Saat itu Eijun masih berusia sembilan tahun. Ia sedang bermain di paviliun istana bawah laut ketika seseorang datang menghampirinya.

"Seppta," Eijun ingat namanya. Gadis itu terlihat berusia sembilan belas, namun Eijun pernah diberi tahu bahwa usianya sudah lebih dari lima puluh.

"Hai, Pangeran." Seppta menyapa, bibirnya menyunggingkan sebuah senyum, namun senyum Seppta tak pernah menyentuh matanya.

Salah satu kakaknya pernah bercerita, bahwa Seppta dulunya manusia. Kemudian suatu kemalangan menimpa dan membunuhnya. Triton jatuh kasihan pada gadis itu dan memberinya kesempatan untuk hidup selama apapun yang ia mau, akan tetapi hanya selama ia berada di lautan dan tidak pernah jauh-jauh dari istana Triton.

Seppta sebenarnya sedikit-banyak berperan sebagai teropong Eijun ke dunia manusia. Ia banyak bertanya kepada gadis itu, tapi kebanyakan jawaban Seppta tak bisa membuatnya puas. Seppta tampak selalu menahan napas tiap kali menjawab pertanyaannya, seakan-akan gadis itu merasa muak juga menderita jika harus mengungkit-ungkit kehidupan sebagai manusia. Jadi, Eijun memutuskan untuk berhenti bertanya dan memulai ekpedisinya sendirian tentang kehidupan manusia.

"Kau tumbuh dengan pesat, Pangeran."

"Kupikir tidak terlalu, aku berharap tubuhku akan sebesar kak Tetsu." Eijun menekuk lengannya ke atas, lalu memeriksa ototnya yang belum terbentuk sempurna, kemudian mengerucutkan bibir dengan kecewa. "Yah, aku baru sembilan tahun juga sih."

Seppta tersenyum samar, atau mungkin semata-mata hanya mengendurkan garis mulutnya karena Seppta tidak pernah benar-benar tersenyum. "Kau akan tumbuh melampaui Pangeran Tetsuya, dalam artian yang berbeda."

Eijun menyeringai kecil, memutuskan untuk berpindah tepat ke sebelah gadis itu dan memberanikan diri untuk bertanya. "Bolehkah aku tahu apa yang dulu membunuhmu? Ah, maksudku, aku tahu cerita bahwa kau tenggelam ke dasar laut dan ditemukan oleh ayahku, tapi…" Eijun menggigit lidahnyaJangan melakukan hal yang membuat orang lain tidak nyaman, kau tidak boleh memanfaatkan gelarmu sebagai Pangeran untuk menyakiti orang lain, suara Ibu Ratu berputar ulang dalam kepalanya. Sejarah berkali-kali menceritakan nasib buruk menimpa pangeran sombong yang tak punya hati nurani, Eijun tidak mau menjadi salah satu di antaranya. Terutama soal perempuan, suara Ratu muncul lagi, apabila seorang laki-laki membuat perempuan menangis, maka setiap langkahnya akan dikutuk oleh para malaikat. Eijun menghela napas, menggeleng samar. "Sudahlah, lupakan."

"Kesetiaan."

Suara Seppta begitu lugas terdegar. Mata abu-abunya menampilkan citra nostalgia dan kehampaan di saat yang bersamaan. Eijun semata-mata hanya berkedip, terlampau terkejut dengan ucapan gadis itu yang datang tiba-tiba.

"Kesetiaan?"

"Benar, Pangeran. Yang membunuhku adalah sebuah kesetiaan."

Bibir Seppta terkatup rapat, kerutan samar tercipta di seputar matanya. "Aku dulunya adalah seorang gadis bodoh yang naif. Aku bergantung penuh dan percaya seutuhnya kepada orang-orang di sekelilingku. Aku selalu berpikir mereka menyanyagiku setulus hati, dan tak akan pernah menyakitiku."

Eijun mengernyitkan hidung. Ia sama sekali tidak paham kata-kata gadis itu. "Siapa yang menyakitimu? Apa yang mereka lalukan? Apa kesalahanmu?"

Seppta balik menatapnya, kali ini senyumnya tampak begitu memilukan. "Kesalahan terbesarku, aku mencintai mereka semua."

"Aku tidak mengerti…" Gumam Eijun. Bagaimana bisa cinta disalahkan?

"Kalau begitu sebaiknya kau tidak pernah mengerti, Pangeran."

"Apa maksudmu?"

Seppta berpaling darinya. "Biar aku beritahu sebuah rahasia." Katanya, wajah gadis itu tampak tegar meskipun matanya penuh kesedihan. Suaranya datang dalam bentuk gelombang tipis namun bergetar dalam dan begitu emosional.

"Semakin banyak kau mencintai seorang… semakin lemah dirimu. Kau akan melakukan apapun untuk mereka, bahkan hal-hal yang tak ingin kau lakukan. Kau akan bertindak bodoh untuk membuat mereka senang dan kau akan membahayakan dirimu untuk membuat mereka aman." Seppta kembali menatapnya, kebencian dan duka menyatu di mata abu-abunya. "Jangan pernah cintai siapapun, Pangeran."

~oo0oo~

"Wow!" Kazuya bersiul seru. Mendengus dan tersenyum tipis begitu Eijun memutar tubuhnya dan menatapnya dengan mata berkilat kaget.

"Sebelumnya ku kira ini hanya perasaanku saja." Katanya, berjalan mendekat ke arah Eijun yang ganti menatap bingung. Kazuya berhenti tepat dua langkah darinya. Lalu mulai mengamati Eijun dari ujung kaki sampai ujung rambut, kembali lagi ke ujung kaki dan berhenti di matanya. "Tapi kau benar-benar cocok dengan pakaian bangsawan." Ia berkomentar.

"Tidak semua orang terlihat bagus dengan pakaian seperti itu, kau tahu?" Tanya Kazuya retoris. Eijun mengerutkan alis dan memandangi tubuhnya seolah mencari hal yang salah. Pemandangan itu membuat Kazuya terkekeh kecil. "Aku sedang memujimu, bukan menghina."

Eijun menaikkan sebelah alisnya. Benarkah?

"Benar," Kata Kazuya seolah bisa membaca pikirannya. "kau cocok dengan pakaian bangsawan." Ia mengonfirmasi. "Tidak sembarang orang cocok mengenakannya, asal kau tahu saja. Pakaian yang ditenun di kerajaan punya daya magis tersendiri. Ketika orang biasa mengenakannya, hampir seluruh dari mereka akan terkesan seolah ikan yang dipaksa memakai mantel berbulu serigala, tidak cocok. Tapi kau?" Kazuya mengamatinya sekali lagi. "Kau kelihatan sangat pantas memakai pakaian seperti ini. Aku mulai bertanya-tanya, apakah mungkin ada darah bangsawan yang mengalir dalam tubuhmu?"

Lama, Eijun berpikir, kemudian mendengus kecil. Bukan hanya darah bangsawan, bahkan ada darah dewata yang mengalir dalam pembuluh darahku.

Bahu Kazuya berkedik ringan. "Terserahlah, siapapun kau, bahkan sekalipun kau keturunan seorang pangeran yang diutus sebagai jebakan untuk membunuh dan menggulingkanku dari takhta, kau tidak akan berdaya." Kazuya memberinya senyum super pahit, matanya berkilat angkuh nan keji. "Kau diawasi dua puluh empat jam sehari, dan tak punya senjata apapun. Lupakan saja jika kau punya niat bodoh untuk membunuhku."

Eijun menggigit bibir bawahnya untuk menekan perasaan. Tiga hari tinggal di dekat Kazuya membuatnya banyak mengetahui sifat-sifat lain Sang Raja belia. Sayangnya itu bukan sifat-sifat yang cukup baik.

"Ayo keluar," Ajak Kazuya ringkas, mata mereka kembali bertemu. "ada hal yang ingin kutunjukkan padamu."

Lima belas menit setelahnya, mereka sampai di instal kuda kerajaan. Kazuya tersenyum bangga begitu mencapai seekor kuda berbulu hitam pekat dan bertubuh tinggi gagah yang ada di salah satu instal.

"Halo, Jagoan." Kazuya menyapa makhluk berkaki empat itu dengan ceria, senyum di wajahnya terlihat tulus. Eijun mengamati dengan seksama bagaimana Kazuya mengelus moncong kuda itu penuh dedikasi. Kemudian, pemuda itu kembali menoleh pada Eijun. "Namanya Niger." Katanya, dibalas anggukan kecil oleh Eijun.

"Ayahku menghadiahkannya saat aku berusia tujuh tahun. Sejak saat itu dia resmi menjadi kuda pribadiku, tak ada satu orangpun yang pernah menungganginya kecuali aku." Tersenyum miring, Kazuya menarik kembali tangannya dari moncong Niger kemudian menyilang tangan di depan dada dan menatap Eijun dengan kilat kesombongan di matanya. "Dan Niger tak pernah mengizinkan siapapun mendekatinya kecuali aku. Bahkan ayahku sendiri, yang saat itu masih sebagai seorang Raja mentah-mentah dia tolak ketika mencoba menungganginya."

Sombong, dengus Eijun dalam hati. Ia hanya mengangguk kecil selagi Kazuya melirik dan memberinya senyum arogan. Raja Muda itu kemudian bergerak lebih dekat dengan kuda kesayangannya, membuka slot pintu agar kuda itu bisa keluar. Begitu melangkah keluar, kuda itu memekik nyaring. Kedua kaki depannya terangkat naik hingga membuat Kazuya terkaget dan mundur dua langkah. Eijun merasakan tubuhnya membeku di tempat, ia tak pernah melihat kuda sedekat ini dan ia tidak menyangka bahwa binatang itu ternyata cukup besar.

"Hey." Kazuya kembali maju untuk mendekat pada kudanya. "Tenanglah, Nak. Ada apa denganmu?"

Eijun menatap resah ke arah Kazuya. Ia cukup mengerti bahwa tendangan tapal kuda punya tenaga yang tidak main-main besarnya. Jika Niger sampai mengamuk dan menendang Kazuya, maka bisa dipastikan Kazuya dalam bahaya.

Ringikan keras sekali lagi, Eijun sudah bersiap untuk menarik Kazuya menjauh. Tapi di luar dugaan, kuda hitam nan gagah itu kemudian membungkuk, kedua kaki bagian depannya terlipat, kepalanya menunduk dalam dan merendah persis di hadapan Eijun.

Dalam sekejap keadaan menjadi hening, baik Eijun maupun Kazuya membeku di tempatnya berdiri dengan mata menatap bengong ke arah Niger.

"Apa-apaan...?"

'Salam, Tuanku.'

Eijun melompat kaget. Suara siapa itu?! Ia menoleh ke segala penjuru, namun tak ada orang lain di sini selain dirinya dan Kazuya yang masih terbengong memandang kudanya berlutut pada Eijun.

'Tuanku, saya sedang berlutut.'

Kali ini tulang punggung Eijun menegang kaku. Ia melirik dengan gerak patah-patah ke arah Niger yang masih membungkuk hormat padanya. Kuda ini bicara padaku? Apa aku berhalusinasi?

Kuda meringik nyaring di hadapannya dan kian menundukkan kepala. Sekarang Eijun mengambil langkah mundur. Ia yakin wajahnya pucat pasi, sedangkan Kazuya tampak masih keheranan dengan peristiwa yang terjadi, melihat dari ekspresi Kazuya, ia cukup yakin Kazuya tak mendengar suara yang Eijun dengar.

'Tidak perlu takut, Tuanku. Anda keturunan Poseidon, dewa yang menciptakan kuda. Artinya semua kuda adalah abdi setiamu.'

Eijun menelan ludah, Keturunan Poseidon… Abdi setia… kata-kata itu berputar lambat dalam kepalanya. Membuat napasnya bertambah berat dan sel otaknya berpikir keras. Jadi, kekuasaan Poseidon tidak hanya di dalam laut saja?

"Niger?" Suara Kazuya membuyarkan lamunannya, Sang Raja maju perlahan-lahan dengan satu tangan berusaha menyentuh kepala Niger, posturnya tetap waspada. "Ada apa denganmu? Aku tidak pernah melihatmu berlutut sebelumnya."

Eijun berpikir kejadian semacam ini pasti tak lazim bagi Kazuya. Ia tidak boleh merusak buku aturan dari dunia manusia dengan segala sihir dan hal-hal tak masuk akal dari dunianya. Maka dari itu ia memberanikan diri menatap lekat ke mata Niger, dengan segenap kesungguhan berusaha menyalurkan bentuk perintah yang paling tegas kepada kuda istana itu. Niger, bangunlah.

Niger bangkit berdiri dan berpijak di atas keempat kakinya nyaris secepat kedipan mata, membuat Kazuya tercengang dan memandangi kudanya keheranan. Mata Eijun kembali pada Niger, ia tak yakin bagaimana Niger mampu memahami perintahnya, namun demikian ia tetap bicara dengan hatinya.

Aku terima abdimu. Sekarang bertindaklah seperti biasa, dan beritahu seluruh teman-temanmu untuk memperlakukanku seperti manusia biasa di depan orang lain.

Niger mengeluarkan suara meringik sekali lagi, sebelum kemudian mengalihkan kepalanya kepada Kazuya, kuda itu menunduk kecil sebagai bentuk kepercayaan dan penerimaan atau mungkin semata-mata agar Kazuya berhenti memasang wajah kebingungan. Saat Kazuya perlahan menyentuh moncong Niger seperti yang biasa dia lakukan, barulah Eijun bisa menghela napas.

"Ini aneh." Kazuya berkomentar, menoleh padanya dengan dahi berkerut sementara satu tangannya masih mengusap bagian leher kudanya dengan gestur menenangkan. "Aku baru saja menyombongkan betapa Niger tak bisa ditaklukkan oleh siapapun, tapi kemudian dia malah membungkuk hormat padamu." Kazuya tersenyum miring dan memandang Eijun penuh minat. "Andai kau tidak bisu, sudah kupaksa kau bicara dan menceritakan siapa kau sebenarnya. Bahkan kalau perlu, aku akan membuatmu terus bicara sampai tenggorokanmu putus."

Eijun tersenyum kecut, ia menangkap mata Niger kali ini memandangi Kazuya dengan kemarahan, kuda itu jelas siap menendang Kazuya kapanpun Eijun memberi perintah. Namun Eijun tak segegabah itu, ia menatap Niger dan memintanya untuk tetap tenang dan bertindak sebagai kuda Kazuya yang patuh.

Kazuya memasang tali pengekang dan pelana ke tubuh Niger sebelum kemudian menuntunnya berjalan ke instal yang lain, dengan gerak dagu ia meminta Eijun tetap mengikutinya. Beberapa saat kemudian mereka sampai di salah satu kandang kuda berukuran medium, lebih kecil dari kandang milik Niger, namun juga terlihat lebih istimewa dibanding kandang-kandang yang lain.

Niger lagi-lagi meringik begitu bertatapan dengan kuda lain penghuni kandang itu. Sementara Eijun mendapati dirinya bergidik karena dapat memahami apa yang Niger katakan, Tidak perlu membungkuk padanya. Tuan meminta kita bertindak seperti biasa.

"Namanya Album." Lagi-lagi Kazuya berperan sebagai media yang memperkenalkan Eijun dengan nama-nama kuda di istananya. Sebuah kenyataan yang sebenarnya cukup miris, mengingat Kazuya bahkan sampai saat ini tidak tahu nama Eijun, tapi Eijun seolah dipaksa menghapal semua nama penghuni istana beserta hewan-hewanya.

Album adalah seekor kuda berbulu putih dengan corak abu-abu melintang tepat di garis moncongnya. Tidak sebesar dan setinggi Niger, terkesan lebih ramping, namun tetap terlihat gagah. Tanpa sadar Eijun tersenyum memandang mata Album yang berwarna sepekat kopi, satu tangannya bahkan bergerak untuk menggapai moncong Album dan mengelusnya hati-hati, merasakan tekstur bulu halus dan hembusan hangat napasnya.

'Saya siap melayani Anda, Tuan.'

Eijun mengangguk tipis, tersenyum ceria memandangi Album, tidak sadar bahwa sedari tadi Kazuya tengah menatapnya dengan alis terangkat tinggi. "Ku rasa dia suka padamu." Komentar Kazuya, mereka bertatapan sekilas kemudian Kazuya mendelikkan bahu samar dan membuka pintu kandang Album, ia mengambil tali kekang dan pelana yang tergantung di dinding, lalu mulai memasangkannya pada Album.

"Kau pernah naik kuda?"

Eijun mengigit bibir bawahnya, ia melirik ke arah Niger dan Album dengan gelisah, berharap kuda-kuda itu dapat membantunya. Lalu ia sadar itu pemikiran yang bodoh. Maka ia menggeleng muram, mengamati ketika Kazuya mengencangkan tali ke tubuh Album.

"Well," Kazuya menghela napas, tersenyum sekilas. "Jadi kau disukai oleh para kuda, tapi bahkan belum pernah menungganginya? Barangkali kau berbakat jadi pengurus kuda, tapi bukan pengendaranya."

Dasar sarkas, Eijun berusaha agar tidak memutar bola matanya, memaksakan diri untuk tersenyum menanggapi kalimat yang keluar dari mulut Kazuya. Kemudian Sang Raja menyerahkan tali kekang Album pada Eijun, memintanya menuntun Album sementara ia menuntun Niger. "Mari kita lihat, apa kuda-kuda masih akan menyukaimu apabila kau naik ke punggungnya."

~oo0oo~

Sedari awal, Kazuya tahu ada yang aneh dari pemuda brunnete itu. Sejak tiga hari yang lalu dimana ia menemukannya terdampar sendirian di tepi pantai istana, tanpa identitas, tanpa pakaian, bahkan tanpa bisa berbicara, kejadian ini sebenarnya sudah cukup menghebohkan. Terlebih wajahnya sama sekali tak masuk dalam daftar pencarian orang hilang, Kazuya mengirim surat kepada kerajaan-kerajaan lain, bertanya kalau-kalau salah satu pangeran mereka menghilang, namun tak ada yang mengakui. Dan karena sampai detik ini Kazuya tak tahu siapa namanya, maka diam-diam Kazuya mulai menyebutnya Aurumemas. Nama yang diambil dari warna matanya yang begitu cemerlang seperti emas dua puluh empat karat.

