Lee Jeno. Pria berahang tajam itu sudah seminggu pergi dari hadapan Jaemin tanpa ada sepatah atau dua patah kata yang ditinggalkan. Jaemin tahu, ia tidak boleh berharap terlalu tinggi. Bisa apa bocah ingusan sepertinya berharap lebih, mereka hanya sebatas mengenal nama satu sama lain dan pernah melihat tubuh masih-masih. Tidak lebih.

Ya, tidak lebih dari hubungan one night stand.

Jaemin merelakan yang paling berharga dalam tubuhnya kepada lelaki tampan itu dengan mudah, atau mungkin saat itu ia sedang tidak sadar dan termakan omongan Jeno. Tapi tidak, walaupun tidak seratus persen, Jaemin masih dapat mengingat bagaimana Jeno menyentuh setiap inchi kulit mulusnya dengan lembut.

Ia bahkan masih ingat lagu yang dimainkan saat mereka bersetubuh malam itu di salah satu kamar di klub malam itu. Jeno dengan telaten menuntunnya, mengecap bibirnya dengan lembut. Manis. Ciuman pertamanya, sex pertamanya, direnggut oleh lelaki yang baru ia kenal beberapa menit di klub.

Lantunan lagu pelan itu kembali berputar di benaknya. Mengingatkannya akan hari dimana ia menyatu dengan si sipit itu.

Jaemin meringis, mengusap bibirnya pelan lalu meneguk cocktail kesukaannya. Mata rubahnya melirik ke segala penjuru ruangan. Dalam lubuk hatinya, menginginkan kejadian itu terulang lagi. Dirinya masih menginginkan Jeno, maka dari itu ia mengulang hal aneh ini lagi.

Setelah menunggu hampir satu jam, tak ada tanda-tanda lelaki berhidung mancung itu muncul. Jaemin mulai putus asa, ia sudah mabuk pula. Bibirnya mengerucut sembari menggumamkan kata-kata tiada henti.

"Dimana kakak tampan ituuuuu—" rancau Jaemin kemudian membenamkan wajahnya diantara tangannya yang terlipat diatas meja. Ia menggumam pelan tak lama menangis, hidung dan pipinya memerah. Ia merengek pelan bak anak kecil yang ditinggal Ibunya.

Bukan apa-apa, Jaemin hanya tidak mengerti kenapa ia ingin sekali melihat lelaki tampan itu terus-menerus, memikirkannya sepanjang hari tiada henti.

Semalam Jaemin memutuskan, ia memantapkan hatinya bahwa ini adalah cinta pada pandangan pertama. Jaemin suka itu, ia berani mengambil resiko masuk ke kantor polisi karena berbuat yang iya-iya di bar. Ia bahkan baru dua puluh tahun beberapa hari yang lalu.

Semuanya karena malam itu, malam yang bagi Jaemin serasa seperti mimpi walaupun nyata. Ia kali ini mau merasakannya secara sadar, namun ternyata dia malah jatuh kelubang yang sama. Ia mabuk dan sedari tadi ponselnya bergetar di saku celana, membuatnya mendegus kesal.

Jaemin meraih ponselnya, menekan tombol merah itu berkali-kali, "diam diam! Aku sudah dengar, ponsel! Telingaku!"

Padahal jelas betul sejak tadi Jaemin berada di club, lagu-lagu memekakkan telinga juga terus berputar. Namun kali ini ia malah merengek mendengar nada dering ponsel yang bahkan tidak sebanding dengan lagu-lagu di club.

Jaemin mendengus, ia mengusap hidungnya pelan lalu mencoba untuk bangun dari duduknya. Kepalanya terasa sangat pening, tubuhnya oleng ke kanan dan kiri, kadang menabrak orang yang sedang menari. Tak jarang orang yang sedang menari itu mengumpatinya.

Kaki lelaki manis itu terus melangkah menuju pintu keluar club. Hingga ia sampai di pintu, seseorang menarik lengannya menjauh dari club. Jaemin tidak sempat melihat wajah lelaki itu karena ia benar-benar mabuk, namun ia tersenyum manis pada pria itu.

"Manis, kita bertemu lagi." Goda lelaki itu. Jaemin hanya mengangguk sembari memeluk pinggangnya.

Setelahnya Jaemin jatuh tak sadarkan diri begitu saja dalam pelukan si pria berhidung mancung.

Pagi harinya Jaemin terbangun, badannya menggeliat pelan didalam selimut. Ia mengangkat kedua tangannya lalu melakukan peregangan sebentar sembari mengeluarkan suara seakan-akan ia merengek karena terbangun. Mata cantiknya menelisik kepenjuri ruangan bernuansa abu-abu putih itu, matanya berputar hingga ia dapat melihat sebuah lukisan berukuran besar yang Jaemin ketahui sebagai yellow picador, mulutnya terbuka lebar begitu melihatnya.

Lelaki manis itu kini berpindah kearah kasur besar yang sekarang ia tempati. Selimut berwarna senada dengan ruangan membalut tubuhnya. Sejenak Jaemin melihat kelantai, menemuka setelah celana jeans dengan cardingan juga kaos tergeletak. Dengan refleks ia membuka selimut, matanya membulat kala melihat tubuh susunya tidak mengenakan apapun. Ia bahkan tidak tahu ini dimana?

"Ah, apa yang kuperbuat semalam? Apa aku tidur dengan orang lain?" Gumamnya pelan, ia memukul kepalanya kesal. "Bodoh bodoh!"

"Jaemin, kau.. kenapa?"

Dan mata lelaki berambut creamy itu kembali membulat ketika menemukan seorang lelaki yang telah mengenakan setelan jasnya berdiri diambang pintu. Jaemin menaikkan selimutnya lalu merengut.

"Err— kenapa aku bisa disini?" Tanyanya penasaran. Dalam hati ia mengucap kata syukur dan lega tiada hentinya karena mengetahui siapa pemilik kamar aesthetic ini.

Lelaki berhidung mancung itu tertawa. "Semalam kau mabuk dan menabraku di club, tidak ingat?"

Ia menunduk, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Ah benar juga, semalam ia menunggu lelaki ini dan berakhir mabuk berat hingga ia tak ingat lagi apa yang terjadi. "Mm—"

Si dominan mengangguk paham, "ah, kalau untuk bajumu— kau yang membukanya sendiri. Aku sampai kaget semalam."

Ah benarkan, kebiasaan buruk Jaemin. "O—ooh.. baiklah. Kalau begitu, emm. . . Aku sepertinya akan pulang setelah ini, Jeno."

Jeno menggeleng, ia berjalan mendekat kearah Jaemin lalu mengusap kepala si submisif lembut. "Jika mau berdiam disini tidak apa, anggap saja disini sebagai rumahmu. Oke?"

Meleleh. Satu kata yang dapat mendeskripsikan perasaan Jaemin yang tidak karuan bak terombang-ambing. Jeno itu tampan, hidungnya mancung. Kalau dia berpakaian dengan setelan tux itu kadar ketampanannya bertambah seribu kali, batin Jaemin.

"Oke. ."

"Baiklah, aku berangkat. Pukul tiga mungkin aku kembali. Ah iya, aku punya tiga kucing, mereka ada di kamar sebelah jika kau bosan?"

Mendengar kata kucing, mata Jaemin berbinar. Ia mengangguk semangat. "Oke! Nanti aku akan menemui mereka. Hati hati di jalan!"

Pipi Jeno memanas melihat wajah manis itu. Jaemin sangat menggemaskan bahkan saat ia bangun tidur. Andai saja . .