Disclaimer: Pandora Hearts © Jun Mochizuki

Plot is my own. Author tidak mengambil keuntungan materil apapun dalam pembuatan ff ini.

.

Tittle : Unbreakable Bond

Genre : Slice of Life, Drama, Family

Rating : T

Pairing : Oz x Alice, etc

Warning! : Modern AU and canon for flashback, bit OOC, OC, typo(s), dan kekurangan lainnya. Don't Like? Don't Read. Please Leave This Page!

Enjoy and Hope You Like It!

.

Ada sesuatu yang hilang….

Atau apakah itu seseorang?

Pertama kali ia memerhatikan tidak adanya orang ini adalah ketika ia berusia lima tahun.

Ia ingat mengejar seekor kupu-kupu dengan Alicia di perkebunan anggur Kakeknya ketika mereka berlibur ke Perancis yang merupakan Negara asal Ibunya. Alicia ikut karena dia adalah sahabat baiknya sekaligus tetangganya di London. Pada titik tertentu ia ingin berbalik dan berteriak, "CEPAT!" … hanya untuk menyadari bahwa tidak ada seorang pun di belakangnya. Alicia berlari di depannya karena anak itu selalu lebih cepat darinya dalam hal bermain kejar-kejaran. Lalu siapa yang ia pikir ada di belakangnya? Ia yakin betul bahwa yang ia maksud saat itu bukanlah Kakak laki-lakinya, sebab Kakak yang lebih tua tiga tahun darinya tersebut lebih suka bermain perang-perangan daripada kejar-kejaran. Lantas siapa yang ia cari?

Satu tahun kemudian ia mulai sering mencari apapun yang hilang, tetapi mencari sesuatu yang tidak bisa diingatnya tentu sangat sulit.

"Mommy, Daddy! Bisakah kalian membantuku menemukan sesuatu?"

"Apa yang kau cari, honey?" tanya ibunya saat itu.

"Aku… tidak ingat," jawabnya saat itu.

"Bagaimana kami bisa menemukan apa yang sedang kau cari jika kau sendiri tak ingat apa itu?" Kakaknya menimpali.

Sedangkan Ayahnya yang introvert hanya tersenyum hangat padanya lalu mengacak-ngacak rambutnya lembut.

"Akan kami bantu jika kau sudah ingat apa itu, nak!" ujar Ayahnya sebelum kembali membaca buku. Ayahnya memang hobi membaca buku dan juga bermain catur.

Ketika dia berumur tujuh tahun pernah terlintas di dalam benaknya untuk menjadi seorang Fotografer kelak, padahal Ayahnya adalah seorang barista asal Italia sekaligus pemilik Café yang lumayan terkenal di Perancis dan UK. Sedagkan Ibunya adalah CEO perusahaan yang memproduksi wine, dan Kakeknya adalah petani anggur sejak beliau masih seusianya. Namun entah mengapa ia lebih tertarik pada fotografi? Ketika Ayahnya bertanya mengapa ia sangat suka mengambil foto? Ia menjawab karena ia suka mengabadikan gambar-gambar yang menurutnya menarik. Ia juga sangat suka mengabadikan setiap moment bersama keluagarnya, tetapi kebenarannya lebih dari itu dan jauh lebih rumit.

'…karena aku ingin melanjutkan apa yang tidak bisa dia lakukan?' tetapi siapa 'dia' yang ia maksud? Ia sama sekali tidak ingat.

Saat ia tumbuh lebih besar, perasaan kehilangan sesuatu yang penting tersebut semakin meningkat sampai mencapai titik dimana hal tersebut menjadi tak tertahankan. Pernah suatu hari ketika ia berusia sepuluh tahun ia terbangun dari tidurnya karena mimpi buruk. Saat itu ia yang kebetulan belum berani tidur sendirian turun dari tempat tidur miliknya dan pindah ke tempat tidur Kakaknya sambil menangis.

"Shorty, ada apa? Mengapa kau bangun jam segini? Menganggu tidurku saja!" kata Kakaknya saat itu dengan ekspresi galak.

Ia langsung memeluk Kakaknya erat sekali sambil terus terisak dan berkata. "Ed, jagan pergi ke tempat yang tak bisa kujangkau! Kumohon jangan tinggalkan aku! Aku masih ingin menghabiskan banyak waktu denganmu! Dan maaf karena saat itu aku tidak bisa menangis, entah mengapa air mataku tak bisa keluar."

Saat itu Kakaknya hanya mengerutkan kening, tak mengerti mengapa Adik kesayangannya berbicara melantur? Namun tentu saja sebagai seorang Kakak dia tak ingin melihat Adik satu-satunya menangis dan gemetar seperti itu, jadi dia tersenyum sambil membelai kepala Adiknya penuh sayang.

"Aku tidak akan meninggalkanmu, Rene. Aku di sini sekarang. Ayo tidur lagi!"

Saat ia berusia sebelas tahun, ia ingat menulis sesuatu di notebook-nya. Ia baru belajar photoshop dan saat itu pikirannya sedang buntu dan ia sengaja membuat dirinya sibuk. Ia mulai menggambar coretan kecil di atas kertas. Ia membuat sketsa seseorang tanpa wajah karena ia tidak tahu harus menggambar wajah seperti apa dalam sketsa kasarnya tersebut. Selang beberapa menit kemudian sosok yang ia coba lukis telah berubah menjadi untaian kata-kata. Mata crystal blue-nya melebar begitu ia membaca kalimat yang familier.

'Tidak peduli apa yang terjadi, aku akan selalu berada di sisimu.'

"Aku tidak percaya kata selamanya," dia bergumam pelan. Ia mengerutkan alisnya sambil memelototi sebuah kalimat yang baru saja ia tulis. Bertanya-tanya pada dirinya sendiri, siapa yang mengatakan kalimat itu padanya? Apakah Kakaknya?

Ia menggeleng. Tidak. Kakaknya hanya pernah berkata, 'Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku di sini sekarang.'

Ia kemudian memerhatikan sketsa yang ia buat. Sosok seorang pria muda dengan rambut berwarna hitam ikal, topi fedora menghiasi kepalanya. Dia sangat tinggi dan pada sketsa tersebut dia mengenakan setelan serba hitam dengan model pakaian abad ke-19. Namun ia tidak yakin mau menggambar wajah orang tersebut seperti apa. Alih-alih ia menggambar sosok gagak raksasa di belakang sketsa orang itu. Penampilan gagak itu terlihat mengerikan. Ia bahkan melengkapi gambar sketsa tersebut dengan bulu-bulu gagak yang melayang di udara hingga akhirnya berjatuhan ke tanah.

"Siapa yang hendak aku gambar sebenarnya?" gumamnya pula.

Ia mulai menggambar lagi. Kini bukan lagi gambar sketsa yang ia buat. Namun ia menggambar dengan bantuan aplikasi Adobe Photoshop versi terbaru di laptopnya. Ia menggambar dua sosok yang berbeda. Seorang pria berambut putih yang membawa boneka aneh di atas pundaknya, berdiri di samping pemuda tersebut adalah seorang gadis berambut peach lurus panjang dengan asesoris pita besar yang menghiasi rambutnya yang tampak begitu halus nan lembut. Gadis itu sepertinya seumuran dengan sahabatnya—Alicia Luce Sweeken—. Pakaian yang mereka kenakan pun merupakan model pakaian abab ke-19. Namun lagi-lagi ia tidak yakin mau menggambar wajah mereka seperti apa? Dengan setiap sketsa kasar dan gambar berwarna yang dibuatnya, ia berharap dapat memecahkan misteri ini sedikit lebih banyak … sepotong demi sepotong. Hanya saja tidak ada tempat untuk memulai. Tidak ada satupun yang terbentang di hadapannya.

