Chapter 5

.

...

.

Ini Sabtu pagi yang biasa. Baekhyun menuruni tangga apartemen sederhana itu dengan Jiwon yang berada digendongannya. Mereka akan pergi ke pasar sayur untuk membeli persediaan. Sibuk mengajak balitanya berceloteh, Baekhyun sampai tidak sadar kalau ada seseorang yang berdiri diujung terakhir anak tangga, bersandar pada tembok dibelakangnya.

Terkejut, Baekhyun spontan berhenti. Reaksinya berhasil mengalihkan perhatian si pria yang semula terlihat melamun menatap langit.

Oh Sehun.

Entah kenapa, bertemu dengan laki-laki muda itu terasa sedikit canggung bagi Baekhyun sekarang. Sulit baginya untuk melepaskan ingatan akan kejadian yang dia alami dirumah Park Chanyeol tempo hari. Kala itu ada Sehun dan juga Jongin disana, menyaksikan bagaimana tubuhnya ditarik memasuki kamar, bahkan mungkin juga mendengar bagaimana dia mendesah dan berteriak dibawah kuasa laki-laki dominan yang menyetubuhinya malam itu.

Baekhyun tidak akan menyalahkan bila pada akhirnya Sehun dan Jongin juga akan menatap dirinya murni sebagai seorang jalang bayaran, karena seperti itulah kenyataannya.

"Pagi, Baekhyunee."

"S-selamat pagi, Sehun-ssi."

Tak punya pilihan, hanya sapaan seperti itu yang bisa dibalas oleh Baekhyun.

Laki-laki albino itu menatapnya dengan sorot mata yang sulit dijelaskan. Dia keliatan tidak baik, haruskah Baekhyun katakan seperti itu? Ada guratan-guratan sedih dan frustasi yang kentara di wajahnya. Apa Sehun sedang mengalami masalah? Batin kecilnya bertanya dalam bisu.

"Aku tidak menyangka kita akan bertemu disini. Maksudku, ya... Memang aku yang datang dengan sendirinya kemari. Tapi aku tidak bermaksud untuk menampakkan diri di depanmu. Apa kedengarannya aneh?"

Kalimat itu Sehun tutup dengan kekehan kering, wajahnya ia tundukkan.

Sehun sungguh tidak terlihat baik-baik saja.

Dengan dorongan nurani Baekhyun membawa kakinya untuk menuruni anak tangga lagi, mendekati laki-laki tinggi itu.

"Kau baik-baik saja? Maaf, jika aku lancang bertanya."

Sehun menoleh pada tangan kurus yang saat ini menyentuh lembut bahunya, kemudian beralih menatap wajah si mungil yang memandangnya dengan sorot mata khawatir.

Sehun tidak tahu kenapa. Tubuhnya yang tak sadar telah menyeret dirinya ketempat ini ternyata cukup beralasan. Melihat Byun Baekhyun seolah menjadi penyembuh baginya, menarik beban berton-ton yang memeluk dadanya sejak kemarin. Sulit menjelaskan bahwa ada magic seperti ini didalam kehidupan. Tapi Sehun tahu bahwa ini nyata, dia bisa merasakannya.

Sedalam itu kah perasaan yang dia miliki terhadap Baekhyun? Sehun bahkan tak pernah berpikir untuk mengkalkulasikan hal itu. Ini sedikit sulit untuk diterima oleh nalarnya.

Namun Sehun menolak untuk berpikir lebih keras karena Baekhyun masih menanti jawaban dari bibirnya saat ini.

"Aku baik, setidaknya setelah bertemu denganmu."

Jawabnya jujur, karena sepanjang hidupnya Sehun memang tidak biasa untuk berdusta.

Baekhyun tergugu, sedikit bingung dengan jawaban itu. Tapi Sehun mengerti, jadi dia berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Kau mau kemana pagi-pagi begini bersama Jiwon?"

Usai bertanya, si pria albino meladeni balita di gendongan Baekhyun dengan senyum dan cubitan kecil dipipi. Jiwon jadi tertawa karenanya.

"Mm, kami akan ke pasar didekat sini untuk membeli sayur dan buah. Apa kau tidak keberatan jika aku tinggal? Kau bisa menunggu kami dida-..."

"Boleh aku ikut?"

