Dunia terbagi menjadi dua kubu. Manusia dan iblis. Mereka selalu berperang merebut kekuasaan, membantai satu sama lain, menanamkan benih bernama dendam pada mereka yang masih muda. Menarik senjata berbilah tajam dan mencorengkannya dengan sebuah eksistensi terlarang bernama darah. Amarah, kengerian, amukan, dan teriakan menggema di setiap malam atau siang. Memberikan teror bagi mereka yang hanya mengingingkan perdamaian.

Kerugian di mana-mana, semua hancur. Layaknya arang yang terbakar habis menjadi debu. Tidak ada yang beruntung baik dari kubu manusia atau iblis.

Kemudian sang Hyang penguasa langit dan bumi turun membawa sebuah mukjizat, membawa kedamaian pada kedua belah pihak. Membentuk sebuah perjanjian antar kedua belah pihak. Mempersatukan mereka dalam satu ikatan terlarang yang sudah direstui.

Menikahkan darah suci manusia, dengan darah terlarang iblis.

Hyang bilang, ini adalah sebuah kedamaian. Tapi bagi kedua belah pihak ini adalah sebuah kehancuran, harga diri mereka seperti diinjak-injak tanpa ada rasa kasihan. Mereka jadi memerangi Hyang.

Tapi Hyang berkata, "Aku tidak mengatakan mereka harus disatukan sekarang. Kandidat darah suci dan darah terlarang belum terlahir. Selama itu, kalian belajarlah menerima satu sama lain baik dari kebaikan dan keburukan. Tunjukkan padaku kalau kalian berhak memikul apa yang namanya perdamaian. Kalau kalian sudah sanggup, maka akan aku turunkan kedua titisan ini yang kelak akan lebih mempererat tali persaudaraan kalian."

Tidak ada yakin pada awalnya. Tapi bagi mereka yang selalu memihak jalan perdamaian menyetujui ucapan sang Hyang. Mereka merangkul mereka yang haus akan peperangan dan menunjukkan pada mereka kalau ada sisi dunia yang sangat indah. Tidak perlu dendam untuk berperang.

Mereka membentuk hukum yang tidak memberatkan kedua belah pihak, dan membuat hukum yang setimpal jika keduanya dirugikan. Memaksa mereka hidup berdampingan di masa-masa awal perdamaian.

Semuanya tidak nyaman. Para orang dewasa dan tetua sangat menentang hal ini.

Namun mereka yang muda menentang apa yang ditakuti para tetua. Menunjukkan kalau manusia dan iblis bisa hidup berdampingan, bahkan sampai menjadi teman. Menunjukkan kalau mereka bisa sama-sama diuntungkan kalau berbagi.

Kedamaian ini turun menurun sampai masa sudah berlalu empat ratus tahun lebih.

Dunia sudah kembali damai, dan kedua kandidat ini terlahir.

.

Bunga yang Terlindungi

.

Ketika matahari sudah meninggi, Miyuki baru saja bangun. Kebiasaan buruknya kambuh lagi, saking malasnya jadi enggan untuk bangun dari tidur nyenyaknya. Dia untuk kali ini terpaksa membuka matanya karena hawanya yang sangat panas. Awal musim panas sudah dimulai dan orang-orang sudah memakai yukata tipis mereka. Menyejukkan diri.

Sambil mengumpulkan seluruh kesadarannya, Miyuki bangun dari tidurnya dan membuka jendela. Di bawah langsung terlihat orang-orang berlalu lalang melakukan kegiatan masing-masing.

Miyuki kembali menutup jendela dan keluar kamar tanpa merapikan futonnya. Dia menuju ke kedai udon yang buka di depan penginapan setelah mencuci muka dan merapikan rambutnya. Tidak lupa sebilah katana dengan balutan sarung yang nyentrik tersampir di pinggul kirinya.

"Selamat datang!" seru pelayang yang sedang sibuk melayani semua pelanggan. Tempat yang penuh.

Miyuki mengambil duduk untuk tempat hanya dua orang. Walau dia sadar, ada orang lain juga di bangku kecil itu. Tapi karena seseorang itu lah makanya Miyuki memilih bangku ini.

"Jam berapa ini, kenapa kau baru bangun?" tanya seseorang itu menatap tajam Miyuki, di tangannya terbuka sebuah buku dengan sebuah tulisan yang tidak bisa dibaca dengan jelas. Buku kuno.