Dari yang Kazuya amati, Aurum tampaknya terkesima terhadap nyaris semua hal yang ia lihat dan temui. Matanya selalu berbinar-binar menatap segala hal di dalam maupun di luar istana. Tatapan matanya begitu polos dan penuh rasa penasaran, jujur saja terkadang itu membuat Kazuya gemas. Kazuya ingat bagaimana pemuda itu mencoba coklat dan mulai memakannya dengan lahap hingga wajahnya tercoreng seperti anak kecil. Lazimnya, Kazuya akan merasa jijik jika melihat seseorang makan dengan berantakan di dekatnya, tapi malam itu Kazuya justru mendapati dirinya tertawa geli melihat ekspresi super lugu yang terlukis di wajah Aurum.

Kazuya juga menyadari satu hal, Aurum memakan apapun yang berasal dari dapur istana, kecuali ikan. Wajahnya selalu menjadi sepucat hantu tiap kali hidangan laut tersaji di hadapannya. Dia sama sekali enggan menyentuhnya, bahkan ia berani memelototi Kazuya ketika Kazuya dengan santai menyuap tuna di depannya. Apa dengan begitu Kazuya berhenti? Tentu saja tidak. Ekspresi Aurum terlalu berharga untuk dilewatkan, Kazuya justru sengaja menggodanya dengan memakan banyak sekali hidangan laut tepat di depan muka Aurum dan memasang ekspresi nikmat tiap kali mengunyah dan menelan.

Lalu pagi tadi, Kazuya lagi-lagi dibuat terkejut karena kudanya, Niger, tahu-tahu membungkuk pada Aurum seolah memberi hormat. Tidak berhenti sampai di situ, bahkan Album yang biasanya sangat sulit didekati mendadak terasa seperti anjing jinak di depan Aurum. Dan, untuk seseorang yang mengaku sama sekali tak pernah mengendarai kuda, Aurum ternyata mampu menyamai kamampuan berkudanya hanya setelah tiga puluh menit berlatih. Entah Kazuya harus merasa bangga karena didikannya sukses, atau justru jengkel karena merasa tersaingi.

Saat ini hari telah gelap, mereka berdiri di balkon istana, memandang ke arah kota yang berkerlip-kerlip penuh lampu, nyaris seolah berusaha menyaingi eksistensi bintang di atas sana. Kazuya merapatkan mantel guna melawan hawa dingin yang menusuk kulitnya, melirik ke arah Aurum yang berdiri senang dengan mata berbinar menatap kota Seido di malam hari.

Menopang sikunya pada pagar pembatas, Kazuya memandangi Aurum dengan senyum miring. "Kau tahu? Sinar antusiasme di matamu itu membuatmu terlihat seperti anak berusia empat tahun yang baru memandang dunia." Kata Kazuya, Aurum menoleh padanya, mengernyitkan hidung, lantas mendelikkan bahu samar. "Dan kadang, karena wajahmu sangatlah ekspresif, aku lupa bahwa kau itu bisu. Aku berani jamin, seandainya kau ini bisa bicara, kau pasti akan sangat cerewet."

Sorot mata Aurum berubah sengit menatapnya, Kazuya terkekeh geli. "Nah, aku bisa tebak barusan kau mengumpat 'sialan' padaku?"

Pemuda itu membuang muka, tampak jengkel. Kazuya menatapnya dengan wajah terhibur, tak menyangka seorang pemuda asing yang tidak mampu bicara akan menjadi hiburan bagus untuknya. "Ku rasa aku mulai mengetahui beberapa hal darimu." Kata Kazuya lagi, berhasil mebuat perhatian Aurum kembali tertuju padanya. "Kau tertarik dengan semua hal. Kau suka berada di bawah sinar matahari. Kau mengendus semua wangi bunga di taman istana. Kau tergila-gila pada coklat. Secara mengejutkan, kau bersahabat baik dengan para kuda. Ah, kau tidak suka makan ikan dan sebangsanya. Kau cocok berpakaian bangsawan dan kau berhasil membuat semua orang di istana menyukaimu. Jadi, adakah kejutan lain yang masih kau simpan?"

Aurum memandanginya, tampak berpikir dengan serius, kemudian ia melompat kecil. Matanya berkilauan di bawah cahaya lampu. Ia tersenyum dengan ceria sebelum kemudian menarik-narik lengan Kazuya dan memaksanya mengikuti. Kazuya hanya sanggup pasrah, bertanya-tanya kemana pemuda itu akan membawanya.

Mereka berhenti di depan sebuah phonograph yang membisu. Aurum menunjuk-nunjuk pemutar musik itu dengan penuh semangat, menarik-narik lengan baju Kazuya dan menunjuk deretan piringan hitam yang tersusun di dekat phonograph.

Kazuya mengerutkan alis. "Kau mau aku memutar musik?"

Aurum mengangguk penuh semangat. Kazuya mendengus kecil, memandangi pemuda itu dengan tangan bersilang di depan dada. "Kau tahu ini pemutar musik, tapi tidak tahu cara mengoperasikannya?"

Aurum menatapnya, menggelembungkan pipi, tampak tersinggung. Kazuya balas mengangkat tangan tanda menyerah sebelum kemudian menghela napas dan mulai memilih piringan hitam. "Ya, ya, ya, baiklah, Tuan Tamu yang terhormat, akan ku penuhi permintaanmu." Katanya, menyempatkan untuk menyeringai lebar ke arah Aurum yang kini tampak sangat antusias mengamati tangan-tangan Kazuya.

Begitu piringan hitam terpasang, stylus bekerja mencatat simpangan gelombang suara yang direkam piringan hitam dan diteruskan ke alat pengeras suara. Mata Aurum menjadi kian berbinar-binar, ia bertepuk tangan dengan girang kemudian tersenyum hangat pada Kazuya. Lalu ia mengambil tiga langkah mundur dan membungkuk kecil seolah memberi hormat.

Begitu nada pertama terdengar, Aurum mulai bergerak mengikuti alunan lagu. Gerakannya halus, namun terkendali. Ayunan tangan dan kakinya anggun, namun juga kuat. Seluruh tubuhnya bergerak. Seluruh tubuhnya menari dari ujung jari tangan sampai ujung jari kakinya. Bahkan raut wajahnya berubah mengikuti emosi tariannya.

Teknik Aurum tanpa cela. Ia melompat tinggi seolah-olah melayang, ia berputar tanpa goyah sedikitpun. Singkatnya, itu tarian sangat yang indah. Kazuya belum pernah melihat seseorang yang menari seperti itu. Bahkan dalam perayaan-perayaan besar kerajaan ketika mereka mendatangkan penari-penari hebat dari berbagai macam belahan dunia. Tak pernah ada yang menari seindah itu. Ia bisa merasakan kisah yang ingin diceritakan Aurum melalui tarian itu. Ia bisa merasakan emosi pemuda itu. Jiwanya. Hatinya.

Kazuya merasa dunia berhanti berputar. Waktunya membeku, sekujur tubuhnya kehilangan fungsi untuk bergerak, ia tidak bisa mengalihkan tatapannya dari pemuda yang sedang menari di hadapannya saat ini. Gerakan Aurum seolah-olah memiliki kekuatan yang menyihir Kazuya untuk tetap di tempat. Membuatnya terpaku.

Ketika alunan lagu berhenti, gerakan Aurum berhenti, selama beberapa detik Kazuya tak berkata apapun, tak melakukan apa-apa, hanya bergeming di tempatnya berdiri. Segalanya hening. Seolah-olah ia masih berada dalam pengaruh magis tarian indah Aurum sebelumnya. Lalu, Aurum maju, mendekat padanya dengan senyum secerah matahari, lantas menjentikkan jari tepat di depan wajah Kazuya, membuat Kazuya tersadar seketika.

Kazuya membuka mulutnya, menutupnya lagi, kemudian kembali membuka, menutupnya lagi. Ia tak tahu harus berkata apa. "KꟷKau… barusan…" Kazuya mengatupkan rahangnya kembali, kemudian mengambil napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Matanya bertatapan langsung dengan sepasang netra emas Aurum yang malam ini bahkan kelihatan sejuta kali lebih berkilau dibanding biasanya. "Wow!" Hanya itu yang sanggup ia katakan, menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri selama beberapa kali seolah masih tidak dapat memahami dengan baik apa yang baru saja terjadi.

"Yang barusan itu… kejutan yang sangat menakjubkan."

Aurum tersenyum geli, meletakkan satu tangannya tepat di dada, kemudian menunduk kecil seperti merasa tersanjung sekaligus berterima kasih. Dan malam itu berakhir dengan Kazuya yang terjaga hingga lewat tengah malam, memandangi kanopi di kamarnya, sama sekali tidak berhasil mengenyahkan ingatan akan tiap gerak tarian Aurum dari kepalanya.

~oo0oo~

Beberapa hari kemudian, Kazuya mengajak Eijun ke pantai. Eijun tidak tahu bagaimana harus bersikap tiap kali ia menginjakkan kaki di pantai ini. Baginya ini lebih dari sekadar pantai favorit Kazuya, baginya pantai ini punya banyak kisah yang mengendap kuat dalam hatinya.

Pantai ini adalah tempat pertama ia melihat Kazuya. Tentu saja, saat itu keadaannya masih sebagai seekor merman dengan ekor ikan. Ia harus mengendap-endap dan bersembunyi di balik batu atau terumbu karang, memicingkan mata hanya untuk mengamati paras Kazuya dengan lebih baik. Pantai ini menjadi saksi bisu setiap senja yang ia lewati hanya untuk diam-diam menantikan kehadiran Kazuya yang berjalan-jalan sendirian dengan wajah tampak bosan. Pantai ini juga menjadi tempat Kazuya menemukannya dan membawanya ke istana. Bahkan di pantai ini juga Kazuya mengajarkannya cara menunggangi kuda. Ada terlalu banyak kenangan di tempat ini, dan Eijun berharap akan ada lebih banyak lagi nantinya.

Eijun akhirnya bisa menunjukkan tariannya kepada Kazuya. Ursula tidak berbohong soal bakat menarinya. Seluruh tubuh Eijun rasanya bergerak begitu ringan mengikuti alunan musik. Dan Ursula juga tidak berbohong soal rasa sakit di kakinya tiap kali ia berusaha menari. Eijun mungkin mulai akur dan mampu beradaptasi dengan rasa sakit yang mengiris telapak kakinya ketika ia berjalan. Ia tak lagi meringis, atau merosot jatuh tiap kali melangkah atau berdiri lama. Tapi ternyata menari itu beda perkara. Rasa sakit ketika ia menari berkali-kali lipat lebih menyiksa dibanding saat ia berjalan. Namun demikian, ketika Eijun melihat cara Kazuya memandanginya tanpa berpaling sedikitpun, membuatnya menahan dan menelan kembali semua rasa sakit itu demi mempersembahkan tarian yang sempurna untuk Sang Raja.

Mungkin sudah terhitung tiga malam berlalu sejak ia menari di hadapan Kazuya. Setelahnya, baru kali ini mereka benar-benar punya kesempatan untuk berdua saja. Pekerjaan Kazuya sebagai raja membuatnya sibuk belakangan. Hingga Eijun terpaksa menelan kekecewaan dan hanya mengamati pemuda itu dari kejauhan seraya berharap ia masih punya cukup waktu untuk membuat Kazuya jatuh hati padanya.

"Akhir-akhir ini aku sering bermimpi tentang ibuku."

Perkataan Kazuya membuat Eijun menoleh. Ada kilat kerinduan yang terpancar dari sepasang mata Kazuya ketika bercerita. Detik itu, Eijun baru sadar ia tak pernah satu kalipun melihat ibu Kazuya di istana, hanya ada sebuah potret lukisan besar yang mengabadikan seorang wanita bermahkota ratu sedang tersenyum anggun.

"Ibuku meninggal sudah lama sekali." Kata Kazuya lagi, tersenyum tipis, kemudian menunduk menatap sepatunya yang mulai ditempeli pasir. "Sejak kecil, aku sebenarnya lebih tertarik untuk menghabiskan waktu bersama ayahku dibanding ibuku. Aku mengangumi ayahku dan mengangapnya sangat keren karena mampu memimpin banyak orang. Menjalin kerjasama yang menguntungkan, dihormati dan disegani oleh rakyatnya, ayahku seolah dilimpahi sinar-sinar kepemimpinan juga kekuasaan hakiki yang membuatnya hampir-hampir tampak seperti setengah dewa."

Eijun tergoda untuk berkata, Ayahku justru benar-benar putra seorang Dewa, dan hey! Itu juga membuatku menjadi keturunan dewa. Kemudian ia ingat kalau ia tak mampu bicara, sekalipun ia mampu, ia tak yakin Kazuya akan mempercayai kata-katanya. Maka Eijun hanya menjadi pengamat selagi Kazuya mengambil napas dalam-dalam, menghembuskanya cepat. Matanya kini beralih tepat ke mata Eijun, mentapnya lama seolah berusaha menyelam ke dalamnya. "Bagiku, ayahku tak terkalahkan. Ia cerdas, kuat, piawai bertarung, disegani banyak orang, punya wilayah kekuasaan yang bahkan tak dapat kuhitung dengan helai rambutku. Ayahku pernah menyelamatkan satu kota dari wabah mematikan. Ayahku memenangkan puluhan peperangan. Ayahku mampu membakar sebuah kota dalam hitungan jam, lalu membangunnya kembali dalam tiga hari. Rasanya tak ada yang mustahil untuk dilakukan."

Eijun merasakan angin laut menerpa tubuh mereka berdua, membawa aroma asin juga deru angin yang khas di telinganya. Ia bisa merasakan udara bertambah dingin dan air mulai pasang. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menciptakan gradasi warna oranye kemerahan dan biru gelap yang mulai terusir gelapnya malam di kanvas langit.

"Suatu hari, ibuku jatuh sakit." Kazuya melanjutkan cerita. "Ayahku memanggil semua tabib hebat dari segala penjuru, tapi ibuku tetap tidak selamat." Ia berkata, nyaris seperti berbisik, kemudian tersenyum dengan getir. "Itulah pertama kalinya aku melihat ayahkku menangis, tampak begitu rapuh, tidak berdaya. Saat itu, aku akhirnya menyadari satu hal. Tidak peduli seberapa hebat ayahku, seberapa banyak dirinya memenangkan pertarungan dan menendang musuh-musuhnya, ia tetap saja tidak pernah bisa meniupkan kembali oksigen kepada paru-paru Ratunya sendiri. Gelar, mahkota, singgasana, bahkan kekayaan sebesar apapun yang ia miliki tidak akan pernah cukup untuk membeli satu nyawa dari wanita yang paling dicintainya."

Cara bagaimana Kazuya bercerita, nada suaranya, bisik paraunya, seketika membuat dada Eijun terasa sesak. Saat ini, ia begitu ingin memeluk Kazuya erat-erat, berbagi derita, kegelisahan, kesepian, juga kegundahan hati bersamanya. Tapi Eijun menahan kakinya untuk tetap berdiri di tempat. Berpijak pada pasir yang mulai terasa memberatkan langkahnya.

"Tapi dari sanalah aku akhirnya memutuskan hal penting." Kazuya kembali bicara, menatapnya dan tersenyum lugas. "Aku memutuskan untuk tidak akan pernah membiarkan diriku jatuh cinta kepada siapapun."

Eijun terpaku.

"Pernikahan yang kelak akan kujalani, hanya akan aku lakukan sebatas kewajiban. Secantik atau semenarik apapun permaisuriku kelak, aku bersumpah tidak akan pernah benar-benar mencintai wanita itu. Aku tidak akan sudi merelakan harga diriku sebagai seorang Raja jatuh tunduk di hadapan malaikat maut apabila istriku meninggal lebih dulu seperti yang dialami ayahku."

Kemudian Kazuya tersenyum sekali lagi padanya, lantas berjalan menyusuri garis pantai yang sepi. Meninggalkan Eijun di balik punggungnya tanpa pernah tahu berapa banyak hujan asin yang merembes keluar dari sepasang mata Eijun, air mata yang berjatuhan kemudian menyatu dengan dinginnya air laut.

~oo0oo~

Apa yang harus aku lakukan?

Eijun tidak percaya dirinya akan berakhir di hadapan kandang kuda, menatap mengiba pada makhluk berkaki empat itu sambil berusaha menahan diri agar tidak menangis. Sejak tadi hatinya terus saja merasa sakit, seolah-olah jantungnya mulai menyusut kehilangan harapan karena Kazuya mengatakan telah bersumpah untuk tidak akan pernah mencintai siapapun seumur hidupnya. Tak ada ruang bagi Eijun untuk mengambil hatinya. Ia tak akan punya kesempatan.

'Tuanku..' Album menatapnya prihatin, jika kuda bisa menangis, mungkin Album sudah melakukannya sekarang.

Dia tidak akan penah membalas perasaanku. Dia tidak akan pernah mencintaiku. Semua usahaku sampai titik ini hanyalah sia-sia.

Album mengeluarkan suara meringik, kali ini Eijun bahkan tak mengerti maknanya, tapi barangkali kuda itu semata-mata panik dan memintanya untuk tidak menangis.

'Jangan menyerah sekarang, Tuanku.'

Eijun menggeleng kuat-kuat. Tidak mungkin. Tidak bisa.

'Kalau begitu buat dia mencintaimu. Ubah pandangannya tentang cinta. Genggam tangannya, kenalkan dia pada dunia yang penuh cinta dan kehangatan. Ambil hatinya dengan segenap ketulusan.'

Eijun menelan ludah, merasakan jejak pahit tertinggal di tenggorokannya. Suara-suara dalam kepalanya terus menyerukan kata tidak mungkin dan mustahil. Semua optimisme dan rasa percaya dirinya seolah hanyut dan tenggelam ke dasar samudera.