Dan Baekhyun tidak punya alasan untuk menolak.

Jadi disinilah mereka, berjalan kaki dibawah payungan langit teduh pagi hari. Kabut masih sedikit terlihat diantara pepohonan dan bunga, karena jarum jam belum genap menyentuh angka 7. Jalanan sedikit lengang, walau ada beberapa ibu rumah tangga yang menyapa Baekhyun dan baby Jiwon ketika mereka melintas didepan rumah atau berpapasan dijalan.

Aktivitas pagi di lingkungan padat penduduk yang sederhana, sungguh suasana asing yang tak pernah Sehun rasakan sebelumnya. Tapi dia tidak benci, malah sebaliknya. Tiba-tiba saja segaris senyum tercetak sendiri dibibirnya yang tipis. Ada kehangatan yang menjalar didadanya. Rasanya begitu tenang dan menyenangkan.

"Bolehkah kalau Jiwon aku saja yang menggendong?"

Tawar Sehun, membuat Baekhyun menggigit bibir tak enak.

"Tidak usah, Sehun-ah. Jiwon sudah agak berat sekarang. Aku tak ingin merepotkanmu."

"Tidak apa-apa. Aku senang melakukannya."

Kepalang Sehun telah menyelipkan tangannya di antara ketiak Jiwon, jadilah Baekhyun menyerahkan balitanya kepada si tinggi.

Sehun membenarkan posisi gendongan dengan nyaman. Dia membuat Jiwon menghadap ke depan sehingga bisa bebas melihat jalanan. Balita itu senang bukan main. Baekhyun tersenyum, melihat Sehun bisa akrab dengan balitanya dan mereka sedang berceloteh sekarang.

"Baekhyun-ssi! Selamat pagi!"

Seorang ibu-ibu lagi yang berpapasan dengan mereka ikutan menyapa. Sepertinya Baekhyun akrab dengan tetangga-tetangga disini, karena dia memang orang baik terlepas dari apa pekerjaannya dimalam hari.

"Nyonya Jung, selamat pagi."

"Aigoo, siapa yang menggendong Jiwonnie itu? Tampan sekali."

Baekhyun tersenyum canggung, sedangkan Sehun terlihat santai dan membungkuk sedikit pada si ibu.

Sambil menyematkan sedikit helaian rambut kebelakang telinga, Baekhyun ingin menjawab "Dia... Dia..."

"Aku Oh Sehun, temannya Baekhyun."

Laki-laki itu seperti mengerti kesulitan Baekhyun dalam mencari jawaban yang tepat jadi dia membantunya.

Teman? Adakah anak kuliahan yang mau menjadi teman seorang janda beranak satu? Baekhyun menunduk tak enak hati, sedikit menciut dan rendah diri.

Namun Nyonya Jung malah terlihat tersenyum penuh arti setelah mendengarnya.

"Kau kelihatannya masih muda sekali nak. Ya sudah, aku tidak ingin mengganggu. Sampai jumpa ya Baekhyun-ssi, Sehun-ssi. Bye bye Jiwonnie..."

"Baaii..."

Balita itu melambai mengiringi kepergian Nyonya Jung yang mengambil jalan berlawanan arah.

Baekhyun menghela nafas lega secara tidak sadar, seakan tensi ketegangan telah berhasil dilewatinya. Sehun mengulum senyumnya melihat reaksi si cantik.

"Apa kau malu berjalan berdua seperti ini denganku?"

Sehun bertanya, sebenarnya dia hanya iseng.

Baekhyun spontan menggeleng dengan kedua tangan yang berayun cepat. "T-tidak Sehun-ah! Tidak sama sekali. Malah, justru sebaliknya..."

Volume suara Baekhyun semakin mengecil diujung kalimatnya karena merasa tak enak hati. "Kau akan malu jika dilihat orang berjalan denganku..."

Cicitnya lagi, dengan nada yang semakin lemah. Sehun berdehem untuk membuyarkan fokus Baekhyun yang hanya tahu bagaimana cara merendahkan diri. Sehun tidak menyukainya.

"Apa pasarnya sudah dekat?"

Sehun memang paling pandai dalam mengalihkan pembicaraan. Baekhyun lantas mendongak dan tersenyum kecil.