Ketika ia berusia dua belas tahun, orangtuanya membawanya ke psikiater karena ia semakin sering bermimpi buruk tentang Victorian Era di mana ada dia di dalamnya. Ia sering bermimpi tentang monster-monster aneh yang acap kali berkeliaran di sekitar kota Revielle. Sebuah tanda tak kalah aneh berbentuk jam menempel secara permanen pada dada kirinya. Jarum jam dalam tanda aneh tersebut terus bergerak seiring berjalanannya waktu, dan setiap pergerakkan jarum tersebut akan mengirimkan rasa sakit yang membakar di dadanya. Yang terburuk dari semuanya adalah mimpi tentang kematian Alicia dan juga tentang dirinya dalam wujud kelinci hitam raksasa yang membantai hampir semua tamu undangan yang hadir dalam sebuah acara besar di ibu kota yang disebut Sablier. Ia bahkan bermimpi tentang seorang paman yang sangat menyayanginya hingga akhir hayatnya. Selain itu, ia mengingat dengan jelas harapan terakhir pria itu.

'I wish for you to be happy, Oz. That is what I wish for you from the bottom of my heart. I love you … with all my heart. I love you.'

Sejak saat itu dia sering berhalusinasi tentang banyak hal. Pada suatu waktu ia bahkan merasa takut pada Ayahnya tanpa alasan, padahal Ayahnya tidak pernah melakukan hal yang buruk kepadanya. Begitu Ibunya membawanya ke psikiater, dokter psikiater mulai menanyakan beberapa hal padanya, terkadang ia akan melakukan hipnoterapi dan dokter muda tersebut juga memberinya obat-obatan anti depresan.

Di sekolah, ia sering sekali menjadi korban bullying karena terkadang pada suatu waktu, ia akan bertingkah aneh atau berteriak histeris tanpa alasan seperti orang gila. Kakaknya biasanya akan membelanya habis-habisan, tetapi sifat Kakaknya yang sering kali tidak mampu mengontrol emosinya malah menimbulkan banyak masalah yang lebih besar dan ia paling benci jika Kakaknya mendapatkan masalah karenanya. Beberapa kali dalam seminggu Kakaknya akan dipanggil ke ruang konseling, bahkan wali kelasnya pernah menskornya selama dua minggu karena saat itu dia membuat beberapa adik kelasnya terluka hingga masuk rumah sakit.

Hal-hal seperti itu terus berlangsung hampir setiap hari, hingga ia menginjak usia empat belas tahun. Tentu saja hal tersebut menimbulkan banyak dampak yang buruk pada dirinya sendiri. Ia mulai membenci lingkungan sekolah. Ia mengisolasi dirinya, menjauhi teman-temannya. Pada akhirnya satu persatu teman-teman sekelasnya mulai meninggalkannya, hingga yang tersisa hanya Alice dan saudara kembarnya Amy. Lama kelamaan ia jadi mudah stres dan tentu saja hal tersebut mempengaruhi kondisi kesehatannya, tidak hanya secara mental saja tetapi juga fisik.

"Ed, aku tidak akan sekolah lagi!" katanya ketika Kakaknya mengajaknya berangkat ke sekolah bersama-sama.

Meskipun ia masih SMP dan Kakaknya sudah SMA mereka sering berangkat ke sekolah bersama-sama karena mereka memang satu sekolah. Itu adalah sekolah Yayasan yang SD, SMP, dan SMA-nya digabung menjadi satu. Hanya berbeda gedung saja.

"Mengapa? Kau tidak perlu takut dengan anak-anak sialan itu! Meskipun gedung kelas kita berjauhan tapi aku akan selalu di sana untuk melindungimu, Rene!"

"Tidak, aku home schooling saja. Itu yang disarankan Daddy karena belakangan ini aku gampang sakit. Aku tidak mau merepotkanmu, Edgar. Aku bahkan semakin sering merepotkan Emillia sejak aku berumur dua belas tahun. Aku tidak mau membuat orang lain kesulitan karena aku."

"Rene, Emillia tidak pernah merasa direpotkan olehmu karena dia sudah menganggapmu sebagai Adiknya sendiri. Aku juga tak pernah merasa direpotkan olehmu meskipun kau sering kali membuatku kesal, jadi kau tidak perlu lari dari masalahmu."

"Tidak! Aku tidak akan pernah kembali ke sekolah. Belajar di rumah cukup untukku."

"Rene, kau benar-benar membuatku muak! Kau terlihat sepert tokoh fiksi yang paling kubenci yang ironisnya namanya sama dengan namaku!"

"Tuan Muda Edgar, jangan menekan Tuan Muda Rene. Dia butuh waktu untuk menenangkan diri," kata seorang gadis yang hanya dua tahun lebih tua darinya.

Gadis ini adalah anak dari Mrs. Catherine—Pengasuhnya dan Rene— dia sudah menjadi maid pribadi Rene sejak Adiknya tersebut berumur enam tahun. Ia gadis pekerja keras, ramah dan pandai memasak. Walaupun gadis berambut light brown dan bermata hijau pirus ini hanya anak pengasuh mereka, tetapi dia dan Rene sudah menganggapnya sebagai Kakak.

"Emily, aku sudah bilang tidak perlu memanggil kami Tuan Muda, kan? Kami ingin kau menjadi teman kami juga, mengerti?!"

"Saya mengerti, Edgar. Maafkan saya."

"Dan tak perlu bersikap formal pada kami, kau itu teman kami! Kalau kau tidak bisa bersikap seperti layaknya teman aku akan mengusirmu dan menjualmu ke pria hidung belang, camkan itu baik-baik!"

"Tolong jangan, Edgar!" mohon Emillia dengan ekspresi ketakutan.

"Aku hanya becanda!" kata Edgar yang kemudian menatap Adiknya lagi. "Jadi kau benar-benar tidak akan kembali ke sekolah?" tanyanya sekali lagi.

"Yeah, I got sick a lot and it's really pissed me off."

"Ya sudah kalau begitu, aku berangkat sekolah dulu. Kau istirahat saja Rene, meskipun kita sudah tidak satu kamar lagi tetapi aku sering mendengar kau berteriak karena mimpi buruk. Belakangan ini kau pasti tidak cukup tidur, kan? Itulah sebabnya kesehatanmu jadi menurun. Jika dengan tidak bersekolah di sana akan membuatmu merasa lebih baik, aku tak akan pernah memaksamu lagi."

"Terima kasih, Ed!" kata Adiknya dan dengan itu Edgar hanya mengangguk dan tersenyum kecil sebelum pamit, lalu berangkat ke sekolah.

Pada waktu-waktu tertentu Kakaknya ataupun Emillia Sinclair tidak selalu menemaninya, apalagi kedua orangtuanya yang sangat sibuk dengan pekerjaan mereka, dan hanya memiliki waktu untuknya setiap weekend atau pada saat libur panjang. Namun untuk beberapa alasan, ia selalu merasa seperti … tidak peduli apapun yang terjadi, seseorang akan selalu berada di sisinya untuk mendukungnya. Tidak peduli apa yang dia lakukan, ia akan selalu bangga padanya dan menerimanya. Mungkin itu juga alasannya, mengapa ketika itu terjadi, ia berharap akan aman di tangan orang ini. Sayangnya, sebagai gantinya ia berakhir dengan rasa kecewa. Ia merasa lebih kesepian ketika tersadar akan kenyataan tersebut. Oh Tuhan, apakah ia baru saja merasakan bagaimana kehilangan sesuatu yang begitu penting sehingga hidup tanpa itu hampir mustahil? Namun ia bahkan tidak bisa mengingat siapa atau apa yang telah hilang? Ia sangat benci dengan kenyataan bahwa ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya selama beberapa tahun ini?

