songbirds and rattlesnake – five, elysium (prisoner/grave keeper.)

disclaimer: identity v (c) netease.

warning: ooc. blood.

sinopsis: ketika lidahnya mengecap delima itu, kore pun tak tahu bahwa ia telah mengikat dirinya dengan maut. [1]

note: dah lama nungguin archive fic lucandrew tp yg nongol cuma dikit. jadi uhhhh ini ditulis untuk mengobati kekecewaan aku sampai banyak fic mereka di sini:(

.


.

Kala itu (kapan, 'kala itu'?), Luca hanyalah anak-anak yang mudah diperdaya kala dihadapkan dengan segala hal yang berkilau.

Matanya menelanjangi apapun itu yang menarik perhatiannya dengan bias cahaya yang menusuk retina, setelah perhatiannya telah seluruhnya diklaim oleh objek itu, ia akan datang berlari, tangannya kebas saking girangnya, meminta permukaan kulitnya menyentuh objek bercahaya itu. Ingin menyentuhnya. Perlu merabanya. Harus memilikinya—

Tanpa sadar, ia telah merusak sesuatu. Tanpa sadar, ia telah membuat orang lain merasa tak nyaman. Tanpa sadar, jemarinya telah menelusuri mata pisau. Tanpa sadar bahwa kulitnya telah mengirim sinyal pada otaknya bahwa ia dalam bahaya, namun ia terus menyentuh pisaunya, hingga kilau mata pisau itu tak lagi nampak, dan yang nampak hanyalah genangan darah di atas meja kayu bengkel.

Ia tak melempar pisau yang telah menyakiti kulitnya, tak juga menuduh dan memfitnahnya dengan sumpah-serapah dan laknat; ia hanya memandang segala hal yang ia lihat dengan bola mata membulat terkejut. Lalu jarinya ia tenggelamkan ke genangan darahnya yang mulai menjadi lautan; bening seperti embun, gelap seperti kematian.

Ketika ia memandang wajahnya di atas riak tebal air itu, ia diperingatkan bahwa kehidupannya tak dapat lepas dari kematian.

Ketika ia memandang luka terbuka di tangannya, menyayat panjang di keempat ujung jarinya, ia melihat merah mengalir yang terus mengulurkan hidupnya pada kematian yang menunggu santai seolah telah tahu—ia tahu bahwa manusia tak dapat mengelak darinya. Tak terkecuali dia. Tak terkecuali kamu.

Ia telah mengklaimku. Ia akan mengklaimmu.

Ah—napasnya tercekat.

(Tarik napas, Luca. Ia sudah mati.)

"Luca!"

Ia tersadar dari surupnya, melepaskan ilham yang ia dapatkan untuk kembali bersama orang-orang hidup. Dokter berlari ke arahnya—dokter perempuan, bersama dengan montir perempuan—botol alkohol konsumsi di tangan. Wanita dokter itu merampas tangannya seolah Luca tak memiliki hak atasnya, matanya teliti menginspeksi luka barunya.

"Ini bukan pertama kalinya kau melukai dirimu sendiri. Nona Reznik bilang kau melamun lagi."

Perih. Ia meringis kala alkohol menyelinap ke bawah kulitnya dengan melewati permukaan kulit yang menganga lebar.

"Maaf, maaf—kau tahu aku, Emily! Aku suka berpikir! Kadang aku pun bisa lupa bernapas kalau asik berpikir!"

Ia tertawa lebar, Tracy terkikik (tidak tahu harus tertawa atau tidak), sedangkan Emily tak sedikitpun tersenyum.

Emily membalut jari-jarinya dengan perban baru usai yang lama terlepas karena pisau yang memotong cukup dalam, wewangian obat-obatan menumpulkan hidungnya dari aroma amis yang semula menginvasi. Ia memandang telapak tangannya; bersih dan profesional. Ia agak sulit menekuk dan mengepal, namun ia memahami betul bahwa ketidaknyamanan ini adalah konsekuensi atas lukanya. Emily mendengus.

"Aku akan meminta Nona Reznik untuk mendepakmu apabila kau kembali kemari. Jangan ke bengkel dan biarkan lukanya sembuh terlebih dahulu. Jangan. Melakukan usaha terlalu keras yang menekan lukanya, dua atau tiga minggu mungkin cukup"

"Satu bulan?! Tapi—"

"Empat minggu, idealnya."

