Draco berjalan mendorong pintu asramanya dan melompat turun untuk keluar dengan mengendap-endap. Ia memandang sekeliling koridor asramanya yang sepi dan tak menemukan siapapun.

Dimana Potter? Draco merasakan suhu dingin menusuk kulitnya walau Draco telah menggunakan jubah hangatnya tentu itu tak akan mengurangi dinginnya ruang bawah tanah asramanya. Apa mungkin Potter sudah akan mati kedinginan sehingga dia memutuskan untuk kembali ke asramanya?

Draco berkerut kesal memikirkan Potter yang kembali ke asramanya. Tahu begitu Draco tidak perlu bersusah payah mengendap-endap untuk keluar asramanya. Draco sudah memutuskan untuk berbalik dan kembali masuk, namun tiba-tiba ada seseorang yang muncul dibelakangnya lalu menarik tangan Draco erat membuat Draco terhuyung.

"Draco! Akhirnya kau keluar juga!"

Draco terlonjak dan nyaris memekik ketika Potter tiba-tiba muncul. Draco melotot pada Potter. "Potter! Bisa tidak kau tidak selalu muncul tiba-tiba?!"

Potter nyengir tak berdosa. "Maaf, aku hanya senang akhirnya kau mau keluar juga. Aku sudah menunggumu berjam-jam, Draco. Sepertinya benar kata Pansy dan Blaise bahwa membujukmu memerlukan waktu yang cukup lama."

Draco mendelik tak terima. Namun ia juga ingin bertanya bagaimana Potter telah memanggil kedua sahabatnya dengan nama depannya, tetapi Potter dengan cepat menarik Draco untuk masuk ke dalam jubah gaibnya. Sesaat Draco mengagumi bahwa tubuhnya benar-benar menghilang dibalik jubah Potter.

"Potter?"

"Ssst. Filch menuju kesini. Sekarang pilih satu tempat dimana kita aman untuk bersembunyi."

Tetapi Draco mengabaikan ucapan Potter. Ia kembali terperangah ketika melihat apa yang sedang dipegang Potter. Perkamen lusuh tetapi penuh dengan sebuah peta yang nampaknya menunjukkan sebuah peta Hogwars dan Merlin, peta itu terdapat sebuah jejak dengan nama-nama pemiliknya yang bergerak-gerak, dan Draco dapat melihat jejak kaki dengan label nama Filch bergerak menuju ke asrama Slytherin.

"Merlin, dari mana kau dapatkan benda itu Potter? Peta yang sangat hebat." ucap Draco masih memandang takjub peta milik Potter.

Potter menoleh pada Draco dengan jengkel. "Nanti kujelaskan, Draco! Cepat pilih satu tempat aman untuk kita sembunyi— Filch sudah dekat!" bisik Potter dengan panik.

"Menara Astronomi atau Ruang Kebutuhan?" saran Draco.

"Menara Astronomi. Baiklah. Kau harus merapat padaku Draco, pastikan seluruh tubuhmu tertutupi jubah." Potter menarik Draco untuk lebih dekat dengannya. Sesekali ia memastikan bahwa tubuh Draco tertutup sepenuhnya oleh jubahnya. Tentu saja dengan tinggi Draco yang menjulang membuat Draco harus benar-benar merunduk untuk setara dengan tinggi Potter.

Walau tubuhnya setengah pegal, Draco tetap berjalan dalam diam. Menurut pada langkah Potter yang membawanya menuju ke Menara Astronomi. Mereka berjalan dalam keheningan koridor yang sangat sepi, setengah mengendap-endap takut membangunkan lukisan ataupun menarik perhatian Peeves atau hantu siapapun yang bisa muncul dari mana saja.

Draco sesekali merengut ketika protesnya pada Potter yang ia kira salah jalan tidak dihiraukan sama sekali oleh Potter. Namun setelahnya Draco takjub bahwa jalan koridor yang Potter pilih bukanlah salah namun Potter memilih jalan pintas untuk sampai ke Menara Astronomi lebih cepat.

