Ace of Diamond /ダイヤのA © Terajima Yuuji

Questions © Aiko Blue

Saya tidak mendapatkan keuntungan komersil macam apapun atas pembuatan fanfiksi ini


Kazuya lagi-lagi menghela napas berat, memijit pelipisnya guna mengusir pening.

"Yosh! Kau siap?" Eijun berseru padanya dengan penuh semangat, matanya berbinar-binar dan tampak sejuta kali lebih berkilauan dari biasanya. Kazuya hanya sanggup mengeluh dalam hati, ia memandangi dengan horror judul wacana yang terpampang nyata pada layar tablet PC di tangan Eijun saat ini.

Buktikan Kesetiaan Pacar Kamu dengan 13 Pertanyaan Ini, Berani?

Sumpah, itu norak dan konyol. Batin Kazuya berseru protes, tapi Eijun benar-benar ogah peka, dan tetap bersikeras ingin melanjutkan permainan bersama Kazuya.

"Oke, di sini tertulis; kamu yakin pacarmu setia? Buktikan kalau mereka setia dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Jika jawaban mereka meyakinkan, maka kamu gak perlu ragu dengan kesetiaan mereka sama kamu. Nah, kedengarannya bagus, kan?"

Kazuya mendengus. "Kedengarannya bodoh."

Eijun balas melotot galak. Kazuya otomatis menangkat tangan tanda menyerah.

"Oke, kita mulai saja." Eijun memutuskan. "Pertanyaan pertama, apakah kamu menerimaku apa adanya?" Tanya Eijun serius, matanya mengunci telak ke mata Kazuya.

Kazuya menghela napas, benar kan? Ini memang bodoh.

"Itu mustahil."

"APA KATAMU?!"

"Eijun, kita bukan anak SMP." Ia menjawab lugas. " Jika kita menerima satu sama lain apa adanya, maka kita tidak akan pernah berkembang. Ada beberapa sikap dan sifat yang memang harus kita perbaiki agar kita bisa melangkah maju dan menjadi lebih baik, bukankah begitu?"

Urat tegang di leher Eijun seketika mengendur, dan ekspresinyapun menjadi lebih manusiawi. "Well, yah… iya sih. Tapi, ugh… Kazuya, kau tidak seharusnya menjawab dengan logis begitu!"

Kazuya mendelikkan bahu. "Kalau begitu lanjut saja ke pertanyaan berikutnya."

Eijun tampak ingin protes, namun tidak jadi. Ia kembali membaca tulisan di tabletnya, lalu memandang ke arah Kazuya lagi. "Jika kamu harus membuktikan kesetiaanmu dengan tiga kata, kamu akan bilang apa ke aku?"

"Kau sangat bodoh."

"HEY! Pertanyaannya tentang tiga kata untuk membuktikan kesetiaan! Kenapa kau malah menghinaku?!"

"Itu jawabanku yang sebenarnya. Kau sangat bodoh—itu adalah tiga kata paling tepat untuk membuktikan kesetianku padamu."

"Teme! Bagaimana bisa mengataiku bodoh berarti setia?!"

Kazuya mendengus. "Justru karena itu, aku tahu kau sangat bodoh dan aku tetap bertahan denganmu. Artinya aku setia, kan?"

"Argh! Jawabanmu bikin kesal!"

"Next!"

Eijun memasang wajah cemberut, namun tetap melanjutkan ke pertanyaan berikutnya. "Kalau mantanku mendekatiku, apa yang akan kamu lakukan?"

Satu alis Kazuya terangkat tinggi. "Memangnya kau punya mantan?"

Eijun mencebik. "Geh! Lupakan saja. Pertanyan berikutnya, kenapa tidak pacaran dengan dia saja? Dia kan lebih kaya/cantik/ganteng/pintar, atau yang lainnya?"

Kazuya menatap Eijun dengan mata menyipit. "Dia siapa yang kau maksud?"

"Aku tidak tahu!" Jawab Eijun bersungut-sungut. "Di sini hanya tertulis dia! Jawab saja, Kazuya."

"Mana bisa aku jawab kalau pertanyaannya sendiri tidak jelas?" Kata Kazuya datar. "Sudah, langsung saja ke pertanyaan selanjutnya. Atau sudahi saja permainan konyol ini sekarang."

"Enak saja!" Sahut Eijun tak terima. "Masih ada sembilan pertanyaan lagi, tahu!"

Kazuya menelan ludah, ini akan jadi hari yang berat.

"Sampai kapan kamu akan mencintaiku?"

"Sampai si bisu berbicara kepada si tuli, bahwa si buta melihat si lumpuh berjalan."

Eijun mengernyit tak suka, meski wajahnya merah padam. "Cih, nggak usah sok puitis begitu. Aneh banget!"

"Kan, salah lagi aja."

"Pertanyaan berikutnya, ingatkah kamu dengan hari ulang tahunku?"

"15 Mei."

