Dua belas : Kei, Hinata, dan Sasuke

.

.

Jika di dunia modern, calon pengantin wanita yang hendak menikah akan disibukkan oleh ini-itu menjelang hari pernikahannya. Calon pengantin wanita akan memesan catering, menyewa gedung, fitting gaun pengantin, mereka bahkan sibuk memilih siapakah orang yang akan merias mereka kelak.

Tapi situasi Hinata saat ini…

Ketika Hinata mendengar kabar jika ia akan dinikahkan dengan seseorang (ha! Siapa yang bisa mengira Hinata akan menikahi pria itu?!) ia langsung diasingkan ke kediaman pribadinya tanpa sempat mengajukan protes. Seluruh anggota keluarganya secara kompak mengatakan 'kau hanya perlu duduk manis dan menunggu hari pernikahanmu tiba. Serahkan semuanya pada kami'. Mereka tidak mengijinkan Hinata melakukan apa-apa! Bahkan mereka menjaga Hinata selama 24 jam sehari karena takut Hinata akan kabur atau melakukan tindakan ceroboh demi menggagalkan pernikahan ini!

Hinata sangat tersiksa! Ia tidak bisa lagi berjalan-jalan seperti biasa. Ia bahkan dilarang mengunjungi Neji ataupun Hanabi! Yang Hinata lakukan setiap hari hanyalah berguling-guling di kediaman pribadinya dan melawan virus kebosanan!

Hinata menghela nafas sambil mengubur diri di dalam futon. Karena terlalu banyak tidur siang, ia jadi tidak bisa tidur saat malam. Mungkin rasa stress yang ia alami juga bisa menjadi penyebab mengapa ia tidak bisa tidur.

Hinata tiba-tiba bangkit bangun saat merasakan ada yang tidak beres. Mengapa kediaman pribadinya begitu sepi? Ini belum begitu larut, biasanya saat-saat seperti ini ia masih bisa mendengar langkah kaki para pelayannya atau suara percakapan yang begitu lirih. Tapi saat ini…

"Chisa? Myori?" Hinata memanggil dua pelayan pribadinya.

Hening… tidak ada jawaban.

"Chisa! Myori!" Hinata semakin menaikkan volume suaranya. Saat ia tidak mendapatkan jawaban, hatinya merasa takut dan panik. Chisa dan Myori bukan pelayan yang pemalas, mereka selalu siap siaga dan langsung datang saat Hinata memanggil mereka.

Suara langkah kaki yang semakin mendekat membuat Hinata membeku. Itu… itu bukan langkah kaki milik pelayannya. Suara langkah kaki itu terdengar berat dan lambat, tidak seperti milik pelayannya yang ringan dan cekatan.

Belum sempat Hinata melakukan apapun, pintu kamarnya langsung digeser dan menampilkan sosok… laki-laki?

Hinata langsung bangkit dari futonnya dan bersikap waspada. Apa yang hendak dilakukan oleh pria itu, Hinata tidak tahu. Yang jelas Hinata tidak ingin hanya diam melongo di futon dan masih terbungkus selimut. Hinata memang tidak bisa membela diri, namun dalam posisi waspada seperti ini setidaknya dia bisa menghindari ayunan pedang, menyingkir dan berkelit, atau jika beruntung mungkin Hinata bisa menghadiahkan sedikit tendangan.

Dalam keremangan kamar, Hinata tidak bisa melihat dengan jelas seperti apa wajah laki-laki itu. Menyelinap ke kediaman seorang gadis saat malam langsung menjadikan orang ini sebagai pria 'jahat' dan mustahil memiliki niat baik.

Hinata ingin menjerit, namun mulutnya serasa dikunci. Jika orang ini ingin membunuhnya… semoga dia bisa melakukannya dengan cepat. Hinata memang takut mati… namun ia lebih takut jika harus menderita dan kesakitan.

Laki-laki itu melangkah maju dan ketakutan Hinata semakin menjadi-jadi.

"Kau sudah berubah banyak."

Huh… laki-laki itu berbicara?

Tunggu tunggu… mengapa laki-laki ini berbicara seolah-olah dia mengenal Hinata?

"Kau lupa padaku?"

Hinata masih bungkam.

Laki-laki itu menghela nafas lalu dengan menggunakan jarinya dia mengisyaratkan Hinata untuk mengikutinya.

Apakah Hinata mengikutinya? Tentu saja. Itu karena laki-laki itu mengajaknya menuju halaman. Dalam hati kecilnya, Hinata bertekad akan mengambil setiap kesempatan kecil untuk kabur dan meminta tolong. Ketika Hinata melihat guci tanah liat yang dipenuhi bunga, ia langsung menyambarnya untuk berjaga-jaga seandainya muncul situasi dimana ia harus memukul kepala orang itu demi keselamatan diri.

Hinata menoleh ke kiri dan ke kanan, akan tetapi ia tidak menjumpai pelayannya. Apakah terjadi sesuatu pada mereka?

Saat berada di dalam ruangan, raut wajah laki-laki itu tidak terlihat jelas karena gelap. Saat berada di halaman seperti saat ini, Hinata bisa melihat dengan jelas wajah laki-laki itu berbekal sinar rembulan yang terang.