"Futonnya empuk, tidurku nyenyak banget. Oh, Niku Udon satu dan Ocha." Balas Miyuki, dia juga menyampaikan pesanannya pada pelayan yang memang mau menanyakan pesanan Miyuki.

"Haiyo, niku udon to kocha!" seru pelayan pria itu. Kemudian meninggalkan Miyuki melayani pelanggan lain.

"Kau ini, apa kau lupa kalau sore nanti kita harus ke istana?"

"Aku ingat. Kau terlalu tegang, Mima." Ucap Miyuki. Dia melihat sekitar dengan senyumnya yang menyebalkan.

Pria bernama Mima itu menghela napas lelah, "Aku heran, kenapa aku harus dipasangkan denganmu."

"Karena kita rival." Jawab Miyuki santai. Teh hijaunya datang, masih panas dan asapnya mengepul.

"Rival darimananya juga. Aku bahkan baru tahu kalau kau itu samurai yang sangat kuat. Apalagi tidak terikat."

Miyuki menompang dagunya dengan tangan kanannya yang sikunya disandarkan pada meja, "Jangan samakan aku denganmu. Aku menganut prinsip bernama kebebasan, bukan keadilan."

"Ya ya, kau selalu menjawab seperti itu."

"Jadi, sebenarnya kenapa kita dipanggil kaisar? Aku hanya membaca suratnya untuk mengawal. Apa kaisar sudah tidak percaya pada tangan kanannya sendiri?"

Mima menggeleng tidak tahu, "tapi kalau apa yang mereka minta samar-samar, aku akan menolak mereka langsung. Walau uang yang menjadi bayarannya mampu membuatku hidup tenang selamanya."

"Aku sependapat dengamu soal ini."

Mima diam sejenak membaca bukunya. Membiarkan otak mereka menyusun apa yang harus dibicarakan.

"Ngomong-ngomong, di kota ini iblisnya baik-baik ya. Kemarin ada yang menawariku pijat dan bahuku rasanya langsung ringan." Ucap Miyuki memulai basa-basi.

"Hmm..." Mima hanya membalas singkat, dia tidak tertarik dengan basa basi yang omong kosong. Lebih suka yang berbobot seperti teknik berpedang atau yang lain.

"Dan apa kau lihat kemarin, ada iblis dari pihak Shuten-douji."

Pupil mata Mima langsung menatap Miyuki tajam. Meminta penjelasan lebih lanjut dan lebih jelas.

"Kau tidak lihat? Padahal mereka ada di kamar sebelah lo. Oh, kau tidur lebih awal ya." Miyuki tertawa kecil, tidak mengindahkan sirat mata serius Mima. Malah Miyuki lebih enak menatap kedai, meneliti setiap insan yang ada di sana. Baik manusia atau iblis, "aku rasa, mereka juga dipanggil kaisar."

"Tujuan mereka?"

"Mana aku tahu. Kan aku cuma kebetulan lihat."

"Tidak berguna."

"Masih mending daripada kau yang tidak sadar." Balas Miyuki.

Mima hanya mendengus.

Shuten-douji, kaisar dari pihak iblis, sekaligus kaisar ketiga yang memimpin kaum iblis untuk berdamai dengan pihak manusia. Walau sangat suka mabuk dan mengakui sangat suka menjahili kedua belah pihak, terutama dalam pesta, dia adalah kaisar yang tidak akan mengambil resiko besar untuk memulai perang. Lebih tepatnya tidak akan memulai perang. Karena pihak manusia sudah mengancam akan menghabisi para iblis jika melanggar janji dengan pedang yang dibuat khusus untuk menghabisi para iblis, yang nanti pedang itu akan diberikan pada salah satu samurai. Dan Shuten-douji sendiri sudah melihat langsung bagaimana kuatnya pedang itu, pedang yang tersimpan di kuil kota Kyoto.

Namun bukan berarti dari pihak iblis tidak mempunyai sebuah ancaman yang membuat pihak manusia juga tunduk pada mereka. Mereka memiliki iblis terkuat, kaisar paling kejam dan rubah terlarang. Shuten-douji akan membangkitkan mereka berdua kalau pihak manusia juga melanggar janji. Jadi kedua belah pihak imbang dalam saling mengancam. Hanya saja, hal ini tidak diketahui oleh kalayak umum. Hanya mereka para tetua penting dan pihak inti kekaisaran.