Draco heran bahwa mereka berdua selamat sentosa dan tidak tertangkap oleh Filch maupun Prefek yang berjaga selama perjalanan dari asramanya menuju Menara. Padahal jarak asramanya yang terletak di ruang bawah tanah menuju ke Menara paling tinggi di kastil Hogwarts itu sangatlah jauh. Beruntung baginya karena Potter benar-benar cerdik memilih jalan pintas yang bahkan Draco belum pernah lewati.

"Potter." panggil Draco pada Potter yang kini menyingkap jubah gaibnya dan melipatnya.

Potter tampak pucat dan menggigil. Pansy benar jika Potter tampak kedinginan. Draco tidak menyalahkan Potter walau Potter terbalut jubah gaibnya yang lumayan hangat namun ia tetap kedinginan, karena Potter telah berada di depan asramanya selama berjam-jam. Ruang bawah tanah dimana tempat asramanya berada memang sangat lembap dan dingin.

"Draco, sebaiknya kita masuk." Ucap Potter dengan bergetar. Suara gigi Potter yang menggelatuk dan bibir Potter yang mulai membiru membuat Draco tak tahan.

"Potter, kau kedinginan." Draco berjalan beberapa langkah mendekati Potter lalu meraih tangan beku Potter yang benar-benar seperti es. Draco menatap kedua emerald Potter dan Draco baru sadar akan satu hal.

Mata Potter sangat hijau dan jernih. Benar-benar hijau seperti warna kebanggaan Draco. Benar-benar Slytherin. Dan untuk pertama kalinya Draco mengakui bahwa kedua mata Potter benar-benar indah.

"D-draco?" Suara Potter sedikit menggema dalam kesunyian malam dan segera menyadarkan Draco.

Draco tersenyum kecil ketika mengamati wajah Potter yang segera berpaling dan mata hijaunya bergerak liar menghindari mata Draco. Dan, oh Merlin, Draco menangkap pipi Potter yang benar-benar merona. Apa Potter barusan tersipu?

"Pakai ini Potter." Draco mengeluarkan lipatan jaket hangatnya dan juga syal yang diberikan Pansy dari dalam jubahnya.

Mata Potter membulat. "A-apa, Draco, t-tak perlu. Kita bisa pakai mantra penghangat."

Jelas Draco mengabaikan ucapan Potter. Draco sibuk memakaikan jaket hangatnya untuk membungkus tubuh Potter yang menggigil. Draco menaikkan ujung resletingnya hingga jaketnya menutup sempurna dan Draco memastikan tubuh Potter menghangat.

"D-draco, kau tak perlu—"

"Pakai syalku juga, Potter." Masih mengabaikan ucapan Potter. Draco melilitkan syal hijaunya pada leher Potter, dengan terampil ia mengalungkannya dan mengikatnya dengan rapi.

"Selesai. Apa kau masih kedinginan Potter?"

Potter menggeleng. "T-tidak. Terima kasih Draco."

Draco memandang penampilan Potter sekarang. Menelisiknya dari bawah hingga ujung kepalanya beberapa kali. Potter tampak tenggelam dengan jaket abu-abu milik Draco yang kebesaran di tubuhnya, bahkan Draco tak menyangka tubuh Potter sangat kecil jika dibandingkan dengan tubuhnya. Wajah Potter yang kian memerah ia lesakkan ke dalam syal Draco yang melilit leher hingga ujung bawah hidung Potter dan Potter seolah menyembunyikan wajah tersipunya dengan menghirup dalam-dalam syal hijau itu. Perut Draco terasa melilit setelah melihat tingkah laku Potter. Potter benar-benar manis dan menggemaskan.

"Potter, apa kau menyadari sesuatu?"

Potter mendongak. Mata hijau indahnya bertemu dengan kilat abu-abu Draco. "Apa?"

"Kau—" Draco menelan ludah susah payah karena tiba-tiba tenggorokannya terasa kering.

"Apa?" Potter mengulang lagi pertanyaannya dengan nada penasaran.

