Pada kelahiran anak ketiganya ini, Sasuke merasa lebih kerepotan dua kali lipat karena Sakura semasa hamil sering meminta hal aneh-aneh. Ada gitu? Tengah malam memintanya menghitung biji salak yang dikupasnya dari siang hingga sore. Sakura memang banyak akal, banyak juga maunya. Untungnya moment merepotkan itu bisa Sasuke lalui tanpa hambatan. Sakura melahirkan secara caesar, anak cowok lagi dan bukannya putri kecil yang cantik. Tidak masalah deh, yang penting Sakura dan anak mereka selamat. Sasuke tidak berhenti tersenyum ketika memperhatikan Sakura duduk di kursi sembari menggendong Jagatiar, nama si bungsu.

"Yang, kalau ngepel yang benar. Itu tuh di bawa kursi jangan dilewatin." Makin bawel.

Mikoto belasan menit lalu baru pulang, gantian menjaga Sakura yang masih dalam proses pemulihan. Maka dari itu, sementara ini tugas rumah Sasuke yang memegang kendali penuh. Kasihan banget, pulang nugas bukannya bersantai malah mengurus rumah. Mebuki katanya akan tiba pukul tujuh nanti, dan sekarang masih pukul lima. Sasuke menurut, tapi tidak sengaja kain pelnya malah mengenai kaki Mars. Asw kena mulu!

"Makanya, kan Papa sudah bilang kamu jangan main di situ."

"Yang, jangan ngomel-ngomel." Terosss!

Sasuke menghela napas, kemudian langsung meminta maaf pada Mars yang merengek di lantai. Yupiter ada di sana pula, tapi anak itu masa bodoh dan sibuk pada mainannya. Sasuke baru akan berdiri, lanjut mengepel lagi. Tahu-tahu bel rumahnya berbunyi dan Sakura segera menyuruhnya untuk bergegas ke depan membuka pintu yang kemungkinan besar adalah teman-teman Sakura, dari pagi mereka sudah gembar-gembor mengatakan bertandang ke rumah. Selagi melangkah ke sana, Sasuke mengamati penampilannya sendiri. Kaos penuh keringat, celana pendek yang setengah basah dan juga rambut acak-acakan. Mirip banget kayak pembokat.

Siapa pun orang yang mengetuk pintu di luar, please jangan hujat Sasuke.

"Iyaaa, tunggu bentar!" Tidak sabaran sekali. Sasuke lantas mempercepat langkah dan buru-buru membuka pintu. "Sia..."

"Surprise!" Anjenggg kaget!

Manusia dari ras apa mereka sebenarnya yang tiba-tiba muncul dengan tingkah seperti itu, Stefan sudah lumayan lama tidak berjumpa. Ada Ino, Sai, Utakata dan juga Kakashi Sensei. Ehh, Kakashi Sensei? Yang benar sih?

Sasuke mau serangan jantung.

"Woii, setan! Apa kabar lo?!"

Namanya Sasuke, bukan setan. Bodo amat sama si Utakata. "Sensei, Sensei kok bisa ada di sini? Ke sininya sama siapa?"

"Elo tuh Sas, bukannya nyuruh kita masuk eh malah dibiarin saja kayak gini."

Dulu, Sai kelihatan masih unyuk-unyuk. Tapi sekarang kelihatan kayak Mamang-mamang. Sai yang sekarang brewokan cuyy, mirip bapak-bapak punya anak lima. Hadehh.

"Ayo, ayo. Masuk saja, silahkan."

Sebenarnya, Sasuke penasaran bagaimana bisa Kakashi Sensei ikut-ikutan komplotan Sakura. Nanti, mereka harus bicara berdua.

"Yuki, apa kabar? Mana nih, pengen lihat Dedek barunya." Berkat teknologi yang kian maju, mudah sekali bagi manusia masa kini untuk bisa saling bertukar informasi.

"Anak gue cowok lagi No, ganteng banget mirip suami lo." Malah suami orang lain.

Sasuke kembali menghela napas, diam-diam mencuri pandang pada Kakashi Sensei yang keberadaannya belum diketahui Sakura. "Sensei, Sensei ke sini sama siapa?"

"Sama Utakata, dia yang ngejemput Sensei di stasiun tadi siang." Dari SMA, senseinya ini tidak banyak berubah. "Gimana kerjaanmu? Nggak ada masalah?"

"Aman Sensei, tapi jalanan di Indonesia masih tetap macet dan ngerepotin."

Sebagai anggota Satlantas, Sasuke dituntut untuk bisa menyesuaikan diri. Ditugaskan terjun ke jalan, ya terjun. Ditugaskan terjun ke tebing, ya jangan. "Nggak masalah, yang namanya pekerjaan tuh harus kamu lakuin dengan sungguh-sungguh. Dibarengi juga dengan niat nyari nafkah untuk anak istri."

Wejangannya sudah beda.

Sekarang Kakashi Sensei lebih banyak memberi nasihat tentang rumah tangganya.

"Anak bayimu sudah dikasih nama?"

Sementara Sakura sibuk mengobrol dengan teman-temannya, Sasuke memilih mengajak Kakashi Sensei duduk di sofa panjang. "Sudah, namanya Jagatiar."

Kalau sudah dengan Kakashi Sensei, Sasuke akan lupa segalanya. Sakura tidak tahu mengenai itu, teman-temannya yang datang terlalu berisik dan heboh. Yupiter dan Mars sampai melongo setiap kali mendengar suara melengking Ino dan juga tawa Utakata. Tidak datang dengan tangan kosong, ketiganya membawa kado berbungkus hijau berukuran besar yang didapat dari hasil patungan.

"Lucu banget sumpah anak lo Sak."

"Mirip siapa hayooo?"

"Lo bilang mirip suaminya Ino."

"Haha, enggaklah goblok!" Garis wajah dan matanya, siapa lagi. "Jagatiar mirip Sasuke."

"Tiga anak lo mirip Sasuke, lah elo kebagian apanya Sak?" Sai mulai mengompori.

"Banyak lah, nggak mungkin gue omongin. Ada anak gue tuh." Mars dipangku Utakata, sedangkan Yupiter tetap duduk sendiri di karpet. "Mumpung sudah di sini, makan ayo sekalian. Pasti nih pada lapar."

"Gitu dong peka."

Terhitung hampir setahun belakangan mereka sudah jarang bertemu, seringnya hanya bertukar kabar lewat media sosial. Sakura mengelus rambut Jagatiar yang anteng dipelukannya sekali pun suasana sedang berisik. Ke mana pula Sasuke? Jika jahitannya pulih total, ia sendiri yang akan melakukan pekerjaan rumah. Sakura sebenarnya kasihan pada Sasuke, tapi mau bagaimana lagi.

"Papa!! Makanannya sudah disiapin kan?!"

Tidak enak memanggil 'Yang' di depan semua orang, Sakura juga heran kenapa ia bisa malu.

"Iya, sudah." Suara Sasuke menggema dari ruang tamu, kemudian disusul dengan kemunculannya bersama Kakashi Sensei. Waduh.

Bapak tua beruban itu kelihatan menggeleng tidak habis pikir, mungkin maksudnya mau mencibir Sakura. Namanya cewek, harus lemah lembut. Bukan teriak-teriak macam kera.

"Ehe..." Sakura meringis tidak tahan.

Oke, waktunya sungkem pada Kakashi Sensei.


The End.