"Aduh! Aku tidak punya waktu untuk menunggu selama itu!" Ia tidak punya waktu untuk duduk diam dan menunggu, mengingat ia memiliki kontrak yang terbatas dengan hidupnya.

Emily memandangnya, dingin. Tidak sedikitpun peduli pada perasaan pasiennya—ia adalah dokter, bukan psikiater yang diminta untuk memerhatikan kondisi emosional pasiennya. "Salahmu."

Tracy mengangkat tangannya malu-malu, "Haiiii, uh, begini... mungkin... hanya mungkin... aku bisa... memberikan sedikit bantuan untuk—"

"Salahnya, tanggungannya, Nona Reznik. Kau tak perlu membantunya." Emily berdiri, ia masih memandang Luca dengan tak peduli—tidak mengapresiasi Luca yang kembali terluka di tengah pekerjaannya. Ia tidak menyukai pasiennya yang membangkang. Ia mengeluarkan jam dari sakunya. "Jangan bekerja selama empat minggu. Sama. Sekali. Jangan."

Lalu ia pergi.

Luca mencibir. "'Biiii jengen kerja cheleme empet minggu' siapa dia seenak jidatnya mengatur?!"

.


.

Esoknya, mengamini apa yang dianjurkan oleh Emily, Luca tak diizinkan berada dekat dengan bengkel. Sembilan langkah mendekati pintu masuk, Robot milik Tracy akan keluar dari peraduannya, dan mendorongnya menjauh. Pada badannya ada notes kecil yang diselotip pada dadanya, tertulis dengan kursif amburadul khas seorang dokter: "AKU MENGAWASIMU, LUCA BALSA!"

Jadi di sinilah ia, berpangku tangan menyaksikan orang lain keluar-masuk bengkel sesuka hati mereka. Helena Adams yang pertama setelah ia didepak pada pagi hari, bingkisan kertas (roti, biasanya) di tangan dengan senyum lebar, tas yang kelewat besar untuk bahunya yang mungil berada pada sisinya.

Selanjutnya Demi Bourbon, wajahnya merah seperti tomat—dan tingkat inteligensinya pun menyaingi buah itu; wanita itu berjalan linglung dan sekali menabrak dinding, ia melayangkan tinjunya—lalu menendang dan meludahi dinding malang itu dengan sewot. Luca hanya menyaksikannya dari kejauhan, tertawa terbahak-bahak menyaksikan Demi yang mulai menggulung lengannya lebih tinggi.

Puas menertawakan Demi yang telah teler di depan bengkel, ia berdiri dari tempatnya.

Perutnya mulai lapar, jadi ia berjalan menuju dapur—namun langkahnya terhenti ketika ia melewati jendela kamar Andrew Kress. Pria itu sedang duduk melamun di atas ranjangnya, memandang apapun itu objek pada tangannya. Luca melangkah mendekati jendela tersebut. Ia tidak dapat melihat apapun—jadi ia melakukan apa yang orang normal lakukan, mencungkil jendelanya terbuka.

Beruntungnya, Andrew tidak mengunci jendelanya dari dalam.

Pria itu segera terlonjak dan bangkit berdiri, objek yang ia amati disembunyikan di belakang tubuhnya. Luca masih berusaha untuk membuka jendelanya lebih lebar agar ia bisa masuk. Andrew memandangnya dengan cemas ketika kaki Luca bisa melompat masuk.

"Halooo, selamat siang!" ia menyapa Andrew dengan enteng. Pria yang disapa menganggukkan kepalanya, kakinya sedikit melangkah mundur. Luca mengamati ruangan yang melingkupinya; seperti kamar-kamar penghuni manor pada umumnya, tidak ada perbedaan mencolok selain sekop yang bersandar di sisi ranjangnya.

Apa yang menarik dari ruangan ini adalah Andrew, yang masih mengamati Luca dengan bola mata merah saga yang kembali mengingatkan Luca pada kejadian kemarin; pada kehidupannya yang tak abadi—segala keterbatasan dan ketidaksempurnaan yang ia miliki sebagai manusia: waktu, potensi, nyawanya sendiri—ia menelan perasaan itu dan tetap tersenyum.

