Sebelumnya: Kaizo mengirimkan pesawat untuk menjemput ketujuh kloning elemental Boboiboy agar dimusnahkan. Fang berbohong kalau pesawat Kaizo untuk membawa mereka ke fasilitas perawatan. Sementara itu Gempa lumpuh total dan Taufan buta matanya. Halilintar masih koma.

.

.

Chapter VI

Awan Pecah

.

.

Teknologi sangat canggih benar-benar memukau siapapun dan kian mempermudah pekerjaan, selain sebagai alat politik dan intimidasi pada lawan serta menarik aliansi mutualisme.

TAPOPS dan Kesatuan Militer Antariksa memiliki teknologi yang terbaik, terutama pada alutista serta persenjataan. Pesawat Kesatuan Militer Antariksa memiliki kecepatan terbang luar biasa, berkali lipat kecepatan cahaya. Hal ini karena jarak antara satu destinasi ke destinasi lain dalam jagad raya sangat jauh—dalam ilmu astrofisika, jaraknya dihitung satuan tahun cahaya, sementara kecepatan cahaya adalah 299.792 km perdetik di ruang vakum. Tak ada benda yang bisa bergerak melebihi kecepatan cahaya sebab akan memerlukan energi yang besarnya tak terhingga, tapi kecepatan cahaya sekalipun takkan bisa membuat para alien berpindah sangat cepat antara satu galaksi ke galaksi lain. Perlu teknologi warp drive atau menembus wormhole untuk mempersingkat waktu. Jika tak menggunakan salah satu dari dua cara tersebut, perjalanan dari satu star system menuju star system lain akan memakan waktu hingga jutaan tahun.

Untuk saat seperti ini, Fang benci betapa canggihnya pesawat mereka.

Pesawat Kaizo yang akan membawa kloning para elemental sudah mendarat di hanger—terlalu cepat sampai hingga Fang merasa seperti tak diberi kesempatan untuk bernafas. Ia ingin muntah akibat rasa cemas dan takutnya, tapi ia memaksakan kakinya untuk menyambut Jenderal Kaizo dan anak buahnya. Dari kejauhan tampak sang jenderal besar menuruni tangga pesawat dengan langkah pasti, beberapa orang kepercayaannya berjalan di belakang. Fang, Sai dan Shielda menunggu di dekat tangga sementara Kaizo menyapu pandangan pada lingkungannya, matanya yang jeli menangkap tiap detil untuk otaknya yang selalu sangat sibuk berpikir.

Kaizo berdiri di hadapan Fang, Sai dan Shielda. Mereka memberikan hormat padanya yang dibalas dengan anggukan samar oleh Kaizo.

"Tempat ini memiliki banyak kemajuan," kata Kaizo.

"Terimakasih Jenderal," kata Fang setengah hati. Ia sungguh gugup dan cemas sekarang, ia harap Kaizo tak pernah ada di sini!

"Mereka sudah disiapkan untuk transfer?" tanya Kaizo. Fang mengangguk kecil.

"Sudah, Jenderal."

"Di mana mereka?" tanya Kaizo.

"Sebelah sana," kata Fang seraya memberikan gestur ke arah timur. Kaizo menoleh.

Dari kejauhan, tampak pintu masuk itu diisi oleh kedatangan beberapa tenaga medis berseragam serba hijau dan tujuh elemental dalam berbagai kondisi. Halilintar masih koma dan dibawa dengan gurney yang didorong dua perawat, Ice dan Solar, Taufan yang buta dibawa oleh kursi disabilitas yang didorong oleh Blaze. Gempa yang mengalami kerusakan syaraf belakang hingga lumpuh tengah terbaring di gurney juga, didorong oleh dua perawat dan Thorn yang membantu. Ochobot yang masih tertidur dibawa oleh Ice yang tampak kalut pada kondisi semua orang.

Tanpa banyak bicara, kru medis bawaan Kaizo menyambut dua gurney yang membawa Halilintar serta Gempa dan Taufan yang ada di kursi disabilitas. Mereka memosisikan ketiganya pada lift yang sudah diturunkan. Thorn, Solar, Ice dan Blaze ikut naik pada lift itu.