.

.

Oz terengah-engah ketika ia duduk tegak di tempat tidurnya, wajahnya sudah penuh dengan keringat dingin. Ia melihat sekeliling kamarnya yang gelap, mencoba mengingat di mana ia berada, butuh beberapa menit untuk memahami bahwa ia tidak bermimpi lagi. Namun kata-kata itu masih melekat di benaknya dan meninggalkan rasa yang tidak enak di mulutnya. Ia merasa mual dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk melupakan semua yang baru saja ia impikan, hanya ia yang tahu bahwa itu bukan hanya mimpi. Ayahnya mengatakan sesuatu yang sangat menyakiti hatinya, dan tatapan dingin itu membuatnya tak kuat lagi untuk sekedar berdiri. Semuanya tampak begitu nyata. Namun itu tidak mungkin terjadi karena Ayahnya bukanlah orang itu. Ayahnya adalah seorang pria berdarah Italia yang memiliki karakter pendiam namun bijaksana.

"Precious? I would be happy if that child hadn't been born!'

Tidak mungkin Ayahnya berkata begitu, kan? Namun jika suatu hari Ayahnya melontarkan kata-kata tak berperasaan itu, apa yang harus ia lakukan? Akankah rasa sakit yang sangat menusuk di hatinya itu menghilang jika ia mengakhiri hidupnya sendiri?

'Hey, Dad! If I'm not necessary to you … why am I here? I… just … where should I be?'

Dadanya terasa begitu sakit dan sesak. Ia merasa ingin menangis, dan Oz benar-benar melakukannya. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia tidak ingin berbuat apa-apa lagi selain menangis dan mengeluarkan semuanya. Mungkin ia akan merasa lebih baik jika ia meruntuhkan semua temboknya, aman di dalam kamarnya sendiri pada tengah malam dengan hanya bayangannya yang terlihat hancur. Namun jika itu bukan Papa Dino, lalu siapa yang menghakiminya?

Ia tak ingin memikirkan mimpi itu lagi dan ia sungguh tidak ingin kembali pada waktu itu. Oz pun mengambil nafas dalam-dalam dan merasa dirinya perlahan-lahan tenang. Ini bukan pertama kalinya ia terbangun di tengah malam dengan berkeringat dan merasa benar-benar tersesat.

"Rene, kau bukan orang itu! Kau bukan Oz Vessalius! Kau adalah Adikku satu-satunya, Rene Ozvand Callenreese. Putera bungsu dari Marianne Dominique de Grandville dan Dino Orlando Callenreese, juga aku bukan Elliot Nightray. Namaku Edgar Ruggiero Callenreese. Ingat itu baik-baik setiap kali kau sedang down! Mengerti, cebol?!"

Oz tertawa kecil, bisa-bisanya ia teringat apa yang dikatakan Kakaknya satu tahun yang lalu pada saat seperti ini. Namun ingatan itu sedikit menghiburnya.

'Tidak mungkin apa yang baru saja dilihatnya dalam mimpi itu benar', katanya pada dirinya sendiri.

Meskipun mimpi itu terasa terlalu nyata dan tampak seperti sebuah kenangan, tidak mungkin itu nyata. Itu tidak nyata, tidak nyata… ia terus berkata pada dirinya sendiri. Namun, itu bukan mimpi pertama yang ia miliki tentang rumah-rumah Victoria, Dukedom dan politik, dikurung di sebuah ruangan tanpa ada seorang pun yang menyelamatkannya. Ia juga telah berkali-kali bermimpi tentang mansion besar yang terbakar dan orang-orang menjerit ketakutan, orang-orang berjubah merah pun membantai habis semua dari mereka yang tersisa … tetapi mimpi-mimpi tersebut selalu singkat, dan mereka melompat dari satu kengerian ke tragedi yang lain. Mimpi itu benar-benar seperti potongan-potongan adegan dalam film dan ia adalah karakter utama.

Meringkuk dalam bola, Oz terlihat lebih muda dari dia yang sekarang dan sesuatu akhirnya mendorongnya lebih dekat ke tepi, sebagian besar temboknya telah ambruk dan nyaris tak ada yang tersisa, tetapi ada seseorang anak laki-laki di dekatnya dan ia pun bertanya kepadanya apa yang salah.

"Hei G— aku bertanya-tanya, mengapa Ayah membenciku?"

"Boc-chan, jika kamu merasa seperti itu … mengapa kita tidak bertanya saja kepada Master?"

"Tidak!" Ia menggigit bibirnya dan menutup mata, berusaha menahan emosinya yang membuncah. "Aku takut pada kebenaran—"

Saat itu ia mungkin sudah tahu kebenarannya. Ia adalah pewaris Vessalius Household, keturunan salah satu dari empat bangsawan terhebat, paling berpengaruh, dan paling terkenal di era itu … tetapi seorang anak kecil berusia sepuluh tahun dengan pemikiran dibebani dengan tanggungjawab yang begitu tinggi tanpa orangtua untuk membimbingnya sangat mengerikan. Namun inilah yang membuat Oz sadar kalau itu hanya mimpi, karena tidak mungkin ada seorang anak yang dapat terus hidup dengan kenyataan seperti itu. Jika ia yang sekarang mengalami nasib seperti itu, ia pasti sudah mengakhiri hidupnya. Ya, mudah untuk seseorang yang memiliki gangguan mental sepertinya untuk melakukan hal yang nekat tersebut.

Oz terhuyung-huyung turun dari tempat tidurnya, tidak peduli tentang keributan yang ia sebabkan saat ia pergi ke kamar mandi secepat mungkin, ia bahkan nyaris tergelincir dan jatuh. Untungnya ia masih sanggup menjaga keseimbangannya. Namun itu tak berlangsung lama karena sekian detik kemudian ia sudah jatuh berlutut dan mengosongkan perutnya di toilet. Di belakangnya, ia bisa mendengar suara langkah kaki telanjang menyentuh lantai keramik. Ia hanya punya waktu untuk mengatur nafas sejenak sebelum ia muntah lagi … dan lagi, sampai tidak ada yang tersisa selain cairan perut yang terasa sangat pahit di lidahnya.

"Oh, sweaty! Mommy lega karena mengambil cuti hari ini…." Ibunya menghela nafas di belakangnya. Dia meletakkan tangan lembut itu di bahunya untuk membimbingnya menjauh dari toilet, membiarkannya bersandar padanya.

Mereka akhirnya sampai di dekat tempat tidur. Marianne mendudukkan putera bungsunya di atas kasur. Ia berlutut di depannya sambil menatap puteranya tersebut dengan matanya yang tak bisa berbohong.

Oz selalu membenci cara Ibunya mengerutkan alisnya dengan khawatir setiap kali sesuatu yang buruk terjadi padanya, ia selalu membenci betapa mudahnya dia mengkhawatirkannya. Bagaimana kekhawatiran dapat menyebabkan stres, dan bagaimana streskerap kalimemiliki pengaruh besar pada kondisi kesehatan seseorang. Ia tidak terlalu memerhatikan Ayahnya yang pergi ke kamar mandi untuk membersihkan kekacauan yang ia buat. Ia bahkan tak pernah mengira bahwa Ayahnya akan mengambil cuti juga hari ini. Sementara Ibunya, dengan lembut mengusap rambutnya yang basah dari wajahnya.

"Ya Tuhan, kamu demam! Haruskah kami mengantarmu ke rumah sakit?" kata Ibunya dengan mata green emerald-nya yang kini tampak berkaca-kaca.