"Kau baik? Aku melihatmu melamun jadi kupikir—"

"Aku baik-baik saja." Balasnya dengan singkat, sedikit defensif. Cepat dan terburu-buru. Luca melenggang semakin mendekati Andrew yang punggungnya telah menempel pada dinding, satu tangannya bersembunyi di balik tubuhnya. Ia menahan Andrew pada posisinya—tubuhnya menggunung di hadapan Andrew yang semakin menciut, membatu di tempat. "Aku... baik-baik saja..."

Walau Luca tak meragukan itu, mantan tahanan itu tetap mendorong topiknya, tangannya mengerat pada lingkar lengan Andrew. "Yakin? Wajahmu pucat loh."

"Itu karena aku—" pria itu membuang pandangannya. "Uhm. Ka-karena... aku..."

Luca mengangkat tangannya, memaksa Andrew untuk mengangkat kepalanya—dan efektif membuat Andrew memandangnya, dan ia memandangnya. Merah tedas memandangnya tepat menembus jiwanya, dan Luca menelan salivanya. Andrew melirik jemarinya, lalu tersenyum kikuk dan bertanya, "Um. Ah—a-apa yang terjadi pada... tanganmu... tuan... Balsa...?"

Ia masih mengamati wajah Andrew—merah seperti hati, merah seperti darah, segan untuk bertemu pandang dengannya. Jendela jiwanya merefleksikan lautan kematian, dan Luca tak dapat memalingkan pandangannya. Merah delima menghipnotisnya—atau meracuninya dengan tipu muslihat subtil—untuk membalas pertanyaannya dengan kejujuran.

Maka jadilah; hanya kebenaranlah yang keluar dari mulutnya, "Aku memotongnya."

"Oh..."

"Ini tidak penting, tidak penting!" ia melepaskan Andrew, yang nampak jelas menghela napas panjang karena ruang bernapasnya dikembalikan. Ia mengayunkan pergelangan tangannya, "Apa yang kau sembunyikan di belakangmu, hmm? Aku penasaran!"

"Oh! Ini—" Andrew tidak mau menunjukkannya, namun Luca mengulurkan tangan kosongnya. "Jam."

"Jam?"

"Ya... kurasa baterainya habis, atau giginya malfungsi... dari kemarin tidak bergerak." Andrew menyerahkannya, akhirnya. Meletakkan jam saku emas tersebut pada telapak tangan Luca yang segera mengamati tangan jam yang tak bergerak untuk memakan detik maupun menit yang berlalu. Ia berjalan menuju ranjang, lalu duduk di sisinya. Andrew mengamatinya dengan tatapan itu

Gelisah.

Luca menelusuri objek emas itu, bercahaya dan mencolok. Tangannya senang menyentuh tiap permukaan objek itu—namun terhenti ketika ia merasakan pandangan cemas Andrew. Ia memaksa senyuman pada bibirnya, "Hei, dengar, besok aku akan kembali. Aku mungkin bisa memperbaikinya, tapi aku tidak membawa peralatanku."

Ia menyerahkan jamnya pada Andrew. Sengaja tidak memberitahunya bahwa Tracy yang 24/7 berada di bengkel jauh lebih berpengalaman dalam apapun itu yang berkaitan dengan jam.

"Te-terima kasih!"

Andrew tersenyum padanya, wajahnya bersinar dan memerah senada dengan bola matanya—semakin mencolok dan membuat Luca ingin meraih dan menyentuh wajahnya, dan lautan merah delima berbinar itu.

Ia menelan niatannya bersama dengan salivanya, lalu dari mulutnya, ia mengeluarkan, "Jangan khawatir."

.


.

Ia kembali pada kamar Andrew, membawa peralatan yang ia curi dari bengkel saat Tracy sedang bermeditasi (jatuh pingsan setelah kelelahan bekerja tanpa jeda dua hari dua malam). Di tengah pengerjaannya, ia mengisi ruang kosong di antara mereka dengan topik percakapan santai—seperti apa harimu? Bagaimana kabarmu? Hingga enam hari kemudian—waktu kerjanya melambat akibat cacat temporal di jari-jarinya, namun ia tetap berusaha dengan meja kayu sebagai pos kerjanya—

"Emily melarangku bekerja di bengkel selama tiga minggu."