Kru Kaizo kemudian menaikkan lift yang memuat ketujuh elemental ke dalam pesawat sementara Fang menatapi kepergian mereka semua dengan dada mencelos. Takdir mereka telah diketuk palu dan mereka semua akan dijadikan bahan penelitian fasilitas sebelum dimusnahkan. Fang tak pernah merasa berdosa seperti ini.

Kaizo menilik raut wajah Fang yang tampak penuh kemelut perasaan namun berusaha ia tahan. Sang jenderal lalu berkata.

"Apa kau mau sertai keberangkatan mereka?" tawar Kaizo. Fang agak terkejut mendengar penawaran itu namun ia segera tersadar.

"Baik, Jenderal," kata Fang. Ia sungguh tak tahu mengapa ia mau saja ikut Kaizo ke fasilitas kalau sebenarnya ia hanya akan menyaksikan tujuh elemental dibunuh massal?

Tapi Fang ingin memberikan penghormatan terakhir bagi mereka semua. Demi sahabatnya dahulu, Boboiboy. Tujuh elemental ini adalah warisan Boboiboy pada Fang dan ia memercayakan mereka pada penjagaannya. Fang ingin melepas mereka semua seraya berdoa mereka akan mendapat penghidupan lebih baik pada alam selanjutnya. Jika di dunia ini mereka tak diizinkan hidup, mungkin memang karena dunia sudah menjadi tempat yang terlalu buruk untuk ditinggali. Mereka bisa bahagia pada rumah selanjutnya di sana.

Fang mengeraskan hati dan tekadnya. Ini yang terbaik, pikirnya. Tapi itu terdengar seperti Fang berusaha meyakinkan dirinya agar tidak merasa bersalah. Jauh dalam sanubarinya, Fang tahu ia juga ikut andil dalam pembunuhan massal ini. Ia hanya ingin cuci tangan dari rasa menyesalnya, namun sayangnya dosa itu akan terus mengejarnya hingga ia mati nanti.

Seseorang dari kru Kaizo mendatangi mereka dan memberikan hormat, membuyarkan gejolak di benak Fang. Kaizo membalasnya dengan anggukan samar.

"Lapor, Jenderal. Semua subjek telah siap diberangkatkan."

"Bagus. Kita berangkat sekarang."

"Baik, Jenderal."

Kepala kru itu lantas memberikan hormat dan pergi. Kaizo menoleh pada Fang.

"Ayo."

"Baik, Jenderal."

Kaizo menaiki tangga pesawat tanpa menunggu siapapun, dua orang kepercayaannya mengekori dari belakang. Dengan hati berat, Fang menoleh ke arah Sai dan Shielda yang berdiri di belakangnya.

"Kutinggalkan TAPOPS pada kalian," ujarnya. Sai dan Shielda tampak khawatir.

"Kau tak apa Fang? Wajahmu pucat sekali," komentar Sai.

"Kau tak perlu melakukan perjalanan ini kalau sakit," usul Shielda. Fang menggelengkan kepalanya sedikit.

"Tidak, aku baik-baik saja. Maaf sudah mencemaskan," kata Fang sambil tersenyum tipis. "Aku pergi."

Dengan itu Fang menaiki tangga pesawat, diiringi tatapan penuh tanya dan cemas Sai serta Shielda. Fang benci membebani keduanya dengan apa yang ia tahu, Sai dan Shielda seperti dua kakak baginya—karenanya Fang tak suka mereka memanggilnya "komandan" dan sama tak sukanya dengan mengkhawatirkan mereka. Biarlah rasa berdosa ini mengerogoti Fang dari dalam layaknya rayap yang memakan kayu hingga lapuk, pada akhirnya Fang akan hancur dengan rasa bersalahnya.

Fang lalu memasuki ruang kontrol utama dan menempati kursi di sebelah Kaizo. Semua teknisi sudah berada pada pos masing-masing, mempersiapkan keberangkatan dari kunjungan sangat singkat itu. Perut Fang terasa hendak terbalik rasanya ketika mendengar Kaizo berkata pada salah satu teknisi.

"Berapa jauh wormhole terdekat?"

"4.8 tahun cahaya, Jenderal."

"Set warp factor menjadi 3. Seharusnya kita akan sampai dalam waktu 30 menit."

