songbirds and rattlesnakes – one, ablaze (photographer/perfumer.)

disclaimer: identity v (c) netease.

warning: ooc. au-ish. violence dikit uwu

sinopsis: pertama kali joseph melihat vera, ia melihat gambar lama kota paris, bergerak seperti film. mengalir seperti waktu. berdebar dengan penuh kehidupan.

note: menerima request (slash/nonslash diterima; tapi kufilter dulu). update ga konsisten:)

note2: AKHIRNYA ADA FANDOMNYA IDV DI FFN AKU BISA NYAMPAH DISINI HORE (HORE! HORE!)

note3: fic pertama tapi sayangnya bukan yang terakhir di fandom ini hahahahaha dialog joseph emg rada aneh, itu sengaja oq gengs

.


.

Ia mengambil gambar dan membekukan seluruh momen yang seharusnya mengalir, mencuri daripada waktu itu sendiri yang terus berjalan seolah tak melewatkan apapun. Paru-parunya terasa berat, napas yang dahulu ia curi dari Claude terasa menjadi beban terberat dalam permainan ini dibandingkan rapier pada tangannya; jantungnya berdebar lirih—tapi jantung orang mati tak seharusnya berdebar (kan?).

Jantung orang sekarat berdebar lebih keras daripada miliknya.

Seseorang berada di katedral rumah sakit jiwa ini. Ia mengintip melalui jendela. Ada seorang figur dua wanita, berdiri berdampingan di depan altar. Wanita yang tak terpengaruh di dunia paralel tempat Joseph bersemayam menyentuh dadanya, merasakan debaran jantungnya yang semakin keras bergemuruh, mendesaknya untuk menyiapkan kuda-kuda untuk lari dan sembunyi.

Tapi wanita itu bergeming pada lokasi tempatnya berdiri, kedua tangannya menutupi mulutnya yang menganga. Matanya tak berkedip memandang pantulan dirinya di dalam dunia cermin tempatnya berpijak. Joseph seharusnya menjalankan tugasnya—bila ia berhasil menang dalam permainan ini, ia bisa mendapatkan apapun... dan yang paling ia inginkan adalah—

"Vera...?"

Wanita itu berbisik. Joseph mengingat perkataan Si Koordinator sebelum mereka dijebloskan untuk kematian ini—"Jangan buat suara; ingat, hati-hati, jangan gentar."—yang mungkin membuat wanita itu berbisik dengan suara terpelan yang bisa ia gunakan. Suaranya menempatkan keraguan dan ketidakpercayaan diantara silabelnya.

"Vera?" ia memanggil sekali lagi, lebih keras, sedikit tidak percaya. Joseph menyaksikan, wanita itu mengguncang bahu bayangan cerminnya. Matanya berkedip cepat, Joseph tahu air mata akan menyusul cepat atau lambat. Wanita itu memiliki pantulan familiar pada kilat matanya—seperti ia telah melihat kembali bayangan hantu yang telah lama menghantuinya. Sama seperti milik Joseph.

Tangan wanita itu meraih lengan bayangan cerminnya, parfum pada tangannya bergulir jatuh dari altar, menuju kolong salah satu bangku panjang di ruangan. Joseph mengamati wanita itu mendekati pergelangan cerminannya pada hidungnya, hendak mengendus aroma kekeluargaan yang seharusnya tersisa di sana. Namun yang ia cium hanyalah sisa bau merkuri (Joseph tahu itu lebih dari siapapun.)

"Vera..." ia terisak, wajahnya dibenamkan pada bahu cerminannya, yang bergeming. Joseph menyentuh dadanya; perasaan tak nyaman kembali melilit jantungnya. Ratapan atas wajah yang serupa dengan miliknya, isakan tangis yang sama seperti miliknya... tahun-tahun lalu lamanya.

"Oh, Vera—sans toi je ne suis rien [1]," Joseph mengangkat alisnya. "Désolé, c'est ma faute, j'aurais dû y penser [2]... maafkan aku, aku bodoh—"

Ia memutuskan untuk melangkah memasuki katedral, menampakkan dirinya pada wanita itu. Wanita itu mengangkat kepalanya dan memandangnya sebentar, lalu berkedip, satu tangannya mengusap matanya. Ia memalingkan wajahnya, tangan bayangannya ia lepaskan.

"...Haruskah aku lari, sekarang?" suaranya tak gentar; Joseph tahu perkataan Si Koordinator berkontribusi memberi sedikit dorongan.

"Bila nyawa anda adalah yang paling berharga dalam orang anda, maka ya." Ia mengangkat rapier-nya. "Bebalkah anda, hingga anda membiarkan diri dilukai oleh orang seperti saya, yang sama sekali tak anda kenali?"

Wanita itu menarik napas dalam-dalam—Joseph mendelik, tahu persis racun yang dihirup paru-paru muda milik wanita dengan wajah yang diselubungi kelam tersebut. "Jadi... aku harus lari, kan?"

Joseph mengangguk.

Keduanya tak mengambil langkah, tapi Joseph melihat wanita itu pelan-pelan menjadikan dirinya tameng yang berdiri di antara cerminannya, dan Joseph.