Mata ibunya sangat indah, itulah sebabnya terkadang ia merasa iri pada Kakaknya yang bisa mewarisi mata sang Ibu, sementara ia mewarisi mata Ayahnya. Sayang sekali rasanya melihat bola mata yang indah itu ternoda. Namun melihat sosok Ibunya, ia sedikit bersyukur karena setidaknya ia mempunyai warna rambut yang sama dengan ibunya—pirang keemasan. Sementara Kakaknya—Edgar— memiliki warna rambut cokelat almond seperti Ayahnya.

Oz yang tak mau membuat Ibunya semakin khawatir menggelengkan kepalanya. Rumah Sakit hanya membawa kenangan mengerikan bersama mereka dan ia menolak untuk kembali ke sana kecuali apabila hal itu benar-benar diperlukan. Ia tahu demam ini akan berlalu, sama seperti stress pada akhirnya.

"Tidak, sayang! Kamu harus pergi ke Rumah Sakit, Mommy khawatir! Apakah kamu sudah minum obat?"

Ia tidak ingat. Hal terakhir yang ia ingat adalah Emillia membuatkannya secangkir hot chocolate sebelum ia tertidur karena ia benar-benar susah tidur tadi malam. Namun sepertinya Emillia mencampurkan herbal yang memberi efek samping seperti obat bius hingga akhirnya ia bisa tertidur lelap, sebelum akhirnya kembali terjaga gara-gara mimpi buruk yang menyakitkan. Sebelum ia meminum cokelat panasnya, Emillia memang menyodorkan beberapa butir obat, tetapi ia tidak tahu apakah ia meminum pil itu atau tidak? Terkadang ia memang sengaja berpura-pura meminum obatnya sebelum akhirnya membuangnya ketika Emillia atau Martha tidak memerhatikan, karena sebenarnya ia benci obat-obatan anti depresan. Obat-obatan tersebut hanya membuatnya ketergantungan selama dua tahun terakhir ini dan ia tak suka itu.

"Tadi malam Emillia memberitahu kami bahwa kau tidak enak badan dan agak demam, jadi hari ini kami berdua memutuskan untuk mengambi cuti…." cerita ibunya.

"Jadi itu bukan obat anti depresan?" tanya Oz.

"Emillia hanya memberikan obat itu setiap kali kau histeris karena berhalusinasi. Hanya Martha yang sering memberi obat anti depresan setiap kali kau kambuh. Itu adalah obat demam yang Emillia berikan padamu tadi malam, Rene, apakah kau tidak meminumnya?"

"Aku tidak tahu, I'm sorry!" jawab Oz jujur. Ya, ia memang tidak ingat. Sejak ia divonis dengan gangguan mental dua tahun yang lalu, terkadang ingatannya memang agak kabur.

"Tidak ada yang perlu disesali dan kau tak perlu meminta maaf, Rene…." Dino tersenyum dan dengan lembut mengacak-ngacak rambut puteranya sebelum menyerahkan segelas air dingin dan obat demam. "Setelah ini mari kita turun! Emillia sudah menyiapkan sarapan dan teh untuk kita."

"Sarapan? Jadi sekarang sudah pagi?" tanya Oz. Astaga, berapa lama ia melamun setelah ia terjaga karena mimpi buruk itu?!

"Iya, jagoan! Sekarang sudah pagi," jawab Ayahnya masih dengan senyum lembut di wajahnya.

Oz bertemu dengan tatapan Ayahnya, dan ia segera merasa tenang karena Ayah dari mimpinya tampak tidak seperti pria yang kini duduk di hadapannya. Ia tidak memandangnya seolah-olah ia kotor. Tidak, mata Dino dipenuhi dengan cinta. Dia benar-benar peduli dan sayang pada puteranya.

Oz membalas senyuman Ayahnya dengan senyum lemah dan mengangguk.

"Ayo, papa gendong!"canda Dino.

"Aku sudah besar, Dad! Jangan perlakukan aku seperti anak kecil!" tegas Oz.

Dino mengangguk mengiyakan dan ia pun mulai berjalan keluar kamar. Sementara Marianne tetap di belakang Oz, memastikan bahwa putera bungsunya tidak akan jatuh, dia sekaligus memeriksa apakah situasinya tidak lebih buruk daripada yang mereka pikirkan? Mimpi buruk pernah menyebabkan putera mereka berakhir di rumah sakit dan itu bukan hanya sekali-dua kali dalam dua tahun terakhir ini, siapapun tidak bisa menyalahkannya karena khawatir.

"Anne, ayo cepat!" kata suaminya. Marianne pun mengangguk dan mulai berjalan mengikuti mereka.

"Apakah kau ingin membicarakannya?" tanya Marianne setelah mereka selesai sarapan.

Marianne tidak memaksa ketika puteranya mengatakan 'tidak' padanya. Oz tahu bahwa tidak ada gunanya untuk berbohong atau mencoba merahasiakan mimpi buruknya tadi malam, jadi hanya kata 'tidak' yang bisa ia tawarkan sebagai jawaban. Alih-alih bercerita, ia mengatakan pada Ibunya bahwa ia akan mandi dulu sebelum kembali bergabung dengan mereka.

"Mom istirahat saja! Bukankah Mom harus bekerja besok?"

"Aku pemilik perusahaan itu, aku bebas menentukan kapan aku pergi bekerja atau tidak jika itu berarti aku bisa memasikan bahwa putera bungsuku baik-baik saja."

"I'm fine, Mom."

"Oh, tetapi kau tidak!" Marianne menghela nafas dramatis dan menarik Oz dalam pelukan erat. "Hanya memikirkan tentang bayi malangku yang terluka membuatku merasa sangat tertekan."

"Lihat itu Papa, sepertinya keturan Vessalius memang Queen/ King of Drama!" komentar Edgar yang baru saja akan berangkat ke sekolah.

"Sst, jangan membangunkan 'jiwa iblis' dalam diri Ibumu!" tegur Dino.

Sementara Oz hanya tertawa geli, tahu bahwa Ibunya hanya mencoba untuk menghiburnya.

Marianne kemudian mengalihkan pandangan pada putera sulungnya. "Ed, cepat berangkat ke sekolah sana!" perintahnya dengan penuh tekanan dan ekspresi kesal karena sepertinya wanita itu mendengar apa yang dia bisikan pada suaminya beberapa saat yang lalu.

"Siap, mademoiselle!" kata Edgar sebelum berpamitan dan mencium punggung tangan Ayahnya. Setelah mencium punggung tangan Dino, ia mencium pipi Marianne singkat, lalu mencium dahi Adiknya secepat kilat dan langsung berlari keluar.

"Anak itu benar-benar menyebalkan kadang-kadang," komentar Marienne yang kembali mengalihkan pandangan pada putera bungsunya. "Ayo sayang, Mommy antar ke kamar!" katanya menggandeng tangan Oz.

Sementara itu Dino hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan isteri tercintanya yang keras kepala tetapi manis tersebut. Tidak heran Edgar memiliki sifat manis pula, sekarang ia tahu dari mana putera sulungnya mendapatkan hal tersebut.

.

Oz mandi dengan air dingin, kulitnya terasa seperti terbakar. Mandi sedikit membantu. Itu membantunya menjernihkan pikiran. Selesai mandi ia langsung mengenakan piyama dan sweater wol bersih yang sudah disiapkan Ibunya. Begitu ia kembali ke lantai bawah, ia menemukan Ibunya telah membuatkan Cacao panas khusus dengan krim kocok dan potongan-potongan kecil marshmallow.

Marianne menyerahkan cangkir itu pada Oz. "…tapi jangan terbiasa, aku tidak mau gigi mu sampai rusak karena terlalu banyak mengkonsumsi gula!" Ia mengingatkan dengan senyum ramah.