'Buat dia tertawa, buat dia tersenyum, buat ia bahagia, Tuan. Menarilah untuknya, hibur dia dengan semua cara yang bisa Anda lakukan. Tunjukan kesungguhan yang Anda miliki. Anda masih punya kesempatan, Anda selalu punya kesempatan.'

~oo0oo~

Eijun telah melakukan segalanya. Apapun yang ia bisa demi membuat Kazuya tersenyum atau tertawa. Ia rela kalah berkali-kali dari permainan catur bersama Kazuya meski ia sebenarnya mengerti dengan pasti bagaimana aturannya dan bisa menang dengan mudah. Ia rela kalah hanya untuk melihat Kazuya tergelak puas, mencoret-coret wajahnya dan menjadikannya lelucon. Ia rela menari berjam-jam, mengabaikan rasa sakit yang menyengat di telapak kakinya hanya untuk melihat Kazuya memandanginya dengan ekspresi puas. Ia membiarkan sekujur tubuhnya basah oleh keringat, napasnya tersengal-sengal dan dirundung rasa lelah luar biasa hanya demi membuat Kazuya merasa senang.

Eijun bahkan melakukan hal-hal konyol. Menceburkan dirinya ke dalam kolam air mancur di barat istana. Membiarkan dirinya masuk ke dalam kubangan lumpur, bahkan membiarkan beberapa bagian tubuhnya lecet-lecet karena jatuh dari pohon hanya demi membuat Kazuya tertawa.

Di hari-hari selanjutnya, Eijun mulai lebih berani mengambil langkah lebih dekat. Ia memberanikan diri untuk mengoleskan selai kacang ke wajah Kazuya saat pemuda itu terang-terangan menggodanya dengan memakan hidangan seafood di hadapannya. Mata Kazuya terbelalak tak percaya, kemudian ia sendiri menjulurkan lidah sambil menjulingkan matanya. Detik selanjutnya Kazuya menumpahkan satu kotak selai tepat ke atas rambutnya, lalu mereka mulai saling melempar segala makanan yang tersaji di meja. Membuat penasihat tinggi kerajaan menggelang-gelengkan kepala, para pelayan menatap khawatir bercampur tawa dan para juru masak melongo di tempat.

"Diam di situ!" Kazuya menunjuk ke arahnya, sebelah tangan berpegang pada sisi meja makan, sementara tangannya yang lain kini mengenggam sebuah pisang yang siap diluncurkan. Eijun berada tepat di sebrang meja, memberi tatapan mengejek, tiap kali Kazuya melemparinya dengan jenis-jenis makanan, ia akan menunduk dan berlindung di bawah meja hingga lemparan Kazuya berujung sia-sia.

Kazuya menghela napas. "Ku peringatkan, diam!" Kazuya mencoba tegas, tapi aneka macam selai yang mencoret wajahnya saat ini membuatnya lebih terlihat konyol daripada seram.

"Begitu aku menangkapmu, habislah kau." Ancam Kazuya, kemudian dengan cepat ia berlari memutari meja untuk menangkap Eijun. Tapi Eijun bergerak gesit, berlari menjauh. Selama tiga putaran mereka hanya berkejaran mengelilingi meja makan. Kemudian kembali dengan posisi saling berhadapan terpisah meja, seperti semula. Hanya saja dengan napas yang lebih terengah dan kilat rasa kesal lebih pekat di mata Kazuya.

Dari sebrang meja Eijun tersenyum cerah, megangkat sebelah tangannya untuk melambai dengan rasa senang.

Menyerah, Paduka?

Kazuya menatapnya, kedua alisnya berkerut dalam, ia mengusap senoktah saus keju dari pipi kirinya, kemudian membetulkan kacamatanya yang miring sebelum menoleh ke arah para pelayan yang sejak tadi menyaksikan pertarungan mereka berdua. "Kalian boleh pergi." Nadanya lebih mirip mengusir dibanding mempersilakan.

Begitu para pelayan pergi, mereka hanya tinggal berdua dalam ruang makan. Eijun bertanya-tanya strategi macam apa lagi yang akan Kazuya luncurkan, tapi Kazuya sudah lebih dulu melompat ke atas meja dan berderap cepat ke arahnya, membuat Eijun terlonjak kaget, namun sepersekian detik sebelum tangan Kazuya menjangkaunya, Eijun meluncur cepat melalui kolong meja. Puji syukur kepada saus pasta! Lantainya semakin licin hingga tubuhnya dapat meluncur dengan lebih cepat dan sampai ke ke sisi meja yang lain.

"Crap!" Kazuya menggerutu, lagi-lagi gagal menangkap Eijun.

Eijun memberinya mimik wajah pura-pura takut, sebelum kemudian merentangkan kedua tangannya lebar-lebar seolah menantang, aku di sini, tangkap aku kalau bisa! Tantangan itu dijawab Kazuya dengan semangat tinggi, ia melompat turun dari meja dan mulai mengejarnya kembali.

Kali ini mereka bahkan memperluas area pertempuran, tak hanya berpusat di meja makan saja tapi sampai ke tepi-tepi ruangan, Eijun menyelinap di antara tirai-tirai beludru berwarna merah di dekat jendela besar, membiarkan Kazuya mengikutinya di belakang, membuat tirai-tirai itu penuh dengan noda minyak dan berbagai macam saus juga selai.

"Aku benar-benar akan menghabisimu, lihat nanti!"

Namun demikian Eijun justru menyentakkan kepalanya ke belakang dan tertawa. Ia berlari kembali menuju meja makan, berputar dengan Kazuya di belakangnya sambil melemparkan segela macam makanan yang berhasil diraihnya. Mereka terus melakukan itu sampai semua makanan nyaris habis, atau setidaknya sampai Kazuya berhasil meraih bagian belakang bajunya.

Eijun tertarik ke belakang, sementara Kazuya menyeringai. "Kena kau." Kazuya menariknya mundur sementara Eijun mulai berontak dan berusaha melepaskan diri, tapi cengkraman Kazuya tak sedikitpun melonggar.

Dengan cepat Kazuya berhasil membuat Eijun berbalik. Mereka akhirnya berdiri berhadapan. Kazuya tersenyum keji, sebelah tangan menjegal kuat pergelangan tangan Eijun sementara ia berjalan mundur dan berkata. "Cukup sampai di sini kau mengerjaiku. Mulai sekarang giliran aku yang balas dendam." Ia berkata dengan sombong dan penuh rasa percaya diri. Kemudian ia menginjak kulit pisang dan jatuh terpeleset ke lantai yang dingin.

Eijun bisa saja terpingkal puas andai ia tak menangkap raut kesakitan di wajah Kazuya. Maka ia buru-buru mendekat, berlutut di dekatanya, menatap Sang Raja dengan panik. Kazuya memegangi kepalanya dengan satu tangan, matanya dipejamkan kuat-kuat dan ia menggeram tertahan, tampak sangat kesakitan. Kepanikan Eijun meningkat dengan cepat, buru-buru ia membawa kepala Kazuya dalam pangkuannya, mencoba memeriksa kepalanya, mencari titik luka, tapi alih-alih menemukan luka, ia justru mendapati tangan Kazuya yang lain bergerak gesit dan melumuri seluruh wajahnya dengan selai coklat. Tak sampai di situ, Kazuya segera duduk, kemudian menahan kedua tangan Eijun. Sang Raja meraih segenggam saus keju lalu menggosoknya di rambut Eijun.

Eijun berusaha berontak dan mendorong Kazuya menjauh, namun dengan cekatan Kazuya mendorog tubuhnya hingga berbaring di lantai kemudian menduduki perut Eijun. Sang Raja tersenyum penuh kemenangan. "Nah, bagus! Sekarang kau terlihat jauh lebih manis!" Kaza Kazuya, tersenyum begitu lebar, lalu meraih sebotol kecap dan melumuri Eijun dengan cairan kental itu. "Ini dia!" Kata Kazuya bangga. "Hidangan penutup super manis ala Miyuki Kazuya!" Ia tergelak puas kemudian mencubit kedua pipi Eijun dengan gemas.

"Coba lihat dirimu, Anak Muda. Terlihat begitu manis dengan selai coklat dan saus keju, juga lapisan kecap di sekujur tubuhmu. Bagaimana kalau ditambah potongan strawberry? Aku yakin kau akan jadi dessert favorit."

Kazuya tertawa geli memandangi raut wajah Eijun yang mengerut lucu, kemudian Sang Raja menghela napas, menyingkir dari perut Eijun untuk berguling tepat ke sebelahnya, bernapas dengan sisa tawa yang hangat. "Aku tidak ingat kapan terakhir kali tubuhku sekotor ini." Kazuya menyeringai geli dan Eijun mendapati dirinya terkesima untuk kesekian kalinya pada pemuda itu. Bahkan meski wajah dan sekujur tubuhnya dipenuhi noda makanan dan berbau seperti semur daging juga pie buah, Kazuya tetap terlihat bersinar dan mempesona. Membuat jantungnya meletup-letup makin tak terkendali, terutama ketika Kazuya menoleh padanya, memasang senyum culas, lalu mengulurkan sebelah tangannya melingkari sekitar leher dan bahu Eijun, merapatkan diri ke tubuhnya. Kazuya memeluknya.

Napas hangat Kazuya berhembus di telinganya ketika ia berbisik. "There's no much can make me happy anymore. But you do."

~oo0oo~

Kazuya tahu tak seharusnya ia membiarkan Aurum masuk terlalu jauh dalam kehidupannya. Tapi itu tak bisa dicegah. Tangan Kanan Raja berkali-kali menghadap dan memperingatkannya, berkata sebaiknya ia bertindak bijak dan menjaga jarak dari pemuda asing yang sampai saat ini belum diketahui pasti asal usulnya. Tapi peringatan tersebut hanya terasa seperti angin lalu, berkali-kali Kazuya berpikir mendalam dan bertekad bahwa ia memang sebaiknya mulai menerapkan batas bagi Aurum, namun pagi berikutnya, ketika ia mendapati wajah manis pemuda itu serta senyumnya yang secerah matahari, tekad Kazuya kembali meleleh dan mencair, dan ia lagi-lagi dengan tangan terbuka membiarkan Aurum memasuki dunianya.

Mungkin karena selama ini ia tak pernah mempunyai seorang teman, rasanya jadi sangat menyenangkan ketika Aurum bersamanya. Mendapati seseorang terus ada di dekatnya, mengajaknya bermain, melakukan ini dan itu, bertindak konyol, bahkan juga melakukan hal-hal yang selama ini tak pernah ia bayangkan, rasanya Kazuya seolah tertarik ke dalam dunia yang lain. Dunia penuh warna dan kebebasan di mana ia berhak menentukan apapun atas dirinya sendiri, tak ada gelar kehormatan, tak ada aturan-aturan yang harus dipatuhi, hanya ada dirinya dan apa-apa saja yang ingin dilakukannya untuk mencapai suatu kegembiraan sejati.

Dan sebenarnya, ini bukan hal yang terlalu buruk. Selama Kazuya masih menjaga sikap di depan orang-orang luar Kerajaan, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan tidak menimbulkan kekacauan tingkat berat yang membuat kerajaan harus merugi. Bahkan pengawal pribadinya justru mengatakan bahwa akhir-akhir ini Kazuya kelihatan lebih ceria dan itu hal yang baik. Para pelayan juga tak pernah memprotesnya meski Kazuya dan Aurum berkali-kali membuat ruang makan berantakan, membuat baju-baju mereka penuh noda dan bercak minyak, sebaliknya para pelayan justru tampak haru tiap kali melihat Kazuya bermain atau berlarian dengan Aurum. Mungkin mereka terbiasa melihat Kazuya yang kaku dan membosankan dan beranggapan bahwa Kazuya yang seperti sekarang terasa lebih baik.

Kazuya belum tahu pasti apa sebenarnya yang terjadi padanya, tapi tiap kali bersama Aurum ia merasakan sensasi yang tak pernah dirasakannya bersama orang lain. Dan semakin lama ia memandang wajah pemuda itu, semakin ia merasakan firasat aneh bahwa sebelumnya mereka pernah bertemu, namun ia tak tahu di mana serta kapan persisnya pernah berjumpa dengan Aurum sebelum menemukannya di pantai. Selain itu, Kazuya merasa bahwa Aurum punya berjuta-juta macam cara untuk membuat hari-harinya lebih menarik dan jauh dari kata membosankan. Seperti yang saat ini terjadi.

"Kenapa kau mau naik ke menara lonceng?" Kazuya mengernyitkan alisnya, berjalan menapaki anak tangga dengan Aurum tepat di sebelahnya, melempar cengiran lugu sebagai jawaban.

Kazuya menggaruk lehernya dengan satu jari, mendesah kecil dan menoleh ke balik punggungnya singkat hanya untuk memastikan sudah seberapa jauh mereka naik sekarang. "Serius," Kata Kazuya lagi, menetap tepat ke wajah Aurum yang kali ini bahkan terlihat lebih ceria. "Tak ada apapun di sana selain logam berbobot ratusan kilo yang menggantung di langit-langit."

Aurum memainkan bibirnya seolah berpikir sebentar, kemudian ia mendelikkan bahu dan kembali memasang senyum lugu, lalu mulai berlari menaiki undakan tangga. Tampaknya sama sekali menghiraukan peringatan Kazuya, hal yang demikian itu membuat Kazuya hanya sangggup membuang napas berat, kemudian ikut berlari mengikuti dari belakang.

Begitu tiba, hembusan angin kencag langsung menyambut keduanya. Kazuya berdecak kecil, ia baru sadar ini sudah nyaris memasuki musim dingin, suhu udara mulai bertambah rendah dan dingin, terutama jika mereka berada di sebuah menara setinggi puluhan meter dari permukaan tanah. Namun demikian, Aurum tampaknya senang-senang saja, pemuda itu justru berjalan menuju tembok pembatas setinggi pinggang yang menghadap langsung ke arah laut, Kazuya memutuskan untuk berdiri di sebelahnya.

"Jadi, apa persisnya yang kau cari?"

Aurum memandangnya sebentar, kemudian jarinya menunjuk ke arah lautan, memaksa Kazuya ikut mengikuti arah yang ditunjuknya. Dan Kazuya hanya mampu terkesima dengan apa yang tersaji di hadapannya saat ini. Ratusan meter di sana, pemandangan laut senja memanjakan matanya. Sisa-sisa sinar matahari membuat semburat jingga dan keemasan yang dipantulkan begitu cantik oleh permukaan air laut. Bayangan matahari membentuk lingkaran sempurna di atas permukaan air, membuatnya terlihat seolah-olah matahari mempunyai kembaran identik. Kazuya mungkin sudah jutaan kali melihat matahari terbenam dari pantai favoritnya, tapi dari atas sini pemandangannya benar-benar lain, terasa jauh lebih jelas dan lebih indah.

Selama beberapa menit, mereka berudua hanya berdiri di sana, tak ada percekapan, maupun saling meledek, hanya berdiri bersebelahan dengan mata sama-sama mengagumi matahari terbenam hingga menghilang di balik garis laut dan suasana mulai bertambah gelap. Kemudian, Aurum beranjak ke sisi yang lain, kali ini ia berdiri tepat di dekat tembok pembatas yang mengarah langusng ke wilayah kota. Kazuya menoleh padanya, kemudian Aurum menarik lengan bajunya, memaksa Kazuya mengikuti. Pemandangan yang mereka dapat dari spot ini adalah wilayah kota dan pemukiman Seido yang awalnya tampak gelap, kemudian dalam hitungan detik lampu-lampu mulai menyala perlahan, membuatnya terlihat seolah bintang-bintang bermunculan dari bawah, dan dalam hitungan menit kota di bawah mereka telah tampak seperti kumpulan bintang jauh.

Kazuya mendengus, tersenyum geli dan menundukkan kepala. Sejak kecil ia tinggal di kastil ini, namun baru kali ini ia tahu bahwa menara lonceng punya pemandangan yang indah, ia menoleh pada pemuda di sebelahnya, melempar senyum miring. "Well, terima kasih?"

Aurum nyengir lebar, menepuk dada dengan bangga.

"Kau mau dengar sebuah cerita?" Tanya Kazuya. Ia juga masih tidak mengerti dengan apa yang membuatnya bicara dan bercerita lebih banyak dengan pemuda itu.

Aurum mengangguk semangat, memasang perhatian penuh padanya. Kazuya hanya mendengus, tersenyum samar sebelum menarik napas dalam-dalam, lantas mulai bercerita. "Saat usiaku delapan tahun, ayahku pernah memberiku hadiah." Ia mengenang. "Seekor elang."

Mulut Aurum terbuka seolah mengucapkan kata wow tanpa suara, Kazuya mengulas senyum singkat sebelum melanjutkan ceritanya. "Elang liar yang galak. Bahkan meskipun kakinya diikat ke rantai, elang itu tetap berhasil membuatku terluka. Aku tidak menyukai elang itu dan dia juga tidak menyukaiku. Selama beminggu-minggu tanganku selalu berdarah akibat paruh dan cakar tajamnya. Aku ingin menyerah, tapi ayahku bersikeras bahwa aku harus mampu menaklukkannya. Dia mengatakan jika aku berhasil menaklukan seekor predator, maka aku akan mendapat pelajaran penting yang harus dimiliki seorang raja." Kazuya mengambil napas, membuangnya perlahan.

"Aku seharusnya membuatnya patuh, tapi aku tak melakukannya . Sebaliknya aku menyentuh dan membelai sayapnya hingga dia mempercayaiku. Seiring berjalannya waktu, aku mulai bisa beradaptasi dengan burung itu. Aku memberanikan diri untuk menatap ke matanya, ku salurkan semua tekad dan keberanianku, ku coba katakan bahwa aku tak ingin melukainya. Lalu aku mulai memberinya makan dengan tanganku sendiri, butuh beberapa hari, tapi akhirnya dia mau makan tanpa membuat tanganku terluka." Jeda, Kazuya tersenyum samar, mengalihkan pandangan menatap kerlip-kerlip kota Seido di malam hari. "Aku menjinakkannya."

