Pertama kali manik merah delimanya menangkap sosok itu, ia mengira tengah menyaksikan bunga dandelion yang tertiup angin. Hanya saja, dandelion ini memiliki kotak suara yang tak terhingga. Menyebabkan gendang telinga memekak tidak kuat akan volume yang didengarnya. Dengan kuat dihempaskannya makhluk dengan suara cempreng tersebut dari perempuan manis yang risih akan ulahnya. Tanjiro pahami itu. Bagaimana risihnya ditempeli lelaki dengan suara yang mirip burung gagaknya ketika menyampaikan misi. Perempuan itu mengucapkan terima kasih dan pergi. Sementara makhluk mirip bunga kuning itu menjerit tidak terima telah dipisahkan dari calon pasangannya yang merupakan alpha. Tunggu? Alpha?

Tanjiro memandang lamat-lamat lelaki yang dikira-kira seumuran dengannya itu.

"Kau beta?" Tanya Tanjiro penasaran.

"Ugh, setidaknya tanya nama lebih dulu. Namaku Agatsuma Zenitsu, dan yah..." lelaki bernama Zenitsu itu tidak melanjutkan ucapannya dan malah membuang muka. Tanjiro ingin bertanya lebih lanjut hanya saja ia tidak ingin memaksa privasi seseorang. Mengulas senyum, Tanjiro pun memperkenalkan diri dan menawarinya melanjutkan perjalanan ke selatan bersama-sama.

.

.

.

Tanjiro mendesah lelah. Tulang rusuknya patah dan ia masih harus menggendong Zenitsu yang pingsan menuju rumah peristirahatan yang disediakan warga khusus bagi para pemburu iblis. Meminta tolong pada teman perjalanannya yang bernama Inosuke rasanya sia-sia. Toh, Inosuke tak kalah berisik lagi aktif. Selama perjalanan ia akan menyundul pohon satu menuju pohon lainnya dengan semangat membara. Hal yang mustahil untuk memintanya menggendong Zenitsu yang mengeratkan pelukan di lehernya.

Bukannya Tanjiro lemah hanya karena rusuk patah. Dia alpha kuat! Dia bahkan berhasil menenangkan Inosuke yang sesama alpha meski dalam keadaan demikian. Hanya saja, ia mulai kelelahan. Dan aroma manis yang menguat di sekelilingnya seolah melemaskan otot tubuhnya yang tegang.

Tanjiro menghirup aroma manis laksana buah persik ini dalam-dalam. Rasanya ia bisa terlelap saat ini juga jika ia tidak segera sampai di tempat peristirahatan. Zenitsu yang tertidur di punggungnya pun menggeliat tidak nyaman. Sepertinya sebentar lagi kesadarannya akan muncul.

"Ugh, Tanjiro..." gumam Zenitsu sembari memfokuskan pandangannya.

"Kau sudah bangun? Kita hampir sampai." Ujar Tanjiro lembut.

Zenitsu yang sadar seutuhnya pun segera turun dari gendongan dan meminta maaf pada Tanjiro dengan wajah merah padam.

"Tidak apa. Aku tahu kau lelah," ujar Tanjiro tersenyum maklum.

Ketiganya pun sampai di kediaman dengan gerbang yang berlambang bunga wisteria.

.

.

.

.

.

Dengan segera, ketiganya dilayani wanita paruh baya yang menjamu mereka. Mulai dari pakaian ganti, futon lembut dan nyaman, makan malam, hingga saat ini ketiganya akan diperiksa oleh dokter yang telah dipanggilkan untuk mereka. Dimulai dari Tanjiro, Inosuke, hingga ketika sang dokter akan memeriksa Zenitsu...

"Sensei, bisa kita periksa di tempat lain? Ada hal penting lainnya yang ingin saya bicarakan." Pinta Zenitsu dengan setengah memohon. Sang dokter pun tersenyum paham dan keduanya pergi menuju ruangan lainnya. Menimbulkan tanda tanya di benak kedua alpha teman seperjalanannya.

"Mereka mau kemana?" Tanya Inosuke heran.

"Tuan Zenitsu tidak nyaman diperiksa di depan kalian yang merupakan alpha." Ujar sang nenek pelan.

"Loh, memangnya Monitsu kenapa?" Tanya Inosuke semakin tidak mengerti.

