Disclaimer : Naruto bukan milik saya

Don't like don't read

Warning : Bahasa tidak baku, EYD tidak sempurna, karakter OOC

.

.

CHAPTER 29

.

.

Seminggu telah berlalu namun kasus penembakan itu tidak kunjung menemui titik terang.

Rumah yang selama ini ia tempati untuk sementara harus disegel demi kepentingan penyelidikan. Hinata masih ngeri setiap kali membayangkan kaca-kaca rumah yang hancur dan furniture yang rusak akibat terkena tembakan.

Kini ia tinggal di rumah lain yang berjarak lumayan jauh dari rumah sebelumnya. Sasuke mengatakan rumah ini dulunya milik mendiang kakaknya. Itachi-san sengaja membangun rumah ini sebagai persiapan jika dia sudah menikah nanti. Tapi siapa sangka Itachi-san justru meninggal dunia…

Rumah yang Hinata tempati saat ini berlantai dua dan lumayan luas. Pagarnya cukup tinggi dan rapat sehingga setiap orang yang lewat tidak mampu menengok ke dalam. Jika dulu Hinata hanya tinggal bersama Sasuke, kini Hinata tinggal bersama beberapa maid dan juga belasan bodyguard. Bagi Hinata itu agak sedikit berlebihan, namun Sasuke mengatakan semua itu memang perlu.

Insiden itu membuat Hinata trauma. Ia tidak berani berada di depan jendela terlalu lama dan membuka tirai lebar-lebar.

Selama seminggu ini Hinata dikunjungi banyak orang. Keluarga Hyuuga, keluarga Sarutobi, Hanabi dan Konohamaru, bahkan Kushina dan suaminya juga datang.

Selama seminggu ini pula Sasuke juga luar biasa sibuk sedangkan Hinata hanya berdiam diri di rumah tanpa diperbolehkan pergi sebelum keadaan menjadi benar-benar aman.

Ugh, itu membuat Hinata bosan.

Biasanya setiap hari Hinata akan keluar rumah untuk pergi berbelanja, mengunjungi toko buku, atau sekedar berjalan-jalan di taman untuk memberi makan burung merpati.

"Ini tidak adil." Keluh Hinata sambil memeluk bantal.

"Apanya?" Sasuke yang sedang merapikan kemejanya menatap Hinata melalui kaca cermin. Piyama ungu bermotif kelinci yang dikenakan Hinata terlalu kebesaran di tubuhnya.

"Setiap hari kau pergi namun aku hanya berada di rumah."

"Mau bagaimana lagi."

"Kau juga selalu pergi pagi lalu pulang larut." Bantal yang tadi dipeluknya kini dibanting ke lantai.

Sasuke menyeringai sambil menghampiri Hinata yang masih berada di ranjang. "Kau rindu padaku?"

Hinata cemberut. Ia memang… agak sedikit merindukan Sasuke. Hanya sedikiiit. Dulu mereka selalu bersantai saat sore dengan menonton TV atau memasak makan malam bersama. Kini Sasuke tidak memiliki waktu luang untuk bersantai bersamanya.

Sasuke mengacak-acak rambut Hinata. "Bersabarlah. Setelah semua ini selesai aku akan mengajakmu berlibur."

"Kemana?"

"Kemanapun kau mau."

"Janji?"

"Tentu saja."

Hinata memeluk Sasuke dengan erat. "Aku harap semua ini lekas selesai…"

"Aku juga berharap begitu."

"Apa pagi ini kau juga harus lekas pergi?"

"Mm." Sasuke tersenyum saat Hinata mulai membuka kancing kemeja kerjanya dengan tidak sabaran. "Ah… ternyata kau benar-benar merindukanku."

Untuk hari ini sepertinya tidak masalah jika Sasuke telat berangkat bekerja. Menuruti keinginan istri adalah kewajiban seorang suami bukan?

.

.

Hinata terkejut saat melihat Sakura Haruno berdiri di depan pintu rumahnya.

"Selamat sore." Ujar perempuan berambut pink itu seraya tersenyum ramah.

"Sasuke belum pulang." Itu adalah jawaban otomatis yang langsung diucapkan oleh Hinata.