Aurum memandanginya dengan wajah terkagum-kagum. Biji mata emasnya bersinar dalam kegelapan. "Kemudian aku melepas rantai di kakinya. Aku membawanya ke ayahku, berharap semoga ia bangga padaku dan memberiku pujian. Tapi ayahku sama sekali tidak terlihat senang. Ayahku berkata , Aku menyuruhmu membuatnya patuh, tapi kau malah mengajarinya menyanyangimu. Kau bukan menjinakkannnya. Kau merusaknya."

Ekspresi di wajah Kazuya saat ini pastilah getir, karena dalam sekejap Aurum kehilangan semua warna di wajahnya. Kazuya tersenyum dengan enggan. "Kemudian ayahku mengambil elang itu dariku dan mematahkan lehernya."

Wajah Aurum berubah pasi, tangannya naik menutupi mulut sementara matanya membeliak menatap Kazuya seolah tak memercayai kata-katanya. Kazuya menyeringai. "Aku menangis sepanjang malam, dan aku tidak pernah menangis lagi semenjak itu."

Melihat ekspresi di wajah Aurum membuat Kazuya tertawa. "Kau barangkali berpikir bahwa ayahku sangat kejam dan tidak berperasaan. Tapi keesokan harinya aku mulai berpikir bahwa ayahku tidaklah salah."

Dari raut wajahnya, Kazuya jelas bisa mengerti bahwa Aurum sangat ingin memprotes, tapi Kazuya hanya menggeleng samar, melanjutkan ceritanya dengan tenang. "Ayahku berusaha membuatku lebih kuat. Tidak mudah rapuh. Samar-samar dia mungkin mengajariku bahwa kasih sayang dan cinta hanya akan membuatku hancur dan terluka, karena itu aku tidak membutuhkannya." Kazuya berkata lugas, menetap lekat-lekat ke mata Aurum. Ia merasa pemuda itu tampak kecewa dengan kesimpulan akhirnya, namun sekalipun Arum ingin mendebatnya, ia tak akan mampu.

Cahaya bulan keperakan mulai menembus masuk, membuat wajah Aurum terlihat kontras. Chiaroscuro, pikir Kazuya. Itu adalah seni bayangan dan cahaya. Namun rupanya bayangan gelap dan pucatnya cahaya bulan tak mampu menandingi kemilau di sepasang mata emasnya. Tanpa sadar Kazuya tersenyum, tangannya bergerak dan berhenti tepat di sisi wajah Aurum. Ibu jari meraba tulang pipi pemuda itu. Sesaat Aurum tampak kaget dan melonjak kecil, tapi Kazuya lekat menatap matanya dan terus memberi usapan hati-hati di kulit wajahnya yang terasa hangat.

"Sudahkah aku mengatakan bahwa matamu sangat indah?" Kazuya bertanya, suaranya terdengar sepelan bisikan namun dalam nada begitu dalam. Aurum terdiam dan hanya memandanginya selama beberapa saat sebelum kemudian ia menggeleng sebagai jawaban.

Kazuya maju selangkah, membuat posisinya kian dekat dengan Aurum. Mataya mengamati setiap detail garis yang terbentuk di wajah pemuda itu, namun ia tetap tak bisa melepaskan diri dari pesona sepasang mata jernihnya.

"Setiap kali memandangmu, aku selalu berpikir bahwa kau mempunyai mata paling indah dari semua orang yang pernah ku temui."

Kazuya merasakan wajah Aurum bertambah hangat di kulitnya. Membuat telapak tangannya membingkai kian erat wajah pemuda itu untuk menghangatkan jari-jarinyanyang membeku. Kazuya pasti tanpa sadar maju beberapa pijakan lagi karena saat ia berkedip dan beralih sejenak dari mata Aurum, ia bisa melihat setitik tahi lalat di bawah mata kirinyaꟷamat kecilꟷmustahil dilihat bila ia tak berada dalam jarak yang… sangat dekat.

Mata Kazuya turun lagi, ia tidak tahu mengapa ia menjilat bibirnya ketika matanya tertuju pada bibir Aurum yang terkatup rapat. Mengkilap di bawah bayang-bayang cahaya bulan. Aku ingin menciumnya, pikir Kazuya. Ia menahan napas, kemudian menghembuskannya perlahan, ia kembali ke sepasang netra emas Aurum dan berkata. "Diam. Jangan bergerak."

Kazuya mendekatkan wajahnya dengan hati-hati. Jantungnya berdentum ribut dalam rongga dadanya selagi ia mulai merasakan hembusan napas Aurum menerpa permukaan kulitnya. Satu sentimeter sebelum bibir mereka bersentuhan, suara kepakan sayap burung datang. Membuat keduanya terlonjak kaget dan lantas menjauh secara otomatis. Mereka mendongak ke atas, melihat beberapa burung gereja terbang berputar sebelum kemudian kembali ke sangkarnya yang terletak di sudut langit-langit.

Kazuya menghela napas panjang, ia berbalik untuk menatap Aurum. Dalam kegelapan, sulit memastikan ekspresi apa yang terlukis di wajah Aurum saat ini. Maka Kazuya hanya tersenyum tipis, mendelikkan dagu ke arah tangga. "Sebaiknya kita turun sekarang."

~oo0oo~

Hampir. Eijun tidak menyangka bahwa sebuah kata hampir bisa begitu menyiksanya dan membuatnya depresi. Tadi Kazuya hampir menciumnya. Hampir saja ia memenuhi kisah indahnya bersama Kazuya. Hampir, hampir, hampir, semuanya hampir berujung indah seandainya tidak ada sekelompok burung gereja yang datang mengintrupsi mereka. Eijun menggerang kecil, mengacak rambutnya frustasi kemudian membenamkan wajahnya ke bantal.

Ursula memang tidak pernah menyebut-nyebut seberapa jauh limit waktunya untuk bisa mendapatkan hati Kazuya. Tapi ia mulai punya firasat menggelisahkan bahwa ia tak boleh berlama-lama. Sejak awal Eijun sudah diingatkan bahwa tinggal di daratan akan membuat jiwanya serapuh kaca. Dan sejak hari pertamanya menjadi manusia sampai detik ini, ia bisa merasakan daya hidupnya perlahan-lahan mulai menyusut dan akan habis seiring berjalannya waktu. Waktunya tidak banyak.

Menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, Eijun bangkit dari ranjang. Kaki telanjangnya kemudian berjalan ke arah jendela. Ia menyibak tirai lembut yang menutupi kaca besar dengan perlahan, lalu memandang jauh ke luar jendelaꟷke arah lautan tempatnya berasal, rumahnya.

Adalah dusta bila Eijun mengaku tak merindukan rumah lamanya. Istana Triton yang berdiri mewah serta berkali-kali lipat lebih besar dari istana Seido. Bohong jika ia mengatakan tidak merindukan kehidupannya sebagai seorang pangeran yang begitu dicintai dan dipuja oleh rakyatnya. Ia merindukan kehidupannya sebagai Pangeran Eijun, putra bungsu Raja Triton yang bersuara paling merdu. Ia merindukan kehidupannya sebagai pura kesayangan sang ayah juga adik yang selalu mendapatkan perhatian penuh dari kakak-kakaknya. Ia merindukan sahabat-sahabatnya dengan teramat sangat, gurunya dan semua rakyatnya yang tak pernah berhenti tersenyum atau memuji suara indahnya, suara yang sudah tak lagi ia miliki.

Eijun rindu mengendalikan arus air, menyelam ke kedalaman lautan, juga bernapas dengan bebas di bawah air. Ia rindu pemandangan menakjubkan istana bawah laut dan panorama laut dalam yang tak pernah terjamah manusia. Ia merindukan kekuatannya untuk bisa berenang cepat ataupun mebuat tornado. Semenjak berubah menjadi manusia, kekuatannya praktis dilucuti dan menghilang tanpa jejak. Satu-satunya yang masih memberinya keyakinan bahwa ia adalah Pangeran Raja Triton dan keturunan Poseidon hanyalah kemampunannya untuk memahami bahasa kuda, tapi itupun tak terlalu membuatnya merasa istimewa.

Selama ini, Eijun semata-mata mencoba untuk tidak memikirkan dunia yang ia tinggalkan di bawah laut. Eijun mencoba untuk tidak memikirkan kesedihan di hati ayahnya ketika menyadari bahwa putra bungsunya memilih untuk melanggar perintahnya. Eijun mencoba untuk tidak peduli dan hanya fokus untuk membuat Kazuya bahagia sehingga pemuda itu bisa mencintainya. Tapi malam ini, ketika ia memandang ke arah lautan, semua itu menyeruak liar dan menyerangnya tanpa ampun. Ia dirundung rasa bersalah dan kesedihan mendalam begitu melihat lautan yang sepi. Kerinduannya menjelma menjadi keping-keping kegetiran yang membuatnya hanya bisa mengigit bibir dan menahan dirinya agar tidak menangis.

Malam itu, Eijun memimpikan hal-hal aneh. Ia sedang berenang di sekitar istana ayahnya, wujudnya adalah manusia, namun ia bisa menyelam sejauh itu juga bernapas di dalam air. Eijun mencoba untuk menyapa semua orang yang dijumpainya namun tak satupun dari mereka menanggapinya. Ia melihat ayahnya diselubungi kemarahan, menatap lekat ke arah Yuu yang menunduk tak berdaya. Triton mengangkat trisula dan badai berputar ganas di sekelilingnya. Eijun berusaha berteriak, memperingatkan Yuu untuk menyingkir, tapi kakaknya semata-mata hanya berlutut dan tak bergerak. Lantas Triton melucuti semua kekuatan Yuu. Kemudian Eijun kembali ke goa tempat Ursula tinggal, penyihir itu berbisik ke telinganya, Kau mencintainya, Pangeran. Kau mencintai Miyuki Kazuya. Mimpinya kembali berubah, ia berhadapan dengan Seppta, gadis itu menatapnya dengan mata diliputi duka dan suaranya datang dalam bentuk bisikan memilukan, Jangan cintai siapapun, Pangeran.

Keesokan paginya ketika terbangun Eijun mendapati sekujur tubuhnya banjir keringat. Mengapa ia harus memimikan Seppta? Mengapa memori masa lalu itu tiba-tiba muncul di mimpinya? Eijun mengusap keringat dari keningnya dan mencoba mengatur napas. Ia ingat tak lama setelah pembicaraannya dengan Seppta kala itu, Seppta menghilang tiba-tiba kemudian ditemukan dalam kadaan tak bernyawa. Di kali kedua, Triton memilih untuk tidak menghidupkannya kembali. Ayahnya hanya berkata, gadis ini telah memilih, tak ada yang bisa kita lakukan.

Eijun kemudian membuang napas panjang, ia menyadari berkas-berkas cahaya matahari telah masuk melalui jendela, mendakan bahwa hari telah berganti. Maka ia memutusakan untuk turun dari ranjang dan berjalan ke jendela. Tak lama berselang, matanya membelalak lebar. Tepat di garis pantai ia melihat beberapa prajurit berkumpul, juga Kazuya berdiri tepat di tengah-tengah. Lebih dari itu, ia melihat pemandangan lain yang membuatnya berlari secepat mungkin ke pantai tanpa memperdulikan bahwa ia masih mengenakan baju tidur ataupun rambutnya yang kusut dan belum dirapihkan.

Ia berlari dengan tergesa-gesa, mengabaikan napasnya yang tesengal, juga menulikan pendengarannya dari beberapa pelayan yang terkesiap dan menasehatinya untuk tidak berlari menuruni tangga karena akan sangat berbahaya apabila ia sampai terpeleset dan jatuh. Peduli setan, yang saat ini ada dipikirannya hanya bagaimana cara agar ia sampai secepat mungkin ke pantai.

Eijun bahkan menerobos di antara barisan para prajurut, ia maju sedekat mungkin dengan garis pantai, juga mengabaikan panggilan Kazuya. Eijun bediri terpaku. Matanya nyalang memandangi apa yang kini berada tepat selangkah di bawah kakinya.

"Bodoh, kenapa kau pakai baju setipis itu keluar?" Kazuya berseru kepadanya, kemudian mendekat dan berdiri di sampingnya. Tapi Eijun tak punya minat untuk sekedar melirik.

Lebih dari seribu ikan dari berbagai jenis juga warna dan corak yang berbeda-beda kini terkapar sekarat di bawahnya. Melompat-lompat di pasir putih seolah berusaha keras untuk berjuang hidup dan mendapatkan air. Napas Eijun menjadi sesak, ada beban berat menghimpit dadanya menyaksikan pemandangan mengerikan itu.

"Ini aneh, kan?" Ia bisa mendengar suara Kazuya berkata. "Para prajurit bilang tak ada badai ataupun ombak besar semalam, tapi pagi ini tiba-tiba banyak sekali ikan terkapar di pantai."

Eijun bernapas dengan berat, ia merasakan matanya mulai memanas.

"Terlebih lagi… kenapa mereka membentuk pola seperti ini?"

Ini bukan hanya sekadar pola. Ikan-ikan itu membentuk sebuah formasi khusus. Sebuah segitiga besar dengan ujung mengarah tepat ke lautan sementara alasnya mendatar di pantai. Ia menghabiskan banyak waktu untuk melihat mereka dilatih, sehingga tahu dengan pasti maksud dari formasi itu. Triangulum Raditus, sebuah formasi yang berarti langkah mundur, kembali, atau… pulang.

Tenggorokan Eijun tercekat. Formasi itu adalah sebuah pesan untuknya. Kiriman langsung dari istana bawah laut untuk memanggilnya kembali. Ayahnya telah mengirimi pesan yang begitu memillukan dengan mengirim seribu ikan untuknya. Eijun tahu betapa sang ayah sangat amat menjaga kerahasiaan eksistensi kaum mereka dari para manusia, maka apabila sang ayah sampai nekat mengirim pesan yang dapat dipandang sebagai suatu kejanggalan besar bagi manusia seperti sekarang, hanya ada satu kemungkinan—Raja Triton benar-benar putus asa.

Eijun merasa bahunya melemas, pakaiannya terasa seberat lelehan timah panas. Ia pasti sudah tersungkur di pasir seandainya tangan Kazuya tidak sigap menangkap lengannya dan menahannya untuk tetap berdiri.

"Ada apa denganmu? Kau sakit?"

Kali ini, bahkan nada khawatir dalam suara Kazuya, atau cara bagaimana manusia itu menatapnya dengan cemas dan penuh perhatian tak mampu menghapuskan derita di hatinya.

~oo0oo~

"MENIKAH?"

Dua belas kali mendengarnya, Kazuya tetap merasa sulit untuk percaya. Matanya menatap bergantian satu demi satu para Penasehat Agung kerajaan yang duduk mengelilingi meja bersamanya. Tangan Kanan Raja yang duduk tepat di sebelah kanannya hanya memberi anggukan lugas ketika Kazuya menoleh. Kazuya membuang napas berat, ia ingin merengek, tapi itu tidak mungkin. Mahkota emas yang bertengger di kepalanya entah mengapa menjadi sejuta kali lebih berat dari biasanya.

"Kenapa tiba-tiba kalian membicarakan masalah ini denganku?"

Nada dingin dan muak dalam suaranya membuat seisi ruangan membeku dan menundukkan kepala, tak berani menjawab. Mata Kazuya memindai satu persatu wajah di sekelilingnya, berharap ia menemukan jawaban yang memuaskan, namun bermenit-menit berlalu semua orang tetap bergeming. Akhirnya pria si sebelahnya berdeham kecil, "Maaf, Yang Mulia. Tapi sebenarnya masalah ini sudah dibicarakan sejak lama. Bahkan sebelum anda mencapai usia tujuh belas. Mendiang Raja sebelumnya telah melakukan perundingan besar untuk memilih dan menetapkan permaisuri yang akan mendampingi Anda."

"Apakah aku punya hak untuk menolak?" Kegetiran dalam suara Kazuya pastilah lebih pekat dari yang ia rencanakan, karena sekali lagi suasana dalam ruangan kembali hening dan lebih dingin dari sebelumnya.

"Tidaklah bijak bagi seorang raja untuk melanggar sebuah perjanjian, Yang Mulia." Tangan Kanan Sang Raja berkata dengan hati-hati. "Kerajaan Seido telah menjalin kerjasama yang baik dengan mereka selama bergenerasi-generasi. Bahkan mendiang ayah Anda sendiri bersahabat baik dengan Rajanya. Putri dari Kerajaan itu adalah calon terbaik yang bisa Anda dapatkan di seluruh dunia, Yang Mulia. Bukan hanya perihal kecantikannya yang tersohor, tapi juga kecerdasannya, budi pekertinya yang luhur, juga silsilah keluarga terpandang yang mengalir dalam darah Sang Putri."

Kazuya menghela napas, semua perkataan yang disampaikan oleh Tangan Kanannya itu memang benar. Ia sudah dapat memprediksi bahwa sebagai seorang pewaris tunggal, ia tidak akan dibiarkan membujang lama-lama. Terlebih saat ia telah diangkat sebagai Raja, Seido akan sangat membutuhkan seorang Ratu. Hanya saja yang ia ia tidak mengerti adalah mengapa hatinya terasa begitu gusar saat ini. Sesuatu dalam hatinya seolah ingin memberontak, mengamuk sepuasnya dan mengacak-acak segala hal yang ada. Ia ingin menolak, namun ia tak punya alasan sama sekali. Otaknya membeku dan tak menciptakan satupun hal bagus sebagai alasannya berkilah dari pernikahan ini. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang salah. Sebuah kesalahan yang sangat besar, tapi apa?

Kazuya memutar cincin perak di jarinya. Menatap lekat lambang kerajaan Seido yang terukir di cincin itu. Inilah tanggung jawab, pikir Kazuya. Inilah kewajiban dan salah satu garis aturan yang mesti ia ikuti untuk memenuhi takdirnya sebagai raja. Tak ada celah baginya mengelak. Ia tak punya hak untuk menolak. Maka ia menghembuskan napas panjang, menegapkan bahunya, memandang sekeliling dan berkata dengan penuh ketegasan.