Niku Udon milik Miyuki sudah tiba. Setelah berujar, "Itadakimasu!" Miyuki menyeruput udonnya dengan lahap dan senang. Dia menikmati setiap rasa yang terserap di mie udon atau kuahnya. Terutama mencampurkan telur setengah matangnya dengan daging tipis yang sudah direbus dengan bumbu khusus yang berpondasi pada rasa kecap. Membuat siapa saja jadi ketagihan untuk meminta mangkuk kedua.

"Ngomong-ngomong Miyuki, kau kan tidak terikat tuan manapun, lalu bagaimana caramu mendapatkan uang?" tanya Mima penasaran.

"Hmm?" Miyuki menyeruput mienya lalu mengunyahnya. Dia menelannya benar-benar baru menjawab pertanyaan Mima, "berburu lalu aku jual."

"Hanya begitu?"

"Barang buruanku spesial kok."

Mima jadi sedikit penasaran, "Babi hutan?"

"Yakuza. Lebih tepatnya para pemberontak." Balas Miyuki cepat, dia kembali memakan udonnya yang mau habis.

"Pemberontak ya," Mima diam sejenak, "Mereka memang masalah terbesar kekaisaran saat ini. Tidak terima satu kasta dengan para iblis. Segerombolan makhluk yang merepotkan. Tapi akhir-akhir ini pihak mereka sebakin banyak saja, aku dengar mereka juga sering menjarah beberapa desa kecil di daerah selatan."

"Karena itu banyak penduduk daerah selatan yang kabur ke pusat kekaisaran mencari perlindungan, baik iblis atau manusia. Kelompok ini juga tidak ragu membunuh anak-anak."

"Jadi begitu, kau menerima tawaran mereka karena tidak terima dengan kebengisan mereka." Ucap Mima mengambil kesimpulan sendiri.

"Tidak."

"Eh, lalu?"

Miyuki sudah menghabiskan udonnya, dia meminum sedikit tehnya untuk menyegarkan kerongkongannya, "Aku bebas membunuh siapa saja di sana."

Mulut Mima jadi terbungkam, dia tidak tahu harus membalas apa yang benar.

"Aku jujur, sangat suka perang. Aku suka membantai. Tapi kalau aku melawan kekaisaran pasti aku akan menjadi buron dan suatu hari akan ditangkap. Nasib akhirku bisa saja dipenggal atau disuruh harakiri. Aku tidak mau seperti itu. Apalagi kalau aku jadi buron, aku tidak bisa mendapatkan pedang itu."

"Oh, maksudmu Majiwari o Tsuranuku Me ya?" tanya Mima yang paham pedang mana yang dimaksud Miyuki.

Miyuki mengangguk, "Ya, kau tertarik bukan?"

"Aku memang tertarik. Pedang yang katanya bisa menghabisi semua iblis yang ada di tanah ini."

"Kalau aku memegang pedang itu, semua pasti tunduk padaku. Dan aku bebas mendapatkan apa saja yang aku mau."

"Kau memang sialan." Komentar Mima.

"Thanks."

Miyuki menghabiskan teh hijaunya dan meninggalkan uang koinnya di atas meja, "Aku akan bersiap. Setelah itu kita pergi ke istana bersama." Ucapnya lalu berdiri.

"Siapa kau memerintahku?"

Tawa kecil Miyuki terdengar, "Anggap saja kita kawan hari ini." Katanya lalu pergi. Membuat Mima hanya mendengus kecil

.

Bunga yang Terlindungi

.

Ketika pintu terbuka, Miyuki dan Mima disambut langsung oleh kaisar yang sudah menjabat selama tiga puluh tahun lebih. Senyumnya yang seperti bisa membaca membaca apapun, membuat musuh siapa saja langsung menyerah. Apalagi hobinya yang seorang penjudi. Tidak diraguka lagi kalau dia berbahaya.

Sakaki Eijirou. Kaisar ke dua puluh tujuh. Seorang kaisar yang dianugerahi sebuah kekuatan untuk melihat masa depan.

"Salama datang, Miyuki Kazuya, Mima Souichirou." Sambut sang kaisar tanpa berpindah dari tempat duduknya. Ditemani oleh seorang pemuda yang berpakaian cukup indah, wajahnya ditutupi oleh kipas bermotif bunga sakura merah yang indah dan abdi setianya yang seorang adipati terpecayanya, "Masuklah."

