"Apa kau yakin untuk hal ini?"

Jongin menoleh, ia melihat kegundahan di hati sang ibu.

"Ibu" katanya, pelan. "Aku mungkin terlalu mencintai Oh Sehun"

Ibu mengulum senyuman. Ibu tidak mau memarahi Jongin atas keputusannya—ingin tinggal bersama Oh Sehun tanpa status pernikahan.

Jongin anak yang keras kepala. Diberitahukan jangan, pasti tetap nekad. Ibu tidak ingin melarangnya lagi sekarang. Usia 29 tahun sudah telalu cukup bagi Jongin untuk memahami.

"Ibu akan menjemput mu jika pria itu menyakiti hatimu, nak" katanya.

Jongin diam-diam menatap sang ibu yang tengah fokus mengemudi mobil. Dia bisa saja pergi sendirian untuk membawa semua pakaiannya ke apartemen Sehun. Tetapi entah bagaimana sang ibu malah bersedia mengantarnya.

"Ibu seharusnya tidak perlu mengantar aku sampai sini" kata Jongin, seraya membantu sang ibu mengangkat koper besar miliknya. "Biar aku saja" Kata Jongin, lagi.

Ibu menggelengkan kepalanya. "Saat begini saja dia tidak menjemputmu. Apa yang akan kau harapkan dari pria itu?"

"Ibu"

Jongin menggeleng, mendesah hanya pasrah saja jika sang ibu terus-menerus membicarakan sikap Sehun yang begitu buruk padanya.

"Aku sama sekali tidak setuju dengan ide gila ini" kata sang ibu. "Tapi kau sangat mencintainya, aku bisa apa"

"Hey, Jongin" Oh Sehun baru saja tiba di tempat parkir. Wajahnya terkejut saat melihat kehadiran ibunya Jongin yang langsung menatap tak ramah padanya. "Ah, Nyonya Kim"—Membungkuk hormat.

"Kau semakin tampan, Oh Sehun" Ibu berkata. Tidak, lebih tepatnya mencibir. "Pantas saja gadis bodoh ini mau tinggal denganmu"

"Ibu" Jongin menyentuh tangan sang ibu. Dia jadi tidak enak hati dengan Oh Sehun.

"Ibu belum masak. Ibu pamit, Jongin" kata sang ibu, seraya masuk ke dalam mobil.

Jongin melambaikan tangannya. Berkata agar sang ibu berhati-hati. Mencoba mengalihkan perasaan tidak enaknya atas perlakuan sang ibu pada sang kekasih.

"Ayo, Jongin" kata Sehun, seraya membantu Jongin membawa koper besarnya.

.

.

.

.

"Bagaimana dengan apartemen mu?" Tanya Sehun. Ia memasukan baju-baju Jongin ke dalam lemari pakaian.

Jongin sedang duduk di sampingnya menoleh, tangannya menggenggam mug isi coklat hangat yang dibuatkan Sehun untuknya. "Jungkook yang menempati"

"Oh, tidak jadi dijual?"

"Tidak" Jawab Jongin singkat.

Sehun mengangguk mengerti. "Lagipula sayang kalau dijual. Jungkook sudah semakin dewasa, dan dia butuh ruang pribadi"

"Ibu tidak mengizinkan Jungkook tinggal disana terus. Tapi kakakku yang di Taiwan akan pulang dan memboyong istrinya, ku rasa sangat tepat kalau Jungkook menempati apartemen ku"

"Kapan kakakmu pulang?" Tanya Sehun, baju terakhir sudah tertata dengan rapi di dalam lemari.

"Bulan depan mungkin" kata Jongin. "Sehun, apa kau lapar?"

Sehun diam sejenak. Mungkin Jongin tidak nyaman dengan pertanyaan tentang keluarganya. Tetapi kemudian ia mengangguk dan membiarkan Jongin berkutat di dapur memasak Jjangmyeon instan untuk mereka berdua.

.