"Aku kemari karena ingin mengunjungimu." Senyum Sakura masih melekat di bibirnya. "Aku ingin mengetahui kabarmu."

"Um…" Hinata melihat para bodyguard yang berjaga di rumahnya melemparkan tatapan waspada pada Sakura. "Silahkan masuk…"

Sakura duduk di sofa berwarna cokelat. "Aku mendapatkan alamat barumu ini dari Kakashi-san. Kuharap kau tidak keberatan karena aku berkunjung kemari tanpa bertanya padamu."

"Uh, tidak masalah."

"Aku mendengar insiden yang terjadi di rumahmu melalui berita di TV. Kuharap kalian berdua baik-baik saja."

"Kami baik-baik saja."

Sakura tersenyum sedih. "Kedatanganku kemari hanya ingin melihat kabarmu, aku sama sekali tidak memiliki maksud lain."

Hinata tersenyum canggung saat mengetahui Sakura bisa membaca kecuriaan dalam dirinya.

"Tapi aku tidak menyalahkanmu karena berpikir begitu. Bagaimanapun juga hubungan kita dulu… tidaklah baik." Sakura menghela nafas panjang. "Aku… minta maaf, Hinata. Untuk semua kesalahan yang telah kuperbuat padamu."

Hinata langsung melongo sambil membelalakkan mata.

Apa yang baru saja ia dengar ini?

Sakura… meminta maaf?!

"Berhenti melongo ke arahku." Sakura mengerutkan kening.

"Uh… um… aku hanya… tidak percaya kau mengatakan… itu."

"Aku memang bodoh." Senyum Sakura begitu pahit dan getir. "Perasaanku pada Sasuke membuatku bodoh… aku baru menyadari kebodohanku ini setelah kehilangan orang-orang yang berharga bagiku. Sasuke menganggapku orang asing… Naruto benar-benar menjauhiku…"

Hinata hanya terdiam.

"Aku sudah melepaskan Sasuke-kun. Aku berani bersumpah. Mungkin perasaanku padanya belum sirna sepenuhnya namun aku sudah tidak mengharapkannya lagi."

"Sakura… jika boleh aku bertanya… mengapa kau mengatakan semua ini padaku?"

"Mungkin karena aku ingin memperbaiki semua kesalahanku sedikit demi sedikit." Sakura mengangkat bahunya. "Aku ingin membuka lembaran baru dalam hidupku… aku ingin berhenti menjadi si bodoh yang selalu menyakiti perasaan orang lain."

"Sakura…" Hinata menghentikan ucapannya saat ada salah seorang maid yang mendekatinya sambil mengatakan ada tamu yang datang berkunjung.

Sambil berusaha menerka-nerka, Hinata berjalan ke pintu depan dan melihat siapakah tamu itu.

Ternyata dia adalah Naruto.

Gawat… Sakura ada disini…

"Hey." Naruto tersenyum riang seperti biasa. "Apakah si teme ada? Uh… mengapa kau menatapkau seperti itu?"

"Ah…." Haruskah Hinata membiarkan Naruto masuk?

Naruto mendorong pundak Hinata lalu berjalan masuk seenaknya. "Tidak masalah jika si teme belum pulang, aku akan menunggunya. Ugh, selama seminggu ini si teme susah sekali dihubungi…." Naruto menghentikan perkataannya saat mengetahui Sakura Haruno sedang duduk di sofa. "…Haruno, apa yang kau lakukan disini?"

Hinata dan Sakura merasa terkejut mendengar ucapan Naruto yang begitu tajam dan sengit.

Perasaan Hinata tiba-tiba menjadi tidak enak.

.

.

Kakashi menyandarkan punggungnya di tembok sambil menyaksikan Sasuke yang terus menerus menembaki target sasaran dengan tepat dan akurat.

Dulu Sasuke pernah belajar menembak. Seminggu sekali pasti Sasuke datang ke arena berlatih dan belajar menembaki sasaran dengan pistol di tangannya. Semenjak Sasuke menikah, hobi menembak telah dia tinggalkan. Namun kini…

Setelah Sasuke selesai, Kakashi berjalan menghampirinya. "Tembakanmu selalu saja akurat. Meskipun sudah lama kau tidak melakukannya, kemampuanmu masih belum berkarat."

