Naruto by Masahi Kishimoto

Highschool DxD by Ichie Ishibumi

genre : Adventure, Fantasy, Action, Friendship, Romance.

Summary : Menjadi seorang healer tidaklah mudah seperti yang aku bayangkan selama ini. Diskriminasi, penghinaan, kekerasan dan masih banyak lagi adalah bumbu yang sudah dianggap biasa. Tapi, persetan dengan itu semua, sialan. Aku hanya ingin menjadi healer yang baik.

Chapter 1 : Aku Menyayangi Kalian.


XxxxX

Namaku adalah Naruto Namikaze, seorang pemuda berusia 17 tahun. Aku adalah putra dari pasangan Minato Namikaze dan Kushina Namikaze. Kata kakek dan nenekku, aku ini adalah pemuda paling tampan di seluruh desa tempatku tinggal, lho. hebat, kan?

Yah, aku ingin bercerita tentang silsilah keluargaku. Tapi, aku tidak bisa banyak bercerita tentang kedua orang tuaku, karena mereka telah meninggal ketika aku baru berusia satu tahun.

Jujur saja, aku sama sekali tidak punya kenangan tentang mereka berdua yang membekas di kepalaku. Satu-satunya caraku bisa mengenali kedua orang tuaku hanya dengan melihat album foto yang mereka tinggalkan.

Kata kakek dan nenekku, kedua orang tuaku adalah dua orang yang sangat disegani di kerajaan ini, khususnya ayahku. Kudengar, dia dijuluki sebagai si Kilat Kuning karena mampu berpindah tempat hanya dalam waktu sekejap mata. Bukan hanya itu, semasa ia hidup, ia adalah penyihir termuda yang mampu menempati posisi jenderal di kerajaan.

Aku sangat bangga ketika kakek dan nenek menceritakan kisah kedua orang tuaku. Tapi, semakin dewasa diriku, semakin aku tidak peduli pula dengan kisah mereka.

Tidak, ini bukan berarti aku adalah anak durhaka atau semacamnya. Aku berpikir seperti itu karena aku tidak tumbuh besar di bawah kasih sayang mereka secara langsung.

Selama ini, aku dibesarkan oleh kasih sayang yang diberikan sepenuhnya oleh kakek dan nenekku. Jadi, jika disuruh membandingkan antara kedua orang tuaku atau kakek nenekku, mungkin aku akan lebih memilih kakek dan nenek.

Ah, berbicara tentang kakek dan nenek, mereka berdua juga merupakan orang yang hebat pada masanya. Setidaknya, seperti itulah yang pernah kakek ceritakan padaku.

Jiraiya Namikaze dan Tsunade Namikaze, itulah nama dari kakek dan nenekku. Mungkin, kebanyakan orang akan lebih mengenal dengan sebutan si Pertapa Katak dan Putri Siput. Katanya sih, itu nama julukan dari mereka berdua.

Kakekku mempunyai perawakan badan tinggi, tegap, dan berisi. Ia mempunyai rambut panjang yang berwarna putih karena telah termakan usia. Dia merupakan kakek sekaligus figur seorang ayah bagiku. Beliau tidak segan-segan mengajakku berburu hewan liar dan bahkan monster di hutan. Ia pun sering mengajariku banyak hal, bahkan mengajari hal-hal yang sangat dilarang oleh nenek.

Dengan kata lain, ia adalah kakek terbaik yang pernah ada.

Kakek selalu berkelakar, bahwa semasa kejayaannya dulu, ia pernah menduduki posisi panglima militer di kerajaan. Beliau juga mengatakan bahwa ia adalah rakyat jelata pertama yang mampu menempati posisi tersebut.

Meskipun kakek adalah tipe orang yang sangat suka bercanda, tapi aku rasa ia takkan bercanda dalam hal itu. Lagipula, aku pernah melihat jubah dan berbagai lencana penghargaan yang pernah ia terima.

Maksudku, hei, memangnya ada orang yang tinggal di desa yang berada di kaki gunung seperti ini yang bisa mendapat lencana sebegitu banyaknya?

Berbeda dengan kakek, nenek adalah wanita yang sangat menyeramkan. Tempramennya sangat buruk, sehingga ia mudah marah dan khawatir pada hal-hal kecil. Dia juga sangat tegas dan disiplin, perkataannya adalah mutlak di keluarga ini. Bahkan, kakek tidak akan berani membantah perkataan nenek.