Draco bergerak gelisah kentara sekali jika ia sangat gugup. Perutnya semakin mulas karena sesuatu telah menggelitiknya. Tetapi mulut sialannya ini memaksanya untuk tetap berkata. Jadi Draco mengambil nafas dalam-dalam lalu menatap Potter yang setengah bingung setengah penasaran. Rona merah kembali muncul di kedua pipi Potter ketika kedua pandangannya bertubrukan. Dan itu membuat Draco gemas sendiri.

"Potter," Draco menatap lekat-lekat Potter yang tampak tak sabar. Namun Draco mengeratkan tangannya pada tangan Potter yang ia genggam bahkan Draco tak sadar sejak tadi belum ia lepaskan. "Potter, kau manis."

Sedetik kemudian Draco menangkap mata Potter membulat sempurna. Wajahnya semakin memerah merona dan Draco sungguh sangat suka melihat Potter yang tampak malu-malu seperti seorang gadis. Potter memang benar-benar manis, tapi Draco juga merasakan wajahnya memerah padam setelah tersadar apa yang baru saja ia ucapkan pada Potter. Draco mikir apa sih? Apa dia sekarang ikut-ikutan terkena penyakit Potter tingkat akut? Draco bahkan yakin jika Ayahnya mendengar apa yang dia katakan tadi, sudah dijamin ia pasti akan digantung hidup-hidup.

Masih dengan wajah menahan malu, Draco beranjak dari langkahnya untuk membuka pintu kokoh Menara di hadapannya. Ia menoleh sebentar, masih melihat Potter yang mematung. Wajahnya nyaris ia tenggelamkan pada syal Draco membuat Draco mau tak mau kembali tersenyum. Ada sesuatu yang mengembang dan menggelitik sudut terdalam hatinya. Ia suka melihat Potter yang tersipu dan Draco suka akan satu hal bahwa Potter tersipu karena hal-hal kecil yang Draco lakukan untuk Potter.

"Ayo masuk, Potter. Mau sampai kapan kau berdiri disana? Mematung dan tersipu seperti seorang gadis karena ku Potter?"

Potter menoleh dan melotot pada Draco di ujung pintu yang telah terbuka.

"Aku bukan seorang gadis, Malfoy!" Teriak Potter dengan wajah jengkel. Tetapi Draco telah berjalan lebih dulu untuk memasuki ruang Menara Astronomi, mengabaikan pekikan Potter yang menggema. Walau tampak tak perduli, Draco diam-diam tersenyum geli mendengar gerutuan Potter yang tak hentinya mengoceh tak jelas di belakangnya.

xxx

"Potter."

Harry tersentak ketika mendengar suara Draco memecah keheningan malam. Sudah beberapa saat Harry dan Draco hanya duduk berdiam menikmati hembusan angin malam yang menerpa tubuh mereka. Kesunyian yang berada di antara mereka bukanlah sebuah kecanggungan, justru suasana tenang dan nyamanlah yang menyelimuti keduanya.

Harry hanya bergumam sebagai jawaban untuk Draco. Tetapi Harry kembali tersentak ketika Draco meraih tangannya membuat Harry mau tak mau mengalihkan atensinya pada Draco.

Draco tampak ingin bicara sesuatu namun yang keluar hanyalah hembusan nafasnya.

"Potter," Draco semakin mempererat genggamannya pada Harry, menatap kedua emerald indah itu dengan penuh. "Terima kasih telah menolong keluargaku."

Harry terkejut mendengar apa yang diucapkan oleh Draco. Tentu saja, mendengar seorang Malfoy apalagi pemuda angkuh dihadapannya ini meminta maaf adalah sebuah hal langka.

Draco menghembuskan nafasnya panjang-panjang, menyadari bahwa Malfoy di hadapannya ini tampak gusar untuk beberapa saat, Harry tersenyum lembut. "Tentu, Draco. Aku juga berterima kasih pada Ibumu karena beliau juga menyelamatkanku."

Draco menggeleng. "Ibuku menyelamatkanmu karena dia hanya ingin memastikan aku baik-baik saja, Potter."