Kedua samurai ini pun masuk dan mengambil duduk di tempat yang sudah disediakan, berhadapan langsung dengan sang kaisar. Baik Mima maupun Miyuki sejak tadi tersenyum, tapi terselimuti rasa canggung. Ini pertama kali bagi keduanya berhadapan langsung dengan sang kaisar. Jantung mereka bertedetak keras.

"Tesshin, tinggalkan kami berempat." Titah sang kaisar.

"Baik, Eijurou-sama." Tanpa melawan, sang adipati, Kataoka Tesshin meninggalkan ruangan itu dan menutup pintu. Menjaga ruangan dari luar. Meninggalkan keempat orang di dalam.

Tangan Miyuki berkeringat dingin. Senyumnya bisa luntur kapan saja kalau makin canggung bergini. Sementara Mima kakinya sudah kesemutan, padahal belum duduk selama lima menit. Membuat mereka jadi berpikir lagi kalau seumpama ingin menolak permintaan kaisar yang samar-samar.

Sakaki Eijurou tertawa melihat bagaimana kakunya ekspresi kedua samurai yang dikabarkan sama kuatnya ini. Pemuda di sebelahnya hanya menutup wajahnya dengan kipasnya, sepertinya ikut tertawa juga walau menahannya sekuat tenaga.

Siapa pemuda ini?

"Kalian terlalu kaku, rileks sedikit. Aku tidak akan menghukum mati kalian. Tenang saja." Ucap Eijirou, "aku memanggil kalian ke sini bukan karena jumlah orang yang kalian bunuh. Kita hidup di dunia yang kejam, jadi sudah menjadi kewajaran kalau tangan kita ternodai darah."

Mima dan Miyuki saling bertatap muka sejenak. Mereka menarik napas dalam mengeluarkannya dari mulut, membuat tubuh mereka rileks. Perasaan dan jantung mereka juga.

"Eijurou-sama, sebenarnya ada keperluan apa anda memanggil kami?" tanya Mima langsung ke intinya.

"Anda tidak mungkin memanggil kami berdua tanpa alasan." Sambung Miyuki.

"Mengenai itu," Eijurou berdiri dari singgasananya sambil membawa kedua kotak panjang. Menaruh keduanya di hadapan Miyuki dan Mima. Dia membukanya, menunjukkan sebilah katana di masing-masing kotaknya. Pedang yang memiliki perpaduan warna hitam dan putih, beda kotak beda pondasi dan corak. Yang satu berdasar warna hitam dengan corak naga putih. Yang satunya lagi berdasar warna putih dengan corak naga hitam. Membuat Miyuki dan Mima langsung tertarik dengan kedua pedang yang sudah dipastikan sangat tajam dan antik ini.

"Ini adalah Majiwari o Tsuranuku Me."

"Eh?" kaget kedua samurai, "Maaf kaisar, yang kanan atau yang kiri?" tanya Mima. Karena di depannya ada dua katana.

"Keduanya."

"Keduanya?!"

Eijurou tertawa kecil, "Kalian pasti kaget, tidak menyangka kalau Majiwari o Tsuranuku Me ada dua buah." Tebak Eijurou, "Awal aku diberitahu juga kaget. Jadi reaksi kalian sungguh membuatku bernostalgia."

Tangan Eijirou menunjuk pedang dengan landasan putih bercorak naga hitam, "Yang ini Hitsuna Hinsa-sa no Kurayami, kemudian yang ini," Eijurou menunjuk pedang yang bercorak dan berlandasan kebalikan dari yang satunya, "Junsuina Hikari no Shizukesa. Jika disatukan mereka menjadi Majiwari o Tsuranuku Me."

Kedua katana ini membuat sang samurai terpukau. Walau sudah berumur ratusan tahun lebih, kedua katana ini terlihat seperti masih baru saja keluar dari bilasan tangan pengerajin katana yang lihai. Tangan Mima dan Miyuki gatal itu memegangnya dan menarik bilah pedangnya dari sarungnya.

"Aku berikan kedua katana ini pada kalian."

"A-anda serius, Eijurou-sama?" kaget Mima. Sementara Miyuki yang mendengar itu langsung mengambil yang bercorak naga hitam. Dia entah kenapa tertarik dengan Hitsuna Hinsa-sa no Kurayami. Ketika ditarik ganggangnya, bilahnya yang mengkilat mulai terlihat. Berwarna hitam dan sudah dipastikan ketajamannya. Miyuki seperti menemukan setengah dari jiwanya yang hilang rasanya. Lancang? Tidak tahu malu? Kalau sudah dikasih ya ambil saja.

