Ace of Diamond / ダイヤのA © Terajima Yuuji

The Little Mermaid © Hans Christian Andersen

Aiko Blue
Present's

"Almost Serendipity"

saya tidak mengambil keuntungan komersil macam apapun atas pembuatan fanfiksi ini


Alur sengaja dibuat berbeda pada beberapa bagian demi kepentingan dramatisasi jalannya cerita.


Eijun hanya melipat bibirnya kaku. Sudah hampir dua jam, ia menghitung. Waktunya hanya dihabiskan di depan singgasana, sementara Sang Penguasa Lautan sendiri mondar-mandir di hadapannya dengan ekspresi keras.

"Harus berapa kali ku katakan padamu, Eijun? Suatu hari rasa penasaranmu itu bisa membunuhmu!"

Suara tegas ayahnya bergema ke sepenjuru ruangan. Dipantulkan marmer putih berhiaskan cangkang-cangkang abalon juga barisan mutiara seukuran buah semangka yang berpendar terapung mengelilingi langit-langit.

"Kau dengar aku, Pangeran Eijun?"

Eijun mendongak cepat, memasang senyum secerah matahari. "Ya, aku dengar." Sahutnya ceria, menampilkan mimik lugu yang berkebalikan jauh dengan ekspresi tegas dan kaku Raja Triton.

Sang Raja berenang mendekat padanya, cukup dekat hingga jarak antar wajah mereka hanya terpaut satu jengkal. Begitu dekat hingga Eijun bisa melihat jelas bola mata hijau samudera sang ayah yang berkilau mengancam.

"Dengar, Nak." Nada suara sang Raja melunak. Satu tanggannya yang besar mencengkram sebelah bahu Eijun cukup kuat, gestur nyata bahwa ia benar-benar sedang serius. "Kau adalah putraku."

"Salah satu di antara banyak putramu." Koreksi Eijun, mengabaikan raut wajah ayahnya yang mengernyit tak suka.

"Aku punya banyak putra dan putri, tentu saja." Katanya menyetujui. "Dan meski kau bukan putra pertamaku, meski kau bukan pangeran mahkota atau pewaris resmi yang akan meneruskan kerajaanku, kau tetaplah putraku." Kali ini telapak tangannya berpindah pada puncak kepala Eijun, mengusap helaian surai brunnete Sang Pangeran dengan gestur sayang.

"Tentu." Eijun melempar sebongkah senyum tulus kepada ayahnya seraya mengangguk kecil. "Aku memang putra Ayah."

Raja Triton menghela napas sekali lagi, membingkai wajah putranya dengan telapak tangannya yang besar. Perbandingan antara wajah Eijun dengan telapak tangan sang Raja membuatnya nyaris terlihat seolah berusaha mencekik. "Kau adalah putra favoritku, Eijun. Aku sungguh tidak bisa membayangkan jika sesuatu yang buruk terjadi padamu." Kali ini, sulit memastikan apa kiranya perasaan Sang Raja, marah, atau justru memohon.

Namun demikian, Eijun justru tertawa keras. Melayangkan sebuah tinju kecil di dada lebar ayahnya. "Ayolah, Yang Mulia! Aku akan baik-baik saja. Siapa pula yang bisa menyakitiku jika aku adalah anak dari penguasa lautan?"

"Nak, jika ini bukan kau, maka sudah kupastikan siapapun akan berakhir menjadi makanan hiu ketika tertawa dan meninju dadaku saat aku sedang serius."

Eijun menyeringai lebar. Menaik turunkan alisnya dengan main-main dan melempar tatapan jenaka kepada ayahnya. "Tapi ini aku, kan? Ayah tidak akan melukaiku."

"Benar. Aku memang tidak akan melukaimu." Sang Raja mengiyakan, tersenyum kecil, sejurus kemudian, ekspresinya kembali berubah sedingin dan segelap samudera Atlantik. "Tapi manusia bisa melukaimu." Ada nada ancaman juga kecemasan dalam suara itu. Emosi yang begitu kuat hingga sekujur tubuh Eijun turut bergetar mendengarnya, sang ayah seolah berusaha menyalurkan segenap kekuatannya sebagai penguasa lautan untuk mengintimidasi. Mengendalikan aliran darah dan pembuluh nadinya layaknya ombak.

Eijun membuang napas panjang, memberanikan diri menatap lurus-lurus bola mata ayahnya yang berkilat-kilat seperti badai. "Ayah, manusia tidak akan bisa melukaiku jika mereka tidak pernah melihatku." Biji mata emasnya menampilkan kilau kesungguhan. Janji tak langsung bahwa ia akan terus menjadi yang tak terlihat di mata para manusia fana.

Triton menunduk sebentar seraya menghela napas, lalu kembali bertatapan dengan wajah lugu putra kesayanganya. "Aku punya segalanya sebagai penguasa lautan, Anakku. Istana yang megah, seluruh makhluk laut, mutiara, koral, abalon, pasukan yang setia, kekuatan yang besar, seluruh lautan ada di bawah kendaliku. Tapi kau selalu berhasil membuatku merasa tak berdaya." Senyum di wajahnya berubah sedih. "Triton yang Perkasa, Sang Penguasa Lautan yang tidak bisa mengendalikan ledakan antusiasme seekor merman berusia enam belas tahun."

Eijun mengigit bibir, tak tahu harus berkata apa. Ia sama sekali tak pernah berniat memanfaatkan kasih sayang ayahnya sebagai senjata andalan. Namun idealisme paten yang dimasukkan ke dalam otaknya sejak kecil bahwa ia harus menjauhi dunia manusia itu terasa makin konyol seiring ia beranjak dewasa. Menghela napas, Eijun memberanikan diri untuk tersenyum kepada sang ayah. "Aku minta maaf, Ayah."

Triton menatapnya dengan tak yakin, kemudian berenang kembali ke singgasananya. Sang Raja memijat kepalanya sekilas dan menghela napas panjang, tampak tak tahu lagi harus dengan apa menghadapi putranya. "Pergilah," Ia berkata, mengibaskan sebelah tangan ringan. "dan tolong minta Yuu menghadapku."

~oo0oo~

Eijun menutup nyanyiannya dengan senyuman. Selusin nereid bertepuk tangan kepadanya dengan mata berkaca-kaca karena terlampau kagum. Eijun mengulas senyum ke arah mereka, mengangkat tangannya sebagai bentuk sapaan ramah kepada seekor hiu martil, segerombolan ikan sarden, juga sepasang cumi-cumi raksasa yang kebetulan turut menjadi penonton.

"Pangeran Eijun, suaramu adalah yang paling indah sepenjuru lautan."

"Terima kasih." Sahutnya ringan, tersenyum miring dan mengangkat satu alisnya tinggi. "Dan ku rasa ini bakat yang cukup berguna karena ayahku tidak perlu meminta rombongan siren paling terkenal di dasar laut untuk melantunkan lagu-lagu tiap kali ada perayaan besar di istana."

Para nereid terkikik geli, sementara hiu martil memilih untuk melantunkan kata pamit dan berenang menjauh darinya. Eijun mengulet kecil, berenang berputar seperti bersalto, kemudian mencabut tanaman laut yang berpendar kehijauan.

"Apa kalian sudah dengar beritanya?" Tanya Eijun, memilih untuk menatap bosan pada tanaman laut di tangannya.

"Ya, Pangeran. Kami sudah dengar upacara pernikahan Pangeran Tetsuya akan digelar pada malam pertama bulan baru. Kira-kira tiga hari dari sekarang."

Eijun melepaskan tanaman di tanggannya. Membiarkan sehelai rumput itu melayang bebas terbawa arus air hingga menghilang di balik koral. Ia berenang melonjak ke atas hingga para makhluk laut itu mendongak dan menatap ke arahnya dengan raut wajah penasaran. Eijun tersenyum lebar, berujar dengan nada ceria. "Nah, apa di antara kalian ada yang punya saran lagu apa yang harus kunyanyikan di pesta pernikahan Kakakku?"

Salah satu nereid berdeham malu, memilin ujung rambutnya ketika berkata. "Apapun yang Anda nyanyikan akan selalu terdengar indah, Pangeran."

Tertawa geli, Eijun berenang mendekat kepada si nereid dan menyentuh dagunya hingga wajah cantik itu berhadapan langsung dengannya. Tersenyum lebar ketika mendapati nereid itu merona. "Kata-kata yang manis, Nona." Katanya. "Kalau begitu aku akan bernyanyi untukmu. Kapanpun, panggil aku jika kau ingin mendengarku, oke?"

Mata hijau sang nereid membelalak tak percaya dan Eijun terpingkal geli. "Aku Pangeran! Sudah tugasku untuk membuat semua makhluk laut merasa senang!" Kelakarnya ceria seraya mengangkat tanggannya ke atas. Mengepalkan dua tinju yang menghantam air laut dengan begitu kekanakan.

"Nah, sekarang sudah saatnya menjadi detektif!" Eijun kembali berujar penuh semangat, kedua tangan tersimpan di pinggang sebagai gestur menyombongkan diri.

Para nereid memandangnya gelisah. "Pangeran, tolong jangan katakan Anda akan naik ke permukaan lagi."

"Tentu saja!" Tegas Eijun tanpa mau dibantah. "Aku tetap akan naik ke permukaan dan menjadi detektif!"

"Pangeran…" Salah satu di antara mereka mengeluh. "Raja sudah melarang Anda melakukan hal itu."

Eijun mengibaskan satu tanggannya seolah berusaha mengusir plankton. "Aish, jangan terlalu kaku. Aku hanya muncul sebentar untuk melihat-lihat, tidak akan ada hal buruk yang terjadi."

"Tapi, Pangeran—"

"Hush!" Sergah Eijun cepat, mengeleng sebagai isyarat tak ingin mendengar protes lebih jauh. "Aku akan baik-baik saja, dan ayahku tidak akan tahu jika kalian tidak diam-diam menjadi mata-mata dan mengirim pesan padanya." Ucapannya membuat semua yang mendengar terkesiap, kemudian menunduk seolah merasa bersalah. Eijun tersenyum miring, berenang naik sekali lagi. "Kalau begitu aku pergi dulu!" Dan dengan begitu ia melejit cepat ke permukaan. Berenang seolah seluruh air mengikuti kata hatinya. Mendorongnya ke permukaan laut dengan kecepatan super hingga menyisakan tak lebih dari sekadar buih yang bergerumun membentuk pola memanjang.

Eijun mendesah bahagia begitu kepalanya menyembul ke permukaan. Sisa cahaya matahari senja menyapa permukaan kulitnya. Rasa hangat yang tak pernah bisa ia dapatkan selama hidup di dasar lautan. Menyibak helai poninya yang basah ke belakang, Eijun menyeringai lebar begitu sepasang matanya menangkap bangunan megah yang terletak kira-kira dua ratus meter dari bibir pantai.

Kastil itu jelas tak sebanding dengan istana ayahnya di dasar lautan. Tidak berhiaskan abalon-abalon putih yang berkilat dengan warna-warni pelangi, tidak juga dilengkapi paviliun-paviliun berpilar. Hanya bangunan dari bata merah yang menjulang tinggi dengan satu menara puncak dimana sebuah lonceng besar bertengger. Tamannya dihiasi dengan bonsai yang disusun sedemikian rupa, juga bunga-bunga beraneka warna, jalan setapak dibangun atas batu-batu putih yang disusun rapih. Bagaimanapun, taman di istana ayahnya terlihat jauh lebih mewah dengan ukiran koloni koral dan tumbuhan laut yang berpendar, jalan setapaknya bahkan diapit barisan mutiara yang berpendar seperti kemilau bintang. Tapi Eijun tahu, meski kastil itu terlihat payah jika dibandingkan dengan tempat tinggalnya, bangunan itu tetap menjadi yang paling megah dan dihormati di kalangan manusia. Kastil yang menjadi pusat kerajaan Seido yang termasyur kejayaannya. Selama ratusan tahun, tak pernah absen memenangi segala peperangan. Raja yang dipilih berdasarkan garis keturunan dari generasi ke generasi seolah telah diberi restu langsung dari dewa untuk ditakdirkan menjadi pemimpin yang tak mengenal kekalahan.

Eijun menyembunyikan diri di balik terumbu karang yang menyembul ke permukaan. Berusaha tetap menjadi yang tak terlihat sementara matanya awas mengamati sekitar. Tidak lama lagi, pikirnya. Ia hapal betul jadwal seseorang yang tinggal di dalam kastil itu akan keluar dan berjalan-jalan sendirian di sekitar pantai.

"Yep, kau datang." Eijun tersenyum puas, perkiraan waktunya nyaris tidak pernah meleset. Kurang lebih seratus meter dari posisinya bersembunyi, seorang pemuda berjalan seorang diri menuju pantai.

Tubuh tinggi tegapnya dibalut dengan kemeja putih berukuran besar yang hanya dikancing setengah menutupi dadanya. Celana panjang coklat gelap dari bahan sutra membungkus kaki jenjangnya, jatuh halus menyiratkan kemewahan. Pakaian yang cukup kasual untuk ukuran seorang pewaris takhta. Mahkotanya bahkan sengaja ditinggalkan, hanya ada kacamata berbingkai hitam mertengger di garis hidungnya. Rambut coklatnya dibiarkan tampil natural tanpa tatanan resmi, bergoyang berantakan tiap kali angin laut menerpanya. Ekspresi di wajahnya tampak bosan dan tak tertarik akan apapun, dia hanya berjalan di atas pasir sambil memandangi garis pantai dengan tatapan datar.

Eijun mengerucutkan bibir. "Tch, aku selalu penasaran mengapa wajahmu terlihat begitu menyebalkan padahal kau punya segalanya sebagai seorang manusia? Kau Pangeran Mahkota, jago bela diri, berwajah tampan, dan disukai semua orang. Kau pewaris tahkta, dan bisa pergi ke belahan dunia manapun yang kau inginkan. Cerialah sedikit!" Katanya bersungut-sungut, mengepalkan tinju yang menghantam permukaan air laut hingga menimbulkan kecipak yang menyembur ke wajahnya sendiri.

Menghela napas, Eijun memilih untuk mengistirahatkan sikunya pada batuan karang, dagu bertumpu pada telapak tangan dan mata memandang lurus pada Sang Pangeran Manusia. "Kau sangat beruntung jika dibandingkan denganku, kau tahu? Aku hanya pangeran bungsu, sebesar apapun ayahku menyanyangiku, aku tetap akan selalu berada di bawah bayangan kakak-kakakku." Ia membuang napas berat, mengamati bagaimana Sang Pangeran Manusia kini berdiri menghadap pantai dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tegak menantap garis cakrawala tanpa segaris pun emosi terlukis di wajah rupawannya.