.

"Makan yang banyak" Kata Ibu, seraya meletakan seiris daging ke atas mangkuk Jungkook.

Keduanya makan bersama, tanpa Jongin. Biasanya mereka akan makan bertiga dengan Jungkook yang selalu bertingkah aneh dan menggoda Jongin—Gendut seperti babi.

"Kalau ibu keberatan kenapa ibu membiarkan Jongin tinggal dengan pria Oh itu?" tanya Jungkook.

Ibu terlihat gundah. dan kedua matanya sama sekali tidak bisa dibohongi. Jungkook punya mata yang sangat jeli untuk mengerti.

"Jongin sangat mencintai Oh Sehun. Ibu tidak bisa melarangnya" jawab Ibu. seraya memakan seafood kesukaannya. Tapi terlihat tidak berselera, karena putri satu-satunya tidak di sana.

"Jika Oh Sehun menyakiti Jongin, aku tidak segan-segan memukulnya"

Ibu terkekeh pelan. "Kau ini mau jadi penjahat?"

"Yang jahat itu Oh Sehun. Jongin sudah siap menikah, tetapi pria itu tidak. Malah mengajak Jongin tinggal tanpa ikatan. Apa-apaan itu"

"Tinggal bersama tanpa ikatan bukan tindakan kejahatan di Korea, putraku" sahut sang ibu.

.

.

Tidak ada hal di dunia yang membuat Jongin merasa puas. Sekalipun beberapa kerabat mengatakan bahwa Jongin hampir memiliki semuanya. Pendidikan tinggi, karir yang cemerlang, gaji dengan 2 digit angka di depan, kekasih yang tampan, juga keluarga yang teramat mengasihinya.

Semua terlihat begitu indah, tetapi mungkin menurut Jongin itu semua biasa-biasa saja. Bahkan ia menganggap semua yang ia dapat saat ini adalah bayaran akan rasa sakit yang pernah ia hadapi di masa lalu.

Ayahnya yang selingkuh—kemudian meninggal karena sakit. Bekerja keras setelah lulus SMA, pernah drop out dari salah satu kampus favorit karena tidak bisa membayar uang semester. Kakaknya yang terjerumus ke dalam dunia obat-obatan dan minuman keras. Tetapi semua dijalani Jongin dengan bersungguh-sungguh. Hidup dalam hinaan mungkin lebih menyakitkan.

"Hey"

Jongin menoleh. Ia mengulum senyum ke arah Taemin dan suaminya.

"Jadi, apa ibu ngidam ini akan sanggup makan sebanyak-banyaknya?" canda Jongin.

Taemin terkekeh-kekeh. Ia sedikit kesulitan ketika mendudukkan tubuhnya di seberang meja. Saat itu juga Minho (suaminya) membantu, ada raut tidak tega di wajahnya ketika melihat Taemin selalu kesulitan dalam beraktivitas dengan perutnya yang semakin membesar setiap bulannya.

"Bumil ingin makan daging panggang yang banyak katanya" canda Minho.

Perempuan itu melotot mendengar pernyataan suaminya. Seolah kesal—dan memukul bahu kokoh sang suami dengan raut wajah garang yang menurut Minho dan Jongin sangat menggemaskan.

"Aigoo" Jongin mencubit pipi gembil Taemin. "Uri aegi ngambek rupanya"

"No!" Taemin menyentuh pipinya yang memerah, bekas cubitan Jongin. "Jongina, kau ingin menggodaku juga?"

Jongin tertawa. Dulu saat mereka masih remaja, Taemin kerap kali mencubit pipi gembil Jongin dan mengatakan bahwa Jongin sangat imut seperti bakpao.

Pipinya tidak chubby. Hanya saja tulang pipinya yang sedikit menonjol sehingga membuatnya terlihat menggemaskan dengan kesan pipi yang gembil.

"Yeobo, pesan makanan sekarang!" titah Taemin.