"Tapi tetap saja dia menyelamatkanku, Draco. Aku merasa seperti Mum sedang menyelamatkanku untuk kedua kalinya." Harry menerawang langit malam yang sedang cerah di atasnya dengan senyum mengembang. Mengingat-ingat pengorbanan kecil dari Ibu Draco pada saat perang membuatnya semakin kuat dan tegar, dan jika bukan karena Narcissa Malfoy maka Harry tak akan mengerti apa ia mampu hidup sampai saat ini atau tidak.

Namun diamnya Draco membuat Harry buru-buru tersadar akan suatu hal. Raut panik milik Harry menatap Draco yang hanya diam memperhatikannya. "M-maksudku tentu Ibumu bukan Mum. Hanya— hanya aku merasa bahwa Ibumu adalah sosok figur Ibu yang—"

"Potter, kau boleh menganggap Ibuku sebagai Ibumu kalau kau mau." sahut Draco cepat.

Namun itu semua membuat Harry menggeleng keras. "Tentu saja tidak! M-mana mungkin Ibumu mau mempunyai anak sepertiku."

"Apa maksudmu Potter?" ujar Draco dengan tersinggung.

"D-draco, maaf, a-aku tak bermaksud—" suara Harry mati ketika ia bingung harus berucap apa.

Draco mendengus kesal. Dia hanya termenung menatap gelapnya malam. Matanya tampak kosong, Harry menyadari itu. Draco, bukanlah seorang Draco Malfoy seperti yang ia kenal tahun-tahun sebelumnya. Sosok pemuda pirang di sampingnya kini jauh terlihat berantakan, begitu menyedihkan, sorot matanya penuh dengan penyesalan dan kesedihan yang mendalam, walau ia masih memancarkan tatapan dingin seperti layaknya seorang Malfoy, tapi Harry tahu betul perubahan sekecil mungkin pada Draco.

"Setidaknya Mum mungkin akan bangga jika memiliki anak sepertimu, Potter. Seorang pahlawan sihir yang begitu membanggakan. Bukan dengan anak laki-laki pecundang sepertiku, yang hanya takut dan tak berani berontak pada Pangeran Kegelapan. Aku hanya bisa diam tak berkutik seperti seorang anak tak berguna ketika melihat ayahnya disiksa dan dikutuk dengan segala macam Kutukan Tak Termaafkan. Aku— hanyalah seorang pecundang, Potter. Bahkan sampai saat inipun aku masih belum tahu apa yang harus ku lakukan untuk mengembalikan nama baik keluargaku. Aku tidak pantas menjadi pewaris Malfoy. Aku—"

"Draco. Ssst, tenanglah." Harry mendekat lalu meraih tubuh Draco. Lengannya memaksa Draco untuk membawa tubuhnya dalam sebuah pelukan hangat. Draco tampak ingin melepaskan Harry, namun Harry memberikan belaian yang menenangkan pada punggung Draco ketika Draco bergetar dalam pelukannya. Harry tahu bahwa Draco hanya menahan sekuat mungkin untuk tidak menangis.

"Potter, kau boleh menghinaku setelah ini. Aku memalukan. Aku pantas mendapatkannya." suara serak Draco menyapa gendang telinga Harry.

Harry semakin menenggelamkan tubuhnya pada pelukan hangat yang ia bagi pada pemuda pirang itu. Mengeratkan pelukannya pada Draco.

"Sst, Draco. Diam dan menangislah jika kau ingin."

Draco mampu mencium aroma tubuhnya yang bercampur dengan milik Harry dalam jaket milik Draco yang sedang dipakai Harry. Sedikit mampu membuat Draco tenang.

Draco menarik tubuhnya setelah beberapa saat kenyamanan yang menyeruak diantara keduanya menjalar. Draco tersenyum miring pada Harry. "Seorang Malfoy tidak akan menangis di hadapan orang lain, Potter."

Harry mendengus kesal. "Bisa-bisanya kau berbicara begitu disaat matamu sudah memerah seperti itu."