"Aku bahkan tidak punya kekuatan besar seperti Kak Tetsu, otak cemerlang seperti Kak Yuu, menyaingi renang cepat kak Youichi, juga segudang kelebihan kakak-kakakku yang lainnya." Eijun tersenyum kecut, menyadari fakta bahwa dirinya tak lebih dari seorang adik kecil yang selalu dilindungi kakak-kakaknya. "Kelebihanku hanya suaraku. Pangeran bersuara paling merdu sepenjuru lautan yang bisa menghipnotis dunia bawah air hanya dengan nyanyiannya. Sialan, apa hebatnya itu? Aku laki-laki, aku ingin membuktikan diri dengan kekuatanku, bukan dengan tembang melankolis!"

Eijun tahu betapa kalimatnya terdengar sungguh kekanakan, namun ia tak bisa menahan diri. Sikap keluarga kerajaan yang terlalu menyanyangi dan melindunginya secara berlebihan membuatnya merasa nyaris seperti tuan putri alih-alih seorang pangeran.

"Tujuh belas tahun, huh?"

Eijun terkesiap, nyaris menjerit andai tidak cepat-cepat tersadar dan menutup mulutnya. Suara itu datang tiba-tiba dan mengejutkannya. Berusaha mengatur napas, ia kembali mengamati sang pangeran yang kini tengah berdiri menatap hamparan laut bersama segaris senyum miring di bibir tipisnya.

"Sialan, kau membuatku kaget!" Eijun mengumpat tertahan. Memilih untuk tidak menghiraukan lompatan tak normal di jantungnya. Memasang telinga lebih tajam, mengamati dengan seksama.

"Jadi, tiga hari lagi aku akan berusia tujuh belas?" Pangeran itu berkata retorik, nadanya sama sekali tidak terdengar antusias. "Tujuh belas tahun." Ulangnya, tersenyum masam dan mendengus angkuh.

Eijun tertegun, bekedip-kedip, mencoba membaca garis wajah Sang Pangeran Manusia. Ia mengernyitkan alis, menyadari sesuatu. "Kenapa kau terlihat tidak bahagia… Kazuya?" Ia berbisik rendah, mengucapkan nama pangeran yang sudah diketahuinya selama beberapa waktu belakangan.

Pangeran Kazuya menghela napas panjang, mendongak menatap langit senja bergradasi oranye yang mulai terusir gelap. "Hei, Tuhan, bisakah Kau memberiku sesuatu yang menarik sebagai hadiah di hari ulang tahunku nanti?"

~oo0oo~

Eijun mengamati sekumpulan pelayan yang beranang mondar-mandir di hadapannya. Sibuk dengan beraneka macam keperluan pesta. Dekorasi, hidangan, hiburan, dan lain-lain. Nyaris semua yang dikenalnya punya satu pekerjaan tersendiri yang mesti diselesaikan. Sementara ia diberi misi istimewa untuk menjaga pita suaranya agar bisa membawakan nyanyian merdu saat hari pernikahan nanti. Singkatnya, Eijun hampir mati kebosanan. Sambil mencungkili lalu melempar asal tatanan batu berwarna yang tersusun dalam mozaik di dekat ekornya, Eijun menghela napas panjang. Berpikir apa sebaiknya ia memulai debut sebagai pelatih vokal untuk koloni ikan nemo saja?

"Pangeran Eijun."

Eijun menoleh terlalu cepat, semangatnya naik begitu mendapati dua ekor putra duyung berenang ke arahnya. Salah satunya berambut merah muda, sementara sisanya memiliki warna rambut indigo yang serasi dengan matanya.

"Haru-cchi! Satoru! Ah, kalian penyelamat!"

Eijun memeluk temannya yang lebih kecil, Haruichi. Sementara Satoru hanya memasang wajah tak berminat.

"Pangeran Eijun… Aku tidak bisa bernapas."

Haruichi memprotes kecil, yang menbuat Eijun buru-buru tersadar dan melepaskan pelukan. Masih tanpa menghapus cengiran lebarnya, ia menatap berhgantian kepada dua sahabatnya. "Aku hampir mati! Untung saja kalian datang!"

"Eh, mati?" Haruichi berkedip bingung, saling bertukar tatapan tanya dengan Satoru.

Eijun tertawa renyah. "Aku bosan sekaliii.." Keluhnya berlebihan. "Semua orang sibuk dan tidak ada yang bisa bermain denganku."

"Ah, itu..."

"Nah, selagi kalian sudah di sini, ayo kita main!" Eijun berseru antusias, masing-masing tanggan menggenggam pergelangan tangan kedua temannya dan mulai berenang. "Kita bisa main lempar tangkap dengan mutiara, atau bahkan berbuat jail pada para pekerja yang tengah sibuk mempersiapkan segala keperluan pesta. Teserah deh, yang jelas ayo bersenang-senang!"

"Pangeran!" Haruichi menahannya. Eijun berbalik dengan tatapan bingung.

Kedua sahabatnya saling lirik seolah berusaha bicara dengan benak satu sama lain, kemudian memandang gelisah ke arahnya. Alis Eijun berkerut, tak berhasil memahami mengapa dua sahabatnya bertingkah tak wajar.

"Itu.. kami sebenarnya.."

"Sebenarnya kenapa, Haru-cchi?"

Satoru membuang napas pendek, menatapnya lurus ke manik mata. "Kami diminta oleh Paduka Raja untuk memastikan Anda tetap berada di dalam kamar dan tidak berenang ke permukaan."

~oo0oo~

Kazuya tersenyum simpul kepada seorang penjahit kerajaan yang baru saja selesai mengukur tubuhnya. Pria itu menunduk sopan dan kembali ke meja untuk mencatat beberapa hal penting, kemudian bergegas mengemasi barang-barangnya.

"Apa ada lagi yang Anda perlukan, Pangeran?" Pria itu bertanya seraya memandang ke arahnya.

Kazuya meliriknya dari pantulan cermin, berpikir sejenak, sebelum akhirnya menggeleng samar dan mengangkat satu tangannya sebagai tanda mempersilahkan pergi. Sang penjahit mengangguk patuh, kemudian keluar dari ruangan dengan segala hormat.

Begitu pintu menutup, Kazuya mendesah berat. Berjalan ke arah jendela dan memandang ke arah pantai. Ia bisa melihat sebuah kapal besar yang begitu mewah sudah siap di bibir pantai. Kazuya belum pernah melihat kapal semegah itu. Proses pembuatannya memakan waktu selama berbulan-bulan. Dibuat dari kayu-kayu kualitas terbaik dari seluruh penjuru negeri. Segala detail di bagian luar dan dalam kapal dikerjakan oleh pengrajin kayu paling termasyur di dunia. Keramik-keramik dan alat makannya dikirim langsung dari dataran Cina. Kazuya sudah pernah mengecek keadaan kapal itu dari dekat sekurang-kurangnya tiga kali dan ia harus tunduk mengakui mahakarya itu sebagai hadiah ulang tahun luar biasa dari sang ayah.

"Pesta ulang tahun di atas kapal." Kazuya bergumam, mengusap dagunya masih sambil memandangi kapal yang besok malam akan menjadi istana kecilnya. Ia mendengus, tersenyum lugas. "Ayah selalu punya ide untuk menunjukkan betapa hebatnya karajaan kami, huh?"

Terlahir sebagai seorang darah murni bangsawan sekaligus pewaris tunggal kerajaan, Kazuya terbiasa dengan segala kesempurnaan. Ia sudah melupakan apa itu bermain dalam kubangan lumpur sejak usia enam tahun. Meninggalkan aneka permen dan makanan manis sebagai dessertnya, dan lebih memilih espresso sebagai favorit. Menguasai sekurang-kurangnya tujuh bahasa sejak usia dua belas tahun, dan menjadi pemain pedang terhebat saat mencapai usia lima belas. Berkuda, berburu, panahan, catur, juga anggar sampai dansa, Kazuya menguasai segalanya. Potensi sempurna yang dimiliki sebagai seorang pewaris tahkta. Bahkan otak cemerlang juga parasnya yang rupawan memungkinkan ia menikahi siapapun yang ia inginkan. Sempurna adalah nama tengahnya. Meski demikian, ia hampir selalu merasa kosong.

Tak peduli betapa mewah pakaian yang dikenakannya, atau betapa mahal perhiasan yang menempeli tubuhnya, Kazuya tetap merasa sebagain dari dirinya telanjang. Hampa ditelan satu kekurangan yang tak tahu mesti ia tutupi dengan apa.

Hidupnya terasa terlalu muluk, tak pernah ada yang berhasil membuatnya tertarik dan bergairah. Semuanya nyaris terlalu mudah, hingga Kazuya merasa tak ubahnya sebuah pion kecil yang hidup berdasarkan buku aturan. Segalanya telah digariskan dan ia tak punya pilihan lain kecuali berjalan di atas garis itu. Tumbuh dewasa sebagai sosok yang sempurna, menikah, dinobatkan sebagai raja, meneruskan garis keturunan kerajaan, kemudian mati dengan selembar surat wasiat di atas ranjang mewahnya.

Kau terlahir untuk memiliki segalanya kecuali kebebasan hati, Kazuya. Mendiang ibunya pernah berkata demikian. Saat itu Kazuya masih terlalu kecil untuk dapat memahami. Senyum tipis yang tersungging di bibir Sang Ratu, juga wajah cantiknya yang memucat, serta helaian rambut panjangnya yang tergerai di balik punggung. Wanita itu sedang berjuang melawan maut saat tangan kurusnya berusaha menggapai puncak kepala Kazuya dan mengusapnya penuh sayang. Maaf karena aku membuatmu menanggung beban berat sejak hari kelahiranmu. Sang ibu tersenyum lembut, matanya berkaca-kaca dan setetes air asin merembes keluar lalu bergulir di pipinya. Ketika Kazuya maju mendekat untuk memeluknya, Sang Ratu hanya tertawa kecil, mengecupi puncak kepalanya seraya merapalkan kalimat cinta, kemudian tertidur lelap tanpa pernah terbangun kembali.

~oo0oo~

Setidaknya, Eijun berhasil membuat seluruh tamu undangan sesenggukan, kemudian tertawa senang, dan sesenggukan lagi. Pemandangan yang membuatnya sedikit merasa terhibur dan tidak terlalu bosan di hari Pernikahan Tetsuya.

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, suaranya adalah yang paling memabukkan di sepenjuru lautan. Hingga tiap kali ia menarik suara untuk membawakan lagu sedih, semua yang mendengar otomatis menangis terbawa suasana. Begitupun jika ia menyanyikan lagu bernada ceria, semua yang mendengar akan tertawa dan menari-nari kegirangan seolah anak-anak yang mendapat kudapan kesukaan. Eijun bisa menyalurkan emosi macam apapun dalam lagunya. Ia bisa menghipnotis siapapun yang mendengarkannya, bahkan saat usianya sembilan tahun ia pernah berhasil menghidupkan kembali seekor paus yang sempat mati selama lima menit hanya dengan bernyanyi penuh emosi. Meski setelahnya ia harus jatuh sakit selama tiga hari karena terlalu banyak mencurahkan tenaga juga perasaan dalam lagunya. Dan tentu saja, sejak saat itu ayahnya tidak megizinkan Eijun menghidupkan kembali makhluk apapun dengan nyanyiannya bahkan meski hanya seekor bulu babi.

Lain Eijun, lain kakaknya. Tetsuya punya bakat alami mengendalikan badai. Tiap kali sang kakak marah, air laut di sekitarnya bisa langsung membentuk tornado gelap hingga membuat lubang besar di permukaan lautan yang siap menelan kapal-kapal. Suatu kali Eijun bahkan nyaris tewas dilahap badai Tetsuya karena tak sengaja menganggunya yang sedang bercumbu dengan seekor nereid. Eijun berhasil menyadarkannya di detik-detik terakhir dan peristiwa itu ditutup dengan sang kakak yang mendekapnya erat sambil mengumamkan kata maaf tiada henti. Tentu saja, itu pelajaran penting yang tidak akan pernah Eijun lupakan, bahwa Tetsuya bisa jadi amat berbahaya ketika ia marah… atau terlalu bahagia.

Sialnya, saat ini dia terlalu bahagia.

Eijun sudah menyadari adanya aura tak wajar yang memancar dari sekitar pengantin pria hari ini. Begitu resmi dinobatkan sebagai sepasang suami istri, Tetsuya menyeringai terlalu lebar. Matanya berkilat-kilat dan sekujur tubuhnya seolah memancarkan listrik samar-samar. Tapi kekuatan ayahnya sebagai Raja berhasil menghalau kekuatan Tetsuya agar tidak meledak dan menghancurkan pesta pernikahannya sendiri. Eijun tahu pasti, bahwa sejak tadi ayahnya menyerap semua ledakan kekukatan Tetsuya dan membendungnya seorang diri. Ia bisa merasakannya. Dan Eijun juga tahu semua itu tidak bisa bertahan selamanya. Sudah nyaris delapan belas jam sejak pesta dimulai, cepat atau lambat, ayahnya harus memuntahkan semua energi itu.

Tepat saat ia mencoba mengamati ayahnya dengan seksama, satu letupan memanjang meluncur naik dari kepala sang ayah. Melejit cepat naik ke permukaan dan menjadi ledakan kecil. Gawat, Eijun membatin. Tidak lama lagi ayahnya akan membuang semua energi negatif itu ke permukaan laut. Berubah menjadi badai ganas dan siap menelan siapa saja, termasuk Miyuki Kazuya yang sedang merayakan pesta ulang tahun ketujuh belasnya di dalam kapal tepat di atas sana.

Menggigit bibir bawahnya, Eijun mengamati sekeliling dengan gelisah. Ada empat prajurit yang mengawalnya saat ini. Ia tidak bisa kabur begitu saja. Maka ia menahan napas, berusaha keras membuat wajahnya tampak pucat kemudian memanggil salah satu di antara empat prajurit itu.

"Anda baik-baik saja, Pangeran?"

Berusaha memasang wajah tersiksa, Eijun meringis sakit. "Sepertinya aku terlalu banyak menggunakan energi saat bernyanyi. Saat ini aku merasa lelah dan tidak enak badan."

Keempat prajurit itu saling tatap, seolah sedang berdiskusi tanpa suara. Lalu salah satu di antara mereka yang memiliki pangkat lebih tinggi akhirnya berenang ke arah Eijun dan membungkuk hormat di hadapannya.

"Kalau begitu Pangeran sebaiknya istirahat di kamar." Ia memutuskan. Eijun berusaha keras menekan antusisamenya. "Saya akan melapor kepada Raja Triton. Biar ketiga prajurit ini yang akan mengantar Pangeran ke kamar."

Eijun tersenyum lemah, menepuk bahu sang prajurit dengan gestur terima kasih sebelum akhirnya berenang menuju istana dengan tiga prajurit mengawalnya dari belakang.