"Ya, sedikit lagi kita sampai."

"Kalau begitu, ayo."

Mereka berdua melanjutkan perjalanan sambil bermain-main dengan si balita Jiwon. Sesekali Sehun akan mengalihkan perhatiannya dengan menunjuk seekor burung gereja yang mampir ke dahan pohon. Jiwon akan bercicit dengan suara cadelnya, membuat Sehun dan Baekhyun tertawa menanggapi si balita berceloteh.

Sehun dan Baekhyun juga bertukar obrolan sesekali. Hanya seputar cuaca dan pertanyaan-pertanyaan kecil seperti "Apa kau akan langsung memasak setelah pulang dari pasar?"

"Tentu. Sarapan lah dirumah kami. Aku akan membuatkan sesuatu untukmu. Kau suka apa, Sehun-ah?"

Sambil terus mengobrol, tak terasa langkah kaki mereka sudah memasuki areal pasar kecil yang rapi dan bersih. Ditiap-tiap pinggir jalan ada stand yang menjual berbagai macam kebutuhan seperti sayuran, buah-buahan, daging segar, bahkan jajanan-jajanan kecil untuk sarapan.

Setelah sejenak berpikir, Sehun menjawab "Aku ingin makan sarapan tradisional Korea. Apapun yang biasa dimasak ditiap-tiap rumah."

Baekhyun sedikit mengerutkan kening, mencari opsi makanan yang Sehun maksud.

"Sup tahu dan rumput laut? Telur gulung?"

"Kedengarannya enak."

Baekhyun mengangguk paham dan tersenyum manis. Sempat-sempatnya membuat jantung Sehun berdegup tak terkendali didalam sana.

"Baiklah, akan aku buatkan untukmu."

Seperti seorang ibu yang memenuhi keinginan anaknya, Baekhyun mengusap puncak kepala Sehun main-main sambil terkekeh.

Pria albino itu tak dapat menyangkal jika bagaimanapun Baekhyun tampak paling menggemaskan baginya. Ibu satu anak itu mengajak untuk menghampiri stand sayuran langganannya. Jari-jemari lentiknya dengan telaten memilah-milah kuntum brokoli segar, sekotak tomat ceri dan wortel.

"Bibi Lee, tolong hitung yang ini ya."

Sang bibi penjual yang baru selesai meladeni pelanggan lainnya itu mengalihkan pandangan pada Baekhyun. Raut wajahnya seketika berubah ceria. Ya, siapa orang yang tak menyukai sosok Baekhyun disini? Semua orang memperlakukan Baekhyun dengan sangat baik dan ramah. Itu karena si mungil juga memperlakukan mereka demikian.

"Baekhyun-ssi yang cantik, lama tidak melihatmu berbelanja. Baiklah, segera aku bungkuskan sayurannya untukmu."

Bibi Lee menyambut sayuran pilihan dari tangan Baekhyun dan mulai menghitung jumlahnya, mengemasnya dalam kantung plastik dan memberikannya kembali pada si laki-laki cantik.

"Diskon 20% untuk hari ini karena kau datang bersama pacarmu."

Bibi Lee melirik jahil ke arah Sehun yang masih menggendong Jiwon dengan tenang.

"Ya, Bibi! D-dia bukan pacarku..."

Puncak pipi Baekhyun terlihat sedikit bersemu merah dan suaranya panik, membuat Sehun diam-diam tersenyum dengan sangat tampan. Jujur, pria ini sedikit tersipu juga.

"Ey... Terserahlah kalau begitu. Tapi dimataku kalian sangat cocok."

"Dia hanya anak kuliahan, Bibi. Tidak seperti yang kau bayangkan."

"Bagus kalau begitu. Kau pun masih pantas bila bersanding dengan daun muda."

"Tida--..."

"Benar sekali, bibi Lee."

Sehun tiba-tiba memotong jawaban Baekhyun, membuat bibi Lee tersenyum menang hingga si tampan juga demikian.

Kalimat Baekhyun terasa tercekat dipangkal tenggorokan, tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Mata sipitnya membulat karena tidak percaya jika 2 orang ini dengan kompak menggoda dirinya, membuat Baekhyun malu setengah mati.