"Mm." Sasuke melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. "Bagaimana pesananku?"

"Ada di mobil." Kakashi terkekeh saat melihat tanda kemerahan di leher pria berambut hitam itu. "Malam yang panas eh~"

"Bukan malam. Pagi."

Kakashi cekikikan. "Mau menceritakannya padaku? Aku bisa menjadi pendengar yang baik." Siapa tahu cerita Sasuke lebih menarik daripada buku Icha-icha yang selalu dibacanya. "Aku juga bisa memberi komentar dan saran."

"Dasar mesum. Aku tidak akan membeberkan kehidupan pribadiku padamu." Sasuke melangkah pergi tanpa menoleh pada Kakashi yang masih saja cekikikan. "Cepat tunjukkan barangnya. Aku ingin lekas pulang."

Ketika mereka berdua duduk di jok belakang mobil milik Kakashi, pria berambut silver itu memberikan sebuah kotak berwarna hitam. Tanpa menunggu lama Sasuke langsung membuka kotak itu yang ternyata berisi sebuah pistol berwarna hitam mengkilat.

"Glock 20." Suara Kakashi terdengar sangat serius. "Kaliber 10 mm Auto, Magasin 15 butir, berat kosong 785 gram, panjang 193 mm sedangkan lebarnya 139 mm. Jarak tembak efektif 50 meter. Sangat akurat dan aman. Pistol ini sangat ringan karena berbahan dasar polymer."

Sasuke mengamati pistol yang ada di tangannya dengan ekspresi serius. "Aku cukup puas dengan pilihanmu ini."

"Sasuke… memiliki senjata api illegal…" Kini Kakashi nampak ragu.

"Memangnya kenapa jika aku memilikinya?" Sasuke terlihat tenang seperti biasa. "Ada seseorang yang telah berani mengusikku. Kau pikir aku hanya akan diam saja? Jika dia memiliki senjata api, maka aku juga akan memilikinya. Dia telah mencoba melukai istriku dan juga aku. Bukan hal yang berlebihan jika aku berniat mengirimnya ke liang kubur."

Kakashi begidik ngeri saat melihat sepasang mata Sasuke yang dingin dan kejam. "Jangan bertindak nekad, Sasuke. Kau harus memikirkan Hinata. Pikirkan apa yang akan terjadi padanya jika sampai kau bertindak nekad dan melakukan kesalahan fatal."

Ketika mendengar nama Hinata, ekspresi Sasuke sedikit melunak. "Kau benar, aku tidak boleh bertindak nekad. Aku bisa menggunakan jasa orang lain sehingga tanganku tidak akan kotor."

Kakashi menggigit lidahnya. Bukan itu yang dia maksudkan! Kakashi tadi mencoba mengatakan pada Sasuke untuk tidak bertindak nekad. Sasuke seharusnya menyerahkan semuanya pada polisi dan hukum yang berlaku!

"Ketahuilah, Kakashi. Hukum bisa dibeli dengan uang. Selama Uchiha belum runtuh maka aku tidak akan bisa dipenjara."

"Kau terdengar sangat yakin dan percaya diri."

Sasuke meletakkan pistolnya ke kotak. "Konoha penuh dengan pejabat dan aparat yang korup. Mereka akan bungkam pada ketidakadilan selama mulut mereka disumpal uang."

Kakashi menghela nafas. "Kau sudah memikirkan semuanya."

"Mm. Kekayaan dan koneksi yang kumiliki bukan hanya pajangan saja. Kau tahu betul aku bukanlah pria yang baik. Aku beberapa kali melakukan hal illegal dan transaksi gelap demi memajukan bisnisku. Uchiha tidaklah bersih, Kakashi. Uchiha terlihat bersih karena aku selalu menutupi semua kotornya."