Begitu sampai di dalam kamar, prajurit hanya berdiri menjaganya dari pintu. Eijun mencoba untuk terlihat nyaman dan berbaring di atas ranjangnya. Sebelum kemudian mulai menyanyikan lagu tidur dengan sungguh-sungguh. Dua menit kemudian, ketiga prajurit itu tertidur lelap di depan pintu kamar. Praktis membiarkan Eijun lolos dari pengawasan. Kemudian ia berpaling. Meloloskan diri dari jendela besar di bagian belakang istana yang sepi. Memerintahkan arus laut agar membantunya. Air berputar-putar di sekelilingnya dan ia melesat ke permukaan dengan kecepatan tinggi.

Saat berhasil mencapai permukaan, hal yang pertama kali dilihatnya adalah ledakan kembang api mekar di langit malam. Membuatnya tertegun, kaku tak bergerak, dan hanya memandangi dengan terkesima ketika hasil reaksi kimia itu meledak warna-warni membentuk pola-pola yang luar biasa. Ia tidak pernah melihat keadaan di permukaan selepas matahari terbenam. Dan saat ini, rasanya sungguh menakjubkan. Kapal-kapal berbaris di pelabuhan, cahaya lampu dari arah kota berkilap-kilap, bahkan Eijun bisa melihat megahnya istana Seido di kejauhan. Kastil yang jika siang hari itu hanya terlihat atas susunan batu bata merah, kini nampak begitu indah dengan gradasi lampu warna-warni. Manik emasnya berkilat terpukau menatap tiap hal yang ia lihat malam ini. Tapi kemudian Eijun tersadar cepat, bukan saatnya untuk terpesona, akan ada bahaya besar yang datang. Maka ia berenang ke arah kapal besar tempat Pangeran Kazuya merayakan pesta ulang tahunnya.

"Selamat malam, Tuan dan Nyona sekalian!"

Eijun mendongak cepat ke atas kapal. Melihat sosok Kazuya tengah berdiri di geladak atas dengan segelas anggur diangkat tinggi-tinggi. Semua pasang mata kini memandangnya dengan terkesima. Kazuya mengulas senyum tipis, memberi anggukan kecil. Berenang lebih dekat, Eijun berusaha sembunyi di bawah bayang-bayang gelap dan menempelkan tubuhnya sedekat mungkin dengan kapal mewah itu.

"Ku ucapkan selamat datang dan terima kasih karena sudah berkenan memenuhi undanganku malam ini." Katanya lugas, postrur tubuhnya menjadi lebih tegap dengan setelan pakaian tuik itu. Gagah dan berkilau di bawah cahaya bulan dengan sebuah mahkota di atas kepalanya. "Kalau begitu selamat menikmati. Pastikan kalian tidak melewatkan satu hal kecilpun yang terjadi dalam pesta ini. Karena aku berani jamin, bahkan hingga seratus tahun ke depan, tidak akan ada pesta ulang tahun semewah ini."

Eijun mendengus, sombongnya. Namun demikian para hadirin justru bertepuk tangan meriah dan berseru seraya mengangkat gelas anggurnya tinggi-tinggi. Sesaat, semua orang tampak bahagia, larut dalam suka cita kemeriahan pesta ulang tahun Sang Pangeran. Sayangnya, pemandangan itu hanya bertahan tak lebih dari satu menit dan semua kejadian berubah horror. Jeritan melengking tinggi dan gelombang rasa ngeri menjalari semua tamu undangan di atas kapal.

"Ini bukan badai." Tukas Eijun.

Komentar bodoh, tapi itulah hal pertama yang tebersit di benaknya.

Kengerian yang saat ini terjadi jelas-jelas bukan akibat badai. Tapi pengkhianatan. Puluhan orang dengan penutup wajah dan pakaian serba hitam tahu-tahu muncul dan melakukan pembantaian kepada para bangsawan yang sedang lengah. Para wanita menjadi tawanan dengan bilah senjata menempel di leher mereka, siap memutus daya hidup mereka kapan saja. Eijun melihat Kazuya berdiri berdampingan dengan ayahnya, tampak awas juga terkejut.

"Black-Wildlings." Sang Raja menggeram dengan murka, wajahnya menampilkan ekspresi muak dan jijik menatap para pengkhianat yang mengepung mereka. "Aku selalu mendengar tentang kalian sejak masih kecil. Sekumpulan orang yang menganut paham menantang bentuk pemerintahan kerajaan dan berambisi untuk mengambil alih kekuasaan dengan cara yang brutal. Tidak ku sangka kalian sungguh nyata." Sang Raja tampak masih berusaha menampilkan ekspresi berkeras meski Eijun bisa lihat bahwa pria itu sama sekali tak membawa senjata yang dapat melindunginya. "Ku kira ayahku sudah membinasakan kalian dengan membakar semua klan kalian hidup-hidup?"

Salah satu di antara mereka tertawa keras. "Ah, tentu saja, Raja. Puluhan tahun lalu, klan kami dibumi hanguskan tanpa belas kasih. Tapi rupaya tak ada yang mampu menandingi cinta seorang ibu kepada anak-anaknya yang tak berdosa. Mereka membangun jalur terowongan rahasia lalu membawa bayi-bayinya kabur dengan selamat. Kemudian, bayi-bayi itu tumbuh besar dengan dongeng tentang betapa kejam kelakukan Raja Seido yang membinasakan para ayah dan klan mereka. Dendam itu diwariskan, puluhan tahun kami mempersiapkan diri, berlatih keras, dan membangun strategi untuk melakukan balas dendam."

Sang Raja meludah dengan kasar ke samping, sedang Kazuya tampak kebingungan. Ia jelas tak tahu apapun soal Black-Wildlings.

"Rupanya kurun waktu puluhan tahun tetap tak mengubah jati diri kalian sebagai pengecut yang hanya berani menyerang dengan jebakan kotor seperti ini, heh?"

Seorang Black-Wildlings yang dapat dipastikan sebagai pemimpin mengeram dengan murka kemudian menyabetkan pedangnya ke salah satu perempuan dalam satu kedipan mata, membuyarkan ususnya seketika. "Apapun katamu, Raja Sombong, malam ini kau akan mati." Katanya dingin. "Kematianmu akan menjadi hadiah ulang tahun bagi putramu." Ia menyeringai dan melirik ke arah Kazuya, memberi salam hormat dengan seringai jahat di bibirnya. "My Prince."

Kazuya membuka mulutnya, tapi apapun yang hendak ia katakan semuanya terpaksa tertelan kembali. Guncangan dahsyat menerjang tiba-tiba. Eijun terhempas jauh, namun berhasil memerintahkan air laut untuk menangkap tubuhnya dan membentuk perisai perlindungan yang menghalaunya dari gelombang maupun serpihan kapal.

Ini baru badai, pikir Eijun. Ombak seukuran menara pengintai berdebur-debur ke dek sebelah depan, menyapu busur depan dan setengah langkan ke kiri laut. Layar besar robek-robek diterpa angin. Petir berkilat di sekeliling kapal, menerangi laut bagaikan lampu sorot. Hujan tegak lurus menyembur dengan deras. Awan demikian gelap hingga tak tampak satupun bintang dari atas sana. Kemudian tiang utama tersambar petir, retak dan mulai ambruk, menyebabkan kebocoran besar di geladak atas. Kapal oleng ke kiri, berkubik-kubik air laut dan air hujan berlomba mengisi lambung kapal.

Ia bisa mendengar jeritan dan teriakkan panik dari para manusia yang berada di atas kapal. Bahkan para Black-Widlings yang semula garang saat ini tampak kebingunan dan panik melihat kebocoran dan keretakan di sekitar kapal. Eijun mengamati dengan gelisah ketika para manusia mencoba bertahan hidup. Para wanita yang sebelumnya berpakaian indah dengan wajah bersolek kini tampak menjerit-jerit tak terkendali. Gaun-gaun mereka membebani dan menjadi penghalang kebebasan geraknya.

Mereka tidak akan selamat, Eijun membatin. Mereka tidak akan bertahan melawan lautan. Mereka akan tenggelam dan mati seperti patung-patung yang menghias taman di istana ayahnya. Bangkai kapal itu juga akan menjadi tak ubahnya rongsokan tempat ikan-ikan kecil bermain.

Kemudian ia teringat akan Sang Pengeran Mahkota.

Matanya memincing tajam, mencoba meneliti lebih detail dan mencari keberadaan Kazuya di tengah kekacauan. Sejurus kemudian matanya berhasil menangkap sosok Kazuya tengah memapah tubuh ayahnya yang terluka. Barangkali tertimpa reruntuhan atau apa, sulit untuk memprediksi di tengah situasi sekacau ini.

Mata Kazuya tampak gelisah mengamati sekeliling, tangannya berusaha menahan bobot tubuh ayahnya yang terkulai lemah menahan sakit. Mereka sedang berjalan terseok-seok menghindari air juga reruntuhan kapal menuju sebuah sekoci yang masih utuh ketika sesosok bayangan gelap tahu-tahu muncul dari arah belakang dan menerjang ke arah mereka.

"AWAS!"

Eijun reflek berteriak, namun terlambat. Bilah tajam itu menghunus punggung sang raja. Membuat pria itu menggerang kesakitan kemudian tumbang ke dalam dekapan Kazuya.

Napas Eijun berhenti. Ia menyaksikan kejadian mengerikan ketika Kazuya membeliak memandangi jasad ayahnya bersimbah darah sementara sang pembunuh berdiri dengan seringai keji di hadapannya. Tidak berhenti sampai disitu, pembunuh itu kemudian menodongkan bilah pedangnya tepat ke bawah dagu Kazuya.

"Selamat ulang tahun, Pangeran. Kejutan besar, aku baru saja membunuh ayahmu. Dan coba tebak? Jika aku menghabisimu juga, maka aku berhak mengklaim takhta Seido dan menjadi Raja yang baru."

Kazuya menatap penuh kebencian, ia tidak menangis, matanya berkilat tajam sementara kapal mulai tenggelam. "Aku bisa memberikanmu takhta yang lebih bagus." Kata Kazuya, berdiri perlahan dengan ujung pedang masih mengarah ke dagunya. "Aku akan membunuhmu lebih dulu, mengirimmu ke Neraka dan dengan begitu, kau bisa berkuasa di sana. Tempat iblis seharusnya berada."

Tindakan bodoh, Eijun menggeram gemas. Kazuya tak punya senjata, tatapan kebencian dan kalimat sombong tak kan mampu membunuh seorang penjahat. Namun demikian Kazuya berhasil berkilah dari todongan pedang, entah bagaimana ia selama ini menyembunyikan sebuah belati di tangan kirinya lalu menusukkan benda itu tepat ke dada pembunuh ayahnya. Eijun terpukau dan hampir merasa optimis bahwa Kazuya akan menang tapi kemudian Black-Wildlings itu menggeram dan mengerahkan segenap kekuatannya untuk balik menusuk perut Kazuya dengan mata pedangnya, membuat pakaian Kazuya dibanjiri darah.

Eijun tak sempat berteriak. Segalanya berlangsung begitu cepat, dan kapal sudah tenggelam.

Kazuya tidak boleh mati, pikiran Eijun langsung tertuju ke sana. Dia pewaris satu-satunya dari kerajaan Seido. Kelangsungan kerajaan itu ada di tangannya. Sebagai sesama keturunan raja, Eijun paham betul betapa pentingnya napas seorang pangeran tunggal. Sang Pangeran harus tetap hidup. Maka Eijun menyelam, masuk kembali ke dalam laut, mencoba mencari-cari keberadaan Kazuya di tengah mayat-mayat dan puing-puing kehancuran kapal.

Eijun menajamkan pengelihatannya di dalam air. Mencoba menemukan sosok Kazuya di antara kegelapan samudera. Berkali-kali ia membalikkan satu demi satu sosok manusia yang tenggelam hanya untuk melihat wajahnya. Namun bermenit-menit mencari, Eijun tak juga berhasil menemukan Sang Pangeran. Nyaris putus asa dan menyerah, Eijun kemudian membelalak lebar begitu melihat seorang pemuda perlahan-lahan tenggelam ke dasar laut. Berenang cepat ke arahnya, Eijun merasakan jantungnya diremas kuat kala mendapati darah segar bercampur bersama air laut merembes keluar dari bagian perut Kazuya.

"Hey, kau tidak boleh mati!" Eijun menarik kedua tanggannya. Mengguncang bahu Sang Pangeran kuat-kuat untuk memanggil kesadarannya. Tapi wajah itu telah memucat, tak ada gelembung udara yang keluar dari hidung maupun mulutnya.

"Kazuya!" Eijun mengguncangnya sekali lagi, memeriksa denyut di nadinya. Masih ada, meski lemah. Tanpa bepikir dua kali, Eijun mendekap tubuh Sang Pangeran dan membawanya berenang menuju permukaan secepat mungkin.

Badai sudah reda begitu mereka berhasil sampai ke tepi pantai. Eijun bersuhasa keras menyeret tubuh Kazuya agar mencapai daratan yang cukup aman agar tidak tertelan ombak. Seluruh pakaian Kazuya basah dan luka di perutnya tidak juga berhenti mengeluarkan darah.

Eijun mengusap wajahnya kasar. Memaksa otaknya untuk berpikir di tengah-tengah kepanikan yang melanda. Tubuh Kazuya begitu dingin dan bibirnya mulai berubah biru. Ia mencoba mengingat apa yang pernah dipelajarinya selama berada di dalam lautan. Tumbuhan laut apa yang cocok untuk menyembuhkan luka? Kemudian ia teringat akan sesuatu, maka tanpa membuang waktu Sang Pangeran Duyung segera masuk kembali ke dalam lautan, menyelam dengan kecepatan super untuk mencari tanaman obat.

Begitu kembali ke permukaan, Eijun langsung menuju tempat Kazuya masih terbaring lemah. Tanpa memperdulikan helai rambutnya yang basah dan menutupi nyaris separuh bagian wajahnya, Eijun membawa kepala Kazuya ke pangkuannya. "Miyuki Kazuya, jangan mati. Kau tidak boleh mati." Eijun bergumam risau, terdengar seperti kalimat perintah dalam rancauan yang kacau. Tangannya bergerak melepas satu demi satu kancing pakaian Kazuya. Menahan napas saat melihat luka sobek di bagian perutnya. Eijun mengunyah tanaman obat sebelum kemudian menempelkannya pada luka di tubuh Kazuya. Menantikan dengan gelisah sambil memegang denyut nadi yang lemah di tangannya. Ketika akhirnya darah berhenti merembes dari lukanya, Eijun menghela napas lega.

"Menjadi tabib itu melelahkan." Ia mendesah berat, berbaring di atas pasir tepat di samping Kazuya yang masih belum sadar. Namun setelahnya, Eijun tersenyum. Memandang langit cerah selepas badai. Fajar baru mulai menyingsing, kerlip-kerlip cahaya bintang membentuk pola abstrak menghias langit yang jernih. Ia bertanya-tanya, apakah langit di kala fajar selalu seindah ini?