"Sudah lupakan. Aku tidak ingin berdebat dengan kalian. Ngomong-ngomong terimakasih diskonnya, Bibi Lee. Aku tidak bisa menolak, hehehe."

Si mungil terkekeh dan tersenyum jahil hingga menampilkan barisan gigi-giginya yang putih. Semua orang jadi gemas melihatnya. Bagaimanapun, Baekhyun punya ciri khas wajah imut dan baby face terlepas dari berapa usianya saat ini.

"Kau memang ibu-ibu sejati, tidak bisa mendengar kata diskon sedikit saja."

Goda bibi Lee sambil menyerahkan uang kembalian. Mereka tertawa lalu mengucapkan sampai jumpa setelah melakukan transaksi itu.

Mereka melanjutkan kegiatan belanja dengan menghampiri stand buah untuk membeli sekotak storberi segar dan juga pisang kesukaan Jiwon. Setelah mendapatkan berbagai barang lainnya yang dia butuhkan, Baekhyun tiba-tiba menggiring langkah mereka sampai ke sebuah stand jajanan kaki lima.

"Apa kau pernah mencoba yang namanya yachae hotteok?"

Baekhyun mendongak dan bertanya antusias pada Sehun. Laki-laki albino itu menggeleng.

"Ck, sudah kuduga. Anak kaya seperti Tuan muda Sehun pasti tidak pernah mencoba makanan seperti ini. Ya sudah, Mommy Baekhyun akan belikan masing-masing satu untuk kita bertiga."

Dengan cicitan imutnya Baekhyun membuat Sehun tak bisa menghentikan pandangan memujanya pada si cantik. Apapun yang Baekhyun lakukan, mau dia sedang serius, marah, tertawa, atau bercanda, semuanya terlihat begitu indah dimata Sehun.

"Pak, yachae hotteok isi sayuran 3 ya."

Mereka menunggu pesanan tidak terlalu lama. Tau-tau semua sudah terbungkus rapi dan Baekhyun mengeluarkan satu untuk Sehun.

"Kau harus coba selagi hangat."

Tawarnya. Namun dia baru sadar akan sesuatu. Kedua tangan Sehun sudah terpakai untuk menggendong Jiwon.

Baekhyun terkekeh menertawai kebodohannya. Jadi dengan inisiatif, dia merobek sedikit potongan roti goreng asin itu dan meniupnya lembut demi mengurangi panasnya.

"Aaaa..."

Si mungil memberi aba-aba agar Sehun membuka mulut. Si tinggi sempat diam karena entah mengapa dia merasa gugup. Tapi dengan mulus akhirnya makanan itu masuk kedalam mulutnya.

"Bagaimana? Enak kan?"

Sambil mengunyah, Sehun mengangguk cepat hingga membuat Baekhyun tertawa.

Jiwon tampak merengek ingin disuapi juga. Jadi lah si mungil menyuapi dua bayi sekaligus saat ini. Tak sadar, kegiatan mereka jadi tontonan beberapa pengunjung dan pedagang sekitar. Seorang ibu bahkan berbisik bahwa mereka berdua terlihat sangat serasi dan membuatnya iri. Mereka seperti gambaran keluarga yang bahagia dan harmonis.

"Aku sangat bersyukur bertemu denganmu hari ini. Kau membuat segalanya jadi lebih baik, Baekhyun."

Sela Sehun tiba-tiba sambil menatap hamparan langit terang diatasnya. Mereka sedang dalam perjalanan kembali menuju rumah.

Baekhyun yang merasa tidak melakukan apa-apa hanya bisa bertanya dalam hati. Tapi dia tidak berniat mematahkan perkataan Sehun. Biarkan itu menjadi misteri juga untuk dirinya sendiri.

"Jika kau punya masalah, aku tidak keberatan untuk mendengarkan ceritamu. Tapi aku tidak memaksa. Kau anak baik, Sehun-ah. Aku ingin membantumu juga jika aku mampu walau sedikit..."

"Anak baik? Hanya itu?"

Baekhyun menyatukan kedua alisnya ditengah-tengah mendengar pertanyaan Sehun. Laki-laki tinggi dan dominan itu seperti ingin mendengar sesuatu yang lebih. Tapi Baekhyun tak punya jawaban yang tepat untuk dikatakan.