Sifatnya yang sangat tegas itu sungguh berbanding terbalik dengan parasnya. Tidak, bahkan usianya juga berbanding terbalik dengan parasnya!

Berbeda dengan nenek-nenek berusia 70 tahun pada umumnya. Nenekku, Tsunade baa-chan, dia terlihat masih sangat muda. Tidak ada keriputan sama sekali di wajahnya, rambut pirangnya tidak ada yang memutih sehelai pun, bahkan tubuhnya pun jauh mengungguli perempuan-perempuan muda lainnya.

Aku berani bersumpah kalau nenekku adalah nenek paling cantik sepanjang sejarah.

Dari yang kudengar, rahasia awet muda nenek ada pada kemampuan healing magic miliknya. Healing magic-nya berada pada puncak yang tidak pernah dicapai oleh siapapun di dunia ini.

Ah, berbicara soal nenek, dia pun mempunyai latar belakang yang sangat berbeda dengan kakek. Jika kakek adalah rakyat jelata, maka nenek adalah salah satu anggota dari keluarga bangsawan yang sangat terpandang di ibu kota.

Jika tidak salah, namanya adalah ... senta? Senyu? Senryuu? Ah, entahlah. Aku tidak begitu ingat! Lagipula aku juga tidak peduli, huh!

Aku tidak tahu bagaimana mereka bertemu atau bagaimana mereka menikah. Sejujurnya, aku sangat penasaran dengan hal itu. Tapi, nenek selalu menolak menceritakannya.

Setelah selesai menceritakan silsilah keluargaku, lalu sekarang adalah giliranku, kan?

Yah, seperti yang sudah aku bilang, Namaku adalah Naruto Namikaze, dan saat ini aku telah berusia 17 tahun. Aku dilahirkan di ibu kota kerajaan. Namun, setelah kematian kedua orang tuaku dalam perang besar 16 tahun yang lalu, kakek dan nenek memutuskan mengasuhku dan membawaku pergi keluar dari ibu kota.

Dan seperti inilah sekarang, kami tinggal di desa kecil yang berada di kaki gunung, di salah satu sisi perbatasan kerajaan Codafata, kerajaan tempat kami tinggal. Kakek dan nenek meninggalkan seluruh kemewahan yang tersedia di ibu kota, dan memulai hidup baru sebagai rakyat jelata di desa kecil ini.

Omong-omong, Aku ini mempunyai rambut pirang jabrik yang terlihat sama seperti milik mendiang ayahku. Jika boleh memilih, aku sebenarnya ingin rambut pirang halus seperti milik nenek. Tapi ya sudah, lah.

Aku juga punya tanda lahir berupa guratan-guratan di pipi yang menyerupai kumis kucing. Ketika aku kecil, aku berpikir itu sedikit aneh. Namun setelah kuperhatikan, kurasa tanda lahirku cukup manis juga. Bahkan, nenek yang orangnya kaku seperti itu pun menganggap bahwa tanda lahirku ini imut.

Sejak kecil, aku mempunyai ketertarikan terhadap ilmu medis. Itu karena aku sangat sering membantu nenek di klinik kecil yang ia jalankan. Karena itulah, aku ingin mendalami healing magic seperti yang dilakukan nenek. Aku ingin melampauinya, dan menjadi dokter yang lebih hebat dari nenek.

Yah, aku tahu itu sangat susah jika mengingat seperti apa nenek. Aku pun terkadang juga merasa pesimis dengan impianku.

Tapi satu yang pasti, melihat banyak nyawa terselamatkan akibat ilmu medis ... itu terasa sangat menyenangkan.

Berlatih di bawah bimbingan healer terbaik yang pernah ada, terkadang membuatku merasa tertekan. Sudah tidak terhitung berapa kali nenek menerbangkanku, melemparku ke jurang, dan bahkan sengaja meninggalkanku di puncak gunung.

Daripada seorang figur nenek, dia lebih terlihat seperti seekor monster buas ketika melatihku.

Sedangkan kakek? Dia hanya tertawa melihatku. Dia bilang bahwa aku telah salah mengambil jalan hidup.

Tapi persetan dengan itu, kakek sialan! Nyawa cucumu ini selalu di ujung tanduk, tahu tidak?