Kembali duduk, Eijun kemudian memandangi wajah Sang Pangeran Mahkota. Mengangumi betapa tampan garis wajahnya jika dilihat dari jarak sedekat ini. Jaringan otot di tubuhnya yang terbentuk sempurna, serta kulitnya yang mengkilap sewarna perunggu. Eijun merasakan gejolak asing mengigit hatinya semakin lama ia memandangi wajah tidur Kazuya. Rasa sesak juga antusiasme yang tak pernah ia kenal sebelumnya kini menggempur hebat jantungnya seperti putaran badai.

Mengingit bibir bawahnya, Eijun memberanikan diri untuk membelai kepala Sang Pangeran. Merasakan betapa halus helai rambut coklat Kazuya pada jemarinya, tunduk berkali-kali dalam pesona Sang Pangeran Manusia. Dan sebelum sempat menyadari, tahu-tahu Eijun sudah mencondongkan tubuhnya dan mendaratkan satu kecupan seringan kapas di kening Kazuya. Saat tersadar, ia segera menarik diri.

"Aku mulai kehilangan akal." Ia mengumpat, mengacak-acak rambutnya frustasi. Ia melirik ke arah Kazuya yang masih terpejam damai, kemudian membuang napas berat. "Ugh, apa kau punya sihir atau sejenisnya? Kenapa parasmu jadi semakin rupawan setiap detik?"

Eijun menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Mencoba menarik kembali kewarasannya. Tapi lagi-lagi, senyumnya tak bisa dicegah tiap kali memandangi wajah Kazuya. Kali ini jemarinya bergerak menelusuri lekuk rupawan sang Pangeran. Ia tak dapat melenyapkan gagasan tentang apa yang akan terjadi seandainya ia berada dalam dunia yang sama dengan Kazuya. Seandainya ia memiliki sepasang kaki yang memungkinkannya berjalan di daratan. Seandainya ia adalah seorang manusia yang berasal dari dunia yang sama dengan Kazuya. Seandainya ia tak perlu bersembunyi dari para manusia, dan dapat hidup berbaur di tengah-tengah mereka. Berkuda di tepi pantai, berlari di padang rumput, merasakan sinar matahari menghangatkan kulitnya, menaiki menara teringgi di istana Kazuya, sampai berburu di tengah hutan bersamanya. Tubuhnya akan kering hingga menungkinkannya untuk berpakaian, rambutnya tak lagi basah sepanjang waktu hingga ia bisa merasakan hembusan angin menggoyangkan helaian rambutnya, ia bisa menghirup aroma berbagai macam bunga yang tumbuh di daratan dan ia bisa menari di ballroom istana diiringi alunan musik-musik yang indah.

Eijun hampir bisa melihat semua gambaran itu. Mimpi-mimpi yang selalu ia impikan sejak kecil untuk menjadi bagian dari dunia manusia. Tapi sebuah suara dalam kepalanya berkata, kau tak akan bisa mewujudkannya. Mematahkan semua impiannya seperti pecahan cangkang kerang yang tersapu ombak. Jantungnya meletup-letup di dalam sangkar iganya, perasaannya bercampur dalam sebentuk emosi yang sulit dijelaskan.

Eijun akhirnya mulai bernyanyi.

Ia nyanyikan segenap kegundahan dalam hatinya. Ia salurkan seluruh perasaan yang mengamuk dalam hatinya ke dalam melodi-melodi emosional yang dipantulkan bersama harmoni alam. Matahari mulai muncul di garis cakrawala. Kegelapan malam perlahan-lahan mulai terusir oleh pendar hangat matahari. Permukaan laut yang semula gelap kini memantulkan kemilau cahaya matahari yang menjadikannya terlihat seperti kaca mozaik.

.

Kazuya bisa mendengar nyanyian itu. Suara yang amat merdu menyusup kedalam ruang dengarnya. Telinganya berfungsi lebih cepat daripada kedua matanya. Tubuhnya terasa berat dan ia merasakan sakit yang teramat hebat di bagian perutnya. Kazuya bisa mencium aroma lautan dibawa oleh angin yang menerpa permukaan kulitnya, juga samar sentuhan kehangatan matahari terbit.

Kazuya yakin tidak pernah mendengar seseorang bernyanyi semerdu itu. Hanya dengan mendengar suaranya membuat perasaan Kazuya berangsur-angsur membaik. Ia mencoba menggerakkan jemari tanggannya, bernapas lebih stabil, merasakan rasa sakit di bagian perutnya mulai menghilang seiring dengan tarikan nada yang diambil si penyanyi.

Kazuya memaksa matanya untuk terbuka. Ia menangkap bayangan kabur sesosok wajah sedang memandanginya dan nyanyianpun berhenti. Sebuah tangan membelai wajahnya dengan hati-hati. Kemudian suara lonceng terdengar nyaring. Kazuya yakin sempat mendengar suara terkesiap, memekik tertahan, lalu belaian tangan hangat itu lenyap dari wajahnya. Kazuya meringis kecil, merasakan telinganya berdenging akibat suara lonceng, ia memejamkan mata dan samar-samar mendengar sesuatu tercebur ke dalam air. Saat berhasil membuka mata kembali, Kazuya disambut oleh wajah manis seorang gadis berpakaian anggun yang menatap khawatir ke arahnya.

"Anda tidak apa-apa, My Lord?"

Gadis itu membungkuk di dekatnya, menatapnya dengan ragu-ragu. Wajah cantiknya berkilauan di bawah cahaya matahari pagi. Dan Kazuya tersenyum tulus, sebelum akhirnya meraih jemari sang gadis dan mengecupnya lembut.

"Terima kasih sudah menyelamatkan nyawaku."

~oo0oo~

What would I give to live where you are?
What would I pay to stay here beside you?
What would I do to see you smiling at me?

Where would we walk?
Where would we run?
If we could stay all day in the sun
Just you and me
And I could be
Part of your world…

I don't know when
I don't know how
But I know something's starting right now
Wacth and you'll see, someday I'll be
Part of your world…

~oo0oo~

Kazuya tidak tahu mesti bersyukur atau justru merasa sedih. Semua orang yang malam itu berada di atas kapal untuk merayakan ulang tahunnya tewas, termasuk ayahnya, Sang Raja juga para Black-Wildlings yang malam itu melakukan pemberontakan. Hanya ia satu-satunya korban selamat dari amukan badai tak terduga itu. Begitu berhasil sampai ke istana, semua orang terkesiap menatapnya seolah ia adalah hantu. Sebelum akhirnya bersujud di kakinya dan menangis haru karena ia masih hidup.

Esoknya, kerajaan menggelar upacara kematian bagi para korban. Nyaris satu ton bunga dilempar ke laut lepas sebagai tanda kehormatan sekaligus duka cita bagi siapapun yang tewas malam itu. Kerajaan Seido berkabung selama tujuh hari penuh karena kehilangan raja mereka. Tak ada makanan manis selama seminggu, tak ada pakaian berwarna selain hitam, tak ada musik maupun tarian.

Hari berikutnya, penasihat kerajaan datang menghadapnya dan memberitahu bahwa tidak lama lagi Kazuya akan segera dinobatkan sebagai raja baru melanjutkan takhta mendiang sang ayah. Tak ada waktu baginya merasa bersedih. Kazuya harus menerimanya dengan tegar, maka ia mengangguk paham dan memerintahkan kerajaan menyebar undangan untuk hari penobatannya nanti.

Menghela napas berat, Kazuya bersandar pada kursi singgasana. Menatap seisi ruang takhta yang kosong. Pilar-pilar tinggi dari batuan granit dan kaca mosaik membentuk lambang kerajaan pada bagian langit-langit. Hanya dalam hitungan hari ke depan, ruangan itu akan dipenuhi bangsawan dan penasehat-penasehat agung. Menjadi saksi ketika ia menarik sumpah sebagai raja yang baru.

Kazuya memejamkan mata, memijat pelipisnya pelan. Teringat bahwa tiga hari sebelum ulang tahunnya, ia masih sempat berjalan-jalan sendirian di tepi pantai ketika senja. Menatap ke arah lautan kemudian berdoa semoga sesuatu yang menarik terjadi saat ulang tahunnya. Dan benar, Kazuya memang mendapatkan sesuatu yang menarik di hari ulang tahunnya. Sebuah pemberontakan dan badai ganas, apalagi yang lebih menarik dari itu?

Kazuya memutar cincin perak di jarinya. Simbol kerajaan Seido yang berkilat di bawah temaram cahaya menusuk matanya, memaksanya untuk menangis, tapi harga dirinya tidak mengizinkan. Ia tidak punya banyak waktu untuk bersedih. Lagi pula mereka yang telah mati tetap tidak akan hidup kembali tidak peduli sekeras apa ia menangis. Ayahnya tidak akan serta merta muncul dari dasar lautan, tersenyum dan memeluknya. Maka ia memejamkan mata, mencoba untuk menarik napas dalam-dalam, melenyapkan sesak yang menghimpit dadanya.

Just you and me
And I could be
Part of your world…

Kazuya mendesah tertahan. Suara itu masih sering bermain di dalam kepalanya. Lantunan lagu yang dinyanyikan dengan begitu merdu oleh seseorang yang tak ia kenal saat ia terdampar di tepi pantai. Kazuya tidak dapat menghapuskan maupun juga mengusir bayang-bayang suara itu dari dalam kepalanya. Nyanyian itu terus bergema di dalam otaknya, seolah mengalir di dalam pembuluh darahnya dan mengikatnya dengan cara yang asing. Dadanya berdesir hangat sekaligus juga menyesakkan setiap kali teringat akan suara itu. Ada kerinduan ganjil yang tak dapat ia tandingi. Membuncah di dasar hatinya, memberinya siksaan tak terlihat tiap kali teringat akan suara itu.

Tangan Kazuya berherak perlahan. Tersimpan tepat di dadanya. Menekan pada bagian jantung tempat inti kehidupannya berdegup. Getaran itu meletup hebat, mendatangkan adrenalin yag tak pernah ia kecap sebelumnya.

"Perasaan apa ini, dan siapa kau sebenarnya?"

~oo0oo~

Eijun tak bisa fokus pada pelajaran yang disampaikan oleh Rei. Sejak tadi pikirannya terus berkelana membelah lautan, mencari-cari jawaban atas pertanyaan yang tak dapat ia utarakan dengan kata-kata. Ia tidak bisa berhenti memikirkan Kazuya dan itu sedikit-banyak membuatnya jengkel. Mustahil baginya menceritakan apa yang ia alami saat malam pernikahan Tetsuya. Bisa-bisa ia dinobatkan menjadi tahanan istana sampai seribu tahun ke depan jika ayahnya sampai tahu malam itu Eijun nekat berenang ke permukaan hanya demi menyelamatkan seorang manusia.

"Pangeran, Anda tidak mendengarkan?"

Eijun tersentak, segera menoleh ke arah Rei yang kini menatapnya dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. Memasang cengiran mohon maaf, Eijun menggaruk belakang kepalanya canggung. "Ah, maaf. Aku sedang banyak pikiran, hehe."

Sang guru yang telah membimbingnya sejak kecil itu menghela napas lelah lalu berenang mendekat ke arah Eijun untuk duduk di sebelahnya.

"Baiklah, kalau begitu pelajaran selesai." Kata Rei lugas, tapi kemudian tersenyum. "Sekarang aku adalah seorang teman. Jadi, mau menceritakan apa yang membebani pikiranmu?"

Tidak mungkin, batin Eijun menjawab spontan. Ia tersenyum samar, menggeleng lemah dan memandang ke luar jendela. Matanya menembus jauh ke dalam birunya lautan, air asin yang bergelombang dan membuat setiap hal terlihat tak pernah lurus.

"Anda masih memikirkan badai malam itu?" Rei menebak, nadanya hati-hati.

"Yeah," Eijun mengangguk muram. "banyak sekali manusia yang jadi korban."

Ada senyum kecil yang dikulum di bibir Rei ketika mendengarnya. "Jangan terlalu memikirkannya. Sudah menjadi takdir bahwa manusia tidak bisa hidup di dalam laut."

Tepat sekali, manusia tidak bisa hidup di dalam laut. Fakta itu entah mengapa seolah menjadi garis tegasꟷbatas mutlakꟷantara dirinya dengan Kazuya. "Rei, apa semua mahkluk hidup bisa mati?"

Sang guru menyipitkan mata sejenak seolah mencoba menebak-nebak jalan pikiran Eijun, kemudian ia mengangguk. "Tentu. Semua yang hidup akan mati."

"Apa yang terjadi saat kita mati?"

"Kita akan memudar, Pangeran. Kita akan menjadi buih di lautan dan tidak akan pernah bisa terlahir kembali."

"Ugh, kedengarannya mengerikan."

Rei tertawa kecil. "Anda tidak akan memudar secepat itu, Pangeran." Katanya seolah berusaha menenangkan. "Anda bisa hidup dalam jangka waktu yang lama, bahkan sampai ribuan tahun. Cukup lama untuk merasa bosan pada kehidupan dan kemudian memilih untuk lenyap menjadi buih."

Eijun menyernyitkan hidung. "Aku sudah pernah dengar itu, tapi masih tidak paham." Ia berkomentar. "Aku tahu usia ayahku lebih dari seribu tahun, meski dia kelihatan baru empat puluhan. Bahkan kakak-kakakku yang terlihat begitu muda sudah hidup lebih dari seratus tahun. Aku yang baru enam belas, tak ubahnya bayi kecil di antara keluargaku."

Rei tersenyum lembut. Menyadari betapa lugu Sang Pangeran Bungsu. "Anda benar." Sahutnya singkat. "Jika dibandingkan keluarga Anda yang lain, Anda masih begitu muda, Panegran Eijun. Maka wajar saja seluruh keluaga kerajaan begitu protektif pada Anda."

Eijun mengerucutkan bibir. "Oke, terserah." Ia angkat bahu ringan. Kembali menatap lurus ke sepasang mata Rei. "Bagaimana dengan manusia? Apa mereka juga bisa hidup selama ratusan tahun?"

Rei menggeleng. "Tidak, Pangeran." Ia mengambil jeda sejenak. "Manusia punya waktu hidup yang jauh lebih singkat dibanding kita. Mereka cepat menua, rapuh, dan kemudian meninggal. Namun jiwa mereka lebih kekal dibanding kita. Ketika manusia meninggal, jiwa mereka akan terlepas dari raganya, melayang menuju angkasa, melesat di antara bintang-bintang, lalu kemudian bertiup lagi dalam raga yang baru. Yang demikian itu disebut reinkarnasi."

Eijun mendengarkan penjelasan itu dengan dahi berkerut dalam. "Jadi maksudmu, meski mereka cepat mati, manusia bisa hidup kembali?"

Rei mengangguk lugas. "Benar, masing-masing dari mereka diberi tiga kali kehidupan yang berbeda sebelum akhirnya benar-benar mencapai akhirat."