"Aku serius. Ambillah."

Mima ragu-ragu. Tapi akhirnya dia mengambil katana yang satunya dan menarik ganggangnya.

Tidak seperti milik Miyuki, Junsuina Hikari no Shizukesa sendiri memiliki bilah pedang berwarna putih, pantulan apa saja seperti tercermin dengan jelas di sana. Mima ingin menguji ketajaman pedang ini secepatnya.

"Tapi kenapa kaisar memberikan pedang ini kepada kami secara cuma-cuma? Apakah ada maksud di balik ini?" tanya Miyuki. Dia memasukkan kembali bilah pedangnya pada sarungnya.

"Benar." Balas Eijirou. Dia kembali ke singgasananya dan duduk, "Aku ingin kalian melindungi keponakanku."

"Keponakan?"

"Eijun." Panggil Eijirou pada pemuda di sebelahnya.

Eijun melipat kipas yang sejak tadi menutupi wajahnya, dan jujur membuat Miyuki maupun Mima penasaran sejak tadi, siapa anak ini karena memakai pakaian yang indah dan sangat feminim? Dan sekarang pertanyaan mereka terjawab. Sosok dibalik kipas bercorak indah itu memiliki mata lebar dengan iris coklat yang samar-samar memiliki garis emas, mengingatkan keduanya pada legenda Son Goku. Rambut berhelai warna coklat gelap dihiasi oleh pin berupa daun dan bunga kaca piring yang indah. Seorang pemuda yang memakai kimono perempuan. Kecantikannya, keindahanya, membuat Miyuki dan Mima terpukau, sama sekali tidak bergerak, seakan dunia di sekitar mereka membeku begitu saja. Seandainya jakun itu tidak ditutupi, semua pasti sudah salah paham kalau yang ada di depannya ini adalah seorang pemuda, kira-kira umurnya baru enam belas tahun.

"Ini keponakanku, namanya Sawamura Eijun. Aku ingin kalian melindunginya." Jawab Eijirou, "Karena dia adalah sang darah suci."

"Sang darah suci?!" kaget keduanya.

"Yang katanya akan dinikahkan dengan sang darah terlarang dari kaum iblis?" tanya Mima memastikan.

"Ya."

Miyuki menatap Eijun lama, "Tapi dia laki-laki, mungkin."

"Itulah masalahnya," jawab Eijirou, "aku yakin pihak iblis juga tidak akan percaya dengan hal ini. Eijun laki-laki, sementara sang darah terlarang juga laki-laki. Mereka pasti berpikir kalau aku hanya main-main saja. Tapi memang inilah kenyataannya."

"Maksud anda, kalau mereka tahu bisa terjadi perang kembali?"

"Itu benar." Eijirou mengusap rambut keponakannya lembut, "Aku secara pribadi menentang perjanjian ini. Seandainya yang terpilih adalah rakyat biasa atau seorang miko, maka aku akan merayakannya besar-besaran dan membuat kedua pasangan ini mau menerima satu sama lain. Tapi aku tidak menyangka yang terpilih adalah Eijun. Ini membuatnya harus membuang mimpinya menjadi seorang kesatria. Dan seandainya rakyat tahu..."

"Akan ada kekacauan di mana-mana." Sambung Mima mulai paham akan situasi.

Eijirou mengangguk, "Para biksu sudah mengajukan saran untuk menggantikan sang darah suci dengan yang lain. Menipu bisa dibilang, tapi hal itu tidak mudah. Sang darah terlarang bisa langsung tahu kalau orang yang kami ajukan apakah asli sang darah murni atau bukan. Dan kalau kami menipu, itu akan sangat berbahaya. Apalagi mereka membangkitkan Kaisar Sutoku dan Kitsune hanya untuk memastikan perjanjian yang dibuat ratusan tahun lalu berjalan lancar."

"Begitu, jadi maksud anda memilih kami berdua dan memberi kami Majiwari o Tsuranuk Me adalah untuk menunjukkan kalau seumpama mereka mengamuk, pihak manusia bisa mengatasi amukan itu." Ucap Miyuki menyimpulkan, dia menompang dagunya sejak tadi sambil berpikir.

"Benar sekali."

"Tapi apakah itu semua tidak terlalu beresiko, Eijirou-sama?" tanya Mima.