"Baik, kalau begitu kirim pesan secepatnya kepada mereka. Beri tahu mereka pernikahan akan segera digelar. Siapkan pesta terbaik yang pernah ada. Panggil juru masak terbaik dari segala penjuru. Siapkan kain dan sutra berkualitas paling bagus. Siapkan hiburan yang paling spektakuler. Musik, penari, penyair, apapun. Petik bunga-bunga berkulaitas paling baik dan hias seluruh istana hingga setiap pasang mata yang melihatnya lupa caranya berkedip. Mari kita sambut Permaisuriku dengan kemegahan yang membuatnya menangis bahagia."

~oo0oo~

Eijun mencoba untuk bernapas. Tapi ia tidak bisa. Seluruh oksigen yang ada di bumi tak cukup untuk mengisi paru-parunya. Ia merasa seolah-olah sebuah jangkar besi dilabuhkan tepat di rongga dadanya. Memberatkan tiap tarikan napasnya. Ia merasakan sekumpulan rotan membelit lehernya, mencekiknya dengan begitu kuat, menyumbat segala akses oksigen untuk sampai ke paru-parunya. Daya hidupnya menipis. Sementara air mata memberontak di balik kelopak matanya.

Kazuya akan segera menikahi orang lain.

Seratus anak panah beracun menembus jantungnya dalam hitungan detik. Ia ingin menangis, menjerit, meraung-raung mencakari dadanya yang terbakar, tapi ia berhasil mengatupkan rahangnya dengan keras, mengigit bibirnya kuat-kuat hingga menimbulkan luka sobek dan beberapa tetes darah. Ia berhasil menyeret langkahnya yang tertatih-tatih, berpegang pada apa saja yang berada di dekatnya, kemudian menjauh dari sana. Menjauh dari ruangan dimana Kazuya tengah merencanakan pesta pernikahannya.

Semakin banyak kau mencintai seseorang, semakin lemah dirimu. Jangan pernah cintai siapapun, Pangeran.

Inikah maksud dari perkataan Seppta waktu itu? Inikah harga yang harus ia bayar karena berani melanggar perintah ayahnya? Tangannya mengepal, dan meremas kuat tepat di depan jantungnya yang berdegup tipis selagi ia menyerat kakinya berlari tanpa tujuan yang pasti.

~oo0oo~

"Naiklah," Kazuya berkata bersama gerak dagu mengarah ke ranjang. "Kau harus istirahat." Ia menambahkan, matanya mencoba menangkap ekspresi di wajah Aurum sebaik mungkin, tapi tak banyak yang berhasil ia lihat.

Aurum menunduk muram, wajahnya masih basah setelah Kazuya menyuruhnya mencuci muka, beberapa tetes air jatuh dari dagunya. Rambut bagian depannya menjuntai ke bawah, jatuh menutupi matanya. Air membuat helaian rambut coklat gelapnya meruncing tajam seperti sayap basah. Tubuhnya tetap bergeming, berdiri tanpa bergerak seperti patung. Seolah ia sama sekali tak mendengar kalimat Kazuya sebelumnya.

"Bisakah kau menatapku?" Kazuya merasakan suaranya mengabur tanpa sebab yang pasti. Ia nyaris terdengar seperti memohon, yang seharusnya itu mustahil dilakukan seorang raja.

Lama, pemuda di hadapnnya hanya terdiam, tak menanggapi sama sekali, sampai kemudian dengan sangat perlahan kepalanya mulai terangkat, mendongak tipis untuk menatap Kazuya. Dan Kazuya merasakan napasnya berubah berat ketika menangkap wajah pasi di hadapannya, mata Aurum penuh derita. Bibirnya terkatup rapat dalam bentuk daris mendatar yang pilu.

Kazuya tidak mengerti apa yang mengubah jiwa Aurum dalam sekejap. Belum lama ini, pemuda itu selalu tampak secerah matahari. Senyum nyaris tak pernah meninggalkan wajahnya, matanya selalu bersinar seakan-akan ia punya lebih dari dua nyawa. Tapi kali ini, semua sinar itu menghilang. Dan Aurum terlihat tak lebih dari sebuah boneka berwajah manis dengan jiwa yang dingin dan kosong.

Kazuya menarik napas dalam-dalam, membuangnya perlahan. Sekitar satu jam yang lalu seorang prajurit istana membawa pemuda itu padanya. Menurut laporan, prajurit itu menemukan Aurum ratusan meter jauhnya dari gerbang istana. Entah bagaimana ia bisa lolos tanpa pengawasan dan berjalan ke luar sendirian, yang jelas saat dibawa ke hadapannya Aurum sudah tampak menyedihkan.

"Ayo, naiklah." Kazuya meletakkan tangannya di balik punggung Aurum, mendorong pemuda itu menuju tempat tidurnya. Bagusnya pemuda itu menurut, ia merangkak naik dan berbaring menyamping terlalu dalam hingga terkesan seolah merusaha menyembunyikan wajahnya di antara tumpukan bantal.

Kazuya berjalan mendekat dan berdiri tepat di sisi ranjang. "Apa itu artinya aku harus jadi pengasuhmu? Haruskah aku menyelimutimu, meyanyikan lagu tidur atau membacakan sebuah cerita untukmu?" Ia mencoba terdengar sarkas untuk mencairkan suasana, namun Aurum tetap saja muram. Maka Kazuya bergerak, tangannya menarik selimut hingga menutupi Aurum sampai ke lehernya. Kemudian ia sendiri duduk di tepi ranjang.

"Hari ini melelahkan, bukan?" Kazuya mulai bicara. "Pagi hari diawali dengan kejadian super aneh di pinggir pantai. Ikan-ikan yang terdampar tanpa sebab yang pasti. Lalu… kau mungkin belum mengetahui hal ini," Kazuya membuang napas pendek, meneguhkan hatinya. "Aku akan segera menikah. Itu keputusan bulat. Ultimatum yang tidak bisa aku hindari." Kazuya menoleh hanya untuk mendapati wajah Aurum semakin melesak ke dalam bantal, membuatnya kesulitan melihat ekspresinya. "Kemudian kau tiba-tiba melarikan diri. Atau setidaknya ku asumsikan begitu. Ku tebak, kau tidak akan mau menjelaskan alasan kau pergi, ya?"

Kalaupun Aurum hendak menjawab, atau setidaknya memberi isyarat seperti gelengan kepala atau anggukan, Kazuya tidak melihat tanda-tanda pemuda itu bersedia melakukannya. Ia tetap diam, tak merespon dan membiarkan seorang raja bermonolog seperti lelaki menyedihkan.

"Yeah, tampakanya aku benar-benar harus jadi pengasuhmu malam ini. Pejamkan matamu, tidurlah. Aku akan menemanimu di sini sampai kau benar-benar pulas."

Kazuya memberanikan diri untuk menggerakkan jemarinya dan bermain di helaian rambut gelap Aurum. Memilinnya dengan gerak halus, anehnya ini terasa cukup menyenangkan. Aurum tak menampilkan tindakan protes atau sejenisnya yang membuat Kazuya merasa lega.

"Haruskah aku mulai bercerita?" Tanya Kazuya dengan nada main-main. Ia masih belum bisa memutuskan seperti apa harus bersikap di hadapan pemuda energik yang mendadak jadi serba suram begini. Diluar dugaan, kepala Aurum ternyata bergerak, mengangkat wajahnya dari bantal kemudian menatap tepat ke wajah Kazuya dengan emosi yang tidak terlalu bagus, sebuah bentuk protes atau keluhan? Namun Kazuya beranggapan itu jauh lebih baik daripada melihat ekspresinya yang penuh derita.

"Apa?" Kata Kazuya, satu alisnya menukik tinggi. "Kenapa kau terlihat kesal?"

Sekarang Aurum bahkan menatapnya dengan mata menyipit sinis. Begitu sinis hingga terkesan seolah-olah ia ingin menusuk Kazuya dengan tatapan matanya. Dahi Kazuya berkerut dalam. "Oke. Kau sekarang marah padaku. Padahal aku tidak tahu dimana letak kesalahanku." Ia mendengus kasar, mencoba untuk tidak tersinggung ketika Aurum tetap tidak melunturkan tatapan permusuhan padanya.

"Hey, aku hanya berniat baik!" Protes Kazuya tak tahan. "Lagi pula bukankah kau selalu mendengar—Oh." Kazuya tersadar detik itu, ia mengatupkan kembali bibirnya dan memandangi Aurum dengan tatapan menyelidik. "Kau beranggapan cerita-ceritaku selalu payah, ya?"

Aurum membuang napas kasar, mendelik ke arah Kazuya seolah mengatakan, Masih perlu bertanya?

Yang demikian itu justru membuat Kazuya terkekeh geli, telapak tangannya bergerak mengacak gemas rambut coklat gelap Aurum, mengabaikan gerakan protes pemuda itu yang tampak tak suka Kazuya mengacak-acak rambutnya dengan brutal.

Kazuya menarik napas dalam-dalam, membuangnya perlahan. Entah mengapa ia merasakan setitik kelegaan di hatinya ketika Aurum mulai bertingkah seperti biasa. "Kau tenang saja, kali ini ceritaku akan berbeda dengan cerita-cerita sebelumnya. Aku berani jamin." Janji Kazuya, menyempatkan diri untuk melempar sebongkah senyum bersahabat pada pemuda yang berbaring di dekatnya.

Aurum menatapnya dengan tatapan serius dan penuh pertimbangan, sementara Kazuya tak gentar berusaha menyalurkan bentuk keyakinan dan kepercayaan bahwa ia tidak sedang bercanda atau mencoba berbohong. Berberapa waktu mereka berdua hanya saling bertatapan mencoba untuk menguji kesungguhan satu sama lain sampai akhirnya Aurum menghela napas, pemuda itu mengangguk kecil pada Kazuya tanda persetujuan. Kazuya tersenyum simpul, membuat dirinya duduk dengan nyaman di sisi ranjang, sedangkan Aurum membalikkan tubuhnya dan berbaring dengan wajah menghadap ke atas, tidak terbenam dalam tumpukan bantal seperti sebelumnya.

"Baiklah," Kazuya menarik napas. "Kisah ini dimulai dengan sebuah badai ganas."

Ada sorot yang menajam di sepasang netra emas Aurum ketika mendengar kata badai. Maka Kazuya cepat-cepat menggeleng dan kembali membuka mulutnya. "Tidak, tidak, kau tenang saja. Poin penting yang ingin kuceritakan bukan tentang badainya. Sungguh." Kazuya mencoba meyakinkan, namun sorot di mata Aurum tak banyak berubah. Maka ia memutuskan untuk melanjutkan cerita agar membuat pemuda itu yakin padanya.

"Beberapa waktu sebelum aku bertemu denganmu, aku merayakan ulang tahun ketujuh belasku di atas sebuah kapal megah pemberian ayahku. Percayalah, itu sebuah kapal super mewah yang membuat siapapun terpana mengagumi keindahannya. Aku masih ingat betapa mengkilap setiap sisi kayunya. Seolah para pekerja mengamplasnya berulang-ulang dengan segenap keteguhan hati mereka."

Kazuya mengambil jeda untuk menarik napas panjang, mencoba terdengar lebih rileks dan menatap Aurum sehangat yang mampu ia berikan sebagai seorang raja kepada sahabatnya. "Itu malam yang luar biasa. Pesta ulang tahun paling menakjubkan bagi seorang pangeran. Tapi… beberapa hal buruk terjadi tak lama kemudian."

Garis-garis di seputar mulut Kazuya membentuk simpul senyum yang kaku. Ia sudah lama tak mengingat-ingat peristiwa malam itu dan kali ini menceritakannya kembali pada Aurm ternyata membuatnya sadar bahwa hatinya belum sepenuhnya siap. Namun demikian, Kazuya mencoba membawa ceritanya tak terlalu gelap.

"Singkat cerita, kapalku diterjang sebuah badai ganas yang datang tiba-tiba." Ia memutuskan untuk tidak mengungkit-ungkit tentang Black-Wildlings dan bagaimana ayahnya meregang nyawa persis di hadapannya. "Ajaibnya aku berhasil selamat." Kazuya berupaya terdengar ceria, melempar senyum inosen kepada Aurum yang masih memandanginya dengan sorot yang tak dapat Kazuya terjemahkan.

"Well, aku memang terluka." Kata Kazuya lagi. "Di sini." Ia mengangkat bajunya ke atas, lalu menunjukkan kulit pada bagian perutnya di mana sebuah bekas luka melintang dalam garis putih yang samar. Aurum menatap bekas luka itu dengan rahang terkatup rapat. Entah apa yang pemuda itu pikirkan, Kazuya tak bisa menebak.

"Aku tidak bisa mengingat dengan baik ketika tersadar. Saat itu aku tahu-tahu sudah berada di tepi pantai dengan remah-remah tumbuhan membebat lukaku. Tapi, samar-samar aku bisa mengingat seseorang menyelamatkanku."

Wajah Aurum berubah kaku. Kazuya tidak tahu apa yang membuat pemuda itu menjadi demikian ketika mendengar ceritanya, tapi ia mengambil inisiatif untuk menggerakkan tangannya dan mengusap hati-hati helaian rambut Aurum untuk membuatnya lebih tenang.

"Sepertinya dia menungguiku, membawa kepalaku ke pangkuannya, lalu membelai wajahku." Kazuya mengernyitkan dahi, mencoba mengingat lebih jauh. "Aku bisa merasakan kehangatan tangannya, tapi tubuh dan mataku terlalu berat untuk digerakkan, jadi aku hanya bisa berdiam diri. Kemudian… dia mulai bernyanyi."

Kazuya mendesah pelan. Nyanyian itu muncul secepat kilat dalam kepalanya, suara dan lantunan nada-nada merdu itu meracuni otaknya seketika setelah ia selesai bicara.

"Itu adalah suara paling merdu dan paling indah yang pernah ku dengar seumur hidupku. Hanya dengan mendengarkannya saja bisa membuat sakitku perlahan-lahan memudar dan perasaanku menjadi jauh lebih baik. Aku… aku tidak bisa mengenyahkan suara itu dari dalam kepalaku. Aku selalu berharap bisa mendengarnya lagi."

Aurum tiba-tiba duduk dengan begitu cepat seolah ia berusaha melompat. Matanya memandang Kazuya dengan tatapan keras yang tak dapat Kazuya artikan maknanya. Kedua tangan pemuda itu mengepal dan meremas selimut erat-erat seolah seluruh hidupnya bergantung di sana.

"Ada apa?" Tanya Kazuya heran. "Kau tidak suka ceritaku?" Ia bertanya dengan mata menyipit introgatif. Menurutnya tak ada yang salah dengan ceritanya kali ini, tapi reaksi yang Aurum berikan justru lebih parah dari cerita-cerita sebelumnya.

Dalam waktu yang cukup lama Aurum hanya memandanginya tanpa berkedip atau bergerak, dan Kazuya tetap tidak mengerti. Maka yang ia bisa lakukan hanyalah menggapai sebelah bahu Aurum, mengusapnya perlahan dan berkata. "Rileks, aku belum selesai bercerita. Berbaringlah lagi." katanya, setengah meminta. Aurum masih sempat memandanginya sebelum kemudian mengangguk kecil dan kembali berbaring.

"Jujur saja, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Suara itu terus menghantui pikiranku. Ada sensasi aneh yang tidak pernah kurasakan sebelumnya tiap kali mengingat suara itu. Perasaan yang tidak bisa kujelaskan atau kumengerti dengan pasti." Kazuya meletakkan sebelah tangannya di dada, menekan tepat ke degup jantungnya. "Sampai sekarangpun, jantungku selalu bertalu-talu tiap kali teringat akan hal itu. Bukan hanya tentang seberapa merdu suaranya. Tapi juga bertapa hangat sentuhannya di kulitku. Betapa aku bisa merasakan kepedulian dan ketulusannya yang begitu mendalam dalam tiap hal yang ia lakukan untuk menyelamatkan nyawaku."

Kazuya mencoba bernapas perlahan. "Sebelum aku menemukanmu pagi itu di pantai, rasanya setiap waktuku hanya dihabiskan untuk merana mengingatnya. Lalu kau datang dan berhasil membuat pikiranku teralihkan. Tapi malam ini, ketika menceritakannya padamu, aku sadar akan satu hal. Aku tidak pernah benar-benar melupakannya."

Kazuya menatap lurus-lurus ke sepasang iris emas Aurum, mencoba mencari bentuk dukungan. "Apakah menurutmu aku sudah gila karena merindukan seseorang yang bahkan tak benar-benar aku kenali?"Ia menghela napas pajang, kemudian mendongakkan kepala, membiarkan wajahnya menengadah menatap langit-langit. "Aku sama sekali tidak mengerti. Kupikir karena aku berhutang nyawa padanya, maka separuh jiwaku secara otomatis menjadi terikat dengannya. Tapi rasanya bukan hanya itu… rasanya ada sesuatu yang lain." Kazuya mengigit bibirnya, memejamkan mata dan membiarkan perasaannya kembali terombang-ambing dalam desiran halus yang asing. "Aku sangat ingin bertemu dengannya."

Kazuya membuka mata dan kembali menoleh pada Aurum, lantas ia menyipit heran begitu mendapati wajah Aurum berseri-seri dengan sebongkah senyum tersungging tanpa cela di bibirnya. Hanya sekejap berlalu, dan Kazuya sudah mendapati pemuda itu kembali seperti semula. Tersenyum secerah dan sehangat sinar matahari juga sepolos dan semanis bayi.

"Kau tersenyum." Kazuya berujar. "Apa kau bermaksud menertawaiku dan menganggapku benar-benar tidak waras karena terobsesi pada seseorang yang tak ku kenal?"

Aurum menggeleng kuat-kuat.

"Jadi, kau mendukungku?"

Aurum mengangguk penuh semangat dan memberinya senyuman lebar.