Minho menghela napas pelan. Ia baru saja sedikit lebih santai setelah seharian di rumah menghadapi Taemin yang selalu saja mengomel.

"Aku sudah memesannya. Kau bisa meminta pelayan membawakan makanan saja, Minho" sahut Jongin.

"Mwo? Kau yang Traktir? Tidak, Jongin! Aku kan yang mengajakmu kemari" kata Taemin.

Jongin tersenyum simpul. "Tidak apa-apa" katanya. "Aku sedikit senang akhir-akhir ini"

Minho dan Taemin mengucapkan kata terimakasih. Restoran daging panggang ini sangat ramai di hari weekend. Tapi hari ini mungkin keberuntungan bagi mereka bisa menikmati suasana yang tidak terlalu gaduh dan menyebalkan.

"Aku sudah dengar semua dari bibi Kim"

Jongin mengerutkan alisnya. "Mwo?"

Taemin terlihat tidak enak hati. Tapi juga sebal, kenapa Jongin memutuskan semuanya tanpa memikirkan perasaannya sendiri. Atau mungkin perasaan ibunya yang sedikit kecewa dengan keputusannya.

"Apa kau merasa baik-baik saja, Jongin?" Taemin menatapnya iba. Ia tidak akan pernah menyangka jika sahabat karibnya ini masih bertahan dengan perasaannya pada satu orang selama 10 tahun ini.

"Aku sangat baik-baik saja. Lihat, aku bahkan semakin gembil" jawabnya, sembari mencubit pipinya sendiri.

"Jongin" sebut Taemin. "Tidak bisakah kau berhenti membohongi perasaanmu sendiri?"

Jongin menarik napas pelan. "Aku hanya ingin hidup bersamanya, Tae"

"Sungguh..Aku hanya ingin dia. Aku tidak peduli apa yang dikatakan orang lain tentang perjuanganku yang mungkin saja sia-sia selama 10 tahun ini. Tapi aku hanya ingin dia"

"Jongin, saat kau membohongi dirimu sendiri. Rasa sakit yang akan menjadi jawabannya" Taemin mencoba menasihati.

"Aku paham" katanya.

.

.

"Jika ada sesuatu kau bisa menelponku" kata Taemin, disela-sela jendela mobil yang sedikit terbuka.

Jongin mengangguk pelan dengan tawa di wajahnya. Ia melambaikan tangan kanannya seiring mobil Minho dan Taemin yang melaju meninggalkan apartemen Sehun.

Ia melirik arloji di tangannya yang sudah menunjukkan pukul 7 malam. Belum terlalu malam, tapi mungkin Oh Sehun sudah menunggunya di dalam. Karena ia izin pergi dengan suami-istri Choi itu sampai selesai makan malam.

"Kau sudah pulang?" Oh Sehun menyapanya ketika Jongin baru saja membuka pintu.

Pria itu terlihat sedang sibuk memasak—entah apa yang akan ia masak.

"Maaf, kamu pasti menungguku" Jongin berkata, dengan raut wajah menyesal.

Sehun mematikan kompor, ia berjalan mendekat ke arah Jongin. Mengendus sesuatu yang membuatnya berpikir Jongin baru saja makan daging panggang hari ini.

"Kau bau daging panggang" katanya.

Jongin terkekeh pelan. "Kau ingin makan apa? Biar aku yang masak"

"Tidak perlu" kata Sehun, senyum terpatri di wajahnya. "Aku sudah terbiasa masak mie instant sendiri"

Selagi Jongin memakai celemek, Sehun berusaha meyakinkan Jongin jika ia tidak apa-apa dengan hanya makan mie instan. Namun Jongin seolah tidak peduli—perempuan itu hanya terus melakukan apa yang seharusnya ia lakukan saat ini.

60 menit kemudian makanan sudah siap. Mie Instant yang dibuat Jongin dengan menambahkan bumbu sendiri, sepiring kimchi, dan telur gulung telah tersaji di atas meja makan.