"Memang sangat beresiko. Karena itu aku minta kalian mengawal Eijun. Dan lagi aku tidak tahu bagaimana caranya, pihak pemberontak tahu soal sang darah suci adalah seorang laki-laki dan pasti mereka akan memanfaatkan hal ini."

Mima dan Miyuki cukup tertegun mendengar itu. Mereka tidak menyangka informasi ini sudah jatuh ke tangan musuh yang lebih berbahaya daripada kaum iblis.

"Tinggal menunggu waktu saja sampai berita ini tersebar. Tapi aku sudah menaggulanginya." Kata Eijirou.

"Bagiamana cara anda?" tanya Mima lagi.

"Memanipulasi kepercayaan rakyat."

Mima membelalakkan matanya tidak percaya. Miyuki sendiri tersenyum miring, dia tertarik dengan tindakan yang diambil sang kaisar.

"Sejauh ini, yang bisa menemuiku langsung hanyalah keluargaku yang paling dekat, kanselir, dan beberapa orang kepercayaanku. Yang lain dari itu, aku hanya memperlihatkan siluetku saja. Termasuk siluet Eijun. Jadi para bangsawan percaya kalau Eijun adalah perempuan. Sementara untuk rakyat, aku terkadang menyuruh Eijun untuk sesekali pergi ke kuil dan berdoa. Dan untungnya, semua menyimpulkan kalau Eijun adalan perempuan."

Mima menatap Eijun tak percaya, "Dia sampai sejauh itu hanya untuk merubah fakta?"

"Aku akan melakukan apapun untuk kedamaian rakyatku," seru Eijirou serius, "karena itu, apakah kalian berdua mau membantuku?"

"Saya mau." Balas Miyuki cepat, "Anda sudah memberikan Hitsuna Hinsa-sa no Kurayami pada saya secara cuma-cuma. Pusaka seperti ini dan perang yang ada di depan mata, saya sangat tertarik untuk ambil alih."

Sementara Mima menatap Miyuki, Eijirou, dan Eijun bergantian. Dia memejamkan matanya berpikir sejenak, memikirkan semua konsekuensi atas tindakannya, "Saya tidak ingin membunuh mereka yang tidak bersalah. Tapi saya juga tidak ingin perang terjadi."

"Jadi?"

"Saya bersedia."

Eijirou tidak bisa menahan senyumnya. Dia menatap Eijun lama lalu kembali pada kedua samurai, "Besok lusa akan diadakan jamuan makan malam dengan kaum iblis. Saat itu sang darah terlarang akan dibawa. Jadi kalian harus benar-benar melindungi Eijun."

"Baik!"

.

Bunga yang Terlindungi

.

Walau bilang harus melindungi, Mima dan Miyuki tidak tahu harus melakukan apa. Semenjak disuruh harus bersama dengan Eijun selama dua puluh empat jam penuh, mereka termakan rasa bosan. Hanya duduk di luar kamar Eijun dan menikmati teh hijau dan cemilan mereka. Tidak ada kegiatan lain.

Biasanya untuk mengisi waktu luang Mima akan berlatih. Dan kalau Miyuki memenuhi permintaan orang-orang walau hanya pergi mencari jamur di hutan. Daripada harus menganggur begini. Mereka bisa lumutan kapan saja.

"Aku ingin mencoba katanaku." Ujar Mima tiba-tiba.

"Sama." Balas Miyuki.

Mereka sama-sama menghela napas.

Mima membalikkan badan menatap pintu geser yang ada di belakangnya, "Kira-kira apa yang dilakukan pemuda itu di dalam ya?" gumamnya bertanya-tanya.

"Dandan mungkin."

"Dia laki-laki."

"Tapi terpaksa berpakaian perempuan kan?"

"Iya sih." Mima kembali menatap taman di depannya yang sangat indah, "aku jadi penasaran, bagaimana rasanya pakai baju perempuan."

"Mau coba?"

"Tidak, terima kasih."

"Katamu penasaran." Goda Miyuki, "kalau penasaran coba saja. Kita bisa minta tolong dia." Jari telunjuk Miyuki menunjuk pintu di belakangnya, yang dimaksud adalah Eijun.

"Kau saja. Aku sudah puas dengan pakaianku sendiri."

Miyuki hanya tertawa mendengar itu.

"Jadi sampai jamuan makan malam tiba, kita berdua hanya duduk di sini begitu?" Mima mulai berdiri, dia capek duduk."

"Sepertinya begitu."

Mima memakai sandalnya dan pergi, "Aku mau jalan-jalan dulu. Kau yang jaga. Nanti kita gantian."