Kakashi memalingkan wajahnya. Ia tahu betul semua itu. Ia sudah bertahun-tahun menjadi asisten pribadi Sasuke, ia tahu semua taktik kotor yang telah dilakukan pria Uchiha itu. Apakah Hinata mengetahui jika suaminya itu seorang pria yang berbahaya?

Sepertinya tidak. Jika iya, pasti dia akan langsung melarikan diri setelah mengetahui semua kekejaman yang telah dilakukan Sasuke.

Mungkin Hinata tidak tahu, alasan mengapa keluarga Hyuuga menjaga jarak dari Hinata dikarenakan Sasuke. Kakashi tidak mengetahui detailnya, yang jelas Sasuke memiliki andil dalam semua kekacauan dan drama keluarga Hyuuga. Dan tentang Kaguya, Otsutsuki, Ko Hyuuga, kehancuran dan kebangkitan kembali perusahaan Hyuuga… Sasuke juga memiliki peran dalam semua itu.

Kakashi adalah orang terdekat Sasuke. Meski begitu, Kakashi tidak mengetahui semua hal tentang Sasuke Uchiha.

Suara dering ponsel Sasuke membuat Kakashi menoleh. Dengan mata kepalanya sendiri, Kakashi menyaksikan Sasuke tersenyum lebar saat mengangkat panggilan.

"Ada apa, Hinata?"

Kakashi tersenyum maklum. Ah, pantas saja Sasuke bertingkah seperti remaja kasmaran. Ternyata itu panggilan dari Hinata.

"Sasuke, kau ada dimana? Apa kau bisa pulang sekarang?" Senyum Sasuke menghilang ketika mendengar kepanikan dalam suara Hinata.

"Apa yang terjadi? Apa ada masalah?"

"A-ano… aku juga tidak tahu. Yang jelas… AAAH!"

Suara kaca pecah dan teriakan Hinata membuat Sasuke panik. "Hinata! Ada apa?!" Samar-samar Sasuke mendengar suara perdebatan.

"Sakura dan Naruto bertengkar di ruang tamu kita!"

"….huh?" Apakah Sasuke salah dengar…

"Kini mereka saling melempar gelas… AAAAH! Dan vas!"

Sasuke memijat keningnya. Ah… dua orang itu… "Ada belasan bodyguard yang berjaga di rumah kita. Suruh saja salah seorang dari mereka untuk menendang bokong Naruto dan menjewer telinga Sakura."

Hinata terkesiap. "Aku tidak mungkin menyuruh mereka melakukan hal kejam seperti itu! Sakura dan Naruto adalah tamu!"

Sasuke menghela nafas. "Tunggu aku. Sepuluh menit lagi aku sampai di rumah."

.

.

Ketika Sasuke turun dari mobil, hal yang pertama ia lihat adalah Hinata yang meringkuk di teras dengan wajah pucat. Samar-samar Sasuke masih mendengar suara teriakan dan perdebatan Sakura dengan Naruto dari ruang tamunya.

"Hinata."

Perempuan berambut panjang itu langsung menghampiri Sasuke. "Mereka berdua tidak bisa dihentikan." Bisiknya dengan takut.

Sasuke akhirnya mengetahui kenapa Hinata begitu ketakutan. Ketika suara kaca pecah kembali terdengar, wajah Hinata semakin pucat dan tubuhnya sedikit gemetar.

Hinata trauma. Suara kaca pecah membuatnya teringat insiden penembakan dulu.

Mengapa semua bodyguard yang berdiri disini hanya sebagai hiasan saja! Seharusnya mereka menghentikan tindakan brutal Sakura dan Naruto! Jika mereka tidak melakukan apapun, lalu untuk apa mereka digaji?! Setelah ini Sasuke akan membuat perhitungan dengan mereka semua.

"Kau tunggu disini." Sasuke mengelus pipi Hinata yang dingin. "Aku akan melerai mereka." Dan mengusir mereka secepatnya. Seenaknya saja mereka berbuat onar di rumah ini!

Hinata mengangguk patuh.

Sasuke berjalan menuju pintu rumah. Ketika pintu kayu itu dibuka, ia disuguhi pemandangan kaca pecah yang menghiasi lantai. Ah, Sasuke jadi teringat pada pertengkarannya dengan Sakura dulu. Ketika benar-benar emosi, Sakura akan dengan seenaknya menghancurkan apapun. Kekuatan Sakura yang melampaui wanita normal membuatnya dengan mudah mengangkat barang berat dan membantingnya.