Melihat Baekhyun yang terlalu lama berdiam dalam pikirannya sendiri, Sehun tersenyum maklum dan berusaha mengalihkan pembicaraan. Lagi.

"Maafkan aku jika nantinya kau akan semakin sering melihat wajahku mulai sekarang. Aku tidak bisa menahannya. Aku hanya ingin bertemu denganmu setiap hari, setiap saat jika aku bisa. Kau harus mulai terbiasa dengan itu, Baekhyunee."

Sebuah senyum playfull tercetak dibibir si tampan, membuat Baekhyun berpikir bahwa Sehun ternyata punya sisi seperti ini juga didalam dirinya. Sedikit jahil, badboy, dan pemaksa terlepas dari imagenya yang lebih dominan pendiam dan dingin.

Namun si cantik tidak keberatan sama sekali. Baekhyun hanya tersenyum dan mengangguk kecil sebagai jawaban. Sehun bukan orang jahat. Dia tidak punya alasan untuk menolak ataupun menghindari anak laki-laki ini. Jika 'teman' bisa menjadi status hubungan diantara mereka, maka Baekhyun sama sekali tidak keberatan.

Tapi Baekhyun juga tidak sebodoh dan selugu itu. Dalam hatinya dia tahu, bahwa Sehun tak ubahnya seperti Chanyeol. Bukan dari segi sifat, namun sepertinya mereka memiliki perasaan yang sama untuk dirinya; suka, ingin memiliki, dan sedikit terobsesi. Dia harus memaklumi karena semuanya merupakan gejolak alami didalam jiwa anak muda seperti mereka.

Baekhyun hanya bisa berharap, ada waktunya anak-anak itu akan berhenti dan melupakan obsesi mereka, menemukan sosok yang lebih pantas untuk dijadikan pasangan dimasa depan. Dan orang itu bukanlah Byun Baekhyun.

Sesampainya dirumah, Baekhyun langsung bergerak membuatkan sarapan sesuai dengan janjinya tadi. Sehun menunggu sambil bermain-main dengan Jiwon diruang TV. Begitu masakannya siap, mereka bertiga duduk di meja makan sederhana dan minikmati sarapan dengan sedikit lebih berisik dari biasanya.

Sehun sempat terdiam, bahkan masakan buatan Baekhyun benar-benar terasa pas dengan seleranya dan membuat hatinya meleleh didalam. Dia makan dengan senyum yang enggan meninggalkan bibirnya, perasaannya semakin menghangat.

Dia menginginkan Baekhyun, semakin menginginkannya agar dia bisa terus merasakan perasaan menyenangkan ini setiap hari--setiap saat, bahkan sepanjang hidupnya.

e)(o

Jongin tidak tahu apa yang sebenarnya dia lakukan. Apakah dia masih punya akal sehat atau tidak, dia bahkan sudah tidak yakin.

Jongin menguntit, melakukannya seperti dia seorang anak sekolahan yang mengejar siswi pujaannya di SMA. Tapi Baekhyun bukanlah seorang siswi ataupun cinta pertamanya di sekolah, tidak sama sekali. Dia adalah janda beranak satu yang tengah melakukan kerja paruh waktu disebuah toko bunga disiang hari.

Dan Jongin menyukainya. Mengaguminya dari kejauhan dengan sebuah penyamaran klasik seperti topi dan jaket, kemudian duduk disudut yang tidak akan terlihat oleh si mungil--atau sulit untuk menyadari keberadaannya saat ini.

Carrier cantik itu selalu tersenyum pada siapapun yang mampir ke toko bunganya. Dia bahkan jauh lebih indah dibanding gerombolan aster yang pernah Jongin lihat di New Zealand. Bibir itu sama merah mudanya dengan anggrek yang ia berikan pada seorang pelanggan.

Jongin tak sadar bahwa dia tersenyum ketika melihat si mungil mengipasi wajahnya yang berkeringat dengan tangan kosong. Tapi dia bisa sangat berkonsentrasi ketika harus menyusun karangan bunga untuk sebuah buket. Bahkan ketika sedang serius pun, wajah itu tak kehilangan kesan manis dan cantiknya disaat bersamaan. Jongin tidak tahu bagaimana caranya untuk berhenti; berhenti menatap sosok itu, berhenti untuk mengaguminya, atau sekedar berhenti dari kecepatan detak jantung yang semakin tidak terkendali.