"Wah wah, seenaknya sendiri." Tapi bilang begitu, Miyuki membiarkan Mima pergi. Jadi dia hanya sendirian menjaga Eijun yang entah di dalam melakukan apa.

Kelopak mata Miyuki terpejam, memanggil memorinya yang membentuk wujud Sawamura Eijun yant terlihat sangat cantik walau dia laki-laki tulen. Jantung Miyuki berdegup kencang saat menatap iris coklat dengan balutan warna emas yang indah itu. Dia ingin menatapnya lekat tanpa perlu berkedip, rasa sangat disayangkan kalau harus membuang waktu sepesekian detik untung dipanglingkan sejenak. Kecantikan itu tidak bisa tidak dia acuhkan. Menyeret Miyuki pada arusnya yang tenang dan memabukkan.

Sejenak, Miyuki iri pada sang darah terlarang. Iblis yang sangat beruntung bisa mendapatkan Sawamura Eijun.

Tapi seandainya perang terjadi dan kaum iblis menolak Eijun, biar Miyuki yang membawanya pergi dari tanah ini dan hidup berdua jauh dari sini. Membangun cerita baru yang saling melengkapi.

Seandainya. Selama itu tidak terjadi, Miyuki tidak berani. Dia hanya akan menjadi sang pengawal yang diam-diam menikmati kecantikan sang darah suci.

Bersama dengan rivalnya yang sebenarnya pergi untuk menenangkan diri. Dia juga terus berpikir tentang betapa indahnya sang darah suci.

Tidak terelakkan.

Mima ingin melamarnya langsung. Mendengar suaranya, membawanya mengarungi tanah Yamato, dan setiap hari menikmati senyumnya. Dan entah kenapa Mima mempunyai sebuah mimpi kecil. Berdua di bawah bunga sakura yang bermekaran, mereka berdua duduk sambil menikmati sake yang nikmat. Saling bersandar dan menggenggam tangan tanpa mau melepasnya.

Mimpi yang tidak mungkin terjadi. Mima harus mengingat posisinya.

Sang darah suci diciptakan hanya untuk sang darah terlarang. Aturan yang sudah tercipta sejak ratusan tahun lalu. Dirinya yang ditunjuk untuk melindungi, harus mematuhinya dengan sepenuh hati dan jiwa.

Apapun untuk kedamaian tanah Yamato. Apapun untuk kerukunan dua kaum. Apapun untuk terciptanya perjanjian yang sudah lama ditakdirkan. Tidak bisa dibantah.

Tidak perlu yang ada dibantah.

Mereka berdua harus merelakan sang darah suci, berdoa di hati paling kecil mereka kalau akan ada sebuah keajaiban yang membuat sang darah suci berpangling pada mereka.

.

Bunga yang Terlindungi

.

Eijun mengendap-endap dari balik semak-semak. Bersembunyi dari para penjaga istana yang berpatroli. Diam-diam melewati sebuah lubang bata yang memisahkan istana dengan hutan lebat. Kemudian berlari secepat mungkin menuju ke sebuah sungai yang berada di seberang hutan. Jalanan yang gelap dan bulan yang hanya bisa menyinari dari sela-sela dedaunan membuat jalan yang Eijun tempuh menjadi susah. Dia sedikit berhati-hati tapi juga ingin cepat-cepat.

Di pinggiran sungai, sudah ada iblis yang memakai topeng untuk menutupi identitasnya. Atensinya langsung berpangling pada langkah kaki Eijun yang mendekat. Dia berbalik dan merentangkan kedua tangannya. Menyambut Eijun yang menerjangnya dengan pelukan erat.

"Kau lama." Ucap suara yang dalam itu, namun ada sedikit sirat kekhawatiran di sana.

"Eijirou-sama sudah menunjuk pengawal untukku." Jawab Eijun, dia membenamkan wajahnya pada bahu sang iblis.

Tangan besar yang dihiasi kuku tajam itu mengusap lembut rambut Eijun, "Mereka kuat?"

Eijun menggeleng tidak tahu, "Tapi Eijirou-sama memberikan mereka Majiwari o Tsuranuku Me."

"Begitu ya." Iblis itu melepas topengnya dan menunjukkan wajahnya yang disinari cahaya rembulan, "Si tua bangka sialan itu juga membangkitkan Kaisar Sutoku dan Kitsune."

"Maksudmu, Nitta Kouzou-sama?"