Tiga kali kehidupan, Eijun mengulang kalimat itu dalam benaknya. Ia mencoba berpikir, lantas bertanya dengan hati-hati. "Jika kita yang hidup selama ribuan tahun mampu bertahan dari waktu ke waktu, apakah mungkin suatu hari nanti kita bertemu dengan jiwa manusia yang sama dengan yang sudah meninggal?"

"Tentu saja. Meski kemungkinannya kecil sekali, Pangeran. Manusia yang terlahir kembali biasanya memiliki wajah yang berbeda dari kehidupan sebelumnya dan mereka juga tidak bisa mengingat apapun tentang kehidupan mereka sebelumnya. Maka meskipun kita berhasil menemui satu jiwa yang sama, nyaris mustahil rasanya untuk mengenalinya atau juga membahas masa lalu bersama dengannya."

Eijun mengangguk muram. Jadi sekalipun ia bisa mengamati kehidupan Kazuya sepanjang tahun, menyaksikannya menikah, menua, meninggal, Eijun tetap tidak akan tahu di belahan dunia mana dan sebagai siapa kelak Kazuya terlahir kembali.

Rei tersenyum lembut, meraih tangan Eijun dan mengusapnya hati-hati seolah sedang memperlakukan mutiara paling berharga. Sang guru menatapnya dengan pandangan teduh. "Apa Anda tahu mengapa kaum kita ini, terutama anggota kerajaan mampu bertahan hidup selama ribuan tahun?"

Eijun berkedip-kedip, menggeleng sebagai jawaban. Rei membuka kembali mulutnya. "Ayah Anda, Raja Triton, adalah keturunan langsung dari Dewa Laut Poseidon. Itu membuat darah dewata mengalir dalam darahnya dan semua keturunannya. Menjadikan keluarga kerajaan sebagai makhluk setengah eternal, termasuk Anda, Pangeran."

Kali ini Eijun sukses melongo, ia menunjuk kepada dirinya sendiri seolah tak percaya. "Jadi aku ini cucu dewa laut?"

Rei tersenyum dan mengangguk. "Itu benar, Pangeran." Tegasnya. "Sebelum memutuskan untuk menetap di Olympus, Poseidon menyerahkan takhta bawah laut kepada putranya, Raja Triton, ayah Anda. Itulah asal mula kerajaan ini sekaligus juga penjelasan mengapa keluarga kerajaan selalu dilimpahi dengan bakat-bakat hebat. Itu semua tak lain karena kalian adalah keturunan langsung dari Sang Dewa Laut, Poseidon, atau yang juga dikenal dengan nama Neptunus."

Kalimat penjelasan yang Rei utarakan padanya membuat Eijun terpana, ia memandangi kedua telapak tangannya. Masih tak menyangka jika selama ini darah dewata mengalir dalam pembuluh darahnya. Ia tahu ayah dan semua kakaknya memang hebat, tapi ia kira itu semata-mata kerena mereka telah berlatih selama ratusan bahkan ribuan tahun.

Eijun akhirnya membuang napas panjang. Kedua bahunya turun lemas. "Tapi aku tidak punya bakat menghebohkan seperti kakak-kakakku." Katanya lesu. "Aku memang cukup kuat jika dibandingkan dengan makhluk laut lain, tapi di keluarga kerajaan aku positif jadi anak laki-laki yang paling tak berbakat."

Kali ini, Rei tersenyum dan mengusap rambutnya. "Anda punya bakat yang paling istimewa, Pangeran Eijun. Anda hanya belum menyadarinya."

~oo0oo~

Yuu sedang melatih legiun hiu putih ketika Eijun menghampirinya. Sang kakak menoleh padanya, Eijun mengangkat satu tangan, tersenyum lugu dan menyapa. "Hai, Kak."

Sang kakak mengangguk kecil sebagai balasan, tatapannya meminta Eijun untuk menunggu. Maka Eijun hanya mengangguk patuh, duduk di salah satu batu besar tak jauh dari kakaknya. Mengamati bagaimana merman muda itu berhasil melatih pasukan hiu putih membentuk formasi-formasi pertahanan juga penyerangan.

"Ad aciem!" Seru Yuu, suaranya menggelegar sampai ke baris belakang legiun. Legiun kemudian membentuk formasi lainnya. Eijun berdecak kagum, kakaknya yang satu ini selalu ingin jadi Panglima Perang yang maju di garis paling depan dalam pertempuran besar. Sementara Eijun terus berharap semoga tak pernah ada peperangan di manapun.

Tak berapa lama kemudian, latihan diakhiri, legiun hiu pamit dengan sopan pada sang kakak, juga menyapanya sekilas sebelum akhirnya meninggalkan mereka berdua di taman utara istana yang sepi.

"Jadi," Ujar Yuu begitu berada di sebelahnya, Eijun mendongak tipis, bertemu dengan senyum dewasa sang kakak. "bisa kau jelaskan mengapa kau terus-menerus membuat para makhluk laut menangis?"

Eijun memberi cengiran lebar. "Aku tidak bermaksud begitu, sungguh!" Ia bersumpah. "Hanya saja belakangan ini tiap kali mendengarku bernyanyi, reaksi yang mereka timbulkan jadi terlalu berlebihan."

Telapak tangan besar sang kakak mendarat di puncak kepalnaya, mengacak rambutnya sekilas. "Kau terlalu terbawa perasaan. Nyanyianmu persis seperti jeritan pilu bagi mereka yang mendengar. Wajar saja mereka menangis mendengarnya."

Eijun terkekeh ringan. Di antara semua kakaknya, Yuu selalu menjadi favoritnya. Kakak laki-lakinya itu seolah bisa membaca semua bakatnya, mengasahnya dengan hati-hati dan mampu membuatnya merasa lebih percaya diri. Yuu adalah orang yang mengajarinya cara berenang cepat, mengendalikan arus air untuk membuat tornado, membuat putaran, bahkan luncuran seperti roket. Yuu adalah kakak, sekaligus pelatih pribadinya.

"Menurutmu kenapa nyanyianku belakangan ini jadi terdengar memilukan?"

Kali ini, sang kakak memandangnya dengan ekspresi menimang-nimang, berpikir serius, lantas ia menghela napas. "Aku tidak tahu pastinya apa yang membuatmu begitu. Tapi yang kulihat, kau bernyanyi seolah-olah kau adalah makhluk laut yang paling kesepian." Tatapan Yuu melunak, suaranya juga melembut ketika akhirnya melontar pertanyaan. "Ada apa? Apa kau sedang ada masalah dengan Haruichi dan Satoru?"

Eijun menggeleng kuat. "Kami baik-baik saja."

"Kau merindukan ibumu?" Tebak Yuu, nadanya hati-hati seolah takut melukai.

"Eh?" Eijun berkedip, mencoba mencerna, kemudian ia tersadar dan menggeleng tipis. "Ah, bukan begitu."

Yuu menghembuskan napas pendek, menepuk sebelah bahu adiknya dengan gestur hangat. "Temuilah ibumu sesekali jika kau merindukannya, Eijun."

Mereka memang sama-sama anak kandung Triton, tapi dari ibu yang berbeda. Ibu Eijun adalah seorang nymph air tawar yang mendiami salah satu sungai pada bagian paling timur batas lautan tempatnya tinggal. Eijun harus berenang begitu jauh jika ingin bertemu dengan ibunya. Bahkan mungkin selama hidupnya ini, ia baru empat sampai lima kali bertemu dengan sang ibu. Begitu terlahir, ayahnya langsung membawanya ke istana bawah laut, sementara sang ibu tak bisa hidup di luar air tawar. Itulah yang membuatnya harus hidup berjauhan dengan ibunya sendiri. Namun demikian, Eijun nyaris tak pernah merasa kesepian. Ibu Ratu menyanyanginya seperti anak kandung, dan semua makhluk laut mengormatinya sama besar seperti pangeran-pangeran lain.

"Ya, aku tahu." Jawab Eijun akhirnya. "Tapi kali ini bukan soal ibuku."

"Kalau begitu soal manusia?"

Bola mata Eijun melebar memandang kakaknya. "Bagaimana...?"

Yuu tersenyum lebar hingga matanya menyipit kecil. "Kau mudah dibaca, Dik." Katanya. "Aku tahu sejak kecil rasa penasaranmu itu tumbuh lebih subur dibanding makhluk laut manapun. Kau selalu bermain di sisa-sisa kapal yang tenggelam. Mengambil sisa-sisa harta manusia yang tertinggal di dalamnya. Kau selalu bertanya tentang banyak hal seputar dunia manusia. Tentang mengapa manusia harus memakai sepatu, tentang mengapa manusia melukis lautan, tentang ini dan itu yang berhubungan dengan manusia. Aku masih ingat ketika kau dengan polosnya mengatakan ingin berenang ke permukaan dan berteman dengan seorang manusia." Ada kilatan hangat nostaligia dalam sepasang mata amber milik Yuu ketika mengatakannya. "Kemudian kau jadi terlalu bersemangat. Naik dan mengamati kehidupan di atas sana nyaris setiap hari."

Eijun menggigit pipi bagian dalamnya untuk menekan perasaan. "Tapi aku tidak boleh naik lagi." Ia berusaha agar tidak terdengar kecewa, namun gagal.

"Kata siapa?"

Ekspresi wajah Eijun kini bertambah muram. "Ayolah, Kak..." Kali ini nadanya hampir seperti anak kecil sedang merengek. "Ayah sudah meperingatkanku ratusan kali. Dan yang terakhir itu benar-benar tegas tanpa kompromi."

Yuu tertawa begitu renyah, mengabaikan kilat mata Eijun yang terbakar jengkel. "Ayah sudah menyerahkanmu padaku."

Kedua alis Eijun menukik tajam. "Maksudnya?"

"Sepertinya ayah mulai menyerah melawan anak berusia enam belas tahun. Kau terlalu hiperaktif untuk bisa dikendalikan." Yuu tersenyum geli, menggelengkan kepala seolah tidak habis pikir. "Dua hari yang lalu ayah memanggilku secara pribadi. Mengatakan bahwa sekarang aku yang bertugas mengawasimu. Kau sekarang adalah tanggung jawabku, Eijun. Dan aku tidak akan melarangmu berenang ke permukaan, asalkan kau berjanji tetap menjadi yang tak terlihat."

"A-apa?"

"Pergilah kemanapun yang kau mau, Eijun." Kata Yuu lugas. "Jika sesuatu terjadi padamu, aku yang akan menghadap ayah."

"Tanggung jawabmu... Dua hari yang lalu..." Ia berpikir, kemudian menerjang bahu sang kakak dan menguncangnya kuat-kuat. "KAK! YANG BENAR SAJA! KENAPA KAU BARU MENGATAKANNYA SEKARANG?!"

Kali ini Yuu tertawa puas. "Maaf, maaf.. aku hanya tidak bisa menahannya. Sangat menyenangkan melihat wajah berpikir kerasmu itu." Katanya, tak berusaha menepis tangan Eijun yang meremas bahunya kuat. "Kau sangat menggemaskan." Ia tersenyum begitu lebar dan mengacak gemas helai rambut coklat gelap milik Eijun, jelas mengabaikan ekspresi sang adik yang mengerut kesal.

"Nilaimu turun di mataku, Kak. Tadinya sembilan, sekarang enam!"

~oo0oo~

Hari ini Kazuya tetap tidak datang.

Eijun mulai bosan menunggu pemuda itu di tepi pantai tiap senja menjemput. Sang Pangeran Manusia tak pernah sekalipun muncul. Tidak seperti hari-hari yang lalu dimana ia selalu berjalan-jalan sendirian di pinggir pantai dengan wajah bosan. Sekarang, meski Eijun menungu sejak siang hari sampai matahari benar-benar terbenam dan udara menjadi bertambah dingin, Kazuya tidak pernah menampakkan diri.

Izin yang telah didapatnya dari sang kakak terasa sia-sia. Satu-satunya alasan Eijun begitu ingin naik ke permukaan hanyalah agar dapat bertemu atau setidaknya melihat Kazuya lagi. Namun pemuda keturnan bangsawan itu justru tak pernah muncul. Seolah sengaja megurung diri di balik tembok kastil yang tinggi.

Eijun memandangi bintang yang berhamburan di atas kepalanya. Rasi-rasi yang tak dapat ia hapal dengan pasti meski telah berkali-kali dijejalkan oleh Rei itu seolah berkedip mengejeknya. Menyadarkannya bahwa ia tak lebih dari seorang pangeran lemah yang merana hanya kerena seorang manusia fana.

Langit mulai bertambah gelap. Sudah hampir tiga jam sejak matahari terbenam, tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda Kazuya akan muncul. Kali ini pun, Eijun harus kembali menelan pahitnya kekecewaan. Membuang napas berat, Eijun akhirnya berbalik, bersiap untuk kembali ke dasar laut, namun urung begitu sensor pendengarannya menangkap langkah kaki mendekat. Menajamkan penglihatannya dan bersembunyi di balik batu karang, Eijun menahan napas ketika menyadari ada dua orang kini berjalan ke arah pantai.

"Dia masih tujuh belas tahun." Kata salah satu di antaranya.

Eijun mengunci mulutnya rapat-rapat, menelan kembali rasa kecewa karena tidak satupun di antara kedua manusia itu adalah Kazuya. Mereka hanya dua orang prajurit yang diberi tugas berpatroli di sekitar pantai.

"Tapi ku rasa Pangeran Kazuya cukup dewasa untuk menerima tanggung jawab ini."

Kali ini, Eijun kembali memasang telinganya baik-baik. Dua prajurit itu sedang membahas Kazuya. Mungkin saja ia bisa mendapat beberapa informasi tentang si Pangeran jika berani mendengar lebih banyak.

"Ya, aku setuju. Pangeran Kazuya punya potensi sempurna sebagai seorang raja."

"Dan Pangeran cukup pintar untuk bisa dipengaruhi oleh orang lain. Meski nyaris seluruh orang kepercayaan mendiang raja ikut tenggelam ditelan badai malam itu, aku yakin dia terlalu cerdas untuk terhasut dalam golongan orang-orang licik di Kerajaan."

Eijun menghela napas panjang. Sekarang ia mengerti mengapa Kazuya tidak pernah lagi berjalan-jalan sore di pantai. Rupanya Sang Pangeran kini tengah disibukkan dengan beban tanggung jawab sebagai pengganti ayahnya dalam menjalankan singgasana kekuasaan tertinggi Seido. Kazuya pasti sibuk dan tidak lagi punya waktu untuk bersantai menikmati matahari terbenam seperti hari-hari sebelumnya.

"Puncaknya adalah besok."

Ucapan salah satu prajurit itu kembali membuat Eijun mendengarkan dengan teliti.

"Benar, kau sudah dengar intruksinya, kan? Besok adalah hari penobatan Pangeran Kazuya sebagai Raja yang baru dan karena ia satu-satunya pewaris tahkta, aku yakin akan banyak sekali bahaya yang mengancamnya besok."

