotori birunya langit. Boboiboy memicingkan matanya agar ia bisa melihat apa yang terbakar, namun tempat itu terlalu jauh untuk ditangkap mata manusia. Ia lalu memutuskan menanyakannya pada Ocho yang merupakan siluman burung, matanya pasti jauh lebih tajam.

"Ocho, asap apa itu?"

Ocho terdiam sebentar, angin kencang menelisik bulu-bulu kuning dan hitamnya, sebagaimana menyibakkan rambut dan baju Boboiboy. Beberapa saat kemudian ia berkata.

"Itu asap kebakaran, ada satu desa yang sudah hancur di ujung sana."

Boboiboy terperanjat, keringat dingin mulai membasahi keningnya. Ia tiba-tiba teringat dengan penyerangan di desa kelahirannya dahulu, Desa Rintis. Tangan Tok Aba sudah putus dimakan oleh setan buaya, dan Yaya pun terluka parah. Ia meninggalkan kakek dan teman masa kecilnya di sana, takut para penduduk akan menyerangnya karena sudah tahu mengenai kekuatan spiritualnya, selain itu Boboiboy juga akan menjadi mangsa koloni setan yang lain akibat kekuatannya. Jika setan memakan manusia berkekuatan, mereka akan semakin kuat dan sulit dibunuh. Kekuatan 7 elemen Boboiboy akan menarik perhatian koloni setan lebih besar dan malah justru membahayakan Desa Rintis yang baru saja hancur karena serangan sepasukan setan. Boboiboy tak tenang meninggalkan Tok Aba dan Yaya yang akan dikucilkan penduduk karena berhubungan erat pada Boboiboy—penduduk Rintis sangat memusuhi manusia berkekuatan spiritual. Tapi walau dimusuhi penduduk, setidaknya Tok Aba, Yaya dan Desa Rintis akan aman dari pembantaian walaupun para penduduk tidak akan menghargai jasa Boboiboy.

Boboiboy lalu mengepalkan tangan, alisnya berkerut mendalam. Matanya menatap lurus pada ujung cakrawala di mana asap tebal tampak membumbung ke langit akibat sisa kehancuran desa itu. Mungkin masih ada yang bisa ia lakukan.

"Ayo cepat Ocho, kita bisa selamatkan para penduduk itu!"

"Boboiboy," panggil Ocho dengan nada halus. "Mungkin sudah terlambat. Berbeda dengan siluman sepertiku, para setan itu sangat serakah dan bengis. Mereka takkan menyisakan seorangpun."

Dada Boboiboy mencelos karena berduka untuk kesakitan orang-orang yang tidak ia kenali. Ia tak tahu sampai kapan kekejian ini berlaku dan menyesal mengapa ia tak cukup kuat untuk melindungi semua orang. Walau ia memiliki kekuatan elemental legendaris, tapi semua orang di dekatnya tetap celaka—Tok Aba, Yaya, penduduk Rintis, Ocho dan kini Fang. Apa gunanya Tuhan memberikannya kekuatan spiritual dahsyat namun tidak memberikan manfaat pada orang lain? Apa hanya untuk membuat dirinya jumawa dan merasa hebat di kalangan orang biasa? Kritiknya dalam hati. Ia benci merasa tidak berguna dan tidak diperlukan orang lain. Ia lebih suka letih hingga ia pingsan dan terluka daripada ia tak memberikan apa-apa pada orang di sekelilingnya. Itu adalah kecemasan terbesarnya dalam hidup jika ia tidak berkorban untuk orang lain—ia memang berorientasi pada orang lain dan selalu menaruh keperluan orang lain di atas dirinya. Sebuah sifat yang sangat langka dan terpuji, namun sering menyiksa nuraninya dan membuatnya kerap bertanya pada dirinya mau sampai kapan ia menjadi anak-anak terus dan menjadi cukup kuat hingga bisa menghentikan semuanya.

Boboiboy mengepalkan tangannya. Ia takkan sia-siakan latihan bersama Tuan Tarung.

.

.

.

Langitnya tampak rendah sekali, seakan-akan ketika menjulurkan tangan akan tersentuh biru kristal itu. Tak ada tempat berpijak di sini, semua benda bebas berdiri, duduk atau menerbangkan diri di mana saja walau ada pasir seputih perak menghampar sangat luas sejauh mata memandang—di ujung sana, langit tampak menyatu dengan gurun ini. Tampak 7 matahari dengan warna berbeda-beda bersinar cerah namun tak panas membara, hanya ada angin sejuk yang menyapu halus kulit-kulit ketujuh elemen yang tengah terbaring dan tertidur pada pasir putih itu. Terus menunggu dalam keheningan—entah sampai kapan mereka bersemayam di atas dipan-dipan pasir lembut sebagai tempat tidur mereka.

Sebuah suara menggema dalam kehampaan. Sebuah suara yang menggelegar, menggetarkan langit seolah hendak runtuh. Tujuh elemen itu langsung membuka mata mereka dan terbangun dengan was-was bercampur curiga.

"Aku tahu kalian di sini," ujarnya. "Aku bisa lepaskan kalian dan bergabunglah denganku."

Ketujuh elemen kemudian menyaksikan langit tiba-tiba terbelah dan menampakkan pemandangan yang luar biasa.

.

.

Bersambung

.

A/N

Terimakasih pada reviewer Soaring Dragons chapter terdahulu Guest - V - Ziyuu-chan 145 - Aprilia - hannabiramochi serta yang sudah mau fave, follow dan membaca!

Ini baru prolog jadi memang singkat hihihi

Fanfic ini bukan yaoi atau shounen-ai ya ^-^

Ada beberapa orang yang membahas darimana ide fanfic AU Pembasmi Setan ini dengan anime Kimetsu no Yaiba.

Saya hanya mau beritahu:

Kimetsu no Yaiba: tayang 2019

Soaring Dragons: publish 2018

Ide dan semua plot Soaring Dragons-Living Dragons ini murni dari pikiran saya sendiri. Saya jarang nonton film dan anime karena saya sibuk sekali. Bahkan saya sangat, sangat jarang melihat fanart orang lain—fanart milik Ariieya sekalipun juga saya jarang lihat karena saya menghindari menghabiskan waktu terlalu banyak di urusan fandom. Saya juga baru aja nonton BBBTM2 itu juga gak sampai habis karena jadwal padat saya /soksibuklu/

Jadi kalau ada yg tanya "Dee, fanfic kamu dapat inspirasi Kimetsu no Yaiba/film ini/anime itu/series lain?" saya bingung jawabnya karena saya suka dapat ide secara acak. Saya gak pernah lihat satu pun episode Kimetsu no Yaiba—sama fandom sendiri aja saya sering gak tahu, gimana ke fandom lain? Kalau saya terinspirasi, pasti saya beri disclaimer seperti fanfic "Jangan Takut, Hali!" yang terinspirasi dari trailer film.

Intinya, saya jarang nonton ini-itu karena sibuk. Fanfic saya murni hasil ide random, kalaupun saya terinspirasi pasti saya beritahu di summary/disclaimer untuk menghormati karya orang lain.

Oke, silakan kritik/saran dan tanggapan kalian ya di review ^-^

Update selanjutnya: Selendang Merah. Hayoo siapa yang suka HaliYa/KaiYa? Siap-siap ya~