"Laksanakan Jenderal. Warp factor ketiga diaktifkan."

"Propulsion siap."

"Anti-matter engine siap."

"Life-support system siap."

"Distorsi dalam 3... 2... 1!"

Pesawat mereka lalu melesat dalam sekejap mata menuju wormhole terdekat—tampak dari luar pesawat itu seolah menghilang begitu saja karena sangat cepatnya hingga tak bisa ditangkap oleh mata telanjang. Saat seperti ini Fang membenci teknologi canggih yang menyebabkan semua hal berjalan terlalu laju untuk dirinya. Entah ia harus bersyukur atau tidak.

"Spacecraft is stabilized."

Suara komputer mengumumkan mereka telah melewati masa rentan dan semua pengaman di kursi terlipat otomatis. Kaizo tiba-tiba bangkit dari kursi kapten kapal, Fang menengadah melihat sang jenderal.

"Nio, awasi semuanya," titah Kaizo pada seorang teknisi alien.

"Baik, Jenderal."

Kaizo lalu turun dari kursi, jubah biru tua bulunya tampak berkibar sedikit. Tanpa menoleh, ia berkata.

"Ikut aku, Fang."

Fang agak terkejut namun ia segera tersadar.

"Ah, um, baik Jenderal."

Mereka berdua berjalan melewati koridor yang terbuat dari logam hitam, lampu-lampu bersinar dari ceruk kecil di perpotongan dinding dan atap. Fang mengagumi interior pesawat ini—desainnya serba hitam elegan berkelas yang terlihat serius namun tetap apik dan praktikal. Biarpun hanya menjemput kloning, pesawat ini sangat pantas untuk dinaiki jenderal sekelas Kaizo, jenderal yang memimpin satu galaksi dari Kesatuan Militer Antariksa Galaksi Voxion, salah satu galaksi terbesar di alam semesta.

Hanya saja Kesatuan Militer tempatnya bernaung tengah menangani kasus yang dapat berbuah skandal. Musuh dan rival mereka bisa menggoreng habis mereka semua dan akhirnya menjadikan ini alasan untuk memecah perang. Kecemburuan teknologi lebih tepatnya. Karena itu Kaizo turun tangan langsung menyelesaikan semuanya. Ia harus memastikan semua hal berjalan baik-baik saja.

Kaizo tiba-tiba berbelok pada sebuah persimpangan dan Fang melihat sebuah pintu cukup besar terbuat dari logam hitam. Kaizo lalu menempelkan telapak tangannya pada pintu itu—seketika tampak gurat-gurat benang berwarna biru terang menyala dan pintu terbelah, mempersilahkan Kaizo dan Fang masuk. Fang agak terkesima dengan sistem pemindai tersebut, benar-benar praktis dan simpel namun menyimpan kerumitan yang tinggi. Fang yakin itu adalah pemindai DNA dari tangan Kaizo, bukan pemindai sidik jari.

Ruangan yang mereka masuki cukup luas dan ada beberapa kapsul yang berjejer rapi. Tampak tujuh elemental tertidur dalam kapsul besar, masing-masing ada kapsul miliknya. Fang terperanjat ternyata Kaizo membawanya kemari. Ia lalu menoleh ke arah sang kakak.

"Jenderal, mengapa—"

Kaizo tak menghiraukan ucapan Fang dan ia terus berjalan ke arah tujuh kapsul berisikan elemental Boboiboy. Di dekat kapsul-kapsul itu ada seorang alien berwujud manusia berdiri, kacamata bundar membingkai wajahnya—Eo. Ia bersama beberapa anak buahnya yang menangani tujuh kapsul tersebut dan sistem penyangga kehidupan di dalamnya.

"Bagaimana status mereka, Eo?" tanya Kaizo.

"Kecuali yang merah itu," tunjuk Eo pada Halilintar yang pingsan dalam kapsul. "Semuanya dalam kondisi relatif stabil."

"Yang kau tunjuk itu namanya Halilintar," kata Fang. "Sebutlah dengan namanya."

Eo tampak mengerutkan alis ke arah Fang namun ia akhirnya mengiyakan.