Draco hanya tertawa pelan menanggapi Harry. Ia kembali meraih jemari milik Harry, menggenggamnya lalu menautkan kembali tangan keduanya.

"Potter, maafkan aku atas apa yang ku lakukan padamu selama tujuh tahun ini."

Harry tersenyum hangat. "Draco, tanpa kau meminta maaf pun aku sudah memaafkanmu jauh-jauh hari."

"Terima kasih, Potter."

"Tapi—" Harry melihat senyum pada wajah Draco luntur, membuat Harry semakin melebarkan senyumannya. "Aku memiliki tiga permintaan agar aku benar-benar memaafkanmu, Draco. Dan kau harus memenuhi semua permintaan yang kuminta."

Draco mendelik untuk beberapa saat yang hanya dibalas Harry oleh tawanya. "Apa?! Dasar licik kau, Potter!"

"Kau lupa bahwa aku berpotensi untuk masuk Slytherin?" Harry tersenyum menyeringai.

"Dasar kau ular licin." Draco mendengus pelan. "Jadi apa permintaanmu? Jika kau minta yang aneh-aneh sebaiknya kita lanjutkan duel mantra saja, Potter."

Harry tampak berpikir sejenak. Menimbang-nimbang permintaan apa yang cocok untuk diberikan pada Draco. Tapi ada beberapa yang melintas dalam pikirannya. "Tidak berat Draco. Permintaan pertama," Harry hanya tersenyum ketika Draco menatapnya dengan waspada.

"Mm, mulai saat ini kau harus memanggilku Harry. Aku sudah memanggilmu dengan Draco bukan?"

Draco mengerutkan keningnya tak setuju. "Apa? Tidak! Itu akan aneh Potter."

"Coba saja dulu, Draco. Ayo, panggil aku Harry. Bukankah kita sekarang berteman?"

Teman? Draco terdiam, namun hanya bisa pasrah ketika Harry menatapnya dengan sebuah tuntutan. "Baiklah. H-harry." Namun tak lama ucapan canggungnya itu segera membuat Draco memerah. "Oh itu aneh Potty!"

"Harry." ucap Harry keras kepala.

"Ya, ya. Harry. Puas kau Pott-Harry?"

Harry tersenyum puas.

"Permintaan kedua Pot—Harry. Cepat katakan!"

"Tsk, kau tak sabaran sekali sih, Draco. Baiklah permintaan kedua, umm, kau pintar dalam Ramuan kan Draco?"

Draco mengangguk. Namun dia menatap Harry dengan curiga, seolah ia akan tahu apa yang selanjutnya akan Harry ucapkan.

"Kalau begitu kau harus menjadi tutor pribadiku dalam Ramuan. Dan kau harus jadi partner ku di setiap kelas Ramuan."

Draco melotot pada Harry. Benar apa yang Draco pikirkan tadi. "Apa?! Apa kau gila, Potter?!"

"Harry." koreksi Harry. "Dan aku tidak gila, Draco. Kau tahu kan aku payah dalam Ramuan. Dan aku frustasi, aku harus dapat minimal Exceeds Expectations untuk pelajaran Ramuan pada NEWT nanti jika aku ingin menjadi Auror."

Harry menunggu jawaban Draco yang kini tampak menimbang-nimbang dan berpikir keras. Sesekali Harry mendengar gerutuan Draco tentang, "Potter dungu.", "Potter kau merepotkan." Namun Harry tidak memperdulikannya, selama nantinya Draco akan menyetujuinya.

Draco menghela nafasnya panjang. Lalu melihat kilau emerald Harry yang terlihat begitu penuh harap. Tatapan yang selalu mampu membuat Draco luluh untuk kesekian kalinya malam ini.

"Baiklah." ucap Draco pelan.

"Kau serius, Draco?" Harry tidak bisa untuk menyembunyikan rasa senangnya, namun Draco hanya memutar matanya bosan melihat Harry yang memekik kegirangan.

"Menurutmu, Potty?"

"Harry." koreksi Harry ngotot, lagi. Namun Draco tak memperdulikannya.