Eijun menahan napas. Ia menyadari betapa serius kata-kata yang baru saja didengarnya.

"Sudah pasti. Akan ada banyak pihak yang mencoba membunuhnya sebelum ia menangkat sumpah ataupun dimahkotai. Kekuasaan selalu mendatangkan rasa iri. Terlebih lagi ia baru tujuh belas tahun, musuh pasti memandangnya sebagai sasaran segar untuk dibasmi."

Eijun mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat, gagasan itu terdengar begitu mengerikan. Ia tidak bisa membayangkan sebuah anak panah meluncur tepat dan menusuk jantung Kazuya ketika pemuda itu menaiki tangga sianggasana. Atau bagaimana jika gelas anggurnya diberi racun? Atau seseorang berkhianat dan memenggal kepalanya saat mengucap sumpah sebagai raja? Eijun menggeleng cepat-cepat, menepis fragmen horror itu dari kepalanya. Ia tidak sanggup membayangkan sesuatu yang buruk menimpa Kazuya.

"Kalau begitu sudah menjadi tugas kita untuk menjaganya." Satu di antara dua prajurit itu kembali berujar. Eijun bersadar pada batu karang, mencoba menjernihkan pikiran serta menenangkan gejolak rasa cemasnya sambil terus mendengarkan.

"Kita telah disumpah setia untuk melindungi anggota kerajaan. Aku rela menukar tiga kehidupanku demi satu menit kehidupan Pangeran Kazuya."

Ada suara tawa ringan yang menyusul setelahnya, kemudian prajurit lainnya berkata. "Tidak akan ku biarkan Pangeran Kazuya terluka, aku bersumpah."

Eijun mengambil napas, tatapannya mengeras pada pantulan bayang rembulan di atas permukaan air laut. Ia menyempatkan diri untuk melirik sekilas ke arah dua prajurit yang masih berdiri di tepi pantai. Tersenyum dengan enggan dan berbisik rendah.

"Sebaiknya kau jaga sumpahmu, manusia. Jangan sampai Kazuya terluka, setetes darahpun."

~oo0oo~

"Pangeran Eijun."

Eijun terlonjak kaget. Suara itu mendesis di telinganya seperti aliran racun. Begitu dingin, sekaligus penuh dengan hasrat yang tidak masuk akal.

"Tunjukkan dirimu!" Eijun berseru, mencoba untuk tampil berani sambil berputar mengamati sekeliling. Hanya gelap, matanya tak dapat menangkap apapun. Ia merasa tertelan dalam cairan tinta cumi.

Suara tawa dingin menyahut sebagai jawaban, sebelum perlahan-lahan keadaan mulai menjadi lebih terang. Eijun menyipitkan mata demi melihat lebih jelas. Sepuluh meter dari posisinya, ia melihat makhluk yang tak pernah ditemuinya seumur hidup.

"Selamat datang, Pangeran.."

Suaranya begitu serak seolah ada sekumpulan lendir menempel di tenggorokannya. Eijun memberanikan diri untuk berenang mendekat. Mendapati sosok setengah ikan pari dan setengah wanita tua berkulit hijau, wajahnya bersisik, dengan rambut abu-abu kusut, serta deret gigi setajam silet kini tengah menyeringai ke arahnya.

"Kau..." Eijun berpikir sejenak, "Si Penyihir?" ia berhasil bertanya.

Makhluk aneh itu terkikik geli. Rambut kusutnya berkibar di dalam air, tampak seperti ular-ular ganas yang siap menyemburkan bisa kapan saja. "Benar, Pangeran." Jawabnya, matanya berkilat rakus ketika menatap Eijun. "Saya Ursula."

Si penyihir berenang mendekat ke arahnya. Wajahnya kini begitu dekat, hingga Eijun menyadari bahwa kedua lubang hidungnya tidak seimbang. Jari-jarinya yang kurus seperti ranting terangkat, menyentuh rahang Eijun seraya ia menyeringai dan berbisik rendah. "Kau lebih tampan dari dugaanku, Pangeran."

Eijun menepis kasar tangan sang penyihir. Matanya mendelik dengan penuh peringatan. "Jangan macam-macam denganku!"

Si penyihir terkikik, suara tawanya memantul di sekitar goa, menjadi berkali lipat lebih mengerikan. "Wah, wah... Lihat siapa yang bicara? Seorang keturunan Raja Triton Yang Agung, berenang terlalu jauh ke dalam kegelapan lautan dan mengunjungi seorang penyihir gelap sepertiku." Ia terkekeh, memandangi Eijun dengan raut wajah tertarik. "Katakan, Pangeran Kecil, apa tidak pernah ada yang memperingatkanmu untuk tidak bermain-main di dekat teritori Ursula?"

Eijun menelan ludah, mencoba mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya dan membuka suara. "Aku sudah banyak mendengar tentangmu, Ursula." Katanya, berusaha terdengar tak gentar. "Juga semua sihir hitam kelicikanmu."

Ursula tertawa lagi, kali ini lebih nyaring, seolah kata-kata yang keluar dari bibir Eijun bertrasformasi menjadi bulu yang menggelitik perutnya. "Begitupun aku, Pangeran Eijun. Aku sudah banyak mendengar tentangmu. Putra kesayangan Raja Triton, Pangeran yang dipuja sepenjuru lautan karena suaranya yang memabukkan. Betapa semua mahkluk bawah laut menyukaimu, menyanyagimu dan memujamu seolah kau batu mutiara paling langka. Tidak tahukah kau, bahwa ras mikroba laut pun mengenalmu?"

Ursula tersenyum lebar, kembali mendekat, jari-jari kurusnya kini mengusap torso Eijun dengan gerakkan lambat yang mengintimidasi. "Tapi aku berani bertaruh, Pangeran." Si Penyihir berbisik tepat di telinganya. "Dari semua makhluk yang ada di lautan, hanya aku satu-satunya yang paling mengenalmu. Aku yang paling memahamimu, lebih dari siapapun."

"Jangan main-main denganku!" Eijun mengangkat tangannya, memerintahkan arus laut untuk menerjang ke arah Ursula. Pusaran gelombang menghantam Sang Penyihir tua, namun tidak sekuat yang Eijun harapkan. Ursula hanya terdorong sejauh dua meter, secara ajaib arus yang dibuat Eijun lenyap seketika begitu Ursula mengangkat tangannya.

"Aku tahu keinginanmu, Pangeran." Ursula berkata lagi, kali ini warna matanya berkilat lebih jahat. "Kau ingin sebuah jawaban yang tidak bisa kau temukan di dalam kerajaan. Kau ingin jawaban atas pertanyaan yang tak bisa kau tanyakan kepada siapapun. Kau ingin sebuah jawaban yang bisa membuatmu berhenti merasa resah dan bertanya-tanya kepada dirimu sendiri."

Eijun terkesiap. Sang Penyihir menatap lurus padanya tanpa berkedip. Matanya yang bersinar hijau seolah sedang menelusuri tiap partikel di tubuhnya hingga kebagian terdalam. Melihat lebih dari sekadar raganya, namun juga isi dalam kepalanya, kecemasannya, juga apa yang tersimpan dalam hatinya.

"Maka akan ku katakan ini padamu, Pangeran Eijun. Kau punya kesempatan hidup bersama dengan manusia itu."

Suara tajam Ursula membuat jantung Eijun berhenti berdetak. Matanya membelalak tak percaya menatap sang Penyihir. "Tidak mungkin.." Suara Eijun nyaris hilang seperti deru napasnya. "Dunia kami berbeda."

Ursula menyeringai. "Benar, dunia kalian memang bebeda. Manusia tidak bisa bernapas di dalam air. Dan jika kau keluar dari lautan, maka jiwamu akan menjadi serapuh kaca. Mustahil bagimu bertahan di luar sana."

Mendengar hal itu dari Ursula membuat Eijun merasakan napasnya bertambah sesak, seolah ada sekumpulan pasir mengendap di dadanya.

"Tapi kau tetap punya kesempatan." Ujar Ursula lagi, memaksa Eijun kembali berfokus pada Sang Penyihir. "Seperti yang kau tahu, jiwa manusia lebih kekal dibandingkan jiwamu. Dan jika ada seorang manusia yang begitu tulus mengasihimu melebihi apapun dan bersedia menjagamu seumur hidup, jika ia mengatakan bahwa ia mencintaimu lalu menciummu, maka jiwa manusia yang kekal itu akan mengalir dalam dirimu dan memungkinkanmu untuk bertahan hidup di daratan."

Eijun terpana. Waktunya melambat ketika mendengar kalimat penjelasan yang diutarakan Ursula padanya. Ia punya kesempatan... titik harapan kecil itu menari-nari seperti percik api di dalam hatinya. Membuatnya tak bisa berpikir lurus. Ia punya harapan. Ia punya harapan untuk berada di sisi Kazuya.

"Tapi kau tidak akan mungkin mendapatkannya dengan ekor ikanmu."

Api itu padam seketika. Eijun membeku. Nyalang menatap Ursula yang kini menyeringai kian lebar padanya. Tatapannya mencela telak, seolah ia begitu menikmati saat berhasil mematahkan hati seorang pangeran muda.

"Maka yang kau butuhkan adalah sepasang kaki, Pangeran." Ujar Ursula, kembali berenang mendekat pada Eijun. Ekor ikan parinya bergoyang dengan aneh seolah berusaha menyengat. "Aku bisa memberimu sepasang kaki." Kata Sang Penyihir, berbisik menggoda di sebelah telinganya. "Tapi kau tahu, Pangeran Kecil? Itu adalah hal terbodoh yang akan kau lakukan dan akan membawamu pada penderitaan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya."

"Apa maksudmu?" Suara Eijun terdengar serak, tercekat tak berdaya di tenggorokannya.

Ursula membelai wajahnya dengan hati-hati. "Kau punya segalanya di sini, Pangeran Eijun. Rakyat yang memuja dan menyanyangimu, keluarga yang selalu menjagamu dan kekuatan hebat sebagai keturunan dewa. Sementara di luar sana, kau bukanlah siapa-siapa, tanpa kekuatan, tanpa keluarga, hanya mahkluk kecil sebatang kara yang tak berdaya."

Eijun mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Perasaannya kini bercampur antara rasa enggan dan hasrat kuat. Ia tidak bisa serta merta melepas semua kehidupannya di dalam lautan. Tapi ia sadar ia menginginkan untuk berada di sisi Kazuya lebih dari apapun.

"Kau mencintainya, Pangeran."

Perkataan Ursula membuat sekujur tubuh Eijun bergetar. Si Penyihir tersenyum dingin. "Kau mencintai Miyuki Kazuya." Tegasnya, dan Eijun merasa napasnya terenggut begitu saja. Ia memegangi dadanya, merasakan sesak yang mencekam dan tak terelakkan. "Kau ingin berada di sisinya. Menyentuhnya, mendengar suaranya, berjalan di sampingnya, dan menemaninya dari hari ke hari. Berbicara dengannya, bernyanyi untuknya, juga tertawa bersamanya. Kau ingin memeluknya lebih dari siapapun, kau ingin mendengarnya menyebut namamu, merasakan seperti apa ketika bibirnya menyentuh bibirmu, menciumi sekujur tubuhmu—"

"CUKUP!" Eijun berteriak, napasnya terengah. "Kau." Ia menunjuk tepat ke wajah Ursula. "Kau mengaku penyihir hebat. Kau mengatakan bisa memberiku sepasang kaki. Tapi sejak tadi yang kau lakukan hanya mengoceh dan menekanku!" geramnya, matanya berkobar dimakan amarah. Eijun tidak suka dipermainkan, dan Si Penyihir sejak tadi terus mempermainkannya, mencerai berai perasaannya seolah itu bukan hal penting.

Ursula tertawa. Suarnya terdengar dalam dan berat, tetapi juga mengancam—persis seperti getaran sebelum terjadinya gempa besar. "Ah, Pangeran..." Katanya, memandangi Eijun dengan tatapan terhibur. "Tentu saja aku bisa memberimu sepasang kaki. Aku berani bersumpah akan hal itu."

Eijun mendengus. "Pembohong."

Seulas senyum muncul di wajah Ursula. "Aku mungkin penyihir gelap, Pangeran. Tapi aku bukan seorang pembohong. Jika kau benar-benar ingin membuang ekor ikanmu dan menggantinya dengan sepasang kaki, maka aku akan mewujudkannya."

Eijun mendekat kepada Sang Penyihir, berbicara dengan wajah terpaut sehelai jarak. Matanya menatap tajam, tegas, tak main-main. Rasa muak memenuhi hatinya. "Kalau begitu buktikan. Berhenti main-main denganku. Berikan apa yang ku mau."

"Mahal harganya," Ujar Ursula "bertemu dan memandang wajah cinta sejati."

Eijun menelan ludah dengan susah payah. Mempertahankan ekspresi kerasanya di hadapan Sang Penyihir. "Apa yang kau inginkan? Mutiara? Abalon? Koral? Aku bisa memberikanmu sebanyak yang kau mau."

Si Penyihir tertawa. "Kau punya sesuatu yang lebih berharga dibanding semua itu, Pangeran Eijun." Katanya, sepasang matanya bersinar kian hijau di bawah bayang-bayang gelombang. "Suaramu."

Tubuh Eijun berubah kaku. Sementara Ursula kini membelai lehernya dengan satu jari tangannya yang kurus dan bengkok. "Suara paling merdu sepenjuru lautan dan mungkin di daratan juga. Aku menginginkan suaramu sebagai bayaran, Pangeran."

Eijun menggeleng dengan lemah dari satu sisi ke sisi lain. "Tidak... jangan suaraku..." Ia menggerit, terdengar memelas dan memohon.

"Kenapa, Pangeran Kecil? Apa kau ragu mampu memikat hati manusia itu tanpa suaramu?"

"Jika kau mengambil suaraku, lantas apa yang tersisa dariku?"

Ursula tertawa dingin. "Kau masih punya wajah yang mempesona, tarian yang luar biasa, dan sepasang mata emas yang begitu ekspresif, Pangeran. Dan biar ku beri tahu satu hal; cinta sejati tak perlu mendengar, ataupun melihat, cinta sejati selalu bisa dirasakan. Jika kau yakin manusia itu cinta sejatimu, maka seharusnya kau tidak perlu takut kehilangan suaramu."

Eijun mundur menjauh dari Sang Penyihir. Memegangi tenggorokannya seolah takut pita suaranya akan tiba-tiba terputus.

"Sudah kuduga," kata Ursula. "Kau terlalu pengecut. Kau hanya Pangeran Kecil yang penakut."

"Aku tidak takut!" Sergah Eijun, nadanya meninggi sebagai bentuk protes. Ia mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya cepat. Mengabaikan tubuhnya yang bergetar dan mendingin, ia mencoba untuk bicara. "Jika kau ingin suaraku, ambil! Aku akan membayar sepasang kaki itu dengan suaraku. Aku tidak takut kehilangan suaraku, Ursula."