"Kopinya, Tuan."

Seorang waitress datang membawa cangkir kopi kedua untuk si pria berkulit Tan. Disinilah dirinya, duduk disalah satu sudut sebuah cafe yang bersebrangan dengan toko bunga.

Sebuah kaca etalase yang besar menjadi dinding pemisah antara dirinya dan lingkungan luar, memberinya sedikit perlindungan namun juga akses leluasa untuk terus mengawasi sosok cantik bernama Byun Baekhyun tanpa takut ketahuan. Dia penguntit yang beruntung dan juga handal, katakanlah seperti itu. Tapi dibanding disebut sebagai seorang penguntit, Jongin lebih senang menyebut dirinya 'pengagum rahasia'.

Walau dia punya rencana untuk segera mencopot gelar 'rahasia' itu karena Baekhyun harus dikejar dengan pendekatan yang nyata. Dia tidak bisa selamanya terus bersembunyi seperti ini. Sadar betul karena bukan dirinya seorang yang tengah berusaha mengejar cinta Byun Baekhyun sekarang. Ada 2 pria lain dan lucunya, 2 pria itu adalah sahabat sedari kecilnya yang sudah dia anggap seperti saudara.

Namun persaingan diantara mereka tidak bisa lagi dianggap remeh, terutama setelah dia mengetahui bagaimana Park Chanyeol sudah kepalang buta oleh cinta dan obsesinya. Ah, lupakan tentang anak bodoh itu. Jongin juga mulai memikirkan cara untuk melindungi Baekhyun dari tingkah 'brutal' temannya yang sama-sama jatuh cinta pada si carrier.

Langit mendung mulai bergelung begitu hari menjelang sore. Waktu terasa mengalir begitu saja dan Jongin tak sadar bahwa dia telah memperhatikan Baekhyun berjam-jam tanpa jenuh sama sekali. Laki-laki itu beranjak dari kursinya begitu dia melihat si mungil pamit untuk pulang setelah selesai menjaga toko.

Carrier itu berdiri didepan kios bunga, menatap langit abu-abu diatasnya dengan sedikit khawatir. Gerimis mulai turun. Tapi si mungil tampak tak memiliki banyak pilihan karena dia harus segera pulang. Balitanya sudah menunggu untuk dijemput karena ia menitipkannya pada Kyungsoo yang kebetulan libur dihari ia bekerja paruh waktu.

Kaki-kaki kurusnya membawa ia berlarian kecil menerobos hujan yang semakin lama semakin deras. Baekhyun menemukan sebuah pohon untuk sejenak berteduh walau itu tak banyak membantu. Ketika matanya terpaku pada hujan, tiba-tiba dia merasakan tetesan air itu tak lagi berjatuhan diatasnya dengan intens.

Spontan ia mendongak ke atas, mendapati tubuh tinggi seseorang yang kini memayungi kepala keduanya dengan jaket.

"J-Jongin?"

Baekhyun terkejut melihat laki-laki itu sudah berada disana. Sungguh pertemuan yang tidak diduga-duga, setidaknya hanya Baekhyun yang berpikir demikian.

Laki-laki berambut silver itu tersenyum, seperti matahari yang hangat ditengah hujan. "Maaf, aku juga tidak punya payung."

Baekhyun masih terbengong karena belum selesai dari keterkejutannya. Tapi kemudian dia menggeleng kecil dan membalas senyum pria itu. "Tidak apa, dan terimakasih."

Untuk beberapa alasan Jongin bersyukur karena Tuhan menurunkan hujan sore ini. Dia tak dapat menyangkal adanya debaran menyenangkan ketika tubuhnya dan tubuh Baekhyun terjebak dalam posisi sedekat ini, berlindung dibawah bentangan jaket miliknya yang tebal.

"Mobilku agak jauh dari sini. Apa kau keberatan jika kita berjalan sampai kesana?"

Bukannya merasa keberatan, justru Baekhyun ragu karena lagi-lagi ia harus merepotkan pria yang ingin mengantarnya pulang.

Jadi Baekhyun hanya menggeleng pelan sambil menggigit kecil sudut bibirnya. Jongin menangkap sinyal itu sebagai jawaban bahwa Baekhyun menerima tawaran tumpangannya.