"Bagaimana kalau aku mengatakan bahwa aku berharap bisa mengatur ulang pernikahanku hanya demi berkeliling dunia untuk mencari dan menemukannya, lalu membawanya ke istanaku dan memintanya tinggal di sini untuk…" Kazuya mengambil jeda, ia merasakan jantungnya melompat hebat dalam sangkar iganya. Mulutnya terasa begitu kering dan serangan rasa gugup yang tak masuk akal tahu-tahu membanjiri sekujur tubuhnya. Sang Raja menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan, menguatkan tekad sebelum berkata. "untuk menjadi pendampingku." Kali ini Kazuya yakin ia positif tidak waras. "Akankah kau tetap mendukungku setelah mendengar keinginan tak masuk akal itu?"

Aurum memandanginya dengan mata berbinar senang. Sebelah tangannya bergerak membentuk kepalan lugas lalu meninju dada Kazuya pelan. Sebuah bentuk dukungan dan penyaluran rasa percaya yang sederhana namun penuh kejujuran. Kazuya mendenguskan tawa geli, tanganya kembali bergerak untuk mengacak gemas surai coklat gelap milik Aurum. Sekali ini Aurum tidak memprotes tindakannya.

"Kau memang yang terbaik." Kata Kazuya, tersenyum ringkas. "Kalau begitu, mari kita berharap sesuatu yang ajaib akan terjadi besok." Kazuya merapikan selimut dan menariknya sampai ke bahwah dagu Aurum kemudian membelai kepalanya sekilas bersama senyum tak lepas. "Nah, sekarang tarik napas dalam-dalam, lalu buang perlahan-lahan. Pejamkan matamu." Kata Kazuya lagi, Aurum menuruti semua kata-katanya. "Tidurlah." Nada suara Kazuya melembut.

Kazuya tetap duduk di sana sampai ia memastikan bahwa Aurum sudah benar-benar terlelap. Ia memandangi wajah tidur Aurum yang semanis malaikat, memanggil kembali memori akan kali pertama ia membawa Aurum ke istana. Ia ingat bagaimana awalnya begitu banyak menaruh rasa curiga pada pemuda itu. Meminta prajurit istana untuk mengawasi segala tindak tanduk Aurum sepanjang hari. Tapi kemudian segalanya berubah, Aurum berhasil membuat semua rasa curiganya luntur dan berganti menjadi emosi yang lebih positif.

Tak dapat dipungkiri bahwa pemuda itu berhasil membuat hari-hari Kazuya lebih menyenangkan, hangat dan juga berwarna. Senyum dan sikap positif yang melekat kuat padanya itu berhasil meluluhkan siapa saja, bahkan para King's Guard yang garang sekalipun. Kazuya selalu penasaran dengan cerita apa yang Aurum miliki. Ia tak bisa lepas dari setitik pengharapan bahwa suatu hari kelak Aurum dapat bercerita padanya. Kazuya ingin mendengar segala hal tentangnya, terutama soal mengapa Aurum selalu beraroma seperti laut meski ia sama sekali tak pernah memakai wewangian jenis apapun di tubuhnya.

Kazuya memandangi deru napas Aurum yang halus. Ia sekarang yakin pemuda itu sudah benar-benar pulas. Barangkali mimpi indah karena bibirnya tersenyum begitu manis. Tanpa sadar Kazuya tersenyum memandanginya. Kazuya mencondongkan kepalanya dengan hati-hati untuk bisa menatap lebih dekat gurat wajah Aurum yang tertidur. Beberapa saat kemudian, ada sekelumit perasaan halus namun begitu tajam menyentak hatinya.

Ini terjadi lagi, pikir Kazuya. Selalu, di setiap ia memandang terlalu lama atau terlalu dekat dengan wajah pemuda itu, maka suatu sensasi familiar yang janggal akan naik ke dadanya. Seolah-olah ia pernah bertemu dengan Aurum sebelumnya, sebelum ia menemukan Aurum di pantainya pagi itu. Tapi Kazuya tak bisa mengingat di mana persisnya ia berjumpa dengan Aurum. Memori di kepala dan rasa di hatinya berperang dengan sengit, membuatnya selalu berakhir dengan hanya menarik napas dalam-dalam dan menyerah pada ingatannya.

"Nite." Bisik Kazuya pada akhirnya. Ia menatap wajah itu sekali lagi, mengusap rambutnya lalu menghela napas panjang sebelum kemudian berbalik dan meninggalkan kamar Aurum.

~oo0oo~

Pagi hari berikutnya, Eijun membiarkan tubuhnya jatuh berlutut di pasir pantai yang basah. Ia kehilangan kekuatan untuk berdiri. Rasa sakit di telapak kakinya berlipat sejuta kali dibanding sebelumnya. Tangannya mengepal kuat, meremas butir-butir pasir yang terasa sedingin es. Perasaan di hatinya bergejolak membentuk badai dari beragam emosi negatif yang tak dapat ia kendalikan. Seandainya kekuatannya masih ada, Eijun yakin ia sudah membuat ombak setinggi tsunami sekarang.

"Tuan," Seorang prajurit kerajaan berlutut di sebelahnya, Eijun sama sekali tak melirik. Pria berbaju zirah itu mengulurkan tangan padanya dengan segala hormat. "Biar saya bantu." Ia menawarkan dengan begitu sopan. "Sudah setengah jam Anda seperti ini. Pakaian Anda telah basah, Tuan. Anda bisa jatuh sakit."

Persetan! Eijun mengutuk dalam hati. Ia menatap prajurit itu dengan tatapan sekeras besi dan sepahit racun. Membuat pria itu berjengit kaget dan mundur satu langkah. Tapi Eijun tidak mau peduli. Bagimana mungkin ia bisa peduli kepada seorang prajurit manusia sementara di hadapannya tersaji pemandangan sememilukan ini?

Tiga ribu ikan terdampar di sepanjang garis pantai. Bahkan kali ini ras sebangsa hiu putih, lumba-lumba dan anak paus juga ada. Mereka terkapar tak berdaya, sekarat melompat-lompat berusaha menggapai lautan. Namun tiap kali deru ombak datang, mereka terdorong kembali ke pasir. Seolah-olah laut telah didesain untuk menolak mereka semua. Membuat mereka terus terdampar ke pantai dan membentuk pola yang sama berulang-ulang. Formasi yang sama dengan pagi kemarin.

Bagaimana bisa Eijun diberi ketegaran melihat semua hal ini? Tiga ribu rakyatnya sekarat tepat di hadapannya hanya demi mengiriminya pesan untuk pulang dan kembali ke laut. Tapi ia bahkan tak bisa berbuat apa-apa selain merasakan amarah dan kepedihan mengoyak-ngoyak hatinya.

.

"Lagi?" Kazuya mengernyitkan dahi memandang kejadian tak biasa di hadapannya.

"Ya, Yang Mulia." Seorang pengawal menjawab. Membungkuk sopan padanya kemudian melirik dengan prihatin ke arah ribuan ikan sekarat itu.

Kazuya menghela napas, ia mendelik sekilas ke arah Aurum yang jatuh berlutut di atas pasir. Pakaiannya telah basah juga ditempeli banyak pasir namun tampaknya ia sama sekali tak peduli, ia bahkan tidak menoleh barang sedikitpun setelah mendengar suara Kazuya. Tidak yakin bisa melakukan banyak hal untuk Aurum, Kazuya memilih mengabaikannya saja. Berpikir mungkin Aurum butuh waktu untuk sendirian. Lagi pula sampai kapanpun Kazuya tidak akan pernah berhasil memahami bentuk simpati maha tinggi yang Aurum punya untuk para makhluk laut. Baginya itu sama sekali tak masuk akal.

"Pagi ini justru jauh lebih banyak dari kemarin." Kazuya menoleh kepada pengawalnya, nada sang pengawal berubah prihatin ketika berkata. "Ikan-ikan itu tampak sangat tersiksa karena tak bisa kembali ke laut. Apa yang harus kami lakukan, Yang Mulia? Haruskah kami membantu mereka semua mencapai laut untuk membebaskan mereka dari penderitaan?"

Kazuya mengeluarkan suara dengusan kecil seolah-olah berpikir bahwa kalimat itu begitu konyol. "Kau bercanda?" Katanya. "Ini semua daging segar. Bahkan kita tak perlu membuang tenaga untuk berlayar dan memancing. Tangkap semuanya, berikan ke dapur istana. Ini akan jadi hidangan yang bagus di hari pernikahanku besok."

~oo0oo~

Rombongan mempelai wanita tiba saat hari menjelang sore. Sebuah kapal besar, serta puluhan kapal kecil berlabuh dan disambut hangat oleh seluruh rakyat Seido. Kereta-kereta kuda bersepuh emas dengan roda-roda kayu yang diplitur mengilap membawa anggota keluarga kerajaan dengan begitu anggun menapaki sepanjang jalan. Rakyat bertepuk tangan, bersuka cita menyambut dengan begitu hangat kedatangan kerajaan negeri sebrang tersebut. Mereka telah mendengar berita bahagia soal pernikahan Kazuya dengan Sang Tuan Putri yang amat terkenal kecantikan dan kebaikan akhlaknya. Tentu, rakyat menyambut baik calon Ratu mereka.

Selepas kejadian memilukan tadi pagi, Eijun berlari cepat ke tebing batu yang mengahadap ke laut. Ia berdiri dengan kedua tangan mengepal kuat di masing-masing sisi tubuhnya, matanya terasa baru disiram sejuta liter air garam, namun tak ada satu tetespun air mata yang keluar. Seolah bukan hanya harapannya yang telah sirna, tapi air mata juga telah meninggalkannya. Di sana Eijun membuka mulut. Lalu mencoba menjerit. Ia menjerit sekuat tenaga, selantang mungkin yang bisa ia lakukan. Tapi tidak banyak suara yang dapat keluar. Hanya ada lolongan berat, rendah, dan penuh penderitaan. Ia kembali mencoba, menjerit dan menahannya selama mungkin. Jeritan demi jeritan dari kedalaman perutnya, dari kedalaman hatinya. Ia keluarkan lolongan yang mendekati tawa, dihiasi frustasi. Ia terus mencoba, menjerit dan menjerit hingga kehabisan napas dan tenggorakannya seperti terbakar.

Sekarang, Eijun berdiri di antara kerumunan. Ia sudah lelah menghadapi rasa sakit dan kebimbangan. Ia sudah lelah merasa takut. Maka ia memutuskan untuk menghadapi apa yang jelas-jelas terjadi di hadapannya. Sia-sia saja melarikan diri, Kazuya pasti akan segera menemukannya.

Eijun mendongak mengamati panji-panji berwarna merah dengan simbol pedang dan obor berwarna emas diangkat tinggi-tinggi, gendang ditabuh dalam nada yang menggetarkan hati, sementara sorakan rakyat Seido dan taburan bunga tak putus di sepanjang jalan. Mata Eijun menyapu di antara barisan prajutit berbaju zirah yang mengawal keluarga kerajaan. Bahkan ia sekalipun dibuat sangat penasaran dengan seperti apa paras Sang Putri. Ia sungguh ingin tahu gadis macam apa yang telah dijodohkan dengan Kazuya.

Kazuya sendiri berdiri tepat di depan gerbang istananya, didampingi oleh banyak orang penting. Mahkota di atas kepalanya bersinar di bawah cahaya matahari dan pemuda itu kelihatan sangat gagah dengan pakaian resminya sebagai seorang raja, lengkap dengan jubah biru gelap yang berkibar di balik pungungnya.

Begitu rombongan sampai tepat di gerbang istana, sorak sorai dan segala keributan mendadak lenyap. Suasanya menjadi begitu hening juga khidmad. Seseorang turun dari kereta kuda, pria paruh baya dengan mahkota di atas kepalanya, Sang Raja. Setelahnya, sang Ratu turun mengikuti, berdiri berdampingan dengan sang suami. Dan satu suara lantang menyerukan dalam nada penghormatan khas monarki.

"Miyuki Kazuya, the King of the Seido Kingdom and the first of his name!"

Seluruh rakyat Seido memberi gestur hormat paling sopan kepada Kazuya. Sementara pasangan Raja dan Ratu yang baru keluar dari kereta itu juga membungkuk padanya. Kazuya mengulas senyum tipis, balas membungkuk kecil.

Serangkaian prosesi penghormatan lain berjalan dengan begitu formal, sebelum kemudian mereka semua masuk ke dalam istana dan berkumpul di aula besar. Eijun menyelinap di antara barisan para prajurit penjaga. Kepalanya menoleh ke sana kemari mencari jejak-jejak keberadaan Sang Putri, tapi gadis itu belum muncul. Mereka mengatakan bahwa Sang Putri dididik dan dibesarkan di sebuah Rumah Keagamaan, di mana ia belajar setiap kebijakan dalam kehidupan, hal-hal menyangkut sejarah, kerajaan, dan lain-lain.

Dua jam berselang, Sang Putri akhirnya datang bersama rombongan kecil. Eijun yang sangat ingin membuktikan apakah Sang Putri benar-benar cantik, pada akhirnya wajib mengakui bahwa ia sendiripun belum pernah melihat visi kecantikan yang lebih sempurna dari Sang Putri.

Ia melangkah dengan begitu anggun, ringan namun tegap dan yakin. Tiap langkahnya berhasil menyita perhatian setiap pasang mata untuk tak berpaling darinya. Kulitnya putih dan bersinar, tampak begitu halus. Di bawah bulu matanya yang panjang, mata birunya bersinar-sinar memancarkan nilai kebajikan dan kemurnian yang sangat dalam. Bahkan Eijun sendiripun tak dapat mengalihkan matanya dari Sang Putri. Saat Sang Putri melewatinya, barulah Eijun tersadar akan sesuatu. Ia pernah melihat Sang Putri.

Tapi Sang Putri terus berjalan melewatinya sampai ia tiba tepat di hadapan Kazuya. Sang Putri membungkuk dengan anggun, tersenyum sopan. "My King," Suaranya selembut kecupan. Tapi Eijun hanya berdiri terpaku. Pikirannya dipenuhi dengan hal-hal lain sekarang. "Saya Velove—"

"Itu kau." Suara Kazuya membuat Sang Putri kembali mengatupkan mulutnya. Semua pasang mata kini menoleh pada Raja Muda itu dengan heran. Kazuya sendiri memandangi Velove tak berkedip. "Kau yang menyelamatkan hidupku ketika aku nyaris tenggelam. Kau yang sudah menolongku ketika aku terbaring hampir mati di pantai."

Hadirin terkesiap. Hati Eijun remuk secepat jentikan jari. Kau salah paham, Kazuya! benaknya menjerit. Akulah yang menyelamatkanmu, gadis itu hanya datang sesaat sebelum kau sadar! Betapapun kuatnya ia ingin memprotes, tak ada suara sedikitpun yang dapat keluar dari mulutnya. Kazuya maju mendekat ke arah Putri Velove yang kini tampak gugup dan juga salah tingkah. "My King, saya—"

"Itu memang kau." Kata Kazuya lugas, mereka kini berdiri berhadapan dengan mata Kazuya yang mengunci Velove dengan telak. "Kau orang yang ku temui hari itu di pantai, bukankah begitu?"

Putri Velove merona hebat, terutama saat tangan Kazuya meraih miliknya, mengenggamnya erat sementara mata Sang Raja menatap lekat kepadanya. "Jawab aku, Putri Velove. Kau kah orang itu? Seorang gadis yang kulihat saat aku membuka mata karena denting nyaring sebuah lonceng. Kau adalah gadis yang kutemui pagi itu tak jauh dari sebuah gereja tinggi berdiri di bibir pantai. Ataukah aku salah mengenali?"

Velove memberanikan diri untuk bertatapan dengan Kazuya. Rona merah muda di tulang pipinya membuat Sang Putri bertambah cantik. "Yes, My King." Ia mengangguk pada Kazuya. "Aku ingat bertemu denganmu pagi itu, tapi bukan aku yang—"

Kazuya menarik tangan Velove mendekat ke dadanya, kemudian tersenyum dengan lega. "My Lady. My Queen." Kazuya berlutut tepat di hadapan Velove dan mengecup pungung tangan Sang Putri dengan begitu romantis. Velove terkesiap, tangannya yang lain sigap menutupi mulutnya, matanya penuh akan rasa haru. Sementara seluruh orang dalam ruangan bungkam seribu bahasa menyaksikan kejadian itu. "Putri Velove, maaf atas sikapku yang mungkin kurang sopan. Tapi jika aku boleh meminta, maukah megabulkan permohonanku untuk membatalkan pernikahan kita esok hari?"

Velove membelalak, sementara semua orang ternganga mendengar ucapan Kazuya. Eijun sendiri merasakan matanya nyaris lompat keluar dari rongga matanya mendengar itu. Membatalkan pernikahan? Mungkinkah Kazuya….

"Kita tidak perlu menunggu esok hari, Love. Aku ingin kita menikah malam ini juga."

~oo0oo~

Kazuya mendorong pintu kayu itu dengan tak sabar. "Keluar." Ia berkata dengan nada paling lugas yang pernah ia utarakan. "Tinggalkan kami berdua."

Para pelayan yang semula sibuk, sigap menunduk hormat padanya lalu bergegas pergi meninggalkan ruangan. Begitu mereka lenyap dari balik pintu, Kazuya langsung menutup pintu di belakangnya rapat-rapat kemudian berjalan tergesa ke arah Aurum.

Jantungnya melompat lima kali lebih cepat ketika berada tepat di hadapan pemuda itu. Kazuya mencoba mengatur napasnya, aliran darahnya, kerja jantungnya, apapun, ia ingin melenyapkan semua rasa gugupnya, tapi yang ia bisa lakukan hanya berdiri mematung dengan wajah diliputi kegugupan yang konyol. "Geez," Ia mendesah, tangannya mengacak rambut dengan frustasi. "Apa yang terjadi denganku? Kenapa aku jadi segugup ini?"