"Mungkin karena dia beta dan dia takut akan kita para alpha?" Tanya Tanjiro tidak yakin. Kalau Zenitsu memang takut akan alpha, harusnya dia tidak memohon pada alpha perempuan tadi di jalan. Dan Zenitsu mana mau berdekatan apalagi hingga tidur pulas di punggungnya tadi.

Sang nenek pun tersenyum ramah dan menjawab singkat, "Tuan Zenitsu itu omega."

Eh?

Jadi aroma manis buah tadi berasal dari Zenitsu? Kenapa ia baru mencium aromanya setelah bertarung melawan iblis?

Zenitsu masuk kedalam ruang kamar dengan kepala menunduk takut. Setelah dia beberapa kali keluar-masuk kamar sembari membawa selimut yang bertumpuk, akhirnya ia mulai mempersiapkan tempatnya tidur. Tanjiro dan Inosuke menyaksikan dalam diam bagaimana Zenitsu menarik futonnya kepojokan dan mulai membuat benteng dari selimut.

"Chuitsu sedang apa, Monjiro?" Tanya Inosuke setengah berbisik.

"Namaku Tanjiro! Dan aku tidak tahu." Balas Tanjiro tak kalah pelan.

"Aku bisa mendengar kalian loh." Ujar Zenitsu tiba-tiba sembari menatap keduanya dari tumpukan selimut.

Tanjiro lupa, Zenitsu memiliki pendengaran yang tajam. Tersenyum kikuk, Tanjiro pun bertanya, "ano, Zenitsu...selimut-selimut itu untuk apa?"

Dengan wajah memerah, Zenitsu merebahkan diri di atas benteng selimut buatannya dan memandangi langit-langit kamar.

"Ini untuk tidur, tentu saja."

"Kenapa sebanyak itu?! Beri aku juga!" Teriak Inosuke.

"Tidak mauuu! Ambil sendiri sana!" Tolak Zenitsu mentah-mentah. Dia pun menenggelamkan diri di dalam selimut dan terdiam sejenak. Inosuke yang malas berdebat pun memilih memakai kembali topeng kepala babi miliknya dan memejamkan mata. Dalam hitungan detik, Inosuke terlelap. Sementara itu, Tanjiro ragu-ragu menatap kearah Zenitsu.

"Ada apa, Tanjiro?" Tanya Zenitsu yang masih bergelung dalam tumpukan selimut.

"Um, Zenitsu...kenapa aku tidak lagi mencium aroma persik darimu?"

Napas Zenitsu tercekat dan tercium aroma keraguan darinya. Tanjiro sadar, pertanyaannya terlalu pribadi.

"Ah, maafkan aku."

"Tidak apa. Aku hanya merasa tidak nyaman jika aromaku tercium kemana-mana." Ujar Zenitsu diselingi tawa yang sumbang. Tanjiro memandangi helaian rambut kuning Zenitsu yang terlihat dari barikade selimut dengan tatapan sedih.

"Kenapa tidak? Aromamu nyaman dan menenangkan. Aku suka aromamu," aku Tanjiro.

Zenitsu terbatuk dengan wajah memerah. Segera dialihkannya percakapan ambigu ini ke hal yang ingin ditanyakannya sejak awal.

"Um, Tanjiro...boleh aku bertanya?"

"Tanya saja, Zenitsu." Ujar Tanjiro lembut.

"Kenapa kau membawa serta iblis di kotak itu?" tanya Zenitsu sembari menunjuk kearah kotak yang berada di pojok ruangan.

Tanjiro tersenyum hangat. Meski Zenitsu sejak awal sudah tahu tentang keberadaan Nezuko di dalam kotak, ia tetap melindungi kotak tersebut hingga babak belur.

"Kau sangat baik, Zenitsu. Terima kasih," ujarnya lembut. Zenitsu yang tak sengaja melihat senyuman hangat Tanjiro pun berguling di kasurnya dengan wajah merah. Lalu tiba-tiba saja kotak milik Tanjiro bergerak diiringi suaranya garukan dari dalamnya. Zenitsu memekik ketakutan dan segera bersembunyi di dalam lemari

"T-ta-ta-tan-tanjiro... Iblisnya-iblisnya! Tolong aku!"