Meskipun aku bercerita ke kakek, yang ia katakan hanya, 'tenang saja. bahkan bila tubuhmu terbelah menjadi dua, nyawamu pasti akan baik-baik saja selama ada Tsunade. Yah, mungkin kau hanya akan pingsan selama beberapa hari.'

Lihat? Betapa sintingnya kakek dan nenekku kan?

XxxxX

"Naruto, cepatlah bangun atau kau akan kesiangan!"

Suara nan menggelegar di pagi-pagi buta itu adalah suara nenek kesayanganku. Aku tahu ini, jika aku tidak segera bangun, maka pasti akan ada seember air yang tiba-tiba membasahiku.

"Baik-baik, aku bangun sekarang!" ucapku sambil sedikit berteriak.

Sambil masih berusaha mengumpulkan segenap kesadaranku. Aku pun berjalan dengan sedikit terhuyung menuju pintu kamarku.

Uhh ... Meskipun hampir seluruh hidupku selalu seperti ini, entah kenapa aku masih belum terbiasa dengan sikap disiplin nenek.

Setelah keluar dari kamar, aku mendapati kakek yang sedang duduk santai sambil membaca koran pagi, dan nenek yang sedang menyiapkan sarapan. Menyusul mereka berdua, aku pun bergegas bergabung ke meja makan.

Tentu saja, sebelum itu aku akan membasuh muka. Jika tidak, pasti nenek akan marah padaku.

Rumah kami bukanlah rumah yang besar, ini hanya rumah sederhana seperti rumah penduduk desa pada umumnya. Meskipun nenek adalah seorang dokter dan membuka klinik, tapi sangat jarang ada pasien yang membayar jasanya dengan uang.

Kebanyakan dari mereka membayar menggunakan hasil panen dari ladang, bahkan ada juga yang hanya mengucapkan terima kasih. Itu wajar, karena kemampuan ekonomi para penduduk desa yang terbilang rendah.

Sedangkan pemasukan utama keluarga ini ditopang oleh kakek yang bekerja di ladang. Karena pekerjaan di ladang tidak cukup untuk menghidupi keluarga dengan layak, maka kakek pun terkadang melakukan perburuan terhadap hewan-hewan liar dan para monster. Aku pun terkadang juga ikut dengannya.

Ah, tentu saja tidak ada satupun penduduk desa yang tahu tentang latar belakang keluarga kami.

"Apa kau sudah mengemasi barang-barangmu, Naruto?"

Aku terdiam mendengar pertanyaan dari kakek. Sejujurnya, ini adalah hari yang sangat berat bagiku.

"Sebelum tidur sudah kukemasi semuanya."

Kakek hanya mengangguk mantap setelah mendengar jawabanku. Namun, tidak denganku. Masih banyak perasaan berat yang menggunung di dalam dadaku.

"Jii-chan ... Memangnya aku harus pergi ke ibu kota?"

Mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba, kakek seketika menghentikan kegiatannya membaca koran. Mata kami saling bertemu satu sama lain untuk beberapa saat.

"Tentu. Bukankah kau sendiri yang bilang kalau kau ingin menjadi healer yang hebat dan melampauiku?"

Bukan kakek yang menjawab pertanyaanku, melainkan nenek. Beliau datang sambil membawa tiga buah mangkuk yang ditaruh di atas nampan. Dari aromanya saja, aku tahu menu sarapan yang akan nenek hidangkan pagi ini.

"Tapi baa-chan, aku kan sudah berlatih denganmu selama ini. Bukankah itu sudah cukup?" protesku.

"Tidak. Meski berlatih di bawah pengawasanku, belum tentu kau akan menjadi seorang healer yang hebat. Bahkan, jika kau telah menjadi healer yang hebat, kau masih harus memutuskan sendiri untuk menjadi healer seperti apa dirimu kelak," jelas nenek sambil menaruh mangkuk-mangkuk bagian kami.

Healer seperti apa diriku kelak? Bukankah sudah jelas kalau aku ingin menjadi healer seperti nenek?

"Kau harus mempelajari banyak hal untuk mencapai cita-citamu, Naruto. Banyak pelajaran yang akan kau dapat di luar sana daripada hanya sekedar membaca buku dan berlatih di sini," jelas kakek.