Aurum hanya memandanginya tanpa mengatakan apa-apa, seperti biasa. Pemuda bermanik emas itu telah diberi pakaian dan perhiasan sedemikian rupa sampai-sampai bisa disangka salah satu pangeran. Aurum akan menjadi pembawa cincin untuknya, Kazuya sendiri yang memutuskan hal ini. Ia merasa keberadaan Aurum tak jauh darinya akan membantunya merasa sedikit lebih rileks dan tenang saat mengucap janji di atas altar nanti.

Kazuya menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya dengan cepat. Matanya kembali menatap lurus ke biji mata emas Aurum yang kali ini tampak tidak seantusias biasanya. "Astaga, aku terlalu senang." Katanya kepada Aurum. "Harapan terindahku terpenuhi. Keinginanku benar-benar menjadi kenyataan. Keajaiban yang kita panjatkan semalam benar-benar terwujud!"

Mendadak, Kazuya merasa enam tahun lagi. Begitu antusias dan bersemangat serta ingin melompat-lompat sambil menyeringai senang sepanjang hari. Tangannya bergerak mengamit jemari Aurum yang terasa dingin. Kazuya menggengamnya dengan erat lalu menelan ludah dengan gugup. "Pantaskah aku menerima ini?" Ia bertanya dengan ragu-ragu, rasa takut tahu-tahu menyelubungi hatinya. "Bagaimana kalau ini hanya mimpi? Semua ini terlalu indah untuk jadi kenyataan. Oh, Tuhan… aku mulai merancau! Tolong katakan bahwa ini bukan mimpi."

Ini bukan mimpi, senyum Aurum menjawabnya, ini bukan mimpi. Kemudian mata indahnya kembali diliputi sinar-sinar kehidupan ketika memandang Kazuya, Aurum tersenyum lebih lebar, nyaris terlihat seolah berusaha tertawa atau meledek, yang membuat Kazuya mendenguskan tawa geli kemudian menarik pemuda itu lebih dekat dengannya. Kepala Kazuya bersandar di bahunya. Kazuya memejamkan mata, mencoba untuk mengurai satu demi satu kebahagiaan yang tak dapat ditampung oleh hatinya. "Kau tahu? Saat ini aku sangat bahagia."

.

Kau salah, Kazuya. Eijun menggigit bibirnya kuat-kuat. Kau jatuh cinta pada seseorang yang menyelamatkanmu, tapi kau salah mengenalinya. Ia merasakan mimpi-mimpinya tumbang menimpa tubuhnya. Baru semalam perasaannya dibenuhi harapan yang baru. Baru semalam ia tidur dengan ekspetasi manis bahwa Kazuya membalas perasaannya. Tapi sekarang, semua itu lenyap tak bersisa, runtuh dan porak-poranda akibat sebuah kesalah pahaman yang bahkan tak dapat ia luruskan.

Eijun menggengam balik tangan Kazuya, meremasnya kuat-kuat. Apakah ia sedang berusaha memberikan Kazuya dukungan, atau semata-mata berupaya mempertahankan sisa-sisa jiwanya agar tidak hancur berkeping-keping, ia sendiri tidak yakin. Tapi satu hal yang Eijun tahu dengan pasti, ia tak bisa mengutuk takdir di hari yang amat membahagiakan untuk Kazuya. Hari ini, Kazuya tersenyum begitu lepas, matanya bersinar memancarkan kemilau kebahagiaan yang murni serta penuh ketulusan. Eijun tak bisa membiarkan setetes air matanya menjadi beban di hari ini. Ia berdoa, ia berdoa semoga setiap senyum dan tawanya terlihat bahagia di hadapan Kazuya dan semua orang.

"Apa kau berbahagia untukku?" Suara Kazuya berbisik halus di telinganya. Eijun menghirup udara banyak-banyak, berusaha keras untuk tidak tumbang sementara hatinya runtuh. Ia menarik tangan Kazuya ke bibirnya, lalu menciumnya lama. Meletakkan setiap jengkal ketulusan dan pengabdian paling jujur dan murni yang ia rasakan untuk Kazuya. Ia bisa merasakan Kazuya mendenguskan sebuah tawa, rendah namun renyah terdengar. "Kau memang sahabat terbaikku." Kata Kazuya. Eijun menyulum senyum. Sahabat. Hanya sahabat. Itulah ikatan maksimal yang bisa ia dapatkan dari Kazuya. Itulah batas akhir dari perasaan Kazuya padanya. Seorang sahabat.

~oo0oo~

Hadirin sontak berdiri dan menoleh ke belakang saat pintu berayun terbuka. Orkestra memainkan musik indah yang mengalun begitu merdu bersama tiap langkah sang pengantin wanita. Dan Eijun bisa merasakannya, tentang bagaimana setiap orang terpesona bahkan kehilangan napas ketika putri Velove berjalan didampingi ayahnya menuju altar. Ia memberanikan diri untuk melirik ke arah Kazuya. Pemuda itu tengah tersenyum, tatapan matanya begitu lembut dan penuh kan suka cita, Eijun yakin siapapun akan langsung tahu betapa bahagianya pemuda itu hanya dengan memandang wajahnya.

Begitu sampai di dekat altar, ayah Velove membimbing tangan putrinya dan menyerahkannya pada Kazuya, kemudian Kazuya menyambut hangat tangan itu, mengenggamnya dalam sebuah genggaman paling lembut serta penuh penerimaan juga perlindungan. Velove menaiki tangga altar dengan hati-hati. Kazuya dan Velove akhirnya berdiri berhadapan lalu menyatukan kedua tangan mereka, melempar senyum satu sama lain sementara pastur membelitkan sehelai sutra berbordir emas untuk mengikat tangan keduanya. Hati Eijun terasa tercabik-cabik menyaksikan setiap derai janji suci yang kedua mempelai ucapkan dengan sepenuh hati.

Inilah akhirnya, benak Eijun berkata. Malam ini adalah malam penghabisannya. Dan fajar esok akan jadi hari kemantiannya. Meski demikian ia berhasil tersenyum ceria, bertepuk tangan ketika Kazuya dan Velove resmi dinyatakan sebagai sepasang suami istri. Kemudian ia berjalan mendekat kepada pasangan baru itu, membungkuk hormat dan menyerahkan kotak cincin yang terbuka. Kazuya tersenyum kecil padanya, mengambil cincin berhiaskan saffir itu lalu memasangkannya di jari Velove. Kedua mempelai kemudian berkeliling untuk meminta restu dari para uskup. Dan seuma orang mersetui mereka dengan rasa haru serta kebahagiaan membuncah.

Saat Kazuya mengangkat sebelah tangannya ke udara, semua orang kembali menutup mulut. Kazuya tersenyum lugas, berbalik ke arah pengantinnya, kedua tangan kini mengenggam erat tangan Velove yang mungil dengan jari-jarinya yang lentik dan panjang.

"Mulai hari ini sampai hari terakhir kehidupanku, kami adalah satu hati, satu tubuh dan satu jiwa."

Satu jiwa, Eijun mengulang kalimat itu dengan getir dalam benaknya. Jiwa yang seharusnya ia dapatkan untuk membuatnya bertahan hidup di daratan. Jiwa itu kini menjadi milik orang lain.

"Kau bukan hanya sekadar menjadi permaisuriku. Tapi juga sahabat baikku, saudariku, istriku, pendampingku, serta ibu yang akan melahirkan anak-anakku. The First Lady of Seido, dan dari rahimmu kau akan memberikanku Pangeran-Pangeran gagah juga Putri-Putri yang cantik. Ratuku, Velove… dengan ciuman ini, aku mengiklarkan cintaku."

Eijun salah mengira saat ia pikir hatinya sudah cukup hancur untuk dapat merasakan rasa sakit yang lain. Saat Kazuya mencium Velove, rasa sakit itu tetap datang. Seolah-olah kepingan hatinya yang telah berguguran ditiupkan kekuatan sekali lagi, kemudian dibakar dengan api sampai menjadi debu. Ia memalingkan muka, berkedip-kedip untuk menghalau air matanya selagi semua orang bersorak untuk kebahagian juga kebersamaan abadi bagi Raja dan Ratu baru mereka.

Pada malam yang sama, Pengantin pria dan wanita merayakan pesta pernikahan mereka di atas kapal. Meriam meraung mengawali pesta kembang api, bendera dua kerajaan berkibar berdampingan dan di tengah-tengah kapal sebuah tenda emas didirikan. Tenda paling mewah yang di dalamnya telah diisi dengan sofa-sofa elegan, berbagai jenis anggur, makanan, serta camilan manis. Tirai-tirainya terbuat dari sutra-sutra paling halus dan paling berkilau yang ditenun dengan penuh dedikasi, sebuah ranjang pengantin yang terbuat dari bulu angsa paling putih dan paling lembut berada tepat di tengah-tengah tenda.

Kapal itu, dengan layar yang membengkak dan angin yang berhembus, meluncur dengan lancar dan ringan di atas laut yang tenang. Ketika hari bertambah gelap, sejumlam lampu berwarna dinyalakan dan semua orang menari dengan riang di antara lantunan musik yang bergema membelah angin.

Awalnya, Eijun merasa tidak dapat memikirkan apapun. Semua kemeriahan dan kemewahan yang berlimpah serta derai tawa yang bersorak di sekelilingnya tak berarti apa-apa. Telinganya tidak dapat mendengar musik meriah, hidungnya tak dapat mencium aroma minyak wangi yang membakar lilin-lilin yang disusun mengelilingi geladak, matanya tak dapat melihat kemegahan pesta di sekitarnya. Ia hanya bisa merasakan kematian berjalan semakin cepat ke arahnya. Tapi kemudian ia melihat Kazuya, berdansa bersama pengantinnya. Satu tangan Kazuya mengenggam milik Velove, sementara tangannya yang lain memeluk pingang ramping Sang Ratu. Velove tertawa bahagia dan bersandar di dada suaminya selagi Kazuya membisikkan kalimat-kalimat cinta ke sebelah telinganya. Kazuya membelai rambut panjang Velove, menatap ke matanya seolah-olah seluruh jiwanya telah menyatu di dalam sana, dan Kazuya kembali mencium ratunya dalam sebuah ciuman panjang yang membuat lutut Velove lemas hingga hanya mampu mengalungkan kedua lengannya ke leher Kazuya, bergantung pada kekuatan Sang Raja untuk menyangga tubuhnya.

Tangan Eijun berpegang pada pagar pembatas, ia mencoba bernapas lalu menatap ke arah laut. Bayangan kerlap-kerlip lampu terpantul di atas permukaan air laut yang tenang. Lalu ia mendongak ke atas, melihat bintang-bintang berhamburan seperti baru disemprotkan oleh para dewa ke atas kanvas langit yang kosong. Untuk pertama kalinya, pikirannya menjadi jernih kembali. Ia memandang berkeliling, lalu mulai mendengar betapa hangat tawa para manusia di sekitarnya. Ia melihat manusia-manusia itu menari, melompat di atas sepatu-sepatu mereka, berputar-putar mengikuti alunan musik. Kemudian matanya kembali menemukan Kazuya, senyum di wajahnya memancarkan api kehidupan yang bersinar penuh rasa bahagia. Eijun terpaku, ia berpikir, bagaimana bisa ia menjadi seegois ini? Mengapa ia sibuk memikirkan kematiannya sementara semua orang saat ini tengah berbahagia untuk Kazuya? Bukankah Eijun mencintainya? Lalu mengapa ia harus jadi satu-satunya orang yang merasa sedih saat Kazuya sangat bahagia? Dengan itu ia menarik napas dalam-dalam, kemudian tersenyum lebar dan ia bergabung dalam kerumunan.

Ia melenggang dalam tarian. Ia tertawa di tengah para manusia. Kemudian ia mulai menari seperti seekor burung bangau yang terbang mencari mangsa dan semua orang yang hadir terdiam memandanginya dengan heran juga terkagum-kagum. Eijun menari seanggun dan seindah yang ia bisa. Telapak kakinya terasa seperti dipotong dengan ribuan pedang yang tajam, tapi ia tidak peduli; yang paling tajam telah menembus jantungnya. Dia tahu ini adalah malam terakhir ia bisa melihat Kazuya. Ia telah meninggalkan keluargnya dan istananya di bawah laut, ia telah merelakan suaranya yang indah dan ia telah menderita rasa sakit di kakinya sepanjang hari demi semua hal ini. Maka jika ini adalah malam terakhirnya bersama Kazuya, ia harus membuat malam ini seindah mungkin.

Saat ia selesai menari, semua orang bertepuk tangan dan menyorakinya dengan gembira. Para pria membungkuk padanya, para wanita tersenyum lebar menatapnya, anak-anak kecil berlari dan memeluknya erat-erat dan para orang tua datang untuk mengusap kepalanya. Eijun tersenyum kepada semua orang, lalu kerumunan membelah membuka jalan ketika Kazuya mendekat padanya.

"Sampai sejauh apa kau mau mengambil alih pestaku, huh?" Kazuya menyeringai padanya, kedua matanya mengerling geli. Kemudian Kazuya mengulurkan tangan ke arahnya. "Boleh aku berdansa denganmu, Tuan Penari?" Eijun tertawa, menyambut tangan Kazuya kemudian mereka berdua maju melenggang ke tengah-tengah kerumunan. Ia menatap ke mata Kazuya lekat-lekat, ia akan melukiskan seribu puisi tentang mata itu sebelum fajar esok hari. Ia akan mencoba mengingat sebisa mungkin tentang tiap hal menyangkut Kazuya.

"Aku sangat bahagia." Kazuya berbisik.

Aku tahu, senyum Eijun membalasnya.

Aku ingin seperti ini selamanya, mata Kazuya berkata.

Kau akan mendapatkannya, Eijun meyakinkan. Kau akan mendapatkan semua yang kau inginkan.

Kazuya tersenyum lebar, menarik tubuh Eijun mendekat hingga mereka nyaris berpelukan. Mereka berdansa dengan lambat, sangat lambat seolah tak peduli pada lantunan musik. Eijun membiarkan rambutnya menyentuh pakaian Kazuya, membiarkan hidungnya menghirup aroma pemuda itu dalam-dalam, lalu menguncinya kuat-kuat dalam memorinya. Jangan menangis, kau tidak boleh menangis, ia merapalkan mantra untuk berulang-ulang menenangkan hatinya.

Eijun telah menyerah untuk hidup dan menjadi manusia. Ia telah menyerah soal suaranya yang hilang. Ia telah menyerah dan melepaskan semua impiannya. Ini adalah malam terakhir ia bisa menghirup udara yang sama dengan Kazuya, atau menatap langit berbintang, merasakan hembusan angin atau laut yang dalam; malam abadi. Sebuah malam tanpa pikiran, harapan atau mimpi yang menantinya. Ia adalah sebuah sosok tanpa jiwa, maka ia seharusnya tak bisa lagi merasakan sedih atau takut. Kematian akan menjemputnya besok pagi dan semua ini akan berakhir.

~oo0oo~

There is music in the air, can you hear it?
It's in two, no, maybe three or maybe four
And I see me dressed in white with two feet that feel so light
It's as though as they've never ever touch the floor

One dance, just you and me
Beneath the moon, beside the sea
One dance and it's happily ever after
One dance and you'll see, we are not so different, you and me
Just us two, me and you

There are stars that fill the night, can you see them?
There are two, or three, or gee, a million more
And I see in their light, oh me? A dance? All right
Just to move and glide with you across the floor
One dance, just you and me

I would change who I am
Change the sea for the sand
Just to stand with you
I would leap at the change
For a glimpse of a glance
Of one dance with you
One dance, just you and me

One last dance, just me and you
My last dance, with you

~oo0oo~

Ketika akhirnya pengantin masuk ke dalam tenda, suasana menjadi sepi. Semua orang masuk ke kabinnya masing-masing dan yang tersisa di dek hanyalah beberapa prajurit yang berjaga serta para kru kapal. Eijun melilih untuk berjalan ke buritan kapal. Menatap langit gelap yang dihias oleh titik garis yang terbentuk dari bintang-bintang. Beberapa jam ke depan ia akan lenyap dan menjadi buih di lautan, ia memilih menghabiskan waktunya untuk menikmati semua keindahan hari ini daripada tertidur.

Matanya memandang ke langit timur. Menantikan detik demi detik ketika fajar yang merah datang. Fajar pertama yang akan membawa kematiannya. Sampai kemudian ia menoleh ke lautan dan melihat kakak-kakaknya muncul dari balik ombak. Eijun sontak membelalakkan mata lebar-lebar, ia menoleh ke sekitar kapal, memastikan tak ada manusia yang melihat, lalu kembali pada kakak-kakaknya.

Apa yang kalian lakukan?

Tetsuya mengulum senyum ke arahnya. "Hai, Dik." Suara Tetsuya mengaung dalam telinganya. Ia merasakan air matanya berkumpul dan hendak tumpah. Tapi ia berhasil menahan. Eijun memberi anggukan kecil untuk menyapa kakak-kakaknya, matanya menyapu wajah-wajah saudaranya dengan sedih. Kemudian ia tersadar akan sesuatu.

Dimana Kak Yuu?

Youichi mendenguskan senyum, "Mencari kakak favoritmu, Adik Kecil? Kau masih peduli padanya? Bukankah yang penting bagimu cuma manusia itu?"

Hati Eijun mencelos, ia menggeleng lemah, mengutarakan maaf tanpa suara.

"Sudahlah," Ryousuke menghela napas, menjadi penengah. Mata merah delima Ryousuke menatap ke arah Eijun seraya tersenyum simpul. "Ayah menjatuhi Yuu hukuman seratus tahun di penjara karena membiarkanmu lolos, Eijun. Tapi bukan itu tujuan kami sebenarnya datang ke mari."

Eijun bahkan tak tahu lagi apa persisnya yang ia rasakan. Ia merasa baru tersambar petir, ia membuat Yuu dijatuh hukuman, ia membuat kakak yang selalu mendukung dan menyanyanginya menderita. Eijun merasakan seseorang mengoyak jantungnya, paru-parunya, ia tak bisa bernapas.

"Nah, Adikku yang bodoh." Kali ini Jun membuka suara. "Kami telah memberikan masing-masing setengah dari sisa umur kami pada Ursula demi mendapatkan bantuan untukmu."