"Tenang saja, Zenitsu. Nezuko, keluarlah." Pintu kotak itu terbuka dan muncul sosok imut berpita merah muda dengan bambu di mulutnya. Zenitsu yang melihat itu pun terpana sekaligus marah.

"JADI, KAU SELAMA INI MEMBAWA WANITA CANTIK DI DALAM KOTAK ITU?! JADI, AKU MELINDUNGI KEKASIHMU?! KAU HARUS BERTANGGUNG JAWAB TANJIRO! KEMBALIKAN DARAH YANG TELAH MENETES MILIKKU!" Pekik Zenitsu sembari menghunuskan katana miliknya kearah Tanjiro yang berkeringat dingin. Sementara Nezuko memandang keduanya bingung.

"Tenang dulu, Zenitsu!" bisik Tanjiro.

"TENANG?! TENANG KATAMU?! AKU BERUSAHA MELINDUNGI BARANG YANG KATAMU BERHARGA, TAPI TERNYATA KAU MEMBAWA WANITA CANTIK?! KUBUNUH KAU!" Pekik Zenitsu. Tanjiro pun mau tak mau meninggikan suara dan menahan pundak Zenitsu.

"Dia Nezuko, adikku!"

"A-adik?!" Tanya Zenitsu tidak percaya.

"Ya. Dia adikku!"

Zenitsu pun terdiam ketika tidak mendengar detak kebohongan dari Tanjiro. Segera disarungkan kembali katana miliknya dan mendekati Nezuko dengan tatapan lembut.

"Nezuko-chan~~"

"Hmmmp! Hmmpph!" Balas Nezuko.

Zenitsu segera memeluk Nezuko dan menggosok pergelangan tangannya dengan Nezuko. Menyadari kebodohannya, sepersekian detik kemudian ia melepaskan lilitan kain yang mirip sekali dengan warna kulitnya dan kembali menggosokkan pergelangan tangannya pada pergelangan tangan Nezuko. Tanjiro yang sedaritadi memandangi interaksi keduanya pun akhirnya kembali mencium aroma buah persik yang entah kenapa dirindukannya meski baru menciumnya sekali.

"Jadi, kau menutupi aromamu dengan kain khusus?" Tanya Tanjiro.

"Ugh, ya. Kami para omega menjadi santapan pelecehan para alpha dan iblis brengsek di luaran sana. Maka dari itu, aku harus mengakalinya dengan ini." Aku Zenitsu pada akhirnya. Tanjiro tersenyum miris mendengarnya. Omega memang selalu dipandang sebelah mata. Tanjiro pun semakin bersimpati pada Zenitsu. Meski dirinya omega, dia tetap memiliki kekuatan yang hebat dan mampu menjadi pemburu iblis. Bukankah Zenitsu sangat membanggakan? Memikirkan tentang Zenitsu membuat rona merah menjalari pipi Tanjiro.

"Dan...kenapa kau memberi aromamu pada adikku?" Tanya Tanjiro tidak mengerti dan mungkin sedikit iri. Ya, sedikiiit.

Wajah Zenitsu merah padam karena dua hal. Satu, karena ketahuan tengah memberi aromanya pada sang iblis manis. Yang kedua, karena mendengar letupan asing penuh harmoni indah dari dalam diri Tanjiro. Dengan terpaksa, ia melepaskan diri dari Nezuko dan kembali memakai kain penutup khususnya. Nezuko pun merangkak menuju kearah sang kakak yang sigap mengelus puncak kepalanya dengan sayang dan sesekali menciumi pergelangan tangan sang adik yang masih beraroma manis khas lelaki berambut kuning di ujung ruangan. Berusaha untuk tidak mencolok bahwa ia sangat menyukai aroma persik tersebut dan berharap aroma tersebut melingkupinya.

"Ugh, kau tahu...kami para omega senang memberi rasa aman satu sama lain dengan berbagi aroma." Ujar Zenitsu gugup dan malu secara bersamaan. Ia pun kemudian kembali kedalam tumpukan selimutnya dan berbalik memunggungi Tanjiro.

"Oyasumi, Tanjiro." Bisik Zenitsu dengan wajah dan telinga yang merah padam.

"Oyasumi, Zenitsu." Bisik Tanjiro dengan senyum hangat dan tatapan penuh kelembutan kearah kasur di mana Zenitsu beristirahat.