"Nona Manis, sayangkah engkau pada nyawamu?" ia terkekeh, berjalan mengitari wanita itu dan cerminannya. Tak ada lagi formalitas bangsawannya ketika wanita itu tak memberikan jawaban, tak ada ya ataupun tidak. Ia hanya dibalas dengan hampa. "Haruskah saya praktikkan pada anda seberapa tajam pedang di tangan ini?"

Wanita itu menggeleng. Ia membungkuk lalu segera berlari ke arah jendela. Sebelum ia melompat, ia berbalik. "Kumohon, jangan sakiti..." namun ia berhenti—kata-katanya tak dapat ia lontarkan keluar dari mulutnya. Ia mengumpat dalam bahasa yang Joseph kenali betul (ah, wanita anggun dan mulut naifnya), lalu pergi. Ucapan malu, "Terima kasih," menggantung di udara, bersamaan dengan aroma parfum pikat yang sejenak membuat kepalanya menjadi ringan. Membiarkan wanita itu mencuri start.

Joseph mengamati bayangan milik wanita itu; rapier-nya terasa berat pada tangannya, ia mendapati dirinya tak memiliki kekuatan untuk mengayunkan pedangnya, tangannya terkepal pada gagang rapier miliknya hingga buku-buku tangannya memutih. Bola mata cerminan wanita itu memandang kosong ke depan, namun Joseph melihat binar kepedihan yang ia pahami betul pada gambar (ke)sempurna(an) ini. Joseph menyentuh pipi cerminan itu, jarinya perlahan turun untuk mengangkat wajah wanita itu, memandang lurus pada matanya.

Yang ia lihat adalah cerminan dirinya.

Ia pergi, membiarkan bayangan itu utuh tak tersentuh.

.


.

Ia mengikuti aroma parfum wanita yang pertama ia temui. Ahli Parfum. Koordinator menjeritkan namanya sebelum ia berlalu: Vera—!

Aneh, aneh.

Joseph mengikuti aromanya, tajam dan memikat, seseorang telah memberikan padanya parfumnya kembali. Yang tersisa hanyalah Montir, dan Vera. Joseph tahu wanita itu melindungi si gadis yang naif dan lemah, tapi sekarang hanya masalah waktu sebelum mereka ditemukan. Tidak ada jalan keluar untuk mereka; tikus yang terperangkap.

Ketika Joseph menemukan mereka di bangsal, Joseph segera mengejar Montir yang berlari ketakutan ke ruangan lain dengan ekor di antara kedua kakinya; lorong panjang dengan sisi-sisi ruangan yang menyerupai penjara. Ia mengayunkan rapier-nya dan mengenai gadis itu—pompaan adrenalin menciptakan jarak yang cukup jauh di antara mereka, namun hal itu tak akan lama.

Ia mengangkat kakinya untuk mengejar, namun tak mengambil langkah. Vera menahannya. Tangan dan kakinya gemetar, seluruh tubuhnya ketakutan—panik.

Cemoohan tertahan, ia menyibak jari wanita itu yang semula menarik ujung lengan pakaiannya. Bola mata birunya memandang wanita itu, lalu kembali meludahinya dengan ancaman kosong, "Apakah otakmu masih bekerja di dalam kepalamu di sana, atau apakah kamu benar-benar ingin mencicipi ujung mata pedang ini?"

"Kumohon, monsieur; ia masih anak-anak—"

"Anak-anak, orang dewasa, apa bedanya? Kita semua sama derajatnya bila kita mati, bukankah begitu?" ia berhenti bicara, lalu: "Lupakah engkau atas apa yang telah dan harus kulakukan dalam permainan ini?"

Mendengarnya, wanita itu tak menemukan kata yang pantas untuk membalas. Ia perlahan melepaskan pegangannya dan memalingkan pandangannya. Joseph mampu mengamati kilatan matanya yang penuh konflik berada di balik selubung dukanya, semuanya familiar—dan jika ia tidak salah membaca, maka matanya adalah jendela jiwa.

"Biarkan ia pergi," katanya. "Bunuh aku."

Oh, tapi sayang—nya—

Joseph mencibir. "Yang mana, yang paling engkau hargai?" ia mengangkat rapier-nya, ujung mata pedangnya menyentuh permukaan kulit leher wanita itu, postur tubuhnya segera mengingkari ketegarannya. "Gadis Montir itu, nyawamu sendiri, ataukah Vera?"

Wanita itu—Vera-kah?—mengerlingkan matanya, membulat seperti purnama di balik kelambu yang menyembunyikan kelabu pada bola matanya. "Tolong—"

—"jangan sebut namanya lagi,"?

"—jangan mengatakan... hal aneh." ia bilang, Joseph mengedipkan matanya. Vera tersenyum miring, matanya penuh dengan tipu-daya miris. "Aku Vera—"

Joseph memerlukan waktu untuk memproses perkataan wanita itu, yang terpotong dengan decit napasnya yang ketakutan. Kakinya gemetaran, matanya tak memandang apapun. Tak ada celah keluar untuknya, dan Joseph tahu wanita itu pikir c'est la fin de l'histoire [3]—mati sia-sia seperti anjing, usai meminta jantung pada sang pembunuh yang telah memberikannya hati.