Guci yang berada di tangan Hinata langsung terjatuh ke tanah dan retak.

Dengan gugup Hinata langsung membungkuk untuk memberi hormat pada Sang Pangeran… yang juga memiliki status sebagai calon suaminya…

Ini adalah situasi yang absurd dan menggelikan! Seorang Pangeran yang terhormat mengendap-endap ke kediaman pribadi seorang gadis saat tengah malam?! Itu… itu sangat…

"Kau tidak merasa senang dengan perjodohan ini."

Hinata hanya bungkam meski ingin sekali berteriak HELL YES! Tapi demi alasan kesopanan, mau tidak mau Hinata harus memberikan respon. "Perjodohan ini merupakan sebuah kehormatan bagi hamba." Setelah mengatakan itu, mulut Hinata terasa getir oleh kebohongan yang baru saja terucap.

Sasuke meneliti penampilan Hinata dari pucuk rambut hingga ujung kaki. Sepasang matanya yang hitam terlihat dalam dan kelam tanpa emosi apapun. Hinata sedikit membungkukkan kepala untuk menunjukkan sikap hormat seperti yang diajarkan oleh keluarganya selama ini. Kontak mata secara langsung pada lawan jenis terkadang dianggap tidak sopan.

Hinata menggigit lidahnya agar tidak terkesiap saat punggung tangan yang hangat membelai pipinya. Tanpa sadar Hinata mundur selangkah, namun tangan Sasuke melingkari pinggangnya dan membuat jarak mereka semakin dekat.

"Yang mulia." Suara Hinata berubah tajam. Ia kemudian meletakkan telapak tangannya di dada Sasuke demi membuat jarak. Waktu telah membuat Sasuke berubah. Si bocah kecil yang kurus telah berubah menjadi pemuda yang tinggi dan tegap.

Si brengsek ini telah menjahilinya saat festival lentera dulu. Dia juga telah menyamar sebagai Kei. Seandainya Hinata mengetahui identitas Kei yang sebenarnya, Hinata akan langsung menarik janji yang ia buat pada Kei. Hinata sama sekali tidak ingin terlibat dengan keluarga istana dan semua intriknya. Hinata hanya menginginkan kehidupan yang bebas dan sederhana.

Sasuke meletakkan pipinya di pucuk kepala Hinata. "Kenapa kau tidak memperlakukanku seperti dulu?"

"Yang Mulia adalah Pangeran terhormat sedangkan hamba hanyalah perempuan rendahan. Hamba tidak berani bersikap lancang." Status mereka tidaklah sama…

"Aku merindukanmu." Sebuah kalimat singkat yang penuh dengan kejujuran dan kesungguhan.

Hinata menghela nafas sambil meletakkan dahinya di dada Sasuke. Kalimat yang diucapkan penuh dengan ketulusan itu entah kenapa berhasil membuat hatinya berdesir.

Kei adalah Sasuke.

Sasuke adalah Kei.

Dua orang itu sama meski terlihat berbeda.

Pemuda yang tengah memeluknya saat ini dulunya adalah si bocah yang lemah dan cengeng. Pemuda yang sedang berdiri di hadapannya ini adalah teman masa kecil yang telah mewarnai hari-harinya.

Aku merindukanmu…

Dan Hinata juga merindukannya…

Dia merindukan si bocah bermata hitam yang selalu serius dalam menghadapi segala hal. Dia merindukan si bocah yang pura-pura terlihat kuat meski sebenarnya dia sangat rapuh. Dia merindukan Kei… dan selalu memikirkannya… mengkhawatirkannya… dia selalu berdoa dimanapun Kei berada semoga Kei akan baik-baik saja karena dunia tidak pantas membuat seseorang seperti Kei menjadi sengsara.

Tangan Hinata kini mencengkeram kimono Sasuke. "Kau baik-baik saja…" Tangan itu kini berubah gemetar. "Aku bahagia karena kau baik-baik saja… Diluar sana penuh dengan peperangan dan aku tidak pernah tahu seperti apa keadaanmu… aku takut kau tidak akan pernah kembali…"

Sasuke menghela nafas lega. Hinata-nya telah kembali…

Ia tidak menginginkan perempuan kaku yang menjunjung tinggi kesopanan. Ia hanya menginginkan Hinata-nya yang dulu… ia hanya menginginkan Hinata yang tidak kenal takut dan selalu tertawa pada hal-hal sederhana… ia hanya menginginkan Hinata yang selalu berkata dengan terus terang dan menceritakan hal-hal yang luar biasa…

"Aku merindukanmu." Sasuke kembali mengucapkan itu. Kali ini ia mengucapkannya dengan penuh kelegaan dan rasa terima kasih.

Terima kasih karena ia masih diberi kesempatan.

Terima kasih karena ia masih hidup.

Terima kasih karena Hinata tidak melupakannya.

Terima kasih karena perasaan Hinata tidak berubah.

Angin bertiup perlahan dan membuat daun-daun bergemerisik. Sinar bulan yang temaram menciptakan bayangan sepasang hati yang menyatu.

"Menikahlah denganku, Hinata."

.

.

Tbc…

Memang singkat sih… tapi setidaknya diupdate. Huahahaha…