"Aku tidak pernah berpikir akan ada seseorang yang terbiasa dengan apapun makanan atau minuman yang kau buat, Anne, kau benar-benar tidak punya bakat dalam memasak~" goda suaminya.

Marianne meringis kesakitan sambil mecengkram erat dada kirinya, "Dino kau menyakitiku. Ini sakit. Sakit sekali!" kata Marianne yang jelas-jelas hanya acting.

"Yah, sekarang aku tahu mengapa terkadang kau penuh dengan drama, nak!" kata Dino menghiraukan isterinya.

"Yah, katakan saja pada dunia kalau sifat-sifat buruk kedua puteraku itu menurun dariku dan mereka hanya mewarisi sifat baik dari dirimu Mr. Perfect!" kata Marianne sarkastik.

Dino tertawa kecil. "Yah seperti itulah Ibu kalian, nak!" katanya pada Oz. Oz ikut tertawa.

Marianne sendiri tersenyum lega karena ia akhirnya bisa melihat putera bungsu mereka tertawa lagi.

Dino meletakan buku tebal yang sejak tadi di dibacanya ke dalam rak, lalu duduk di sebelah puteranya yang kini sedang mencicipi Cacao buatan ibunya.

"Sekarang aku ingin kau tahu bahwa mimpi buruk bisa jadi tidak menyenangkan, tetapi kau tak perlu terlalu memikirkannya, tak ada yang perlu dikhawatirkan dari itu … karena kau tahu? Aku pernah bermimpi mencium seekor katak dan katak itu akhirnya terus mengikutiku sepanjang waktu sementara dia menjadi mesin pencium, dan percayalah apa yang kuceritakan padamu ini adalah benar…."

Dino kemudian menceritakan salah satu dari banyak kisahnya yang memalukan dan sulit dipercaya, baik Marianne maupun Oz tidak memiliki keinginan untuk menghentikannya karena betapa pun konyolnya cerita itu, Dino selalu punya cara untuk membuatnya menarik, apapun topiknya. Jadi mereka mendengarkan dengan setengah senyum geli di wajah mereka.

.

.

Di suatu tempat di latar belakang, jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Seorang pemuda berbicara dengan nada serius dengan ponsel di tangan. Dia tidak peduli harga dirinya akan jatuh ketika ia harus mengemis-ngemis pada seseorang di sebrang telepon, karena baginya waktu telah lama berhenti.

"Apakah kau sudah menemukan petunjuk tentang mereka berdua, Mlle. Sherri?"

"Belum? Tidak bisakah kau menyuruh si Mad Hatter itu untuk membantuku?"

"Memangnya kau tidak bisa membujuknya? Dia itu kakakmu, kan? Maksudku dia benar-benar Kakak kandungmu di zaman ini dan dia punya banyak koneksi!"

"Kumohon, lakukan apapun untuk membujuknya. Aku benar-benar tidak mempunyai banyak waktu lagi. Dan aku bahkan bisa membayangkan hal bodoh apa yang akan Gilbert lakukan jika aku sudah tiada sementara aku belum bisa membawa mereka padanya, karena aku tahu hanya orang itu yang bisa membuatnya bahagia! Aku ingin membawa mereka sebagai hadiah terakhir dariku untuk Gilbert, kau pasti mengerti, kan, karena sekarang kau juga mempunyai seorang kakak?!"

"Glen-sama tidak mungkin bisa membantuku karena sebenarnya … dia sudah meninggal dua tahun yang lalu. Klan Baskerville yang tersisa saat ini hanya tinggal aku dan Kakakku. Dan terus terang, aku mungkin hanya bisa beratahan kurang dari dua tahun lagi."

"Semua orang berubah, termasuk aku yang sudah mulai putus asa dengan semua pencarian ini. Mungkin itulah sebabnya aku jadi banyak bicara. Aku hanya ingin memenuhi harapan terakhir Gil, tolong!"

"Terima kasih Mlle. Sherri!"

.

.

Lagi. Ia tidak bisa tidur malam ini meskipun ia merasa lemas dan lesu karena kelelahan. Tubuhnya menggigil hebat padahal ia yakin sebelum pergi, Emillia sudah menyalakan mesin penghangat ruangan. Namun ternyata musim gugur dan terutama musim dingin selalu menjadi musuh yang menyulitkannya. Sejak ia masih kecil tubuhnya tidak pernah tahan dengan cuaca dingin.

Ia memaksa turun dari tempat tidurnya untuk mendapatkan sweater yang lebih tebal dari yang ia kenakan sekarang, juga untuk mendapatkan selimut tambahan. Begitu kembali ke tempat tidur, ia merasa jauh lebih lelah dari sebelumnya. Kepalanya sangat berat dan pusing, ia yakin demamnya pasti naik. Persendiannya juga terasa sakit, jari-jari tangannya membiru dan ia juga kesemutan karena dingin. Oz bahkan mulai kepayahan hanya untuk sekedar bernafas. Ia ingin memanggil Emillia atau Ibunya, tetapi di sisi lain ia tidak ingin mengganggu waktu istirahat mereka. Dengan susah payah Oz mengambil obat tidur yang biasanya disimpan Emillia di dalam kotak obat bersama obat anti depresannya. Beruntung ia tidak sampai menjatuhkan gelas saat ia hendak meminum pil tersebut. Rasa sesak dan nyeri tak biasa di dadanya belum berkurang, tetapi kabar baiknya ia mulai mengantuk hingga akhirnya tertidur.

Oz bermimpi tentang hari yang cerah, memegang sebelah tangan Adik perempuannya yang mungil ketika ia melihat sebuah peti mati perlahan-lahan diturunkan ke tanah yang sudah dilubangi sesuai dengan ukuran standar makam di masa itu. Ketika ia menengadah ke atas, ia melihat Ayahnya menatap kuburan yang masih baru itu dengan ekspresi sedih dan marah di wajahnya.

Ia tidak bisa membaca apa yang tertulis di batu nisan tersebut, itulah sebabnya ia tahu bahwa itu hanyalah mimpi, sebab biasanya orang-orang tidak bisa membaca dalam mimpi. Namun entah bagaimana ia tahu, kalimat apa yang terukir di atas batu nisan tersebut.

Here lies Rachelle Florifel Cecile Vessalius, loving mother of Oz Rivane Jaques Vessalius & Ada Chloe Jeanne Vessalius, Wife of Zai Abellard Xavier Vessalius. May the four angels watch over her.

Ibunya—mereka mengubur Ibunya.

Mimpi teresebut kemudia berganti,

"Do you think I want to go? That goes without saying ... I promised everyone another tea party. And we didn't have the chance to learn how to use camera and yet … I am glad I can even feel this way. I wouldn't have been able to feel this way before. But then I met you … we've been through a lot of pain and suffering, but we went through it together. And that only made everything more important. To be able to cry like this … that what it means to be happy."

"It is time…."

"Oz, I'm a Baskerville. My life will be much longer than that common human. I will be waiting … for the day you and that stupid rabbit come back to this world!'

"Be serious~"

"I am serious! Everything this world is a miracle. So anything could happen!"

"Brother…."

"And Also I'm used to waiting. I've already wait ten years for you. I really don't see why one hundred would be a problem?!"

"Pfft, one hundred years? You're really something, Gil. In that case … this is not a farewell. See you Gilbert!"

.

Remaja berambut pirang kembali terbangun dari mimpi-mimpinya, pakaian yang dikenakannya basah seolah ia baru saja mandi dengan keringatnya sendiri. Kali ini dari balik tirai yang sudah dibuka—sepertinya oleh Emillia, matahari perlahan naik … memberitahunya bahwa hari baru telah tiba. Oz mengeluarkan erangan lembut, berharap mimpi-mimpi itu akan berhenti.