"Cepat katakan permintaan konyolmu yang ketiga itu." ucap pemuda pirang itu dengan tak sabar. Lama-lama ia bisa gila jika harus terus menghadapi permintaan konyol mantan musuhnya— yang sekarang telah menjadi teman barunya itu.

"Umm, aku belum memikirkannya. Mungkin satu permintaan yang tersisa akan ku gunakan jika aku benar-benar membutuhkan sesuatu darimu, Draco." Harry nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Dasar licik." cibir Draco.

Disaat keheningan kembali melanda keduanya, Draco tiba-tiba terlintas percakapannya dengan Pansy dimana Pansy tidak ingin menyebutkan bagaimana permasalahan Harry dengan kedua sahabatnya. Namun Draco gatal ingin membuka topik itu pada Harry.

Draco melirik Harry yang menyandarkan tubuhnya pada dinding batu. Sesuatu telah menggelitiknya kembali ketika Harry mengeratkan jaket abu-abu milik Draco membuat Harry semakin tenggelam dan Harry seolah bergelung nyaman menenggelamkan wajahnya dengan menciumi syal Draco.

"Harry,"

"Apa?"

"Bukankah Granger pintar dalam segala hal? Kenapa kau tak minta diajari olehnya?"

Mendengar ucapan Draco membuat Harry tiba-tiba menjadi muram. Draco merasa tak enak hati ketika melihat ekspresi gelap yang diberikan Harry, tetapi ia harus mendapatkan sebuah jawaban dari rasa ingin tahunya itu. Karena sesuatu yang tak biasa jika kau melihat bagaimana eratnya persahabatan The Golden Trio itu diujung tanduk. Bagaimanapun juga masih ada rasa tak suka dalam diri Draco pada dua makhluk menyebalkan yang menjadi teman Harry itu.

"Apa kau ada masalah dengan Granger atau Weasel?" tanya Draco pelan.

"Tidak." Harry menghela nafas panjang. Ia menunduk, memainkan tongkatnya untuk membentuk sebuah pusaran udara sihirnya dan bermain-main dengannya untuk beberapa saat.

Draco tetap diam, menunggu Harry untuk kembali berbicara. Tetapi Harry kembali memecah keheningan dengan suara serak, "Hanya saja Hermione dan Ron sudah sibuk sendiri dan mereka sering mengabaikanku."

Harry mencoba untuk menyamankan duduknya walau Draco menangkap ada sirat terganggu dalam wajahnya.

"Aku tahu kini mereka berkencan. Aku sadar jika mereka ingin sedikit privasi untuk berdua. Aku sangat mengerti. Hanya saja— dari kami bertiga menjadi seorang diri itu aneh. Kami bertiga selalu menghabiskan waktu selama bertahun-tahun bersama. Dan aku kini sendirian. Aku hanya merasa aneh, Draco. Apa— aku egois?"

Draco mengerti maksud Harry. Karena Draco pun merasa seperti itu sejak kematian Crabbe dan Goyle yang lebih memutuskan untuk tidak kembali ke Hogwarts namun ia pindah ke Durmstrang. Draco sendiri. Benar-benar sendiri hingga suatu hari Blaise dan Pansy menawarkan uluran persahabatan padanya. Draco benar-benar bersyukur akan hal itu. Itulah mengapa Draco sangat menyayangi kedua sahabatnya itu. Ia tak mau kehilangan lagi seperti Crabbe dan Goyle yang meninggalkannya.

"Kau tidak egois Harry. Tidak sama sekali."

Suara Draco begitu lembut, membuat Harry menatap Draco takjub. Matanya menangkap pandangan Draco yang begitu teduh dan lembut yang bahkan tak akan pernah ia sangka mampu ditunjukkan oleh mata silver keabuan yang biasanya memancarkan sorot pandangan dingin itu.

"Besok masih akhir pekan. Kau bisa ajak Granger dan Weasel untuk ke Hogsmeade bersama. Bicaralah dan perbaiki hubunganmu dengan mereka."