"Subjek Gempa mengalami kerusakan syaraf, Subjek Taufan korneanya rusak dan terancam kerusakan lain. Untuk Subjek Ice, ia terancam kegagalan fungsi liver total, Subjek Blaze terancam kegagalan batang otak, Subjek Thorn terancam kegagalan fungsi otot jantung dan Subjek Solar terancam kegagalan fungsi pernafasan."

"Singkatnya, semua kegagalan ini mematikan," ujar Fang. Eo mengangguk.

"Benar. Kematian cepat dan tak bisa diselamatkan. Transplantasi organ sekalipun akan ditolak oleh sistem imun mereka, termasuk transfusi darah."

Fang memejamkan matanya erat-erat. Kepalanya mendadak terasa ringan dan perutnya mual. Ia sungguh ingin lari dari sini tapi Kaizo berpikiran lain.

"Tinggalkan kami, Eo," ujar Kaizo. Eo mengangguk kecil.

"Baik, Jenderal."

Dalam kurun waktu beberapa saat, ruangan ini kosong kecuali Kaizo dan Fang saja beserta tujuh elemental Boboiboy yang masih pingsan di dalam kapsul. Kelak pasokan oksigen kapsul-kapsul ini akan disuntikkan gas beracun hingga para elemental mati lemas. Setelah itu mereka semua akan diautopsi untuk dipelajari, selanjutnya tubuh mereka akan dibakar dalam panas ribuan derajat hingga menjadi abu dan dibuang ke luar angkasa demi menutupi skandal.

Tapi Kaizo berpikiran lain.

Fang menatap penuh tanya saat Kaizo tiba-tiba menekan beberapa tombol di panel kapsul Halilintar. Kapsul itu turun dan mengambil posisi mendatar. Kaizo menekan lagi sebuah tombol di panel dan kaca kapsul terbuka separuh—tampak Halilintar yang terbaring koma, wajahnya pucat-pias hampir mati. Fang merasa tak tega melihatnya, ia memalingkan wajah.

"Mengapa Anda membukanya, Jenderal?" tanya Fang.

"Aku memiliki teori yang perlu diuji," kata Kaizo seraya mengangkat tangannya ke udara. "Hanya perlu energi listrik dalam jumlah yang sesuai."

Seketika itu lampu berkedip-kedip dan semua layar di ruangan tampak buram seolah dayanya berkurang. Fang mundur ke belakang sedikit—Kaizo rupanya tengah menarik energi listrik pada sekelilingnya sebab kekuatan Kaizo adalah manipulasi energi, menyebabkan Kaizo lawan yang tak tertandingi. Entah apa rencana Kaizo namun Fang melihat lengan Kaizo dipenuhi energi listrik, percikannya tampak menyambar jinak. Sang jenderal lalu menyalurkan energi itu ke dada Halilintar, menyebabkan Fang terbelalak kaget.

"Jangan!"

Energi listrik itu membuat tubuh Halilintar terlonjak keras dan membakar bajunya meski kulitnya selamat. Halilintar tiba-tiba terduduk di kapsulnya dengan mata terbelalak terbuka dan menghirup nafas dalam-dalam seolah ia baru saja lepas dari cekikan maut. Fang memekik terkejut.

"Demi Tuhan!" seru Fang tak percaya. Tampak Halilintar mengambil nafas dengan serakah, matanya nyalang menatap sekitarnya. Ia lalu memandang Fang dan Kaizo dengan raut panik.

"Di mana ini?" tanyanya dengan suara parau. Fang menoleh ke arah Kaizo yang mengamati Halilintar dengan ekspresi tak terbaca.

"Bagaimana bisa? Halilintar dinyatakan koma dan sekarat!" ujar Fang heran namun Kaizo tampak tidak mendengarkan pertanyaan Fang, ia sibuk dengan pikirannya. Alisnya berkerut dalam pemikiran rumit seolah merencanakan sesuatu. Fang segera bungkam namun Halilintar tidak.

"Ada apa ini? Apa yang terjadi?" tuntut Halilintar. Ia seolah kenal dengan dua orang di depannya meski samar-samar. Siapa mereka ini? Di mana ia pernah menemui mereka?

"Siapa kalian?" tanya Halilintar dengan nada defensif. Fang menghela nafas bosan dengan semua perkenalan ulang ini.