"Ck, jangan sebut namanya. Malah membuatku semakin kesal."

"Maaf, Masamune." Sawamura menunduk.

Masamune Hongou, sang darah terlarang dari kaum iblis, mengajak Sawamura untuk duduk dan saling menyandarkan diri pada satu sama lain, menatap sungai yang mengalir tenang di bawah indahnya rembulan malam, "Jadi siapa pemegang Majiwari o Tsuranuku Me?"

"Miyuki Kazuya dan Mima Souichirou." Jawab Eijun memejamkan mata, menikmati waktu.

"Oh, si brengsek dan si gila keadiln."

"Pihakmu sendiri bagaimana? Kaisar Sutoku dan Kitsune itu?" tanya Sawamura balik.

Masamune diam sejenak. Dia mendongak menatap langit, "Si tua bangka brengsek itu tidak bisa membangkitkan secara utuh. Tapi kekuatan penuh dan setengah jiwa baru bisa. Mereka menanamkannya pada dua iblis yang tepilih, sebagai wadah garis besarnya. Kaisar Sutoku ditanamkan pada Narumiya Mei dan Kitsune ditanamkan pada Kominato Ryousuke."

"Ohh, mereka kuat?"

"Sangat kuat."

Eijun dan Masamune sama-sama saling diam. Kedua tangan mereka tapi saling bertautan erat. Menunjukkan bagaimana mereka tidak ingin dilepas walau sudah ditakdirkan bersama.

"Setelah memenuhi perjanjian, ayo kita tinggalkan tanah Yamato dan melupakan perang dingin tidak berguna ini." Ucap Masamune.

"Kau serius?" Eijun sedikit membuka kelopak matanya, "Kouzou-sama tidak mungkin membiarkan semuanya berjalan semudah itu."

"Karena itu kita lebih baik pergi. Sebelum perang benar-benar pecah."

"Perang ya," Eijun menegakkan duduknya, "sejujurnya aku tidak tahu kenapa kita harus berperang. Apakah karena ego atau ada kebutuhan lain?"

"Tidak perlu ada jawaban untuk asal mulanya sebuah peperangan. Keduanya sama-sama merugikan. Seandainya kita menuruti apa kata kedua kubu, kita hanya akan menjadi boneka dan kau tidak bisa menjadi kesatria seperti yang kau inginkan, Eijun. Terus terjebak dibalik kimono itu."

Tangan Eijun mengepal, dia hanya diam tanpa membalas ucapan Masamune yang memang benar adanya.

"Setelah kita diresmikan, kita langsung pergi dan berkelana. Kau bebas menjadi kesatria dan kita bebas ke manapun yang kita mau."

"Asal kau berjanji selalu bersamaku." Balas Eijun cepat, menatap lurus pada manik gelap Masamune.

"Aku janji."

Eijun tersenyum kecil. Dia memejamkan matanya dan meminta sebuah kecupan kecil yang hangat dan lembut. Masamune sendiri tidak bisa menolak. Dia ikut memejamkan kelopak matanya dan mempertipis jarak diantara mereka, menyatukan kedua bibir dalam hitungan detik yang bergulir lama. Seakan menghentikan ruang dan waktu, dunia hanya milik mereka berdua. Tidak peduli dengan hal di luar sana.

Tangan Masamune mulai melingkar pada pinggang ramping Eijun, membuat tubuh mereka jadi lebih dekat dan memeluknya sangat erat. Dia bisa merasakan kedua tangan Eijun melingkari lehernya dan memperdalam ciuman mereka.

Begitu Eijun sadar ketika sudah terlepas dari ciuman yang entah kenapa mulai memanas, dia sudah terbaring di atas rerumputan. Di atasnya Masamune menatap matanya lekat, mengutarakan semua yang tidak bisa diucapkan bibir ini. Di depan Eijun, Masamune menunjukkan ekspresi yang memilukan hati, Eijun tidak bisa meninggalkannya. Ingin selalu bersamanya walau dihadang berbagai macam bahaya yang membuat mereka berdua mungkin tidak akan selamat.

Selama ada satu sama lain, maka semuanya akan baik-baik saja bagi mereka berdua.

Eijun merentangkan kedua tangannya, menyambut Masamune pada pelukannya. Memberikan kehangatan pada keduanya. Membuat malam itu menjadi malam yang sangat panjang bagi kedua insan yang ditakdirkan bersama.

.

.

.

Bersambung...