Harry memandang Draco terkejut. Apa ia barusan tak salah dengar, bahwa mantan musuhnya yang baru saja menjadi teman barunya dalam beberapa menit yang lalu itu memberikan saran untuk segera berbaikan dengan kedua sahabatnya?

Harry terkekeh geli, membuat Draco menaikkan satu alisnya bingung. "Apa?"

Harry menggeleng dan memilih untuk tersenyum sumringah. Ia menahan diri untuk tidak menggoda Draco saat ini. "Kau benar, Draco. Besok aku akan mengajak mereka ke Hogsmeade. Bagaimana denganmu?"

Draco menggeleng, lalu tersenyum lemah, "Aku? Aku tidak akan kemana-mana. Tak ada satu orang pun yang mau menerimaku, walau aku ingin membeli sesuatu. Kebanyakan para pelayan toko bahkan mengusirku."

Harry mengerutkan keningnya bingung, "Apa? Mengusirmu?"

"Minggu lalu, aku dan Blaise pergi ke Honeydukes untuk membelikan Pansy cokelat karena ia baru saja ulang tahun. Tapi kami langsung diusir begitu mereka tahu siapa kami."

"L-lalu?"

"Tentu saja kami pergi, Harry. Semua toko pasti akan memperlakukan kami seperti itu. Kurasa wajar saja karena kami Pelahap Maut."

"Mantan Pelahap Maut, Draco." koreksi Harry.

Draco mengedikan bahunya, "Yeah, itu sama saja bukan?"

Harry tampak ingin protes, tetapi ia tak tahu harus berbicara apa. Ia mengerang kesal dan tak habis pikir pada orang-orang yang masih saja menebar kebencian walaupun perang telah usai.

"Mereka jahat sekali! Tak seharusnya mereka berlaku seperti itu!"

"Kami jauh lebih jahat, Harry." timpal Draco kalem. Tetapi Harry memberikan pandangan tak terima.

"Tidak! Dengar, Draco—"

"Sudahlah. Ini sudah malam, sebaiknya kita kembali ke asrama." putus Draco. Ia tak mau Harry dan jiwa keadilan dan superiornya kambuh, jadi ia mau tak mau segera memutus topik itu.

Harry ingin sekali protes dan menolak. Ia belum selesai bicara! Tetapi ia luluh ketika tatapan Draco begitu keras untuk dibantah.

"Tapi—"

"Aku akan mengantarmu, Harry."

"Eh, tidak perlu Draco. Aku akan memastikan kau yang kembali dengan selamat sampai asramamu."

"Tidak. Aku akan mengantarmu."

"Draco—"

"Potter."

Harry merengut dan terpaksa menurutinya karena Draco memandangnya dengan keras.

Mereka berjalan dalam diam menuju asrama Gryffindor. Sesekali mereka harus memutar dan memilih jalan pintas untuk menghindari Peeves atau Filch. Setelah sampai di depan pintu asrama Draco keluar dari jubah Harry.

"Masuklah, Harry." ucap Draco begitu ia sampai untuk mengantar Harry.

"Bagaimana denganmu?"

Draco menaikkan alisnya, "Aku akan kembali ke asramaku, tentu saja."

"Bagaimana jika kau tertangkap Filch?"

Ada suatu kekhawatiran dari pertanyaan Harry dan Draco entah mengapa senang mendengarnya. Bukankah itu tandanya pemuda Gryffindor itu peduli padanya?

"Tidak akan." jamin Draco. Walau ia sendiri tak yakin, mengingat Filch bisa muncul dimana saja dan kapanpun, tapi ia tak ingin Harry mengkhawatirkannya.

"Bawa ini, Draco." Harry menyerahkan jubah gaibnya pada Draco. Membuat Draco memandangnya bingung.

"Tidak perlu, Harry. Aku akan baik-baik saja."

Harry memutar matanya bosan, menjejalkan paksa jubah gaibnya pada tangan Draco, "Oh kau membutuhkannya, Draco. Kau pikir Menara Gryffindor dengan Dungeon itu dekat?"

Menghela nafas, ia memilih menerimanya dan sekalian untuk berjaga-jaga dari Filch. "Baiklah, besok akan ku kembalikan."