"Bukankah jika aku pergi ke sekolah, yang akan kukerjakan juga hanya membaca buku dan berlatih?" ucapku dengan sedikit dongkol.

Ya, mulai hari ini aku akan dikirim ke ibu kota dan bersekolah di akademi sihir terbaik di sana. Shoka Sonjuku, itulah nama akademi sihir yang akan kumasuki.

Dari yang kudengar, Akademi Sihir Shoka Sonjuku merupakan akademi sihir yang banyak sekali melahirkan orang-orang hebat di berbagai bidangnya. Entah itu sebagai penyihir, dokter, atau pekerja lainnya.

Meskipun disebut akademi sihir, nyatanya lulusan dari sekolah tersebut tidak semuanya bergabung di pasukan kesatria sihir kerajaan. Banyak dari mereka yang masuk ke akademi sihir dan belajar ilmu sihir hanya untuk menunjang aktivitas sehari-hari.

"Bukan hanya itu. Di sana kau juga akan mendapatkan banyak pengalaman. Jika kau beruntung, kau akan bertemu dengan gadis seksi. Kau tahu, dulu aku dan nenekmu ber-."

Sebuah sumpit menancap dengan mulus di jidat kakek sebelum ia mampu menyelesaikan kalimatnya. Darah segar terlihat merembes dari sana. Tentu saja, siapa lagi pelakunya kalau bukan nenek?

Sedangkan si pelaku tindak kekerasan, dia masih bersikap tenang sambil mengambil sumpit yang baru tanpa merasa bersalah sedikit pun.

"Intinya, Naruto, pengalaman belajar dengan healer lain adalah pelajaran yang sangat penting yang hanya akan kau dapatkan jika kau pergi ke ibu kota," keta nenek.

Aku tahu itu. Tapi jika nenekku sendiri adalah seorang healer terbaik yang pernah ada. Seharusnya itu saja sudah lebih dari cukup, kan?

Aku tidak menjawab perkataan nenek, dan lebih memilih untuk menyantap sarapanku. Aku sangat dongkol, serius ini.

Sarapan kali ini adalah ramen, dan aroma yang dikeluarkannya sangat nikmat, aku yakin rasanya pun demikian.

Ramen yang dibuat oleh nenek sebelum aku berangkat ini terasa sangat berbeda. Rasanya sangat enak, sudah pasti. Hanya saja, setiap suapan yang kumasukkan ke dalam mulut, semakin menambah rasa berat di dalam dadaku.

Melihatku yang sedikit mengabaikan nenek, kakekku pun angkat bicara.

"Naruto."

Masih sama seperti sebelumnya, aku lebih memilih tidak merespon panggilan kakek. Tentu saja, itu karena aku masih dongkol dengan keputusan mereka berdua yang tanpa sepengetahuanku itu.

"Kehidupan seorang healer tidak seperti yang kau bayangkan selama ini. Kau harus melihat dan merasakan sendiri seperti apa suka dukanya. Jika kau terus berada di desa kecil ini, pandanganmu akan semakin menyempit, dan tanpa sadar kau telah ditelan oleh dunia luar yang tidak pernah kau ketahui selama ini.

Untuk mengetahui kehidupan seorang healer yang sesungguhnya, kau harus pergi ke kota-kota besar. Dan Edo adalah pilihan terbaik."

"Apa maksudmu, jii-chan?"

"Kau akan tahu jika kau masuk ke Akademi Sihir Shoka Sonjuku."

Pikiranku jauh melayang setelah mendengar penjelasan kakek. Apa maksudnya kehidupan healer berbeda dengan angan-anganku? Bukankah healer adalah orang yang hebat? Mereka mengobati orang yang sakit dan menyelamatkan banyak nyawa. Bukankah itu keren?

Edo, ya? Jika aku pergi ke Edo, ibu kota dari kerajaan Codafata, maka aku akan mengetahui maksud kakek.

"Jika kau tidak pergi ke ibu kota, kau selamanya tidak akan pernah melampauiku. Tidak, lupakan tentang melampauiku. Bahkan kau tidak akan pernah menjadi healer yang hebat. Kau tahu, aku tidak akan mewariskan klinik ini ke healer lembek seperti dirimu, Naruto."

Perempatan di pelipisku seketika menebal ketika mendengar perkataan nenek.