"Kau amnesia lagi, Boboiboy Halilintar?" tanyanya. Mata Halilintar terbelalak mendengar suara yang ia kenali.

"Kaukah itu Fang? Kau berubah sekali, aku hampir tak mengenalimu," ujar Halilintar. "Lagipula sudah 250 tahun berlalu..."

Kalimat Halilintar terputus ketika matanya bertemu dengan Kaizo. Ia mengerutkan alis seolah berusaha mengingat sesuatu tapi gagal. Kaizo mengabaikan tatapan Halilintar, ia memalingkan wajah kepada Fang.

"Bangunkan mereka semua, Fang, ada yang harus aku sampaikan," perintah Kaizo tiba-tiba, merujuk pada keenam pecahan Boboiboy yang masih tertidur dalam kapsul masing-masing. Fang dengan sigap menanggapi.

"Baik, Jenderal."

Fang lalu menuju sebuah ruangan kaca tempat kontrol. Di sebuah layar besar ia menekan beberapa tombol dan seketika itu enam kapsul yang tersisa langsung turun dari tempat pancangnya dan dengan otomatis mengambil posisi mendatar. Dua detik kemudian, enam kapsul itu terbuka secara bersamaan, terlihat para elemental mulai siuman dengan mata berkedip-kedip.

Mereka masing-masing mulai bangun dan mendudukkan diri dalam kapsul tersebut. Thorn yang kapsulnya di sebelah Halilintar langsung terkejut saat ia melihat kakaknya.

"Eh! Lihat! Kak Hali sudah sembuh!" seru Thorn, membuat elemental lain menoleh ke arahnya. Begitu melihat Halilintar sadar dan tampak sehat, reaksi mereka beragam rupa—Blaze langsung melompat turun dari kapsul, disusul Thorn dan Ice. Gempa terpana sejenak dan Taufan tampak lega meski tak bisa melihat apapun. Solar ikut turun dan menghampiri mereka dengan diam.

"Ya ampun, Kak Hali!" seru Thorn sambil memeluk Halilintar. Blaze mengaitkan lengannya pada pundak si sulung kembar.

"Panjang umur! Panjang umur kau Halilintar!"

"Syukurlah," ucap Ice sambil tersenyum kecil, ia berdiri di samping kapsul Halilintar.

"Woah, Hali beruntung sekali!" ujar Taufan gembira. Meski ia merasa agak sedih tak bisa melihat kondisi Halilintar, tapi rasa gembiranya melebihi rasa tak puasnya.

"Hmm, syukurlah," gumam Gempa senang. Ia menyayangkan kakinya yang lumpuh dan tak bisa mendatangi Halilintar.

"Kenapa bisa?" tanya Solar pada Fang. "Dia sekarat tadi."

"Jenderal Kaizo yang menyadarkan, ah, menyembuhkan," kata Fang. Keenam persona Boboiboy itu menatap sang jenderal dengan tercengang dan tak percaya—apa benar laki-laki dengan jubah hitam-biru ini Kaizo? Ia tampak begitu mengintimidasi, mendominasi dan mengeluarkan wibawa seorang kaisar. Kapten Kaizo yang 250 tahun lalu mereka kenal memang berwibawa dan serius, tapi Kaizo sang Jenderal tampak begitu kharismatik hingga menimbulkan rasa takut dan kagum. Wajar saja keenam elemental hampir tak percaya ia adalah Kaizo saat Fang berkata demikian—minus Taufan yang tak bisa melihat sosoknya.

Mengabaikan tatapan penuh selidik para elemental, Kaizo mengedarkan pandangan tajamnya pada mereka semua.

"Dengarkan aku," titah Kaizo. "Sekarang, karena dugaanku sudah terverifikasi barusan, aku memiliki berita bagus untuk kalian semua."

"Benarkah?" kata Ice penuh harap.

"Ada juga berita buruknya," tambah Kaizo. Seketika itu suasana menjadi lebih mencekam. Kaizo mengerutkan kening.