"Mantanmu lebih baik dibandingkan aku, kenapa kamu memilihku dibandingkan dia?"

Kazuya menghela napas berat, ia rasa ini akan jadi rekor baru untuknya dengan kriteria banyaknya ia menghela napas sepanjang satu hari. "Lagi-lagi pertanyaan tidak bermutu. Kau tahu aku tidak punya mantan."

"Aku cuma membaca yang tertulis di sini, jadi itu bukan salahku!" Protes Eijun tak terima.

"Oke, oke." Kazuya mengalah. "Cepat ke pertanyaan selanjutnya, ini terasa semakin konyol."

"Siapkah kamu jika nanti kulitku keriput, dan aku tidak serupawan yang kamu lihat saat ini?"

Sudut bibir Kazuya berkedut geli. "Rupawan?" Ia nyaris terpingkal mendengar kata itu.

Eijun memberinya tatapan super galak. Tampak tersinggung. Kazuya bisa membaca makna sorot matanya; Jadi menurutmu aku jelek?!

Kazuya cepat-cepat berdeham. "Eijun, saat kau keriput, aku juga akan keriput. Apa masalahnya kalau begitu?"

Bibir Eijun kini mengerucut lucu. Tampaknya ia tetap tidak puas dengan jawaban yang Kazuya berikan. Ia bahkan masih sempat mengerutu kecil seperti ; kau tidak menjawabnya dengan serius, jawabanmu dari tadi ngaco semua, atau kau kebanyakan mendebat pertayaannya, dasar menyebalkan.

Sebenarnya Kazuya justru menganggap situasi ini mulai berbalik lucu dan menguntungkannya. Pertanyaan-pertanyaan itu memang konyol dan tidak masuk akal. Tapi melihat betapa seriusya Eijun mengintrogasinya, entah mengapa membuatnya merasa senang. Jika Eijun sampai seperti ini guna menguji kesetiaannya, bukankah itu berarti secara implisit menerangkan bahwa Eijun takut kehilangannya?

"Kau senyum-senyum sendiri."

Kalimat itu membuyarkan pemikiran Kazuya, ketika menoleh, ia sudah dihadapkan dengan tatapan penuh selidik dari sepasang iris emas Eijun. "Apapun itu yang kau pikirkan, aku punya firasat buruk tentangnya." Ia menuding dengan tajam, namun Kazuya justru terkekeh geli.

"Well, kita bahkan sudah bisa membaca pikiran satu sama lain. Tidak perlu ada uji-uji lagi sebenarnya."

"Meh, itu uji kekompakan. Ini kesetiaan, lain soal!"

Kazuya memutar bola mata. Ada berapa banyak ujian sebenarnya? "Baiklah, langsung saja ke pertanyaan selanjutnya, masih ada?"

"Jelas ada." Kata Eijun, masih tersisa sedikit sinis dalam suaranya, tapi kemudian ia mengambil napas dalam-dalam dan kembali bertanya. "Kapan kamu akan mengenalkanku ke orang tua kamu?"

Tampaknya bukan hanya Kazuya yang terguncang dengan pertanyaan itu, tapi Eijun juga sama. Mereka sama-sama diam, lalu saling beradu pandang. Ini topik sensitif, saking sensitifnya sampai-sampai terasa tabu. Kazuya memutuskan untuk memecah keheningan, ia berdeham singkat sebelum menjawab. "Secara teknis, sebenarnya aku sudah mengenalkanmu pada ayahku, kan?"

Sekarang Eijun salah tingkah. Pemuda itu tampaknya mulai gugup dan mengusap tengkuknya berkali-kali dengan canggung. "Yah… ku rasa begitu." Ia berkata, kemudian membuang napas kasar dan mengacak rambutnya. "Argh, sial! Pertanyaan ini tidak sesuai!"

Kazuya mengulas senyum. "Makanya ku bilang ini konyol."

Eijun mengeluarkan satu dengus sebal sebelum kembali menekuri teks di layar tablet. "Siapkah kamu menerimaku meski aku selalu sibuk dengan pekerjaanku?" Lalu ia mengerutkan alis, berpikir serius. "Oh, tunggu… rasanya pertanyaan ini terbalik. Yang sok sibuk itu kau, bukan aku!"

Kazuya mencoba tersenyum meskipun hatinya terasa miris. Sok sibuk? Ia bahkan bersedia membuang waktunya untuk melakukan permaian uji kesetiaan konyol seperti ini, dan Eijun masih mengatainya sok sibuk? Dunia memang kejam.

"Skip saja kalau begitu." Kazuya mengajukan solusi. "Atau kau mau membalikkan soalnya? Biar aku yang bertanya padamu."

Eijun menggeleng kuat-kuat. "Tidak, tidak, tidak. Kau gampang besar kepala. Kita langsung saja ke pertanyaan yang lain." Keputusan bulat, mutlak, absolut, dan egois. Naluri seorang pitchernya benar-benar muncul di saat-saat yang tidak menyenangkan bagi Kazuya.