Gilbert ~

Kini ia tahu nama dari orang yang selama ini ia cari. Ia tahu apa yang memicu mimpi-mimpi itu. Ia adalah reinkarnasi dari Oz The Black Rabbit. Gilbert berkata bahwa dia menunggu. Namun apakah pria itu masih menunggunya hingga sekarang? Semua ingatannya masih belum pulih, tetapi ia percaya bahwa Gilbert Baskerville yang merupakan orang kepercayaannya sekaligus pelayan setianya di masa lalu adalah tipe orang yang tidak pernah mengingkari sebuah janji. Jadi yang bisa dilakukannya sekarang adalah mempercayai janji itu.

"Rene, kau sudah bangun?" tanya seseorang yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Gadis itu membawa sebuah wadah berisi air bersih. Dia mencampur air panas ke dalam wadah kemudian membasahi sebuah towel yang kemudian dia tempelkan di dahi Oz.

"Edgar memanggil ambulance, katanya ambulance tersebut akan datang dalam waktu 10-15 menit. Aku tahu kau benci Rumah Sakit, Rene, tapi Kakakmu ingin memastikan bahwa tak ada masalah yang serius dengan kesehatanmu. Ia ingin kau melakukan tes darah, tes urine, dan tes-tes lainya."

"Dia terlalu berlebihan, kau tahu?!" kata Oz, ia terkejut karena suaranya terdengar begitu lemah dan serak. "Aku hanya demam karena stress yang menumpuk. Dan kupikir semua sumber stres itu akan berakhir hari ini," lanjutnya dengan susah payah "…karena aku sudah tahu apa yang selama ini aku cari."

"Yah, aku senang kau mengingat apapun yang kau cari itu, tapi maaf Rene … aku setuju dengan Edgar. Aku ingin kau melakukan medical check up secara keseluruhan. Kesehatanmu terus menurun. Kita harus memastikan bahwa tidak ada yang salah."

Melihat Emillia yang kini mulai menangis, Oz tak kuasa untuk menolak. Emillia sudah ia anggap sebagai kakak perempuannya, ia tidak ingin membuat gadis ini sedih. "Baiklah," sambung Oz.

Emillia menggenggam tangan kanan Oz. "Terima kasih. Aku senang kau tidak keras kepala lagi."

Suara sirene ambulace mulai terdengar di kejauhan, suaranya yang khas semakin nyaring seiring dengan berkurangnya jarak van putih tersebut dengan rumah mereka. Pintu dibanting keras, dan Kakaknya masuk dengan tergesa.

"Rene, tak peduli kau akan menolak atau tidak … aku tidak akan menyuruh mereka pergi tanpa membawamu. Mengerti, shorty?!" tegasnya.

"Dia sudah setuju, Ed!" kata Emillia yang kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya karena Edgar masih saja menyebut Rene 'cebol' di saat seperti ini.

"Sudah kubilang aku tak peduli jika dia meno—tunggu, dia setuju?"

Emillia mengangguk.

"Kau tidak pergi ke sekolah, almond?" tanya Oz setengah mengejek.

"The hell aku akan pergi ke sekolah dengan kondisimu yang seperti itu!" jawabnya yang kemudian membuang muka.

Bersamaan dengan itu para medis tiba di kamar Oz dengan membawa tandu.

.

-PH-

.

2014. London – UK

Dua tahun berlalu sejak ia meminta bantuan Sherri Alvira Rainsworth—cicit dari Sharon Aubery Cealine Rainshworth— dan hari ini mereka ada janji temu di sebuah Café ala Italia yang terletak di pusat kota London.

'Klan Rainsworth memang selalu seenaknya, terlebih dia mungkin adalah reinkarnasi dari Sharon Rainsworth,' pikirnya dengan ekspresi masam di wajahnya.

Tentu saja dia kesal. Kemarin dia masih liburan di Venesia sekalian mencari reinkarnasi Oz, dan gadis itu menyuruhnya untuk pergi ke London keesokan harinya dengan penerbangan pertama karena katanya ia ingin menyampaikan informasi penting.

"Yang benar saja! Bukankah dia cukup mengirimkan dokumen-dokumen tersebut lewat post!" gerutu Vincent sementara pandangan matanya masih mencari-cari Café Blend C.

"Bukankah itu nama café yang dua hari lalu ku kunjungi saat aku masih di Venesia? Yah, pemilihan namanya memang buruk, tapi itu adalah Café yang kuakui memiliki coffee kualitas terbaik dan aneka dessert-nya juga sangat enak, juga tak perlu kau ragukan interior-nya yang 'wah'. Jadi pemiliknya membuka branch café di negeri ini?" tanya Vincent pada dirinya sendiri.

"Baiklah, karena Rainsworth yang terhormat itu akan mentraktirku di tempat nongkrong yang bagus, kali ini dia akan ku maafkan!" lanjutnya.

"Alamat yang diberikan oleh gadis itu di sekitar sini, bukan? Jadi di mana café-nya?"

Vincent yang bingung akhirnya bertanya pada orang yang lewat,

"Oh, café itu?! Sekitar 150 meter dari sini ada toko bunga, nama toko bunganya 'Ainsley Florist'. Itu diambil dari nama pemilik toko bunga tersebut-Cassandra Ainsley Flora Smith— yah, itu adalah nama lengkapnya sebelum dia menikah dengan Mr. Sweeken. Kalau kau mau tahu, Ayah Mrs. Cassandra itu adalah seorang Earl dan kudengar Mrs. Cassandra diusir oleh keluarga bangsawan tersebut karena jatuh cinta pada Mr. Sweeken yang hanya seorang rakyat jelata. Nah, Mr. Sweeken sendiri adalah pemilik toko roti itu!" kata seorang wanita setengah baya panjang lebar, sambil menunjuk sebuah toko roti dengan jari telunjuknya.

'Mengapa wanita ini malah menjadikanku teman bergossipnya?' tanya Vincent dalam hati. Mungkinkah Tuhan membencinya atas semua dosa-dosa yang selama ini ia perbuat? Mungkin ia harus lebih banyak bertaubat.

"Maaf Nyonya, saya menanyakan soal café itu!" tegas Vincent.

"Oh, benar juga?! Maafkan aku. Café itu tepat di samping toko bunga tersebut, dan kau tahu anak muda? Pemilik Café tersebut mempunyai dua orang putera yang sangat tampan. Anak-anak perempuanku menyukai anak-anak itu lho…."

'Ya Tuhan! Tolong ampuni semua dosa-dosaku. Aku paling tidak bisa berurusan dengan wanita semacam ini,' bathin Vincent.

"Sayangnya putera bungsu mereka sakit. Jadi, tahun lalu mereka sekeluarga pindah ke Saint Emilion Bordeaux. Di mana ya itu, anak muda?"

"Itu di Perancis dan Bordeaux adalah penghasil wine terbaik yang juga diakui oleh UNESCO sebagai situs warisan dunia. Cheateau-cheateau yang memproduksi wine di wilayah tersebut mempunyai gudang di bawah tanah dengan suhu sekitar 12 derajat celcius, suhu yang sesuai untuk penyimpanan wine dalam tong yang terbuat dari kayu oak…." cerita Vincent panjang lebar, berharap wanita itu akan bosan dan segera meninggalkannya.

"Wow! Anda memiliki wawasan yang luas anak muda, bibi terkesan!" tanggap wanita tersebut.

'Dia tidak pergi?' tanya Vincent dalam hati.

"Tidak juga, Nyonya. Sebenarnya saya orang Perancis. Nama saya Vincent Rainier Baskerville, salam kenal!"

