Apa gunanya seseorang jika dia datang lalu pergi tanpa meninggalkan pesan? Apa gunanya keberadaan kalau hanya akan menjadi pengganggu? Apa gunanya teman jika yang kau lihat bukanlah pertemanan?

Jawaban atas semua itu, tidak ada gunanya.

Mereka mengukir namamu di cerita mereka dengan satu barisan yang berisi definisi omong kosong. Dilirik percuma, dibaca tidak ada gunanya. Hanya ada dendam yang tersisa. Kepercayaan yang langsung dihancurkan dalam satu ketukan amarah. Lalu kenapa masih di sini, apa yang kau harapkan?

Mereka datang hanya untuk memuji, hanya untuk ego, hanya untuk keuntungan belaka. Mereka datang membawa masalah, memberi masalah, dan melempar masalah. Mereka datang dengan tawa palsu, senyum palsu, kasih sayang palsu, kebahagiaan palsu juga. Sesungguhnya, mereka adalah bentuk dari sebuah dusta yang sejati.

Menghancurkan diri sendiri? Menyiksa batin? Atau hanya sebuah sangkalan yang terbukti jelas bersalah?

Apapun itu, Miyuki hanya merusak dirinya.

Beratus kali dia dikhianati, beratur kali dia percaya, beratus kali rasa kecewa membuncah, tapi dia masih mencari jalan setapak yang indah kokoh berhias cahaya.

"Apa kau, seorang masokis?" tanyanya pada Miyuki. Sosok dirinya yang sejak dulu selalu memperhatikan Miyuki dari bayang-bayang.

"Aku hanya menginginkan ketulusan." Jawab Miyuki Kazuya.

Senyumnya terlukis indah, sangat indah sampai Miyuki bisa merasakan betapa sakitnya dan perihnya senyum itu menusuk jantungnya. Rasa sakit, obat terlarang paling menggoda yang selalu Miyuki konsumsi. Candu tanpa biaya bisa dikonsumsi kapan pun yang Miyuki mau.

"Hei, apakah kau masih mengharapkan kenyataan fana itu?" suara itu menusuk jantungnya, sangat dalam, entah sedalam apa. Miyuki merasakan cukup bisa membuat napasnya sesak, seperti dicekik.

"Teman? Sahabat? Kenalan? Apa mereka di matamu?" kegelapan menyelimuti hatinya, paru-parunya mulai dijerat kawan berduri.

"Apa kau lupa, fakta kenapa kau selalu menjadi sisi kegelapan?" tangan yang lentik, merambat pada leher jenjang Miyuki Kazuya. Tangan yang kekar, menutup kedua mata Miyuki. Membutakannya dari cahaya yang sejak awal tidak pernah ada.

"Kau adalah aku, aku adalah kau. Jika kau kegelapan, maka aku adalah rintihan sakitmu." Suara itu, membisikkannya dengan guna-guna kenyataan pahit.

"Aku, Miyuki Kazuya, akan selalu mengingatkan peran terbesarmu, Miyuki Kazuya." Suara yang familiar, Miyuki mengenalnya.

Sementara tangan lentik dengan kuku yang terasa menyakitkan mengggores kulit mulai mencekiknya sangat kuat, tapi Miyuki masih bisa bernapas. Sebuah keajaiban aneh tidak masuk logika. Miyuki memilih memejamkan matanya.

"Kazuya, tidak akan aku biarkan kau bahagia."

"Ibu..."

...

"TIDAK ADA KAPTEN YANG BERKATA SEPERTI ITU!"

Teriakan Zono menggema di telinga Miyuki."

"Zono, hentikan. Besok kita bertanding."

Suara Shirasu membuat Miyuki kesal entah kenapa, padahal hanya melerai.

"Lalu apa yang harus aku katakan? Kita datang ke sekolah ini untuk bermain baseball. Kita datang bukan untuk bermain-main dan mecari teman. "

Masa bodoh dengan pemilihan kata.

"Kita tidak bisa saling berpegangan tangan dan berjalan bersama-sama selamanya."

Fakta kan, Miyuki memilih mengatakannya.

"Bahkan anak kelas tiga sudah memikirkan jalan yang berbeda-beda. Kita berpisah hari ini atau pun nanti? Tidak ada bedanya kan? Aku harap mereka memang punya tekad..."