"Maaf merepotkanmu, Jongin."

"Tidak sama sekali. Ayo, kita jalan."

Dijalanan lengang yang hanya didominasi oleh suara rintikan dan angin, keduanya menerobos hujan dengan langkah yang seirama. Jongin memastikan bahwa Baekhyun benar-benar terlindungi dari tetesan air dengan cara menariknya lebih dekat kedalam rangkulannya.

"Hu-hujannya semakin deras..."

Dengan sedikit menggigil Baekhyun bergumam. Karena benar saja, bahkan jaket jeans Jongin sudah benar-benar basah dan mungkin bisa diperas. Tetesan airnya merembes membasahi mereka, tak ada gunanya menggunakan benda itu sebagai payung alternatif mereka.

Jongin mencari akal dengan cepat. Posisi mobilnya masih belum terlihat karena ia sengaja memarkirkannya jauh-jauh, takut kalau si Carrier mengenali mobil sportnya yang terlihat begitu mencolok jika diparkir sembarangan.

Sebuah box telpon umum berdinding kaca tertangkap oleh pandangan mata Jongin, tampak menjanjikan untuk memberi mereka perlindungan sementara. "Baek, ayo kita berteduh disana."

Dengan langkah yang berlari keduanya menghampiri box telepon umum itu, menciptakan bunyi tamparan antara sepatu, aspal dan genangan air yang seirama.

Jongin lekas menutup pintu agar cipratan air hujan tak lagi mengenai mereka. Diruangan yang hanya seukuran 2x1 meter itu, kedua insan saling berdiri berhimpitan, menciptakan kecanggungan yang sedikit kentara. Baekhyun menunduk sambil memeluk lengannya, tak dipungkiri bahwa dinginnya udara mulai menusuk sampai ke tulang.

Jongin memperhatikan bagaimana wajah putih itu sedikit basah terkena tetesan air hujan, begitu juga rambut coklatnya. Bibir pinknya samar-samar bergetar, dan mata indahnya sesekali memandang langit mendung dengan khawatir. Ingin rasanya ia memeluk tubuh ringkih nan rapuh itu, melindunginya hingga tak ada sedikitpun angin yang dapat menyentuh Baekhyun.

Tapi sekuat apapun ia menginginkannya, Jongin tetap tak bisa menyentuh Baekhyun sesuka hati. Dia tak ingin membuat si carrier takut. Berada dalam posisi sedekat ini sudah cukup membuat Baekhyun kesulitan dalam menutupi rasa canggungnya. Jongin tak ingin menambah perasaan tak nyaman itu pada si cantik.

Terlalu lama memandangi wajah menawan carrier mungil, Jongin tak sadar bahwa Baekhyun sudah menatap balik kearahnya dengan mata indah namun menyimpan sejuta kerumitan. Jongin seperti terhipnotis untuk beberapa saat. Dia juga tak tahu apa yang sedang Baekhyun pikirkan sekarang, atau dia menganggap Jongin sebagai pria aneh dan semacamnya. Sebenarnya dia tidak begitu peduli. Mereka yang saling bertatapan seperti ini sudah cukup membuat Jongin bersyukur. Perasaanya semakin terpupuk subur terhadap pemuda carrier ini.

"Matamu... seperti menarikku untuk tenggelam kedalamnya."

Gumaman itu Jongin keluarkan diluar kendalinya. Baekhyun memutus pandangan mata mereka dan larut dalam pikirannya sendiri.

Satu lagi...

Satu lagi anak laki-laki yang memandangnya dengan cara demikian. Baekhyun tak bisa memungkiri bahwa ketiga laki-laki itu seakan menatapnya dengan mata yang sama, menyiratkan satu arti yang tak ingin Baekhyun sebutkan dengan lantang.

Entah apa yang sudah dia perbuat di masa lalu. Baekhyun sendiri tak menginginkan jika pada akhirnya semua akan jadi seperti ini. Siapa yang ingin terjebak dalam rumitnya perasaan bernama cinta?

Sebuah hubungan yang dijalani oleh 2 orang saja sudah cukup kompleks dengan segala masalah serta dramanya. Tapi ini? 4 orang terjebak didalam lingkaran yang sama, membentuk segi yang bahkan tak dapat Baekhyun bayangkan.