"Alasan utama kalian para kloning tiba-tiba ambruk tanpa alasan jelas adalah karena kalian bukan sakit melainkan kehilangan esensi kehidupan kalian," ujar Kaizo sembari menyapukan pandangannya. "Kalian bertujuh adalah representasi elemen alam, kalian pada awalnya bertahan karena kalian meminjam energi kehidupan Boboiboy. Tapi semenjak Boboiboy mati, kalian tiba-tiba saja diberikan hidup bebas namun sayangnya tanpa independensi dari energi kehidupan Boboiboy. Tubuh kloning kalian tidak bisa bertahan saat dipaksa terus meregenerasi kuasa elemental tanpa sumber energi memadai—Boboiboy saja sering kelelahan menggunakan kuasa elemental. Akibatnya kuasa elemental kalian berubah menjadi bumerang dan menyerang organ tubuh kalian. Karena itu kalian sakit dan jika dibiarkan, tubuh kalian akan hancur dari dalam. Kalian mati."

Fang dan ketujuh elemental tercenung mendengar penjelasan mengerikan Kaizo itu. Tak ada yang memikirkan hingga ke sana namun terkaan Kaizo itu benar adanya. Halilintar ingat sewaktu ia muntah darah itu ia merasakan organ dalamnya sakit sekali seperti meleleh. Atau Taufan yang tiba-tiba sakit kepala hebat sebelum buta dan Gempa yang berteriak kesakitan saat ditangani dokter. Mereka bertanya apakah memang benar ini karena tubuh baru mereka tidak kuat menopang kuasa elemental? Lantas kuasa mereka sekarang bertingkah bak virus ganas, menyerang tubuh mereka sendiri tanpa ampun?

"Lalu... mengapa Halilintar bisa sadar? Sekarang ia tampak sehat sekali," tanya Blaze pada Kaizo.

"Aku mengalirkan sedikit energi listrik di pesawat ini padanya. Ia sembuh karena mendapat aliran tenaga yang berelemen sama," kata Kaizo sambil menatapi tiap elemental. "Masing-masing elemental memerlukan energi luaran yang berbeda-beda."

Berbanding terbalik dengan semua kloning Boboiboy yang masih mencerna kalimat Kaizo, Fang gembira dengan penjabaran tersebut.

"Apa ini berarti mereka akan baik-baik saja? Kita hanya perlu mengalirkan energi elemen alam pada mereka bukan?"

Kaizo memandang ke arah Fang dengan ekspresi netral namun kalimatnya sama sekali tidak menyenangkan.

"Itulah berita buruknya. Kalau hipotesisku benar, mereka takkan bisa hidup dialirkan energi alam terus. Mereka harus hidup pada sumbernya langsung," kata Kaizo.

Keenam elemental bertukar pandang, wajah-wajah mereka tampak penuh harap karena mereka akan selamat dari maut. Hanya Solar yang menyadari sesuatu ganjil. Dengan dada berdebar keras, Solar kemudian maju ke depan sedikit seraya menggenggam lengan Thorn yang ada di sebelahnya.

"Apa itu berarti kita semua akan berpisah...?"

Keenam elemental lain terperanjat mendengar Solar yang tiba-tiba menarik kesimpulan seaneh itu. Mana mungkin mereka hidup terpisah! Itu ide gila!

"Jangan bicara yang aneh-aneh! Kita semua tetap bersama!" kata Blaze marah bercampur kalut. "Benar 'kan?" tambah Blaze ragu ke arah Kaizo. Raut wajah jenderal itu masih tenang sekali.

"Kalian semua harus hidup terpisah kalau kalian masih mau hidup."

"Bagaimana mungkin!" seru Gempa tak terima, mewakili kegusaran elemental lain.

"Kalian hanya bisa hidup di planet khusus elemen, bukan planet ramah makhluk hidup di mana kalian bertujuh bisa bersama-sama," kata Kaizo. "Jika kalian berbagi satu planet, energi kuasa kalian akan saling bentrok dan malah membuat kalian kembali sakit."

Tujuh elemental tampak mencelos dan sangat terpukul. Mereka terhenyak, hati mereka menolak keras-keras kejadian ini. Gema suara Kaizo terngiang-ngiang dalam otak mereka dan rasanya terlalu pahit untuk diterima akal. Bagaimana mereka bisa hidup tanpa "saudara" mereka yang lain? Sendirian saja setelah selalu tak terpisahkan? Mereka takkan tabah menahan hal seperti itu! Mereka tak pernah berpisah sebelumnya! Mereka bersatu karena Boboiboy dan mereka tak bisa tiba-tiba berpecah-belah begitu.