Oh Sehun menatapnya semakin lapar. Jongin meminta Sehun untuk segera duduk dan menikmati makan malamnya.

"Kau seharusnya tidak perlu melakukan ini" kata Sehun, setelah mencicipi ramennya.

"Kenapa? Aku hanya ingin membuatmu makan dengan banyak variasi masakan seperti ini" sahut Jongin.

Terhitung 2 hari mereka tinggal bersama. Dan baru hari ini Jongin punya waktu untuk memasak beberapa makanan seperti ini.

"Kau tahu? Aku tinggal sendiri cukup lama. Jadi mungkin aku tidak terlalu terbiasa untuk semua ini"

Jongin terdiam beberapa saat. Kemudian tersenyum simpul, dan meminta Sehun untuk tidak terlalu memikirkan apapun.

"Kau selalu memesan makanan atau masak makanan Instant. Dengan kehadiranku saat ini, setidaknya kita bisa berhemat"

Sehun mengangguk—mungkin setuju dengan perkataan Jongin. "Tapi kita tidak memiliki hubungan yang lebih dari pacaran. Ku rasa kau tidak punya kewajiban untuk mengurus semua keperluanku"

Jauh di dalam hatinya, Jongin merasakan gemuruh yang teramat parah. Wajahnya memanas, tetapi ia masih sanggup menahan agar tidak terlihat bahwa ia sedang bersedih.

"Kalau begitu, aku akan memasak setiap hari. Jika kau tidak suka, kau bisa memesan makanan saja" Jongin menyahut.

"Tidak, bukan begitu" Sehun buru-buru meralat. Ia tidak mau Jongin marah lagi sekarang.

"Kau tahu? Aku ini seorang pria, saat aku mengajak anak gadis orang untuk tinggal bersamaku. Itu artinya sudah jadi kewajibanku untuk merawat dan memenuhi kebutuhannya"

"Sehun" Jongin menyebut namanya. Matanya yang bulat itu terlihat tidak suka dengan ucapan kekasihnya. "Jika kau menilai aku yang tinggal bersamamu seperti kau mengadopsi seekor anak anjing—dimana kau harus merawatnya dan memenuhi kebutuhannya aku akan sangat marah"

"Jongin"

"Tapi jika kau menilai aku yang tinggal bersamamu seperti seorang roommate, dimana aku harus memberikan bayaran untukmu. Itu akan sangat membuat kehadiranku lebih berguna di sini"

"Jongin, maaf" ucapnya.

Jongin menarik napas pelan. "Aku lelah" katanya. "Habiskan makanannya, ya"

.

.

.

"Aku mengganggu tidurmu, ya?"

Jongin sedikit menggosok mata kirinya yang masih agak sulit untuk terbuka.

Lampu kamar mereka masih menyala, dan terlihat Oh Sehun sedang mengetik sebuah laporan yang tidak Jongin mengerti.

"Tidak..Aku hanya terbangun ketika mendengar suara gelas terjatuh"

Sehun terkekeh pelan. "Aku tidak sengaja menyenggolnya. Kemudian jatuh dan pecah"

"Apa kita bisa lanjut tidur? Besok hari minggu" Jongin mencoba meminta Sehun untuk menghentikan pekerjaannya sejenak.

Pria Oh itu menarik napas berat. Ia membersihkan sisa pecahan mug dan membuangnya di tong sampah.

Tanpa mematikan Laptopnya, ia berjalan ke arah ranjang dan membaringkan tubuhnya di samping Jongin.

"Dingin" katanya, seraya menarik Jongin ke dalam pelukannya.

"Aku tidur mendengkur kalau seperti ini" Jongin sedikit melonggarkan pelukan Sehun.

"Aku tahu" Sehun menyahut. "Dan itu sexy menurutku"

Jongin terkekeh mendengarnya. "Kalau begitu aku akan terus mendengkur seperti babi"

.

.

.

TBC