"Salam kenal juga, anak muda. Namaku Evelyn Morgan. Omong-omong, isteri dari Mr. Callenreese adalah orang Perancis juga. Mungkin kau mengenalnya? Namanya sebelum menikah dengan Mr. Callenreese adalah Marianne Dominique de Granville…."

"de Granville? Saya tidak kenal. Mungkin dia tidak tinggal di Paris seperti saya?" kata Vincent pula.

"Oh, jadi kau dari Paris anak muda? Kudengar itu kota yang sangat indah dan romantis?"

"Benar, tapi Kakek buyut saya bilang … dulu Paris tidak seindah itu. Dulu di dekat Paris ada sebuah kota bernama Reveille dan di sana pernah terjadi bencana alam yang mengerikan, dan Kakak dari Kakek buyut saya… kehilangan dua orang yang sangat dia sayangi pada saat itu."

"Oh, aku turut berduka untuk leluhurmu anak muda."

"Ya, terima kasih banyak, Nyonya. Oh ya, boleh saya bertanya sesuatu?"

"Ya, tentu. Silakan!"

Vincent mengeluarkan sebuah foto dengan latar belakang tea party dari dalam dompetnya. Itu adalah foto terakhir Gilbert bersama Duke Oscar Leonard Yann Vessalius, Oz, dan teman-temannya. Foto hitam putih yang sudah usang dan menguning dimakan usia itu ia serahkan pada Nyonya Morgan.

"Pria tampan berambut ikal itu adalah foto kakak dari Kakek buyut saya. Kira-kira adakah diantara wajah-wajah ini yang tidak asing bagi anda, Nyonya? Siapa tahu orang-orang itu adalah keturunan dari teman-temannya Kakek buyut saya!" kata Vincent.

'Ini adalah sebuah pertaruhan yang aku buat untuk wanita tukang gossip seperti anda, Nyonya Morgan!' lanjut Vincent dalam hati.

Wanita itu menunjuk foto Ada Vessalius. "Gadis ini mirip sekali dengan Mrs. Marianne," katanya. Lalu, ia menunjuk foto Elliot dan Oz.

"Dan dua anak laki-laki ini lumayan mirip dengan kedua puteranya," lanjut wanita itu.

Vincent tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Ia benar-benar tercengang.

"Benarkah itu, Nyonya?" tanya Vincent pula.

"Ya. Aku cukup sering berjumpa dengan mereka, jadi aku tidak mungkin salah. Lagipula, Adik perempuanku adalah teman baik Mrs. Marianne sekaligus Manajer Pemasaran di Perusahaan Produksi Wine milik keluarga de Grandville!"

"Nama Ibu dari Mrs. Marianne, apakah anda tahu?"

Mrs. Morgan memasang pose berpikir. "Kalau tidak salah, namanya Vietta Aeriel Patrice Vessalius."

'Bukankah itu adalah nama puteri bungsunya Ada?' pikir Vincent. 'Brother, akhirnya aku menemukan mereka!' lanjutnya.

"Ada apa anak muda, kau terlihat serius?"

"Ya, sebenarnya Vietta Vessalius adalah puteri ketiga dari gadis yang ada dalam foto itu. Dan gadis itu adalah mantan kekasih Kakek buyut saya."

"Benarkah? Wow, ini benar-benar kebetulan yang luar biasa! Anak muda, kau menemukan keturunan dari mantan kekasih Kakek buyutmu! Yah, tapi seperti yang kubilang tadi … mereka sekeluarga sudah pindah ke Perancis."

"Hm, tadi anda bilang mereka pindah karena masalah kesehatan putera bungsunya, benar?"

"Ya."

"Anak itu sakit apa memangnya?"

"Menurut Adikku, anak itu mengidap penyakit autoimun yang sama dengan mendiang Neneknya. Supaya mendapat perawatan yang maksimal, dokternya menyarankan keluarga mereka untuk tinggal di desa St-Emilion karena udara di sana masih alami, tidak seperti di London ini."

"Penyakit autoimun yang mana kalau boleh saya tahu?"

"Namanya susah, aku tak ingat. Maaf anak muda,"

"Ya, tidak apa-apa, Nyonya. Terima kasih banyak untuk informasinya."

"Sama-sama. Nah, kalau begitu aku permisi dulu!" pamit wanita itu yang kemudian pergi dari hadapan Vincent.

Vincent tersenyum. Akhirnya setelah bertahun-tahun pencarian dia menemukan petunjuk. Oz ada di Saint Emilion – Bordeaux. Tidak lama lagi dia bisa memberikan sebuah kejutan untuk Kakaknya dan sekarang yang harus ia lakukan adalah menemui Sherri Rainsworth. Vincent pun segera pergi menuju Café Blend C.

Bel berbunyi saat dia membuka pintu Café dan seorang pelayan menyambut kedatangannya.

"Anda sudah memesan tempat atau belum, Tuan?" tanya pelayan tersebut.

"Saya ada janji temu dengan Sherri Rainsworth," jawab Vincent.

"Oh, pemesanan atas nama Mrs. Rainsworth. Mereka ada di sebelah sana, mari ikut saya!" kata pelayan itu pula.

Vincent mengikuti pelayan tersebut. Di sebuah spot yang lebih sepi duduk Sherri Rainsworth dan seorang pemuda yang dulu menjadi musuh bebuyutannya.

"Terima kasih sudah mengantarku," kata Vincent pada pelayan tersebut.

"Terima kasih kembali, Tuan. Kalau begitu saya permisi!" pamitnya.

"Monsieur Vincent, silakan duduk!" kata Sherri Rainsworth.

Sherri Rainsworth benar-benar mirip dengan Sharon, kecuali rambut peach-nya yang sekarang berwarna pirang kecokelatan dan matanya yang sekarang berwarna abu-abu. Di sampingnya, Kevin Rodolphe Rainsworth sangat mirip dengan dirinya yang dulu ketika namanya masih Xerxes Break atau Kevin Regnard. Perbedaannya hanya pada matanya yang kini berwarna sapphire blue dan tentu saja lengkap dengan dua bola mata. Pertemuan pertamanya dengan mereka benar-benar membawa perasaan nostalgia. Selama ini mereka memang belum pernah bertemu face to face, karena mereka hanya berkomunikasi lewat media social.

"Sebelum kita mengobrol … perkenalkan, ini adalah Kakakku Kevin. Kau sudah tahu nama lengkapnya, bukan?" ujar Sherri.

"Ya. Salam kenal, Monsieur Kevin!" kata Vincent.

"Tidak usah berbasa-basi denganku, tikus kotor!" kata Kevin ketus.

Sherri tertawa ringan. "Mohon maafkan dia, Monsieur Vincent! Kakakku ini kehilangan sebagian besar ingatannya pada masa itu, tetapi dia masih seperti dia yang dulu. Dan sebenarnya hal yang paling dia ingat tentang masa itu adalah … keterlibatanmu dengan klan Baskerville dan juga pengkhianatanmu yang telah membiarkan William West kabur dari penjara Pandora," cerita Sherri.

"Jangan lupa tentang dia yang menyiksaku saat aku sedang sekarat dan buta," sahut Kevin.

"Maafkan aku soal itu, aku benar-benar menyesal!" kata Vincent tulus.

"Cih, ternyata kau memang sudah berubah banyak!" komentar Kevin.

"Wajar untuk seorang Kakek tua sepertiku," balas Vincent.

"Ah, benar juga! Kudengar kau sedang sekarat?!"

"Kevin—" tegur Sherri.

Kevin membuang muka. Ia benar-benar muak melihat wajah Vincent Baskerville di depannya, tetapi apa daya … dia tidak ingin membuat Adik perempuan kesayangannya marah.

"Ya, sebelum aku bercerita … mari kita makan dulu!" kata Sherri yang kemudian memanggil pelayan. Mereka bertiga pun mulai memesan makanan dan minuman.