Menyadari keengganan dan penolakan mereka, Kaizo lalu berkata.

"Sekarang ada dua pilihan. Kalian semua pilih menyaksikan satu per satu "saudara" kalian mati sakit atau hidup terpisah namun kalian semua selamat?"

Keheningan melanda dalam dilema yang luar biasa menghimpit dada. Hidup terpisah adalah hidup yang penuh derita kesepian dan disiksa rindu namun menyaksikan satu per satu dari mereka mati mengenaskan tanpa bisa berbuat apapun itu seperti menyembelih nurani mereka sendiri. Takkan tahan mereka melihat pemandangan sadis seperti itu, seakan jantung mereka direnggut paksa dari rongga dada. Namun waktu terus berjalan dan tak banyak kesempatan bagi mereka untuk berpikir sebelum satu demi satu dari mereka sekarat karena ganasnya kuasa mereka sendiri menyerang tubuh. Apa yang harus mereka pilih? Hidup sengsara dalam pedihnya kesepian atau menjadi pemirsa dalam tontonan pembantaian massal saudara mereka?

"Solar..." panggil Thorn yang sudah bergelayut pada lengan Solar, ia menangis tersedu-sedu. "Thorn takut..."

Solar hanya diam sambil memeluk "kakak" kloningnya itu. Blaze dan Ice sudah menyeka air mata mereka yang kian menderas, mereka berangkulan erat-erat. Taufan menggenggam kuat lengan Gempa karena rasa takut dan cemasnya. Gempa tampak muram, seakan ada kabut pada wajahnya. Apa yang harus mereka katakan? Ini terlalu tiba-tiba untuk keputusan sebesar itu, keputusan yang akan mereka rasai seumur hidup. Tak adakah jalan untuk bernafas lebih lega?

Di tengah kekalutan luar biasa antara kemelut dua pilihan simalakama, Halilintar maju dan menghadapi Kaizo. Raut wajahnya serius dan penuh badai emosi yang ia coba redam meski sulit.

"Aku tak akan bicara mengenai saudaraku yang lain, maka aku akan mengutarakan pikiranku saja," kata Halilintar seraya menatap Kaizo. "Aku lebih suka menahan rasa kesepian daripada menyaksikan mereka semua mati menderita di depanku."

Seketika itu, tabir terbuka dan mereka lalu memutuskan.

Mungkin ini jalan terbaik.

.

.

.

.

Kau dan aku bertalian

Kekal laksana prasasti sunan

Hikayat menggurat awan

Niscaya aku menatap horizon

Untuk membaca lagi warisan

.

.

.

.

Ada tujuh tempat. Tujuh planet dengan elemen masing-masing.

Planet Guruhan adalah planet yang atmosfirnya didominansi partikel elektron dan menciptakan petir. Langit hampir selalu muram, gelap dengan sambaran kilat dan guntur bersahut-sahutan. Awan kerap bergulung-gulung layaknya kapas yang ditumpuk-tumpuk, meramu teror badai petir. Di sinilah Halilintar bersemayam sendirian tanpa keenam saudaranya. Senantiasa merindukan kebersamaan hangat dengan mereka. Langit pun sendu menyaksikan kesedihannya.

Planet Bayugan adalah planet yang sangat berangin. Kecepatan puting-beliung di sana dapat mencapai puluhan kilometer per detik. Sekali badai bertiup, lama sekali akan mereda. Tajamnya angin menghancurkan tiap struktur geografis tinggi seperti bukit, menciptakan padang tandus. Di sinilah Taufan bersemayam sendirian tanpa keenam saudaranya. Senantiasa merindukan kebersamaan hangat dengan mereka. Angin pun berteriak menyaksikan kesedihannya.

Planet Metaline adalah planet yang penuh bebatuan, tanah dan mineral lainnya. Struktur geografisnya penuh pegunungan dan perbukitan, melimpah dengan tambang kristal, kuarsa dan emas. Gurun-gurun membentang luas laksana permadani cokelat. Di sinilah Gempa bersemayam sendirian tanpa keenam saudaranya. Senantiasa merindukan kebersamaan hangat dengan mereka. Gunung pun berguncang menyaksikan kesedihannya.