Harap? Miyuki tidak menaruh harapan apapun pada siapapun kecuali jika di dalam lapangan. Dia berbohong.

"Tunggu dulu, jangan bicara seolah-olah mereka mau berhenti! Mereka belum bilang apa-apa soal itu! Kalau mereka memang ingin keluar, mereka takkan mungkin menemuimu! Mereka bicara denganmu karena membutuhkan sesuatu! Jangan paksakan pandanganmu pada orang lain!"

Miyuki tidak memaksa, dia hanya mengatakan apa yang ada di pikirannya. Pendapatnya sendiri, bersifat demokrasi. Lalu kenapa malah bicara memaksakan? Apa yang salah dengan bersikap jujur? Atau mereka memang lebih suka dirinya yang berbohong? Sepertinya.

"Miyuki, aku tahu maksudmu. Tapi jika dia benar-benar ingin berhenti, dia takkan bisa bekerja dengan baik saat mengawasi pertandingan itu."

Miyuki tertegun. Tapi bereaksi seperti es mencair diam-diam.

"Semuanya punya kecemasan dan rasa takutnya sendiri. Apa aku bisa tampil reguler? Apa aku bisa tampil di setiap pertandingan? Bagaimana kalau aku tidak dapat seragam? Kita semua takut, tapi bukan berarti kita akan berhenti hanya karena itu. Karena kita tahu jika semua juga merasa takut."

Takut? Takut? Tertahan karena takut? Kenapa takut? Takut itu apa?

"Kau sudah menjadi pemain reguler sejak kelas satu dan kau selalu bernafsu menang, jadi kau mungkin takkan mengerti perasaan kami. Tapi bukankah sudah jadi tugas kapten untuk memimpin semua orang menghadapi rasa takut dan kecemasan mereka?"

Apa gunanya semua tindakan dan ucapan Miyuki kalau mereka sendiri tidak mau melawan diri mereka sendiri? Ingin membunuhnya dalam beribu masalah yang sengaja dilemparkan padanya hanya karena dirinya KAPTEN? Miyuki juga punya perasaan.

"Jika memang itu cara pandangmu, dan kau ingin masing-masing dari kami bermain secara individu, maka lupakanlah!"

Tenang saja, dalam hitungan detik Miyuki akan dengan senang hati melupakannya.

"Aku takkan menganggapmu sebagai kapten kami lagi!"

Terima kasih.

...

Tujuh angka. Fielder yang bermain buruk. Error yang tidak terhitung berapa jumlahnya. Selisih satu angka dan pelatih akan diganti jika kalah. Permainan away yang memberatkan Seido. Sang ace yang cedera dan tidak bisa bermain selama dua minggu.

Kalian tahu apa itu artinya?

Kalian tahu kenapa bisa terjadi?

Kalian tahu bagaimana?

Kalian tahu kenapa sampai jatuh sedalam itu?

Kalian tahu kenapa?

Tangan kekar Miyuki mengusap cermin, membelai pantulan dirinya yang tersenyum. Kilat matanya sirna, hawa kosong memenuhi sekaligus mengisi kegelapan yang sejak lama terpendam. Rasa bahagia itu menyeruak, Miyuki tidak bisa membohongi dirinya sendiri melihat pertandingan tadi. Semuanya sangat menghibur. Pengalaman tidak terlupakan.

Miyuki tertawa kecil, suaranya sangat pelan, tapi jika jeli, makan akan terasa mengerikan.

"Ini semua adalah karma, kalian meluapkan amarah tanpa mendasar kalian padaku. Dan semua berbalik pada kalian, hancur dan membekas kuat." Miyuki tidak tahan mengeluarkan suaranya, berbincang pada pantulan dirinya.

"Benar," sebuah suara yang familiar, memeluk leher Miyuki lembut dan mengusap rambutnya, "beginilah putraku yang seharusnya. Hancurkan mereka, berikan penderitaan sebanyak-banyaknya. Biarkan mereka yang menyakitimu mendapatkan pembalasan dua–tidak, sepuluh kali lipat lebih dari yang mereka berikan padamu, Kazuya."

Miyuki tersenyum, tangannya menyentuh lengan halus yang melingkar sempurna memberikan kehangatn, "Tentu saja, ibu."

.

.

.

Besambung...