"Sekarang masuklah, aku tak akan pergi sebelum memastikan bahwa kau benar-benar masuk ke dalam asramamu." ucapan Draco sontak membuat Harry kembali merona.

Kenapa Draco barusan terdengar seperti seorang kekasih laki-lakinya yang baru saja mengantar kekasihnya pulang sehabis berkencan dan memastikan bahwa kekasihnya masuk ke dalam rumahnya dengan selamat?

Oh Merlin, hanya memikirkannya saja membuat wajah Harry padam. Harry melesakkan wajahnya pada syal Draco dan menghirupnya dalam-dalam untuk menenangkan debaran jantungnya yang gugup.

"Draco," Harry mendongak untuk menatap Draco. Manik emeraldnya bertubrukan pada pandangan lembut keabuan yang membuatnya makin tersesat ke dalam tatapan itu.

"Harry?"

Harry dengan cepat meraih tubuh Draco dan memeluknya dengan erat. Dekapan hangat ketika wajahnya bergelung hangat dalam dada Draco begitu memabukkannya.

"Terima kasih untuk malam ini. Terima kasih karna kau mau menemuiku." bisik Harry.

Draco hanya diam mematung dan bingung harus bagaimana. Tubuhnya benar-benar kaku dan tak bisa bergerak menerima pelukan hangat yang diberikan Harry dengan tiba-tiba. Dia tak akan menyangka bahwa Harry Potter akan memeluknya dengan sebegini eratnya.

Draco mencoba untuk menetralkan degupan jantungnya yang setengah mati ingin melompat dari tempat yang tak seharusnya. Draco ingin membalas pelukan hangat Harry, tetapi tubuh yang lebih kecil itu telah melepaskan pelukannya.

Draco setengah kecewa tetapi berusaha menutupinya. Ia kecewa karena belum sempat membalas pelukan Harry.

"Harry,"

Draco buru-buru memanggil Harry yang sudah ingin kembali dan menaiki lubang lukisan Nyonya Gemuk. Ia melihat Harry benar-benar memerah dan merona dan tampak ingin sekali kabur saat itu juga dari hadapan Draco. Tetapi Draco tak akan melepaskannya sebelum ia mendapat apa yang dia inginkan.

Draco berjalan mendekat pada Harry yang kini benar-benar mematung. Nafasnya pendek-pendek melihat jarak Draco yang semakin tipis dengannya.

Draco tersenyum lembut, lalu meraih kedua bahu kecil milik Harry. Dan belum sempat Harry berkedip, sesuatu yang lembut menyapu kening Harry.

Harry melebarkan matanya tak percaya. Setengah menganga dan mulai pusing ketika pusaran darah dalam tubuhnya tiba-tiba berkumpul di seluruh wajahnya yang padam.

Apakah—

Apakah—

Draco Malfoy baru saja mencium kening seorang Harry Potter?

Harry belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi tetapi remasan dalam bahunya membuatnya sedikit tersadar dalam pikirannya yang ling-lung.

"Selamat malam. Tidur yang nyenyak, Harry."

Tetapi belum sempat Harry membuka mulutnya, Draco cepat-cepat menghilang dalam balik jubah gaib Harry dan meninggalkan Harry yang nyaris pingsan.

Masih dengan tubuh yang berdiri sekaku papan dan wajahnya yang tak kunjung reda dari rona merahnya. Harry mencoba sekeras mungkin untuk tidak terhuyung.

"Merlin, Draco ingin membunuhku."

xxx

TBC.

.

.

Hai, hai!

Aduh maaf banget update ini setelah menghilang berbulan-bulan. Apa ini cerita udah berdebu? Atau berlapuk lebih parah?

Huhu maafkan daku dan salahkan aja tugas akhir yang menggelayutiku tanpa ampun ㅜ.ㅜ

Semoga masih ada yang baca ya hehe. Next chapter diusahakan semaksimal mungkin bakal cepet kok. Iya, mungkin ya.

Tetep, untuk kritik dan saran dipersilahkan! xo.