Setengah sisa umur kalian?

"Benar," Kenjiro angkat suara. Ia mengeluarkan sebilah pisau dari dalam air. Mata pisau itu berkilat di bawah cahaya bulan. "Kau lihat ini, Eijun? Pisau ini sangat tajam. Sebelum matahari terbit, kau harus menusukkannya ke jantung Kazuya. Ketika darahnya yang hangat jatuh ke atas kakimu, maka jiwanya akan mengalir ke dalam dirimu dan ekormu akan kembali tumbuh. Kau akan punya satu kali lagi kesempatan untuk menjalani hidup sebagai seekor merman sampai ratusan tahun ke depan sebelum kau akhirnya menjadi buih."

Eijun belum sempat mersepon lebih jauh ketika Kenjiro melempar bilah senjata itu padanya. Tapi entah bagaimana, pisau itu bisa sampai secara mulus di tangannya tanpa membuatnya terluka sedikitpun.

"Cepatlah, datangi raja itu dan tusukkan pisau yang ada di tanganmu ke jantungnya. Lalu kembalilah bersama kami."

Eijun menggeleng muram, bagaimana bisa? Ia tak akan sanggup membunuh Kazuya.

Kakak-kakaknya memandanginya dengan sedih. "Kau tahu betapa tersiksanya ayah atas kepergianmu, Eijun?" Kata Tetsuya. "Cahaya telah meninggalkan matanya dan ibu menangis sepanjang hari karena merindukanmu, semua yang ada di lautan begitu merana karena kepergianmu, Dik. Tidak ada satupun makhluk laut yang bisa melupakanmu dan menenyapkan kedukaan atas kepergianmu. Apakah secepat itu kau melupakan kami semua?"

Air mata Eijun jatuh membasahi pipinya. Ia menggeleng kuat-kuat. Bagaimana bisa aku melupakan kalian? Kalian keluargaku!

"Kalau begitu bergegaslah. Bunuh dia."

Eijun menelan ludah. Lagi-lagi menggeleng muram. Tidak bisa.

"Ini kesempatan terakhirmu untuk hidup. Ini kesempatan terakhir kami untuk menolongmu. Relakanlah cintamu, Eijun. Dia hanya seorang manusia. Jika ia mati pagi ini, ia masih punya kesempatan untuk bereinkarnasi dan hidup kembali, ia masih bisa bahagia. Tapi kau? Kau berbeda, Dik. Kita berbeda. Jiwa kita tidak seperti manusia, jika kau mati pagi ini, kau akan menghilang selamanya."

Eijun bernapas perlahan. Ia memandangi ketajaman pisau di tangannya dengan bimbang, lalu ia kembali menatap kakak-kakaknya. Mereka semua memberinya senyum dukungan bercampur rasa putus asa mendalam.

"Pulanglah, Adikku." Tiba-tiba Youichi berkata. Tak ada kemarahan dalam suaranya. Tak ada nada kasar seperti yang biasa ia gunakan pada Eijun, sebaliknya mata hijau Youichi justru berkaca-kaca. "Aku berjanji tidak akan pernah memarahimu lagi. Aku akan mengajarimu caranya berenang secepat aku, bahkan lebih cepat dariku. Aku berjanji tidak akan berperilaku kasar padamu, Eijun." Youichi terisak. Eijun tidak pernah melihat Youichi menangis sebelumnya.

"Kami merindukanmu, Dik." Suara Tetsuya bergetar. Dan Eijun menyadari kakaknya itu juga tengah menangis. "Semua orang merindukanmu. Kami ingin kau tetap hidup."

"Kami menyanyangimu, Eijun. Pulanglah…"

Pecahlah tangis Eijun. Ia menangis bersama kelima kakaknya, ditemani deru suara ombak dan angin yang membawa aroma asin air laut. Ia menangis seolah-olah umurnya baru lima tahun dan diminta untuk bertarung dengan hiu untuk pertama kali. Eijun menangis dan membayangkan bagaimana sejarah akan menceritakan Para Pangeran Raja Triton yang dikenal kuat dan perkasa menangis bersamaan di sebuah malam yang sepi. Kemudian, tangisan itu berangsur-angsur menjadi tawa sengau. Eijun tersenyum menatap kakak-kakaknya, menghapus air mata dari wajahnya lalu tersenyum dengan yakin.

"Bergegaslah, Dik. Lihatlah langit mulai memerah pertanda fajar akan segera tiba. Bagaimanapun, pagi ini salah satu di antara kalian berdua harus mati."

Eijun mengangguk lugas, Akan ku lakukan. Tunggu aku. Aku akan pulang. Ia melambai sekali lagi pada kakak-kakaknya kemudian berlari menuju tenda sang pengantin.

Eijun berhasil menyelinap ke dalam tenda Kazuya tanpa tertangkap oleh penjaga. Ia berjalan dengan langkah hati-hati dan mendekat pada ranjang pengantin. Ia melihat Kazuya dan Velove tidur dengan tubuh saling menempel di bawah selimut tebal. Kepala Velove bersandar di dada Kazuya yang bergerak naik-turun seiring napasnya. Eijun bergerak hati-hati menggeser kepala Velove dari dada Kazuya, kemudian mengusap kepala gadis itu dengan lembut.

Maafkan aku, hatinya berkata, penuh rasa bersalah. Ia melihat wajah cantik Velove yang dipenuhi garis-garis kebijaksanaan dan kemurnian, terpejam sangat damai dan manis. Eijun memajukan kepalanya, mengecup alis gadis manusia itu singkat. Velove, kau gadis baik, sangat baik, maaf karena aku merusak pernikahanmu.

Eijun beralih pada Kazuya. Sang Raja terpejam dengan sangat lelap. Ia bernapas dengan halus dan teratur seolah mimpi indah tengah membuainya. Eijun mendekat pada Kazuya, tangannya membelai wajah itu sekali lagi dengan penuh rasa cinta. Aku mencintaimu, Kazuya. Aku selalu mencintaimu. Kemudian ia mengecup kening Kazuya dan mengumamkan maaf dari lubuk hatinya yang terdalam sebelum mengangkat pisau di tangannya tinggi-tinggi dan bersiap menusuk jantung Kazuya, sampai akhirnya…

"Velove.." Suara rendah Kazuya memasuki ruang dengarnya. Pergerakan Eijun terhenti. Ujung runcing pisau berjarak lima sentimeter dari jantung Kazuya. "Velove…" Kazuya menyebut nama itu dalam tidurnya, berulang-ulang, dengan nada yang lembut dan penuh cinta. "Velove…" Senyum di bibir Kazuya melebar dan ia menghela napas penuh rasa senang. Eijun terpaku. Ia menarik kembali pisau itu, menyembunyikannya di balik punggung. Matanya lekat memandangi Kazuya yang masih saja mengigaukan nama Velove dalam tidur.

Apa yang kulakukan? Eijun menggeleng kuat-kuat. Napasnya tersendat oleh air mata. Aku mau membunuhnya? Aku mau membunuh orang yang paling ku cintai? Tidak mungkin! Ia mundur dengan sempoyongan hingga mencapai ujung tenda. Aku datang ke sini karena mencintai Kazuya, dan sekarang aku pergi dari sini dengan membunuhnya? Mana mungkin!

Maka ia berlari cepat ke luar tenda. Terus berlari sampai ke haluan kapal, kemudian berdiri tepat di ujungnya. Eijun melemparkan pisau itu ke dalam laut. Dan seketika air laut di sekitarnya berubah menjadi semerah darah. Eijun bernapas dengan susah payah. Ia melihat langit mulai berubah warna. Fajar yang baru mulai menyingsing dan kematiannya telah tiba.

~oo0oo~

Kazuya terbangun berkat seberkas sinar yang menyelinap melaui tirai tendanya. Ia menggerang kecil sebelum kemudian membuka mata perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya sekitar. Ia melirik ke samping, istrinya berbaring pulas di sebelahnya, wajahnya yang cantik tampak berseri bahkan di kala tertidur. Kazuya tersenyum memandangi wajah itu, mengusap pipi Velove dengan lembut sebelum akhirnya ia bergerak hati-hati turun dari ranjang.

Kazuya berjalan menuju jendela, menyibak tirainya lalu tersenyum merasakan cahaya matahari yang bergerak perlahan menyentuh kulitnya. Ia menyapukan pandangannya ke penjuru kapal, lalu terbelelak ketika mendapati Aurum berdiri tepat di tepi haluan seorang diri. Seolah ia siap meloncat kapan saja. Tanpa pikir panjang, Kazuya meraih celananya, memakainya dengan terburu-buru. Ia berlari ke luar tenda dan membiarkan hawa dingin menerpa dada telanjangnya.

"JANGAN BERGERAK!"

Kazuza berteriak seraya berlari secepat mungkin menuju haluan. Ia melihat Aurum tersentak kaget, berbaik menatapnya, tampak terkejut tapi kemudian tersenyum ceria. Sinar matahari bergerak ke arahnya, membuat wajahnya bersinar dengan kemilau yang aneh.

"Diam di situ!"

Aurum tersenyum dan menceburkan diri ke laut.

Kazuya melotot lebar, ia berhasil mencapai haluan dan melihat tubuh Aurum menghantam air laut dengan keras. Ia tidak bisa berpikir. Otaknya macet. Kepanikan dan rasa takut melandanya seperti sebuah bom nuklir. Kazuya naik ke haluan, menarik napas dan melompat ke laut.

Kazuya melihat tubuh Aurum teggelam perlahan-lahan ke dasar laut. Kegelapan dan dinginnya air laut menelannya. Ia berenang secepat yang ia bisa, menyelam dan menahan napas untuk mencapai Aurum. Ia kerahkan semua tenaga, tekad, dan keberaniannya untuk menjangkau pemuda itu. Kazuya berhasil meraih tangannya, menariknya mendekat.

Aurum membuka mata. Netra emasnya yang berkilau tampak kaget ketika mendapati Kazuya menolongnya. Kazuya berusaha menahan napasnya di air, ia memelototi Aurum dengan galak. Bodoh! Kau cari mati?

Tapi Aurum menggeleng padanya, tangannya melepaskan diri dari genggaman Kazuya lalu mendorong dada Kazuya menjauh. Tidak, matanya berkata. Ia menggeleng, Tidak.

Kazuya meraih tangan itu dengan kasar, kemarahan yang hebat berputar di hatinya. Apa-apaan kau ini?! Kau bisa mati!

Namun Aurum justru tersenyum padanya. Senyum paling tulus dan paling menyedihkan yang pernah Kazuya lihat. Pemuda itu menggeleng samar, tangannya kini bergerak membelai wajah Kazuya dengan hati-hati, kemudian menoleh kecil ke bawah, ke arah kakinya. Tapi tak ada kaki di sana. Kazuya membelalak tak percaya, tapi kaki Aurum telah menghilang sampai ke lututnya, digantikan dengan buih-buih gelembung kecil yang kemudian menyebar serta lenyap di dalam air. Apa yang terjadi? Kazuya menuntut jawaban.

Kedua telapak tangan Aurum membingkai masing-masing sisi wajahnya, memaksa Kazuya untuk tidak panik dan menatap lurus-lurus ke mata Aurum. Lagi-lagi ia tersenyum, jari-jarinya membelai tulang pipi Kazuya dengan sentuhan yang…. sangat familiar.

Kazuya memandang ke mata emas pemuda itu. Senyumnya. Sentuhannya. Serta air laut yang beriak di sekelilingnya. Sesuatu naik cepat ke leher Kazuya, memutus napasnya. Kepalanya berdenyut, memorinya terbuka secara bersamaan membentuk gambaran ketika ia tenggelam di pesta ulang tahunnya. Sebuah perasaan asing muncul menerpanya. Seolah-olah ada gelembung kepedihan atau penyesalan yang hidup di dalam hatinya, dan seluruh syarafnya mendesaknya mengatakan sesuatu, satu hal, yang rasanya benar atau bermakna. Sangat bermakna.

Aurum kembali mengambil gerak mendekat padanya, lalu meninggalkan satu kecupan di keningnya. Meledaklah memori Kazuya.

Kau orangnya. Ia ingin berkata, tapi suaranya tak dapat keluar di dalam air. Aurum memandanginya, senyumnya tak memudar, tapi air mata telah menggenang di kedua matanya. Kau yang menyelamatkanku. Jantung Kazuya teredam dalam lautan. Ia kelelahan menahan napas. Sentuhanmu, kecupanmu, belaianmu, aku ingat semuanya, matamu…

Aurum mengangguk penuh tangisan. Lalu segera menggelengkan kepala, mendorong Kazuya kuat-kuat agar ia kembali mencapai permukaan. Kedukaan meliputi hati Kazuya, Tidak! Ia berkeras. Aku tidak akan melepaskanmu!

Namun saat ia berupaya meraih tangan Aurum, tangan itu sudah memudar dan menjadi sekumpulan buih yang tersebar. Kazuya menatap dengan putus asa, tubuh Aurum kini hanya sebatas dada dan kepala, tanpa kedua tangan maupun kaki. Kazuya merasakan air matanya menyatu dengan air laut sementara ia mencoba menjerit-jerit dan meraih Aurum yang semakin memudar.

Idiot! Kau raja paling idiot yang pernah ada, Kazuya! Ia memarahi dirinya dengan frustasi. Bagaimana bisa aku tidak mengenalinya selama ini? Kazuya mencoba menyelam kembali, ia tidak peduli jika paru-parunya kini telah penuh dengan air laut. Ia berhasil berada dalam jarak sedekat mungkin dengan Aurum untuk menarik kepalanya mendekat.

Ku mohon tetaplah di sisiku. Ia maju untuk memberikan ciuman di bibir pemuda itu, tapi ketika Kazuya mendekat ia hanya menelan air laut. Aurum telah sepenuhnya lenyap menjadi ribuan buih kecil yang tersebar ke sepenjuru lautan. Dan Kazuya membiarkan kepedihan melanda jiwanya yang kosong, menenggalamkannya berasama rasa pahit penyesalan abadi. Matanya mulai menutup dan tubuhnya terombang-ambing tanpa daya ketika sekumpulan prajurit menyelam ke arahnya dan menariknya ke permukaan. Mereka berhasil menyelamatkan nyawanya. Tetapi tidak dengan hatinya.

~oo0oo~


the end


Tidak ada ikan yang tersakiti dalam pembuatan fanfiksi ini.

love and thanks to:

Cucchan clyne iya, pas baca dongeng aslinya juga aku kaget sih, kok bodoh dan nyeseg amat, beda sama versi animasi Disney. Makasih banyak karena nggak bosan, dan maaf yaa Koushuu nggak muncul :"
kuroshironekore
ah, jujur aku sekarang sih bener-bener lebih cinta Eijun :D Apalagi setelah tahu kalau dulu Terajima-sensei memang sengaja bikin Kazuya lebih bersinar buat menarik perhatian Eijun saat Eijun mulai lebih dekat sama Chris. Ku pikir, ah liciknya :v
VreyaScarleta
nah, ini endingnya udah yaa.. kamu bisa lihat dan nilai sendiri, Vrey. Semoga suka deh, makasih ^^
Spongedictatoremang pada dasarnya Miyuki Kazuya itu bego sih bagiku, sepuluh juta kali lebih bego dari Eijun. Dia cuma jenius soal bisbol, sisanya? Gembel kau, Kazuya/ditabok
aicweconan1umm, gimana yaa? Hehe, sebenarnya aku sempet sih kepikiran gitu walau selintas, tapi pada akhirnya aku lebih suka yang ini/digiles
Eiko Eichan
semoga part 2 ini kamu nggak nangis yaa, atau jangan nangis kebanyakan, nanti aku yang dosa bikin kamu nangis :'( Yeps, sudah diupdate yaa, terima kasih.

Onyx Dark Angel│donssseuph

another disclaimer: untuk cerita Kazuya tentang burung elang, saya terinspirasi cerita Jace kepada Clary dari TMI; City of Bones. Sisipan lagu milik Disney, dengan bait akhir saya tambahin, lol. Ah, cover bukan punya saya.

a/n: Jadi… gimana? Maaf ya kalu nggak sesuai ekspetasi, emang dari awal pingin bikin ending gini sih *grin*

Terima kasih sudah membaca, sampai ketemu lagi ^^


70 tahun kemudian

Raja tua itu itu berjalan seorang diri bersama satu gelas kosong di sebelah tangan. Kaki-kakinya yang keriput terbenam di antara pasir tiap kali ia melangkah makin dekat dengan bibir pantai. Matahari senja menaung jingga di atas kepalanya, angin bertiup membuat mantel tebalnya terkoyak dan hawa dingin menyusup sampai ke sum-sum tulangnya.

Kazuya terus berjalan, tiga langkah sampai separuh betisnya terendam di dalam air. Sudut-sudut matanya telah dihiasi keriput, tapi sepasang mata coklat itu masih menampilkan sinar-sinar yang sama. Rasa rindu serta penyesalan yang tajam.

Begitu ombak datang, ia menunduk, menyekop air laut dengan gelasnya yang kosong hingga terisi penuh. Kemudian ia tersenyum pilu, memandangi garis lautan yang berkilau dibawah sisa cahaya matahari.

"Aku merindukanmu." Tenggorokannya tercekat, suaranya datang dalam sebuah bisikan serak yang memilukan. Ditelan debur ombak dan deru angin, serta langit malam yang datang mengusir senja. Kazuya menarik napas dalam-dalam, lalu meneguk habis air laut di gelasnya. Tapi bahkan hingga air itu habis, ia tetap merasa kehausan. Ia akan selalu merasa kehausan. Itulah yang terjadi setiap kali manusia meminum air garam. Dahaganya tidak akan pernah terpenuhi. Tapi itulah yang dilakukan Kazuya setiap hari di setiap senja selama tujuh puluh tahun terakhir. Ia akan berjalan sendirian ke pantai,menunggu ombak datang lalu mengambil segelas air laut bercampur buih dan meminumnya. Itulah satu-satunya cara yang bisa ia lakukan agar jiwanya tetap bersama dengan orang yang ia cintai.