Ia melirik Andrew yang duduk di sisi ranjang, mengamati bagaimana wajah pria itu bersimpati padanya. Namun pria itu tidak mengatakan apapun. "Ia menyebalkan, kan?"

"Eh?"

"Emily. Si Dokter. Aku tidak pernah menyukainya."

"Mm. A-aku..." Andrew nampak berpikir keras—ah, orang ini. Tapi tak apa. "Kalau aku... aku tidak menyukai Pengacara itu... Tuan Riley."

Luca berpikir sebentar, berusaha mengingat. "Ah, orang itu. Aku juga tidak menyukainya!" Luca tidak menyukai pengacara—ia pernah salah menempatkan kepercayaannya pada pengacara, dan ke mana pengacara itu membawanya bukanlah pada kebebasan, melainkan tingkatan depresi yang nyaris membuatnya melingkarkan simpul pada lehernya.

Andrew tidak menjawab, ia hanya mengangguk-angguk, matanya fokus memandang jemari Luca yang bekerja untuk menempatkan kembali mekanisme gigi roda jamnya perlahan-lahan—jari-jarinya yang kikuk sulit diajak bekerja sama, namun ia berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaikinya hari ini.

"Kau tahu aku pernah membunuh orang, kan?"

Pernyataan itu membuat bahu Andrew menegang, tubuhnya membatu dan matanya membulat lebar. "Eh...?"

"Aku tidak ingat persis apa yang terjadi, tapi semua orang memanggilku pembunuh dan pengkhianat."

Luca masih mengamati Andrew yang menghela napas lega. "Itu... belum tentu benar, kau... tahu kan?"

Tangannya berhenti bekerja. "Maksudmu?"

"Umm—dulu... semua orang... memanggilku monster, karena ini dan itu—tapi wanita itu bilang... kalau mereka salah, dan aku—"

Pria itu tak melanjutkan kalimatnya, matanya beralih ke hal lain, tak lagi mengamati kerja Luca. Mungkin ia merasa bahwa ia telah mengatakan hal yang salah, tapi Luca benar-benar ingin mendengar apa yang pria itu tidak katakan—jadi ia bilang, "Mereka memanggilmu monster, katamu?"

"I-iya..."

Luca memundurkan tubuhnya dari meja, tubuhnya ia hadapkan pada Andrew yang duduk di sebelah meja, di sisi ranjang. "Kurasa mereka buta." Ia tertawa kecil. "Terlalu lama memandang hal yang terlalu cerah memang dapat membutakan mata, lagipula, jadi aku tidak heran!"

Andrew mengangkat kepalanya bingung—pada matanya yang sewarna kehidupan dan kematian [2], Luca merasakan desakan untuk melakukan apa yang ingin ia lakukan—sekali lagi mengingatkannya bahwa waktunya tidak abadi di dunia. Mereka bisa mati esok atau hari ini, di atas ketenaran atau bersama keterpurukan—dan waktunya untuk hidup hanyalah saat ini.

"Kurasa kau cukup tampan, Andrew! Sama sekali bukan monster seperti yang mereka katakan padamu."

Wajah Andrew memerah—napasnya menjadi tidak teratur dan matanya berkaca, seolah ingin menangis. "Ugh—"

(Luca masih ingin menyentuhnya—segala hal yang berkilau dan bercahaya: seperti pisau itu, jam saku emas tersebut, hingga Andrew—)

.


.

[end.]


note:

[1]: kore = persephone. sinopsis mo gambarin luca yang kecantol semenjak ngeliat andrew (ya gw nulis luca "rada2" soalnya di deskripsinya dia punya cedera otak setelah insiden sama mentornya)

[2]: darah


ini ga pendek maap. aneh juga. gw ngantuk maap bgt. ditulis di tengah2 ngerjain joseph/eli—maap ya kalo temanya kemana-mana, gw lagi ga fokus, tadi rencanya mau bikin ini angst, tapi gakuat buat bikin yg sedih2:(