Si on lui en donne long comme le doigt, il veut en avoir long comme le bras. [4]

Ia menipu dirinya sendiri, Joseph menyadarinya, yang membuat ia segera tertawa perlahan. Namun Vera tertawa, mengikutnya. Senyum miring dan mata yang membulat, nampak siap meludahkan bualan pada wajahnya sendiri, sekali lagi: "Namaku... Vera—Nair, aku... aku seorang..."

Joseph mengayunkan rapier-nya, rasanya berat ketika wanita itu memandangnya dari balik selubung, terkejut. Darahnya merembes, bercampur dengan aroma pekat parfum yang tak kunjung hilang dari tubuh dan pakaiannya. Ahli parfum itu terbatuk, ia memegang luka tebasnya, berusaha agar darahnya tak pergi meninggalkan sistemnya—tapi usahanya sia-sia.

Memandang wanita itu sebentar, ia berlutut di sebelahnya. "Ini permainanku, Nona." Desisnya. "Siapa engkau untuk mentitahkanku perihal hidup-dan-mati orang-orang dalam permainan ini?"

.


.

Ketika ia kembali pada wanita itu dan pedangnya semakin berat dengan darah kering pada ujungnya, wanita itu masih bernapas. Ia, layaknya domba hilang yang mencari terang tuhan, bergumam seperti mantra, gemetar ketakutan, "Je ne suis pas bien sans toi, Je ne suis pas bien sans toi, Je ne suis pas bien—"

Aku bukanlah apa-apa tanpamu.

Joseph melangkahi raga sekarat wanita itu. "Siapapun Vera... apakah ia menunggumu kembali?"

Wanita itu menarik napas tajam—Joseph mengamati lengannya, dan pakaiannya, dan rambutnya. Berantakan dan ternoda oleh darahnya yang telah mengering. "Ia... tidak menunggu... ku... de l'autre côté [5], tuan—kumohon, kumohon... aku—"

Orang sekarat tak akan bicara koheren—wanita ini mengejang dan merintih tanpa melanjutkan apa yang ingin ia katakan. Joseph mengangkat tubuhnya, sedikit merasa petikan simpati pada senar hatinya. Ia mendengarkan wanita itu meracau tentang Vera, dan seberapa bersalah ia atas apa yang telah ia perbuat—seberapa bodoh, dan naif, dan picik dirinya kala dulu. Joseph membiarkan wanita itu berada dalam tangannya, membiarkannya menangis hingga ia berkata—

"Vous revoir [6], Vera..." bisiknya, terdengar seperti ratapan gembira atas tragedi yang adalah hidupnya, tak diketahui keseluruhannya oleh siapapun selain dirinya.

Joseph meletakkan tubuh wanita itu di sebelah jalur keluar yang ada. Wanita itu tak meraihnya.

"Vera... menunggumu, kan?" ia bertanya.

Namun Vera tak menjawab.

Vera memiliki senyum tipis pada bibirnya, dan Joseph tak memerlukan waktu lama untuk tahu, kalau mereka telah bertemu kembali. Joseph duduk di sebelah wanita itu, ia meraih selubungnya dan menyibak perlahan kain tipis hitam yang menutupi wajah wanita itu. Joseph mendengar sopran manis di telinganya, tak bersumber darimanapun.

"Vous revoir, Claude..." ia bilang, tidak pada siapapun—ia menang. Ia menang. Ia menang. Dan itu yang terpenting. Dengan ini, Claude—

(Joseph memejamkan matanya, kicauan wanita itu menghantui kesadarannya, permukaan kulitnya dikuas oleh kuasa transparan."Tue-moi maintenant..." [7] bisiknya, penyesalan pada tiap silabel, untuk Claude, pada Vera, atau wanita itu—demi kelegaan hatinya, dan kebahagiaannya.)

.


.

[fin.]


note:

[1]: sans toi je ne suis rien: aku bukan apa-apa tanpamu.

[2]: désolé, c'est ma faute, j'aurais dû y penser: maaf, itu salahku

[3]: c'est la fin de l'histoire: ini akhir ceritanya

[4]: si on lui en donne long comme le doigt, il veut en avoir long comme le bras, terjemahan prancis untuk peribahasa "dikasih hati minta jantung"/" give an inch and they'll take a mile".

[5]: de l'autre côté: di sisi lain

[6]: vous revoir: sampai jumpa

[7]: tue-moi maintenant: bunuh aku sekarang


note: gw gabisa bahasa prancis semuanya nyolong dari google oq

uhh jadi gw maunya tuh chloe ama joseph berparalel; chloe ketemu vera lagi setelah dia mati di game, joseph ketemu claude lagi setelah dia menang di game (permohonannya dikabulkan, kan www)

sekali lagi, nerima request, jangan aneh-aneh tapi QwQ

—Jakarta, 01:31 AM, 29 Juni 2019.