"Selanjutnya, jika kita harus menjalani Long Distance Relationship, masihkah kamu mencintaiku?"

Hidung Kazuya berkerut. "Long Distance Relationship?" Ulangnya ragu-ragu. "Ku rasa itu mustahil."

"APA?! Jadi kau tidak akan bertahan jika kita harus LDR?"

"Kita tidak akan LDR, Eijun." Jawab Kazuya kalem. "Aku akan mengajakmu kemanapun aku pergi."

Eijun merona, tapi buru-buru menyembunyikannya dengan sebuah pertanyaan menantang. "Bagaimana kalau aku yang harus pergi?"

Kazuya angkat bahu tak acuh. "Aku tidak akan mengekangmu. Terserah. Bebas kemana kau ingin pergi. Asal aku ikut."

Eijun merona sampai akar rambut, ia cepat-cepat menggeleng dan bergumam seperti berkumur. "Gombal."

Kazuya menyeringai, ia benar-benar gemas sekarang. "Eijun," ia memanggil, dan Eijun menoleh padanya dengan rona menggemaskan di kedua pipi. "Boleh ku peluk?"

"Tidak." Tandas Eijun tegas. "Lanjut saja ke pertanyaan selanjutnya. Oh, tinggal dua pertanyaan!" Katanya bersemangat, sementara Kazuya diam-diam bernapas lega, kerena akhirnya permainan konyol ini segera berakhir.

"Aku terlahir dari keluarga yang sederhana, siapkah kamu menerima itu semua?"

Kazuya diam dan berpikir. Ia memiringkan kepala, dan menatap lurus-lurus ke wajah Eijun yang juga menatapnya. "Kalau diingat-ingat, bukankah sebenarnya aku yang mengais restu agar diterima oleh keluargamu?" Kazuya bergidik, kembali ingat dengan jelas seperti apa tegangnya ia saat berhadapan dengan ayah Eijun di rumah sakit saat itu.

"Hmm…." Eijun bergumam, berpikir sambil mengusap dagunya. "Sampai sekarang aku masih belum tahu apa yang sebenarnya pernah kau bicarakan dengan ayahku." Ia berkata jujur. "Tapi rasanya sulit membayangkan bahwa ayahku pernah memojokkanmu. Ayahku bukan tipe orang yang kaku dan terlalu serius."

Kazuya tersenyum simpul. Eijun tidak tahu ayahnya bisa berubah menjadi Tuan Intimidasi jika menyangkut putra kesayangannya. Ia jelas-jelas didesak tanpa ampun saat itu. Meski pada akhirnya ayah Eijun tetap menerima Kazuya dengan tangan terbuka, tapi tetap saja, Kazuya masih merinding sampai sekarang jika membayangkan kejadian di taman rumah sakit saat itu.

"Pertanyaan terakhirnya apa?" Tanya Kazuya akhirnya. Ia punya rencana untuk kencan menyenangkan, dan sekarang sudah hampir pukul tujuh malam tapi mereka masih terjebak bersama pertayaan-pertanyaan absurd ini.

Eijun memberinya tatapan penuh pertimbangan, sebelum kemudian angkat bahu samar dan kembali menatap layar tablet. "Siapkah kamu membina keluarga yang bahagia bersamaku?"

Satu.

Dua.

Tiga.

Empat.

Lima.

Eijun merona hebat, sedangkan Kazuya terpingkal puas. "Astaga, Eijun. Kau sedang melamarku?"

"Berisik!" Ia buru-buru mematikan layar tabletnya lalu lekas berdiri. "Pertanyaan ini konyol! Tidak masuk akal! Kita hanya buang-buang waktu!"

Kazuya memagangi perutnya geli. Padahal ia sudah memperingatkan sejak awal, tapi Eijun tetap bersikeras, dan pada akhirnya tiga belas pertanyaan itu justru berbalik menjadi senjata makan tuan. Sadar suasana hati Eijun sedang tidak stabil, Kazuya memutuskan untuk bangkit berdiri, meredakan tawanya, lalu meraih sebelah tangan Eijun untuk mengambil alih perhatiannya.

"Jadi, bisa kita kencan sekarang?"


a/n: Well, hellow! I'm back~ /pergi kamu!

Ini side story Something Between US, jadi latar waktu dalam fanfik ini berkisar antara dua tahun itu, hehe. Dan ini akan jadi kumpulan drabble/oneshoot yang kebanyakan latarnya memang side story something between us, tapi ada juga yang AU lainnya (sebagai alibi dari ide-ide tanggung dan karena saya malas membuat multichapter)/gembel. Nanti saya akan beri hint di awal kalau itu bukan side story.

Oiya, tiga belas pertanyaan itu bisa kalian temukan di IDN TIMES :v saran saya sih kalau kamu dan pasanganmu itu tipe hopeless romantic dan realist, mending jangan coba-coba ikutan ngajuin pertanyaan wkwk/Siapa kau sok ngasih saran.

Thanks for reading, review please?