Selesai menikmati hidangan yang dipesan mereka tadi, Sherri menyerahkan sebuah amplop cokelat pada Vincent.

Vincent membuka amplop tersebut dan ia menemukan sebuah foto keluarga, juga beberapa dokumen yang berisi informasi penting.

"Itu adalah foto Mr. Claude Sweeken dan isterinya Mrs. Cassandra Ainsley Flora Sweeken, beserta kedua anak perempuan mereka. Nah, seperti yang kau lihat Monsieur Vincent … kedua anak perempuan itu adalah saudara kembar! Wajah mereka mirip sekali dengan Alice, bukan?"

"Ya, seingatku. Hanya warna rambut mereka saja yang berbeda."

"Ya, sekarang rambut mereka berwarna auburn!" sambung Sherri.

"Sebelumnya kami minta maaf karena membutuhkan waktu satu setengah tahun untuk mengumpulkan semua informasi ini. Terus terang, mencari mereka sangatlah sulit karena ternyata … Alicia Luce Sweeken dan Amy Elizabeth Sweeken lahir dan besar di kota London ini pada bulan July lima belas tahun yang lalu. Informasi keluarga mereka sendiri sulit untuk kami dapatkan karena rupanya dulunya Mrs. Cassandra adalah puteri dari seorang Earl, dan ternyata Earl Smith adalah cucu seseorang dari klan Baskerville…." Cerita Sherri beberap menit kemudian.

"Mrs. Cassandra adalah pemilik Ainsley Florist, toko bunga di samping kiri Café ini. Mr. Sweeken adalah pemilik toko roti dan toko tersebut kebetulan juga rumah tempat mereka tinggal, lokasinya sekitar 150 meter dari sini!" lanjutnya.

'Ya aku sudah tahu tentang itu dari Mrs. Morgan,' kata Vincent dalam hati.

"Terima kasih Mlle. Sherri, informasi lebih lengkapnya akan kubaca nanti. Sekarang, bagaimana dengan Oz?" tanya Vincent.

Kevin menyerahkan amplop cokelat yang satu lagi pada Vincent.

Vincent membuka amplop itu. Ada cukup banyak dokumen dan juga sebuah foto keluarga. Berbeda dengan foto kepunyaan Alice yang hanya menampilkan empat orang, foto ini menampilkan delapan orang.

"Dari seorang pria tua yang berdiri di latar belakang, urutannya seperti ini; Don Alfonso Allighiero Callenreese, dia blasteran Italia-Amerika, dan di sampingnya adalah istrinya Caroline Shopia Callenreese. Mereka adalah orangtua Dino Orlando Callenreese. Di samping Nyonya Carol adalah Vietta Aeriel Patrice Vessalius. Dan kau pasti tahu, wanita itu adalah puteri bungsu dari mantan kekasihmu—Ada Vessalius—dan di sampingnya adalah suaminya—Noe Oliviere de Grandville—," cerita Kevin yang kemudian berhenti sejenak untuk mengambil nafas.

"Mrs. Vietta dan suaminya adalah orangtua dari Marianne Dominique de Grandville, tidak, sekarang nama keluarganya adalah Callenreese. Nah, Mrs. Marianne ini adalah anak tunggal dan dulu dia tidak diakui oleh Monsieur Noe, karena pria tua itu menginginkan anak laki-laki. Jadi agar diakui, wanita itu membangun rumah produksi wine atau Cheateau di St-Emilion, yang akhirnya sukses mengangkat derajat Monsieur Noe yang dulunya hanya seorang petani anggur. Dia bahkan membangun sebuah Perusahaan Produksi di UK ini."

"Jadi, pria berambut cokelat almond dan bermata crystal blue ini adalah Dino dan wanita disebelahnya adalah isterinya—Marianne—? Sulit dipercaya, wanita ini benar-benar mirip dengan Ada?!" komentar Vincent.

"Ya, dan dua anak laki-laki yang duduk paling depan itu adalah kedua putera mereka; Edgar Ruggiero Callenreese dan Rene Ozvand Callenreese. Mereka berdua terlihat familier bukan?" sambung Sherri.

"Ya, Edgar lumayan mirip dengan Adikku—Elliot dan Rene lumayan mirip dengan Oz!" jawab Vincent.

"Benar sekali, perbedaannya hanya … Edgar mewarisi mata klan Vessalius dan rambut cokelat almond Ayahnya. Sedangkan Rene, mewarisi mata crystal blue Ayahnya dan rambut pirang keemasan Ibunya. Kami yakin mereka berdua adalah reinkarnasi dari Elliot dan Oz!" Sherri menegaskan.

"Terima kasih banyak untuk kalian berdua. Kakakku pasti akan sangat bahagia mendengar ini. Aku akan membaca informasi lengkapnya nanti," kata Vincent pula.

Ia sebenarnya sudah mengetahui sebagian informasi tentang mereka dari Mrs. Morgan, tapi ia memutuskan untuk tidak menceritakan hal tersebut pada Sherri dan juga Kevin.

"Oh ya, sekedar informasi … Café Blend C ini adalah branch café kepunyaan Mr. Dino!" kata Sherri.

"Begitukah? Jadi dia membangun café cabangnya di sini? Sebenarnya saat di Venisia aku pernah berkunjung ke Main Café miliknya. Kalau aku tahu café itu miliknya, aku akan menggali informasi dari manager-nya. Omong-omong, manager café tersebut adalah seorang wanita muda dan wajahnya lumayan mirip dengan Dino, mungkin itu Adiknya."

"Sayang sekali, ya? Kau tidak beruntung, pasti karena dosa-dosamu padaku dan semua orang di masa lalu?!" sindir Kevin.

"Ya ampun Mad Hatter, kau masih marah soal itu?! Bukankah aku sudah meminta maaf?" sahut Vincent.

"Sulit untuk memaafkan orang sepertimu!" kata Kevin yang kemudian memanggil pelayan sekali lagi.

"Aku ingin tambah kopi nya," kata Kevin pada pelayan yang baru saja tiba di depan meja mereka.

"Kami juga!" sambung Sherri.

"Mohon tunggu sebentar Mister dan Miss Rainsworth!" kata pelayan tersebut sebelum mencatat pesanan dan undur diri.

Vincent merapikan semua berkas-berkas tadi sambil tersenyum. Akhirnya sebentar lagi Kakaknya bisa bertemu dengan Oz dan Alice. Sekarang ia tidak perlu khawatir lagi. Meskipun ia akan segera menjadi debu dan menghilang dari dunia ini, tetapi jika ia berhasil menemukan Oz dan Alice … Gilbert mungkin tidak akan cepat-cepat menyusulnya. Gilbert adalah orang yang kuat, jadi ia percaya bahwa Kakaknya itu pasti masih sanggup bertahan hidup selama beberapa tahun lagi.

'Master Glen, tunggu aku sebentar lagi! Aku akan segera menyusul kalian!'

"Omong-omong, ayo kita we-fi!" celetuk Sherri.

"Tidak! Aku tidak mau selfie dengan tikus kotor itu!" tolak Kevin.

Sherri tak peduli, ia memeluk mereka berdua dari belakang. Lalu, mulai mengambil foto yang kemudian langsung ia posting di Ig pribadinya. Tentu saja dalam foto tersebut ia tersenyum lebar, sedangkan Kevin cemberut, dan Vincent menampakkan ekspresi terkejut karena dia memeluk pria itu tiba-tiba.

.

To be Continued

.

A/n: Hello, minna! Terima kasih sudah mampir di fanfiction Pandora Hearts author yang kedua. See you next chapter! Mohon koreksi apabila masih ada typo. Hope you all RnR ~ :D