"Baa-chan, bukankah kau janji membiarkanku menjalankan klinik ketika aku sudah dewasa?"

"Bodoh, siapa yang berjanji seperti itu? aku berjanji akan membiarkanmu menjalankan klinik ketika aku sudah mengakuimu."

Heh, dasar nenek tua sialan. Dia benar-benar tahu bagaimana caranya memprovokasiku.

"Lebih baik jangan sampai kau melupakan perkataanmu barusan, baa-chan," ucapku sambil sedikit menyeringai.


XxxxX

"Apa kau yakin ini sudah semuanya, Naruto?" tanya kakek kepadaku. Aku tidak tahu sudah keberapa kali ia bertanya sesuatu yang sama padaku.

Kuanggukkan kepalaku padanya sebagai jawaban. Seluruh barang-barang yang kubutuhkan telah kumasukkan ke dalam tas punggung dan koper besar yang saat ini kubawa.

Kini aku tengah berdiri di depan rumah sambil menunggu kereta kuda milik seorang pedagang yang akan lewat. Tidak, tentu saja aku tidak akan pergi ke Edo hanya dengan menaiki kereta kuda. Jarak antara desa ini ke ibu kota Edo sangat jauh. Butuh sekitar enam hari perjalanan jika menggunakan kereta kuda.

Karena itulah, aku hanya akan menumpang kereta kuda hingga ke kota terdekat, dan kemudian melanjutkannya dengan menaiki kereta uap. Sejujurnya ini akan menjadi pengalaman pertamaku menaiki kereta uap. Jadi, aku saat ini benar-benar merasa gugup, sialan.

Maksudku, bagaimana jika nanti aku tersesat? Kudengar, kau akan ditendang keluar jika kau sampai lupa menukar karcismu.

Kepalaku tidak bisa berhenti memikirkan gosip-gosip menyeramkan dari kereta uap yang selama ini kudengar.

Ketika pikiranku masih berkecamuk dengan berbagai pikiran negatif, aku melihat nenek yang keluar dari rumah sambil membawa karung besar yang terlihat terisi penuh oleh sesuatu.

"Naruto, ini bekal perjalananmu. Aku semalam memasak banyak daging, seharusnya ini akan cukup untuk sampai ke Edo. Aku juga sudah memasukkan kantung tidur di dalamnya. Jangan sampai kedinginan di dalam kereta. Aku juga membawakan senter. Kudengar, ketika kereta memasuki terowongan, itu akan menjadi sangat gelap dan terasa seperti di dalam perut monster. Jika kereta uap memang berbahaya, pukul saja dengan sekuat tenaga, dan-."

"Oke, sampai di situ saja, Tsunade. Berhentilah berpikiran buruk atau Naruto akan semakin mencontohnya. Lagipula, perjalanan ke Edo hanya satu hari penuh. Bekalmu ini kebanyakan, kau tahu?"

Kakek mengomel kepada nenek setelah melihat perkataan nenek yang terkesan terlalu berprasangka buruk. Ya, nenek terlalu penakut dalam hal ini. Lagipula, aku ini sudah dewasa, kan?

Tapi, bagaimana jika itu benar? Bagaimana jika memang kereta uap itu selama ini adalah monster ular raksasa yang menyamar? Dan bagaimana jika memang tiba-tiba aku berada di perut monster ketika masuk ke dalam terowongan?

Tidak-tidak-tidak ... itu menakutkan, sialan. Aku yakin wajahku sudah pucat pasi saat ini.

"Apa maksudmu, Jiraiya? Menurutmu, aku harus diam saja ketika Naruto akan menaiki benda berbahaya itu?" ucap nenek sambil mencengkram kerah kakek.

Pertengkaran antara kakek dan nenek masih terus berlanjut. Atau mungkin lebih tepat kukatakan jika nenek yang memarahi kakek.

Ketika pemandangan yang mungkin akan sangat aku rindukan itu berlangsung di hadapanku, secara samar aku mampu mendengar derap kaki beberapa ekor kuda. Kepalaku secara otomatis menengok ke arah sumber suara.

Seperti yang diduga, di sana terlihat kereta kuda yang sedang mendekat.

"Kurasa tumpanganku sudah sampai," ucapku yang secara otomatis turut menghentikan pertengkaran antara kakek dan nenek.

"Naruto, kau ingat pesanku?" tanya nenek dengan lembut.