Planet Volkania adalah planet yang penuh dengan pegunungan berapi yang kerap memuntahkan lahar mendidih. Gejolak panasnya muntahan vulkanik menganak-sungai, merah membara. Udaranya begitu panas menyengat, hingga menyesakkan nafas makhluk hidup manapun. Di sinilah Blaze bersemayam sendirian tanpa keenam saudaranya. Senantiasa merindukan kebersamaan hangat dengan mereka. Kobaran api pun mendingin menyaksikan kesedihannya.

Planet Aquaros adalah planet yang seluruh permukaannya tertutupi lautan. Tak ada tanah yang bisa dipijak di sana, hanya ada bongkahan es besar berbentuk benua sebagai tempat berdiri. Suhunya begitu ekstrim, puluhan bahkan ratusan derajat Celcius di bawah 0. Hembusan hawa dingin dapat mematikan banyak makhluk hidup. Di sinilah Ice bersemayam sendirian tanpa keenam saudaranya. Senantiasa merindukan kebersamaan hangat dengan mereka. Es pun mencair menyaksikan kesedihannya.

Planet Rimbara adalah planet yang sangat subur oleh trilyunan spesies tumbuhan dan jamur. Pohon-pohon raksasa bercabang menjulang menyentuh awan. Bunga-bunga bermekaran laksana jutaan lampion warna-warni berkerumun. Hutan rimba hijau sepanjang musim laksana zamrud beruntaian. Buah-buahan bergelayut berbagai rasa dan warna. Di sinilah Thorn bersemayam sendirian tanpa keenam saudaranya. Senantiasa merindukan kebersamaan hangat dengan mereka. Dedaunan pun layu menyaksikan kesedihannya.

Planet Pelitari adalah planet aneh yang mana ia tak berotasi, menyebabkan separuh wajah planet selalu disinari cahaya bintang sementara separuh planet lainnya selalu gelap-gulita. Satu tempat selalu siang, satu tempat selalu malam. Cahaya abadi dan kegelapan abadi. Di sinilah Solar bersemayam sendirian tanpa keenam saudaranya. Senantiasa merindukan kebersamaan hangat dengan mereka. Bintang pun meredup menyaksikan kesedihannya.

Di tujuh planet berbeda, mereka hidup terpisah selama ratusan tahun hingga akhirnya mereka mati kesepian dan tubuh mereka menyatu dengan alam. Halilintar menjadi guntur merah di langit. Taufan bersatu bersama angin dan bebas terbang ke manapun ia sukai. Gempa menyatu bersama gunung, jasadnya terkubur diam di sana. Blaze berubah menjadi kobaran api abadi yang selalu menyala di puncak gunung berapi. Ice menjadi buih di lautan, selamanya berenang dalam samudera bebas. Thorn ditelan oleh hutan dan menjadi pohon raksasa berbunga lebat. Solar menjadi serpihan cahaya di langit planetnya, menjadi komet yang menari-nari sewaktu senja.

Pada akhirnya, mereka berpulang ke hakikat asal mereka, elemen alam.

.

.

.

Tamat.

.

Terimakasih kepada 0Aozora0 - ReincArte - RNE - Meltavi - Guest - Strawberry Cheesecake14 - Chanderione - AxeralenTriche97 - Guest - elsacaca474 - Aprilia - Elios Finster - Nana1204

Dan semua yang sudah fave, follow dan membaca ini~

Menjawab pertanyaan:

ReincArte: ah, terimakasih! Saya ada rencana menulis novel ori kok, tentang negeri setelah Indonesia runtuh tapi belum selesai ^-^

elsacaca474: ah sebenarnya kalau mereka dihapuskan, kuasa elemental juga akan hilang dari jam kuasa kok. Seperti di movie, saat Solar, Halilintar, Thorn dan Taufan diserap Retak'ka ^-^

Sampai jumpa di fanfic saya yang lain! Terimakasih sudah setia mengikuti Abide With Me sampai akhir!

P.S

Ah saya mau buat cerita epilognya tentang Ochobot, Fang-Kaizo dan cerita sampingan elemental. Menurutmu bagaimana? Tergantung sih... kalau banyak yang respons bisa saya tulis nanti ^-^