"KAU BENAR-BENAR EGOIS!" Teriak Sakura dengan wajah penuh air mata

Naruto balas berteriak. "AKU? EGOIS? HAH! JIKA AKU EGOIS MAKA KAU LEBIH EGOIS LAGI!"

Gelas, teko dan cangkir pecah memenuhi lantai. Genangan teh belum juga mengering. Toples kaca dan beberapa piring juga pecah. Makanan dan cemilan kesukaan Hinata berceceran di lantai. Vas kristal kesayangan Hinata juga turut hancur. Bunga mawar merah yang Sasuke beli untuk Hinata kemarin tergeletak di atas lantai dan rusak karena diinjak-injak. Sofa dan meja tamu juga menjadi berantakan, bantal-bantal yang biasanya berada di atas sofa kini berserakan dimanapun.

"HARUSKAH KAU MEMPERLAKUKANKU SEPERTI INI?!"

"SEPERTI APA HUH?! KATAKAN! AKU MEMPERLAKUKANMU SEPERTI APA?!"

Ugh, kepala Sasuke langsung berdenyut nyeri mendengar teriakan mereka. "BISAKAH KALIAN BERHENTI!"

Naruto dan Sakura menghentikan perdebatan mereka dan menoleh ke arah Sasuke yang kini berjalan menghampiri mereka. Rasa terkejut menghiasi wajah keduanya. Sudah lama mereka tidak mendengar Sasuke berteriak kencang seperti itu.

"Jika kalian ingin bertengkar dan berkelahi…" Sasuke menunjuk ke arah pintu "Lakukan diluar rumahku."

Seolah sadar dengan perbuatannya, Naruto langsung melihat kekacauan yang ia lakukan kemudian nampak malu dengan kesalahannya.

Sakura berdiri sambil terus menerus mengelapi air mata yang membasahi wajahnya.

"Bisakah kalian menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi?" Sasuke tidak mampu menutupi kekesalannya.

Naruto dan Sakura saling berpandangan. Beberapa saat telah berlalu namun mereka berdua masih bungkam.

Sasuke mendekati mereka berdua dan berucap lirih. "Setelah penembakan itu Hinata merasa trauma setiap kali mendengar suara bervolume keras dan kaca pecah. Tapi kalian berdua…"

Naruto mengacak-acak rambut kuningnya. "Aku minta maaf. Aku tidak berniat… seperti itu." Ekspresinya menunjukkan dengan jelas jika ia sangat menyesal.

Sakura kembali menangis. "Astaga… apa yang telah kulakukan…"

Sasuke melipat tangannya di dada. "Apa kalian masih ingin kembali berdebat? Jika tidak, aku harap kalian segera pulang. Jika iya, lakukan diluar rumahku."

Apapun yang terjadi, kedua orang ini harus pergi.

"Teme…"

"Kesabaranku semakin menipis." Sasuke kembali menunjuk ke arah pintu. "Pulang. Ataukah aku harus menendangmu?"

Naruto mengusap-usap wajahnya yang berkulit tan. "Oh astaga, terkadang aku lupa jika kau itu sangat galak." Mata birunya kemudian melirik ke arah Sakura. "Oi Haruno, apa kau juga akan pulang?"

"JANGAN BICARA PADAKU!" Sakura langsung pergi sambil menghentak-hentak kakinya dengan kasar.

Setelah Sakura pergi, Sasuke bertanya pada Naruto "Siapa yang memulai pertengkaran barusan?"

Naruto hanya terkekeh sambil melenggang pergi.

"Oi dobe!"

"Apa?" Naruto memanyunkan bibirnya. "Aku mau pulang. Bukankah barusan kau mengusirku?"

"Aku akan menghitung semua kerusakan ini dan membuatmu membayar ganti rugi lima kali lipat."

"…teme sialan."

.

.

TBC…

Mungkin cerita ini tinggal 3 chapter lagi