Ursula tersenyum puas. "Kalau begitu kita sepakat." Ia berujar, lalu tiba-tiba sebuh vial mungil dengan cairan merah terang muncul di tangannya. "Aku akan memberikan ramuan ini padamu dan kau harus berenang ke tepi pantai sebelum matahari terbit. Minumlah ramuan ini, kupastikan ekor ikanmu meghilang dan berubah menjadi sepasang kaki."

Ursula menyodorkan vial itu ke hadapan Eijun dan Eijun menguatkan tekad serta keberaniannya, menggerakkan tangannya yang bergetar untuk meraih vial tersebut. Begitu berada dalam genggamannya, Eijun merasakan vial itu jauh lebih berat daripada yang terlihat. Seolah berkubik-kubik air di lautan kini menyempit dan berkumpul di dalam vial itu, memberatkan tangannya.

"Perlu kuingatkan, saat kau meminum ramuan itu kau akan merasakan rasa sakit yang tak pernah kau bayangkan. Rasanya akan seperti sebuah bilah pedang menebas tubuhmu. Kau tidak akan mampu menahannya, kau akan kehilangan kesadaran karena begitu kesakitan. Bagaimana, apa kau masih ingin meminumnya?"

"Akan ku lakukan."

Penyihir itu tersenyum lagi. "Kau akan memiliki sepasang kaki yang sempurna dan kau akan bisa berjalan serta dilimpahi bakat menari dimana tak seorangpun manusia mampu menari seindah dirimu. Namun setiap kali berdiri, kau akan merasakan seolah sedang menginjak pisau yang sangat tajam. Setiap pijakan kaki, setiap langkah, setiap gerak tarianmu, kau akan merasakan penderitaan dan rasa sakit yang teramat sangat."

Eijun merasakan seolah mulutnya dipenuhi pasir. Dia tidak mampu berucap sepatah katapun. Gagasan-gagasan itu terdengar seperti mimpi buruk.

"Dan ketika kau menjadi manusia, kau tidak akan bisa kembali lagi. Sepasang kaki manusiamu tidak akan mampu menyelam mencapai dasar lautan. Artinya, kau tidak akan bisa bertemu lagi dengan keluargamu, kau tidak akan pernah lagi melihat istanamu. Pikirkan sekali lagi, Pangeran, apa kau sanggup menanggung semua ini?"

Eijun tidak mampu menghindar dari serangan keraguan yang menyusup ke dalam seluruh pembuluh darahnya. Ia akan kehilangan suaranya, ia akan merasakan rasa sakit yang teramat hebat, ia tidak akan bisa bertemu keluarganya lagi. Terlalu banyak yang mesti ia korbankan demi berada di sisi Kazuya. Tapi perasaan di dalam hatinya tak dapat ia dustai, ia menginginkan Kazuya lebih dari apapun.

"Aku sanggup." Akhirnya ia menjawab. Menggenggam erat vial di tanggannya demi mengguatkan diri. Matanya berkilat teguh menatap wajah buruk Si Penyihir.

Ursula tersenyum lebar. Rasa rakus di dalam matanya kian berkobar. "Kau punya hati yang kuat, Pangeran." Pujiannya terdengar tidak tulus. "Jika kau tidak berhasil mendapatkan jiwa manusia itu, kau tidak akan bertahan di daratan. Jika kau gagal membuat manusia itu mencintai dan menciummu, kau tidak akan selamat. Tepat saat fajar pertama setelah hari pernikahannya dengan orang lain, hatimu akan hancur lalu kau akan lenyap menjadi buih di lautan."

Eijun menggepalkan tangannya kuat-kuat, menepis semua pemikiran negatif yang melintas di benaknya.

"Semoga berhasil, Pangeran Manis." Kata Ursula, tanggannya terangkat naik dan ketika diturunkan, tangan itu telah berubah menjadi sebilah pedang hitam pekat. "Sekarang julurkan lidahmu. Waktunya untuk membayar."

~oo0oo~

Pagi pertama setelah penobatannya sebagai seorang Raja, Kazuya terbangun dengan sedikit nyeri di kepalanya, menyadari betapa banyak ia menelan anggur saat pesta perayaan kemarin. Raja Muda itu berdiri menatap keluar jendela kamarnya. Menatap pada birunya lautan yang menghampar luas seolah tak berbatas. Indah dan tak terselami. Kazuya tersenyum simpul, menyadari sudah cukup lama semenjak kali terakhir ia berjalan-jalan di pantai. Menginjkkan kakinya pada hamparan pasir putih dan mengisi paru-parunya dengan aroma asin air laut.

Maka ia meraih jubah tebalnya, melewatkan sarapan dan berjalan tanpa keraguan sedikitpun menuju pantai. Pantai itu masih sama seperti terakhir kali Kazuya mengunjunginya. Aroma laut yang diterbangkan oleh angin halus menerpa kulitnya, mengajarinya pada kebebasan sekaligus kekuatan. Suara gulungan ombak, terpecah dan membentuk lompatan tinggi kala menghantam bebatuan dan terumbu karang, desiran arus yang terus bergulung menuju bibir pantai. Pasirnya yang halus, hangat dikecupi cahaya matahari. Seulas senyum mekar di bibir Kazuya, dari semua hal yang ada di kerajaan, ia tidak akan pernah bosan pada lautan.

Raja Muda itu berjalan mendekat pada garis pantai. Membiarkan sepatu dan celananya dibasahi jilatan air laut. Menyaksikan jejak demi jejaknya yang tetinggal di atas pasir terhapus tiap kali ombak datang. Tiupan angin mengacak helai rambutnya, membuatnya berantakan, tapi Kazuya terus melangkah mengikuti garis bibir pantai tanpa mau menghitung sudah berapa jauh ia melangkah dari tembok istana. Sampai langkahnya kemudian terhenti.

Kazuya berdiri terpaku di atas pasir. Tiga gulungan ombak sudah menerpa kakinya, namun ia masih tak bergerak. Matanya seolah berdusta kala mendapati sesorang pemuda berbaring di atas putihnya pasir, lima meter dari posisinya berdiri. Terlelap begitu damai dengan ombak yang sesekali menyelimutinya. Tubuhnya polos, tak ada sehelai benangpun melindunginya dari dinginnya air laut maupun tiupan angin pengujung tahun. Selama beberapa detik, Kazuya tak bisa menggerakkan tubuhnya, ia tak menyangka akan menemukan sesosok mayat di pantai favoritnya. Namun pada detik selanjutnya, Kazuya terbelalak, jantungnya berpacu hebat tatkala melihat dada pemuda itu naik turun. Ia bernapas. Ia hidup.

Kazuya berlari ke arahnya, membungkuk di dekatnya. Tak lagi peduli ketika pakaiannya ditempeli butiran pasir. Melepas jubah tebalnya, lalu menggunakannya untuk membungkus tubuh pemuda itu. Kazuya menggapai wajahnya, retinanya melebar, mendapati betapa damai garis ekspresinya. Begitu polos dan semanis malaikat. Rambut coklat gelapnya basah karena air laut, Kazuya menyibaknya, membersihkan wajahnya dari pasir yang menempel. Kemudian Sang Raja meletakkan tangannya tepat di bawah bahu si pemuda dan di balik kedua lututnya. Dalam satu kali kekuatan, mengangkat pemuda asing itu dalam gendongan dan membawanya ke Istana.

"Yang Mulia, siapa yang Anda—"

"Panggilkan tabib istana, minta dia ke kamarku. Cepat!" Kazuya memberi perintah sebelum si penjaga menyelesaikan kalimatnya. Tanpa menghentikan langkah atau juga mengacuhkan setiap orang yang terkesiap dan melemparinya dengan tatapan tanya, Kazuya terus menggendong pemuda itu hingga mencapai kamarnya.

Kazuya membaringkan pemuda asing itu di atas ranjang besarnya. Meletakkan satu tangannya tepat di dada pemuda asing tersebut, menekan untuk merasakan detak jantungnya. Berdetak dalam tempo yang pasti, menandakan api kehidupannya masih menari. Membuang napas kecil, Kazuya duduk di tepi ranjang, tangannya kini bergerak menyentuh helai rambut coklat gelap yang basah milik sang pemuda asing. Butiran pasir serta aroma air laut yang menempel di seluruh kulitnya. Membuatnya nyaris terlihat seperti sudah lama terkubur di dasar lautan dan melejit ke permukaan dengan tiba-tiba. Garis wajahnya yang begitu lugu terpejam damai semanis bayi.

"Wajahmu terlihat seakan kau baru berumur sembilan atau sepuluh tahun." Komentar Kazuya seiring dengan jari-jarinya yang bergerak ringan mengikuti lekuk wajah pemuda brunette itu. Lalu Kazuya melirik ke sekujur tubuh polosnya, kemudian tersenyum kecil. "Tapi tubuhmu berkata umurmu tidak jauh beda denganku."

Telunjuk Sang Raja menelusuri tulang hidungnya, turun hingga ke bagian paling tinggi tulang hidungnya dan bertenti satu garis sebelum menyentuh belah bibirnya. Kazuya mengamati belah bibir kemerahan itu lekat-lekat, bertanya-tanya apakah bibirnya akan terasa selembut milik bayi jika ia menyentuhnya. Tepat satu detik sebelum jemarinya benar-benar berhasil menyentuh, sebuah suara lebih dulu datang mengintrupsi.

"My King,"

Kazuya menoleh, mendapati seorang lelaki berusia akhir lima puluhan berdiri dengan kepala menunduk sopan di depan pintu kamarnya. Menjinjing satu tas berukuran cukup besar di sebelah tangannya. Menghela napas, Kazuya mengangguk kecil menatap pria itu. "Masuklah."

Tabib itu menggangguk tipis sebelum kemudian masuk dan menuju tempat Kazuya menanti. Ada sorot kaget yang tertangkap samar-samar dari mata Sang Tabib ketika mendapati pemuda asing berbaring tak sadarkan diri di ranjang Sang Raja.

"Aku menemukannya di pantai pagi ini." Kazuya menginformasikan, sementara Tabib itu mulai maju dan memeriksa denyut nadinya. "Entah sudah berapa lama dia berada di sana. Tubuhnya sedingin es dan dia tidak memakai sehelai pakaianpun."

Tabib mengagguk pada Kazuya. "Anak ini masih hidup, Yang Mulia." Ia mengonfirmasi. "Kemungkinan besar ia tak sadarkan diri karena mengalami hipotemia, tapi sekarang suhu tubuh, denyut jantung dan napasnya mulai berangsur normal."

"Bagus kalau begitu." Sahut Kazuya lugas, bangkit dari posisinya lalu berdiri dengan menyilang kedua lengan di depan dada. Mengamati dengan mendetail bagaimana tabib itu memeriksa tubuh pemuda asing yang ditemukannya beberapa saat yang lalu.

"Tidak ada cedera maupun luka di seluruh tubuhnya." Kata Sang Tabib. "Ia tampak baik-baik saja, tapi kita tidak akan tahu pasti sampai ia benar-benar bangun." Tabib itu menarik selimut tebal hingga mencapai dagu pemuda brunette. Kemudian menghadap Kazuya dan tersenyum sopan. "Saya akan memberinya beberapa ramuan untuk mempercepat pemulihannya. Tapi pertama-tama, kita harus memberikan anak ini pakaian lengkap."

"Kalian dengar itu?" Kata Kazuya, mendelik ke arah dua pelayan wanita yang berjaga tepat di depan pintu kamarnya. "Berikan dia pakaian hangat."

Kedua pelayan itu mengangguk mengerti, salah satu di antaranya pergi mengambil pakaian yang dibutuhkan, sementara sisanya melangkah ke arah kamar mandi dan keluar dengan membawa sebaskom air hangat juga handuk bersih. Kemudian mulai membersihkan tubuh si pemuda asing.

Tabib sendiri sudah sibuk dengan ramuannya, tampak serius mengeluarkan botol-botol kaca dari dalam tas, sambil sesekali tampak mencatat di agenda. Kazuya sendiri memilih menjadi pengamat, termasuk ketika pelayan lainnya datang dan mulai menambahkan sehelai demi sehelai pakaian ke tubuh pemuda berwajah bocah yang tampak belum berniat membuka kedua matanya. Kazuya bersumpah ia bisa melihat wajah para pelayan wanita itu merona hebat ketika melihat tubuh telanjang pemuda itu.

Setelah selesai, pelayan-pelayan itu mundur, melangkah meninggalkan ruangan. Tak lama, tabib telah siap dengan ramuannya. Menuangkannya dalam satu sendok dan membuka mulut pemuda itu untuk memasukkan cairan obat ke dalam tubuhnya.

"Ia akan segera membaik. Saya akan memeriksanya lagi saat dia tersadar."

Kazuya menatapnya selama beberapa detik tanpa mengatakan apa-apa, kemudian ia mengagguk kecil. "Kau boleh pergi sekarang. Akan ku panggil lagi begitu dia sadar."

"Kalau begitu saya permisi."

Dan mereka kembali berakhir berdua di dalam kamarnya. Kazuya membuang napas pendek sebelum kembali duduk di tepi ranjang. Memandangi wajah asing nan lugu yang terlelap semanis malaikat itu lekat-lekat. Ia tidak pernah melihat anak ini sebelumnya, tidak di sekitar istana, tidak pula di kota. Bertanya-tanya apa gerangan yang membuatnya sampai berakhir tak sadarkan diri di pantai favoritnya dalam keadaan telanjang bulat. Apa dia tenggelam? Korban penculikan? Kazuya tidak bisa menebak.

Sang Raja Muda menggerakkan tangannya untuk menyentuh rambut coklat gelap itu lagi. Merasakan betapa halus helai rambutnya yang cukup lebat. Ia tidak pernah merasakan ketertarikan jenis ini kepada manusia. Tapi hanya dengan memandangi wajah asing itu, benaknya terus saja dipenuhi dengan rasa penasaran. Pertanyaan demi pertanyaan yang terus bergerak dalam kepalanya, meminta untuk dijawab sesegera mungkin.

"Belakangan ini hidupku jadi lebih menarik." Kazuza berujar seraya tersenyum simpul. "Nyaris mati di pesta ulang tahunku sendiri, dinobatkan sebagai raja secara tiba-tiba dan sekarang menemukan satu orang asing yang nyaris mati di tepi pantai." Kazuya menatap naik-turun dada pemuda itu seiring tarikan napasnya yang halus. "Saat kau bangun, kau akan menceritakan segalanya. Siapa namamu, di mana tempat tiggalmu, serta apa yang membawamu sampai ke sini."

Satu jam kemudian, Kazuya melihat emas.

Ketika pemuda itu membuka mata perlahan-lahan, tampak berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya. Dan Kazuya melihat emas di balik kelopak matanya yang semula terpejam. Sepasang iris mata yang lebih berkilau dari batu amber menatap balik dirinya dengan bingung, lalu kemudian terbelalak lebar.