"Tentu saja, baa-chan," balasku sambil memandang netra karamelnya.

Menghirup udara sebanyak-banyaknya, kemudian aku berkata.

"Seorang healer mempunyai empat peraturan. Pertama, healer tidak boleh menyerah mengobati orang lain selama orang itu masih bernafas. Kedua, healer tidak boleh terlibat dalam pertempuran langsung. Ketiga, healer adalah orang yang terakhir kali mati dalam setiap kondisi. Keempat, hanya yang menguasai bya- ouch!"

Kalimatku terhenti ketika nenek memberikan pukulan cinta ke kepalaku.

"Kau masih belum siap untuk itu, Naruto."

Mendengar ucapan nenek, tanpa sadar aku pun sedikit mengerucutkan bibirku.

"Aturan keempat adalah aturan yang aku buat sendiri ...," ucap nenek dengan lirih.

Aku sedikit terkejut mendengar fakta yang baru saja aku ketahui. Aku kira, itu adalah aturan yang memang sudah umum bagi seluruh healer.

"Aku membuat aturan keempat setelah aku memutuskan untuk menjadi healer macam apa aku ini. Karena itulah, Naruto ... carilah pengalaman sebanyak-banyaknya, dan putuskan aturan keempatmu sendiri."

Begitu, ya? Ah, aku rasa aku mulai sedikit mengerti. Meskipun masih samar, aku sudah mampu memahaminya.

Dengan ini, seluruh beban di hatiku telah terangkat semua. Tidak akan ada rasa penyesalanku yang tertinggal.

Kereta kuda telah berhenti tepat di depan rumah kami, sang kusir yang merupakan kenalan dari kakek sedikit memberi salam ke arahnya.

Aku tersenyum ke arah kakek dan nenek, dan mereka juga tersenyum ke arahku. Aku memandangi setiap inchi dari tubuh mereka, memasukkannya ke ruangan terdalam di otakku, dan mengunci rapat-rapat agar kenangan ini tidak akan pernah hilang selamanya.

Merasa puas, aku pun memberi salam terakhir ke kedua orang yang selama ini telah berkorban banyak demi membesarkanku, dan merawatku penuh cinta.

"aku berangkat."

"Ya, selamat jalan."

Ini adalah perpisahan yang membuatku sedih. Tapi ini bukanlah akhir dari segalanya. Karena suatu saat, aku pasti akan kembali lagi ke sini, pasti.

Bersambung


Author Note : Yahallo, selamat menunaikan ibadah idul fitri kepada yang menjalankannya, dan saya ucapkan mohon maaf lahir dan batin kepada semua yang ada di sini.

Saya kembali dengan fic baru. kali ini saya mencoba menggunakan karakter utama yang berbeda dari yang biasa saya buat. sebenarnya cerita ini sudah lama sekali bersarang di kepala saya. tapi tidak pernah saya tulis. baru kali ini punya niatan untuk menulis cerita baru.

untuk cerita lama, Kehidupan Baruku dan Wood Samurai, keduanya tentu akan aku kerjakan jika aku ada waktu. karena sejujurnya akhir-akhir ini aku sangat sibuk di real life. baru liburan semester ini aku ada waktu untuk nulis.

Seperti biasa, aku akan mengulas chapter kali ini. pertama, Naruto dan keluarga itu hidup dan berdomisili asli di kerajaan Codafata. Codafata mempunyai ibu kota yang bernama Edo. Shoka Sonjuku ini aku ambil dari nama sekolah kuil yang betul-betul ada di masa lalu, yang melahirkan politikus-politikus berbakat di era Meiji. pendirinya adalah Yoshida Shion (Mungkin yang nonton Gintama sudah tidak asing lagi).

Fict ini masihlah chapter pertama yang aku buka dengan deskripsi latar belakang dari karakter utama, dan sedikit menunjukkan seperti apa sifat sei karakter utama. Seperti yang bisa dilihat, Naruto itu anak muda yang punya mimpi, tapi sedikit pesimis dengan mimpinya. dia juga terlalu overthinking sehingga membuatnya menjadi mudah takut.

Oke, itu aja ulasan dariku. jika berkenan, tolong kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan cerita di chapter-chapter yang akan datang. sekian dan terima kasih, sampai bertemu di chapter selanjutnya.