"Kau kedinginan?"

Jongin menyadari sejak tadi Baekhyun hanya terdiam, membuatnya berpikir bahwa lelaki cantik itu mungkin masih menggigil.

"Maaf, jaketku sudah basah."

"Kenapa kau selalu minta maaf? Kau sudah sangat baik padaku, Jongin."

"Ini bukan soal kebaikan. Tapi ini tentang aku yang ingin melindungimu... selalu."

Baekhyun bisa mendengar suara detak jantung miliknya dan milik Jongin saling beradu. Tatapan mata pria itu seakan menelusup sampai ke tulang-tulangnya, begitu dalam dan intens.

Hujan diluar dan dinginnya udara menciptakan embun yang mengaburkan dinding yang melingkupi mereka. Satu tangan Jongin bertumpu pada dinding kaca dibelakang Baekhyun, seperti mengukungnya agar carrier itu tidak pernah lari. Tak ada lagi suara selain air yang menampar tanah dan alunan nafas mereka yang beradu. 2 manusia terjebak ditengah-tengahnya, saling memandang dengan pikiran berkecamuk milik masing-masing.

"Jika aku datang lagi padamu, aku harap kau tidak pernah menghindariku, Byun Baekhyun. Aku berjanji tidak akan menyakitimu walau sedikitpun. Biarkan aku ada disini, disekitarmu, melihatmu dan mengagumimu... juga melindungimu dari apapun yang berusaha menyakitimu dan Jiwon..."

Entah apa yang dapat mendasari alasan jika Baekhyun menolak dan menyangkal apapun yang dikatakan Jongin saat ini. Pria itu sudah pernah berkorban besar untuknya, tentu saja perihal berita yang hampir tersebar di koran-koran tentang dirinya dan Park Chanyeol. Jongin melakukan itu dengan alasan yang tetap sama; ingin melindunginya dan tak ingin melihat dirinya terluka.

Jika ada kata yang lebih akurat dibanding dilema, itulah kata yang dapat mewakili perasaan Baekhyun saat ini. Semakin hari, simpul yang mengikat takdir diantara mereka berempat semakin kusut dan rumit. Tak ada cara untuk melepasnya lagi.

Park Chanyeol

Oh Sehun

Kim Jongin

Apa yang sebenarnya mereka lihat dari diriku?

e)(o

Chanyeol mengetuk pintu ruang kerja milik Ayahnya dengan tenang, dan berhenti pada ketukan yang ke-3 karena itulah batas maksimal sebelum ia mendengar suara dari dalam yang mempersilahkannya untuk masuk.

Anak laki-laki dominan itu tahu bahwa ini kepulangan pertama ayahnya setelah 3 bulan melakukan perjalanan bisnis ke berbagai negara bersama sang ibu. Tapi dia pikir, tidak ada alasan apapun yang dapat membuatnya menunda untuk membicarakan hal ini; sesuatu yang telah direncanakannya dengan matang dan juga penuh pertimbangan. Hatinya telah mantap. Dia tahu bahwa obsesi dan pemaksaan saja tidaklah cukup untuk mendapatkan sosok itu.

Jadi dia harus menguncinya, membuatnya terikat dalam satu hubungan yang resmi dimata agama maupun hukum.

Sang Ayah tersenyum, mengisyaratkan putranya untuk mulai bicara.

"...Ayah, aku sudah menemukan seseorang yang tepat untukku. Izinkan aku melamarnya, dan menjadikan dia menantu dirumah ini."

Ingin terkejut pun percuma, karena Tuan Park tahu bahwa putranya memang paling pandai dalam hal memberi kejutan; dan apapun yang ditawarkan oleh Park Chanyeol saat ini, tak ada seorangpun yang bisa menolaknya. Bahkan orangtuanya sekalipun.

e)(o

A/N: Terimakasih untuk readers yang sudah setia menunggu update FF ini dengan sabar, juga selalu meninggalkan jejak. That means a lot to me, honestly.

5 chapters to go before we come to its ending. Jangan sungkan utk review, i (somehow) need your piece of thought about this story and my writings.

capai 150 review utk 5 chapter ini, bisa kan? hehehe :D