"Hey," Kazuya mencoba memasang senyum. "Kau baik-baik sa—agh!"

Kazuya meringis, merasakan nyeri di keningnya akibat tabrakan tiba-tiba dengan kepala si pemuda. Ia terbangun nyaris terlalu terburu-buru hingga terkesan seolah berusaha meloncat, kemudian menghantam kepala Sang Raja.

"Apa-apaan kau ini?" Kazuya menderu protes, menatap balik si pemuda yang kini tampak mundur hingga punggungnya menempel rapat pada sandaran ranjang. Kazuya mengerutkan alis, heran mendapati betapa kaget ekspresi yang terlukis di wajah pemuda itu. Matanya begitu ekspresif menggambarkan apa yang dirasa. Dan Kazuya melihat lebih dari sekedar keterkejutan, ada binar rasa tak percaya, antusiasme , juga setitik rasa haru di sana.

"Tenanglah, aku bukan orang jahat." Kazuya berusaha agar suaranya terdengar lebih lembut. Ia tak dapat menyingkirkan rasa tak nyaman ketika ditatap seperti itu oleh orang asing yang berusaha ia selamatkan.

"Aku menemukanmu dalam keadaan tak sadarkan diri di tepi pantai pagi ini, aku yang membawamu kemari dan—Oi, apa yang kau lakukan?!"

Pemuda brunnete menyibak selimut tebal yang semula menutupi tubuhnya dalam satu kali sentakan kuat dan cepat. Lantas bola mata emasnya kian melebar, bersinar lebih terang dari sebelum-sebelumnya. Sulit memutuskan mengapa persisnya ia berekspresi demikian. Terlalu terkesima karena memakai setelan pakaian berkelas ala penghuni istana, ataukah karena merasa ada bagian tubuhnya yang seharusnya ada di sana namun hilang?

"Ada apa?" Kazuya berhasil berkata. Memancing kembali jawaban dari sang pemuda yang sampai detik ini belum mengatakan satu patah katapun padanya. "Apa ada yang terasa sakit?"

Kali ini, ia beralih menatap Kazuya cepat, matanya berkilauan memancarkan emosi yang begitu beragam. Mau tak mau Kazuya harus mengakui betapa mempesonanya mata itu. Tanpa membuka suara, pemuda itu menggeleng ke arahnya. Kemudian mulai bergerak ke tepi ranjang. Kazuya menjadi pengamat yang patuh ketika menyaksikan pemuda itu perlahan-lahan menggerakkan kedua kakinya, terjulur ke lantai, lalu memijak dengan hati-hati.

Alis Kazuya menukik tinggi, ia mengamati bagaimana pemuda itu menampilkan air muka tak wajar ketika kedua kakinya berpijak pada lantai. Membuatnya berpikir, apa lantai kamarnya terasa sedingin itu? Kemudian, pemuda bermanik mata emas itu mulai bangkit dengan sangat perlahan-lahan, mencoba berdiri. Tapi tak sampai satu detik, ia limbung dengan ekspresi yang bahkan jauh lebih ganjil.

"Hey, tenanglah." Kazuya ikut berdiri, menggenggam sebelah lengannya. "Tidak perlu terburu-buru. Tabib mengatakan bahwa kau terkena hipotemia ringan sebelumnya, mungkin beberapa bagian tubuhmu menjadi kram karenanya."

.

Eijun menatap balik ke arah Kazuya seraya berkedip konstan. Lantas ia menggeleng kuat-kuat, lalu mencoba berdiri kembali.

Sial, ini menyakitkan!

Eijun tidak dapat mengabaikan rasa sakit yang mengiris telapak kaki barunya tiap kali mencoba berdiri. Kali ini, ia hanya berhasil bertahan selama tiga detik sebelum akhirnya mulai merosot.

"Sudah ku bilang, tenanglah!"

Eijun meringis merasakan cengkraman kuat pada lengan atasnya, suara Kazuya meninggi seolah mulai kesal. Ia bahkan tidak lagi tahu harus bereaksi seperti apa ketika Kazuya akhirnya dengan sigap membungkukkan badan dan mengangkat tubuhnya dalam gendongan dengan begitu mudah seolah tubuhnya berubah seringan kapas kemudian meletakkannya kembali di atas ranjang.

"Diam." Kazuya memperingatkan. Matanya berkilat serius dibalik lensa kacamatanya. "Aku tidak tahu darimana kau berasal, tapi ini adalah istanaku, dan aku adalah Raja di sini. Suka tidak suka, setiap perkataanku adalah mutlak harus kau patuhi." Suaranya terdengar lebih tajam dan dingin. Kesombongan khas aristrokrat menyelubunginya dalam aura intimidasi kental. Eijun tertegun menatap wajah itu. Sedikit tak menyangka Kazuya punya sisi lain seperti saat ini. Sang Raja berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, menatap ke arah Eijun dengan tatapan tajam. "Kau mengerti?"

Eijun menelan ludah, mengangguk sebagai jawaban. Kemudian Kazuya menatapnya dengan ekspresi sedikit melunak, ia menoleh ke arah pintu dan bicara dengan suara sedikit keras. "Panggil tabib istana ke sini, sekarang!"

Eijun tak berani menatap Kazuya, rasanya sulit dipercaya kali ini dia sungguh berada di dalam istana pamuda itu. Berbaring di ranjangnya dan berada sedekat ini tanpa perlu repot memikirkan siapa dirinya yang sebenarnya. Eijun sudah memastikan bahwa perkataan Ursula benar, ia punya sepasang kaki dan ekor ikannya menghilang tanpa bekas. Ia menjadi manusia.

"Kau sudah tenang sekarang, huh?"

Kali ini Eijun tersentak kecil, kembali bertatap dengan sepasang mata topaz karamel Kazuya yang menatapnya dengan rasa penasaran meski samar. Eijun mencoba bernapas normal, dan mengangguk kecil. Selanjutnya ia mencoba duduk perlahan-lahan. Kazuya menatapnya begitu intens, membuat Eijun malu luar biasa seolah ia sedang ditelanjangi, maka ia hanya menunduk, mencoba untuk berfokus pada kancing kemejanya alih-alih menatap balik Kazuya.

"Apa aku menakutimu?"

Eijun menggeleng. Kau membuatku merasakan segalanya. Lebih dari sekadar rasa takut, tapi juga kebahagiaan tak terkira hanya dengan menatap wajahmu.

"Kau tidak perlu takut padaku. Aku tidak akan membunuh sembarang orang hanya karena ia tergeletak tak sadarkan diri di sekitar istanaku."

Kali ini Eijun menoleh ke arahnya, menyesal kemudian karena yang ia dapat justru seringai terlukis jail di bibir tipis Kazuya. "Yeah, pagi yang mengejutkan. Setelah sekian lama aku tidak punya waktu untuk berjalan-jalan di pantai favoritku, pagi ini aku malah menemukan orang asing tergeletak tak sadarkan diri, tubuh sedingin es, nyaris tertimbun pasir dan telanjang tanpa sehelai benangpun."

Eijun bisa merasakan wajahnya memanas. Ia memutuskan sebaiknya tak mencari tahu sudah semerah apa wajahnya saat ini.

"Apa kau punya nama?"

Eijun membuka mulutnya, mencoba menjawab, namun tak sedikitpun suaranya keluar. Lebih dari itu, ia justru merasakan sakit ketika mencoba bersuara. Eijun menutup mulutnya cepat, membelalak lebar. Ia baru tersadar telah merelakan Ursula mengambil lidahnya sebagai bayaran atas sepasang kaki.

"Kau… bisu?"

Aku bisa bicara! Aku bisa lebih dari sekadar bicara, aku bisa bernyanyi dengan sangat merdu. Aku pernah bernyanyi untukmu, Kazuya. Dulu... setidaknya begitu. Dengan menekan rasa pahit di hatinya, Eijun mengangguk muram.

Pendar di mata Kazuya bergetar aneh, nyaris tampak seperti tatapan prihatin dan merasa bersalah. Dan Eijun tak suka akan hal itu, ia tak suka Kazuya mengasihaninya. Ia tidak lemah.

"Permisi, Yang Mulia."

Keduanya kompak menoleh, seorang pria tua berdiri beberapa langkah dari belakang Kazuya saat ini. Tatapannya menghangat ketika menoleh ke arah Eijun. Seolah ia merasa lega bisa melihat Eijun. Kazuya mengangguk tipis sebagai jawaban. "Kemarilah," katanya. "Dia sudah sadar, tapi sepertinya dia sangat kesakitan saat mencoba berdiri."

Sang Tabib mengangguk, lantas berjalan mendekat ke arah Eijun. Mulai memeriksa kedua kaki manusianya. Eijun berjengit tak nyaman ketika tabib itu menyentuh kakinya, di istanaya tak seorangpun tanpa persetujuan bebas menyentuh tubuhnya.

"Aku tidak melihat adanya cedera ataupun luka serius di kakimu. Bisa kau katakan bagian mana yang sakit, Tuan?"

"Dia tidak bisa bicara." Kazuya menjawab datar. Tabib itu kemudian menatap Eijun dengan tatapan bersalah.

"Maafkan aku, Tuan. Pertanyaanku mungkin telah menyakitimu."

Eijun menggeleng, Tidak ada yang terasa sakit. Tidak selama aku tidak mencoba menggunakan kedua kakiku.

"Kalau begitu mari kita coba lagi." Kata tabib dengan sabar. "Cobalah berdiri lagi." Pria tua itu mengulurkan tangannya untuk membantu, tapi Eijun menolak sopan. Mencoba berdiri dengan usahanya sendiri, berhasil menahan rasa sakit tak terkira di kakinya selama beberapa detik, lalu menguatkan diri untuk melangkah. Eijun bisa merasakan tatapan mata Kazuya lekat mengikutinya. Ekspesinya tegas dan waspada, kokoh membentuk garis-garis aristokrat dan pesona keangkuhan dalam paras tampannya yang membuat seluruh perut Eijun berputar hebat.

Tiga langkah, Eijun kembali limbung. Positif menghantam kerasnya lantai andai kedua tangan Kazuya tidak sigap menangkapnya.

"Sebenarnya ada apa denganmu?" Kazuya membantunya kembali duduk di ranjang.

"Biar saya periksa kembali." Tabib istana berjongkok untuk memeriksa kakinya. Tapi pria tua itu tidak menemukan satu pun hal yang salah. Ia menggeleng, tampak kecewa kemudian mendongak ke arah rajanya. "Tidak ada yang salah dengan kakinya, Yang Mulia."

Kazuya mengernyit, ganti menatap Eijun dengan pandangan menyelidik penasaran. "Lalu kenapa dia terlihat begitu kesakitan setiap kali mencoba berdiri atau berjalan?"

"Saya juga tidak tahu. Bisa saja dia sudah tenggelam atau hanyut terbawa ombak dan terombang-ambing di lautan dalam waktu yang cukup lama. Tidak dapat menggerakkan anggota tubuhnya dengan leluasa selama berada di lautan, terutama kakinya. Hal yang demikian itu bisa saja menimbulkan trauma tersendiri. Sehingga sekalipun sekarang ia sudah berada di daratan, perasaan takut itu masih menghantuinya dan menimbulkan sugesti rasa sakit di kedua kakinya."

Eijun ingin berteriak memprotes. Mengatakan dengan lantang bahwa ia tak mengalami trauma atau depresi dan sejenisnya. Rasa sakit di kakinya sungguh nyata. Tapi yang bisa ia lakukan hanyalah mengatupkan rahangnya dengan keras, mengertakkan gigi serta mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat.

Ini bahkan belum genap satu hari ia berada di daratan, tapi emosinya sudah terkuras sebanyak ini. Eijun sudah melakukan bayak hal hanya demi berada di sisi Kazuya. Ia tidak boleh mundur. Ia tidak bisa menyerah begitu saja.

"Baiklah," Kazuya berkata, berhasil mengambl alih perhatian. Mata mereka bertemu dalam segaris udara yang tak terlihat. Eijun begitu ingin bicara padanya, tentang banyak hal. Namun lidahnya tetap kosong selagi Kazuya memandanginya dengan penuh pertimbangan. "Kau boleh tinggal di sini sampai kakimu benar-benar pulih. Kau akan diperlakukan seperti tamu kerajaan, diberikan kamar sendiri, pakaian dan segala hal yang kau butuhkan. Tapi meski begitu, kau akan tetap mendapat pengawasan." Kazuya tersenyum dingin. Ada sebersit rasa enggan, kecurigaan dan cemooh dalam tatapan matanya. Sesuatu yang tak pernah sekalipun Eijun bayangkan akan didapatnya dari Kazuya. "Hanya karena aku menemukanmu dalam keadaan menyedihkan, bukan berarti aku percaya sepenuhnya bahwa kau cuma bocah malang yang terbawa ombak sampai ke pantaiku. Kemunculanmu tepat satu hari setelah penobatanku jelas terlalu mencurigakan."

Eijun terpaku mendengar kata-katanya. Ia mungkin bisa mengerti mengapa Kazuya terkesan memasang dinding dari orang asing sepertinya. Tapi yang ia tidak mengerti adalah mengapa hatinya terasa sepedih ini ketika manusia itu memandangnya penuh kesangsian dan rasa skeptis. Terlebih ketika mata Kazuya memindainya dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan dingin.

"Siapa yang tahu? Di balik wajah polosmu, kau mungkin berdarah Black-Wildlings dengan segala tipu muslihat serta niat jahat untuk menjatuhkanku."

~oo0oo~


tbc


ad aciem: bahasa Latin untuk bentuk formasi tempur
espresso: kopi pekat yang dibuat dengan cara menyalurkan uap air ke biji kopi panggang yang sudah diserbukkan sampai halus
merman: putra duyung (memaid untuk perempuan)
nereid: roh alam perempuan penjaga laut
nymph: peri atau roh alam perempuan
Poseidon: Dewa Penguasa Samudera dari mitologi Yunani; anak Titan Kronos dan Rhea, saudara Zeus dan Hades. Dewa laut juga pengguncang bumi (gempa), dewa pencipta kuda, Neptunus adalah wujud Romawinya
Triton: Putra Poseidon dan istri sahnya Amphitrite

a/n: Sisipan lirik berbahasa Inggris setelah scene Kazuya tersadar di pantai adalah lagu yang Eijun nyanyikan untuk Kazuya berjudul Part of Your World (reprise version) milik Disney. Black-Wildlings adalah karangan semata karena otak saya masih diracuni ending GOT, trims :)

Nah, pada akhirnya ini long two-shoot, jadi semoga kalian diberi kekuatan menahan rasa bosan dan kantuk selama membacanya (padahal dongeng memang disampaikan untuk pengantar tidur sih). Gimana menurut kalian? Apa ini terlalu OOC? Well let me know how do you think, guys *grin* kolom review sangat terbuka untuk kalian semua ^^

Thanks for reading, and see you at next chapter!