Ya, dia adalah manusia bodoh yang hanya dipermainkan garis-garis yang melintang di telapak tangannya, takdir yang membawa pada hal yang mungkin sudah seharusnya terjadi.

Hatinya pernah tergores karena orang-orang itu, kemudian bertemu dengan seseorang yang menarik hati, haruskah hatinya tersakiti lagi. Namun nyatanya goresan itu terulang lagi. Barangkali lebih parah, bagaimana ia harus menata hatinya ?

::

::

FOOLISH

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Story by Mel

Warning :

Typo(s), AU, sho ai, DLDR, cover not mine, it's only fictitious

Please enjoy

::

::

Pemuda itu berjongkok menyimpulkan tali sneaker-nya, ia ikat dengan kuat simpul pita yang bertengger diatas sepatu sport berwarna putih, beberapa goresan menandai putihnya, sepatu yang setahun terakhir ini lekat dengan kakinya. Ia berdiri, ujung depan sepatunya beberapa kali diketukkan ke lantai, menyamankan telapak kaki pada bantalan empuk lapisan tebal diatas sol karet.

Tas punggung yang teronggok dilantai diraih, digendong di belakang tubuh kecil, kedua tangannya beberapa kali menarik dua tali tebal mengepaskan posisi dengan tubuhnya, tali ransel yang terasa sempit dan hampir menjepit di kedua ketiaknya. Lalu diangkatnya seikat buku, mendekapnya dengan dua tangan. Hanya itu hartanya sekarang. Beberapa helai pakaian dan setumpuk buku.

Ia melangkah melalui pintu belakang, akses para abdi di rumah besar itu, menapaki setapak paving blok yang berkelok-kelok menyesuaikan dengan gundukan tanah tertutup rumput kering yang melambari tumbuhan perdu yang saat ini juga kerontang. Suasana masih sangat sepi, para pelayan tidak ada satu pun yang sudah terbangun. Apalagi tuan rumahnya.

Semua penghuninya masih terlelap tenang di kamar masing-masing. Lampu temaram masih melingkupi rumah besar, bahkan di beberapa sudut dibiarkan gelap, karena lampunya memang sengaja dimatikan.

Pemuda itu berjalan dengan menunduk, angin dingin mengimitasi ujung-ujung jarum yang menusuk kulit halusnya, kedua tangan ia eratkan memeluk buku di dada kecilnya, sedangkan hidung dan mulutnya menyusup kedalam lilitan syal tebal berwarna hitam berbahan wool campuran polyester.

Sekali lagi ia menoleh pada tempat yang kini akan ditinggalkan. Tempat beberapa waktu kebelakang membuat dirinya merasa berada di sebuah rumah, walaupun tidak sehangat di tempat ayah dan bundanya yang terletak jauh di perfektur lain, berjarak ratusan kilometer. Rumah mereka berada di perfektur Osaka, setelah berpindah dari Tokyo setahun yang lalu.

Sebuah bangunan megah dengan arsitektur bergaya Victorian. Serambi depan luas berlantai granit putih, lalu sepasang bilah kayu lebar berukir elegan sebagai akses masuk ke dalam rumah sangat besar itu. Pada langit-langit menggantung sebuah lampu kristal yang saat ini memancarkan sinar redup kekuningan, cahayanya melapisi semua benda yang ada di teras besar itu. Pilar-pilar beton putih kokoh berukir pada kedua ujung seolah menyangga atap di atasnya.

Kini ia berada di depan gerbang besar, berbentuk pagar tinggi dengan deretan besi yang menjulang, berwarna hitam yang di beberapa bagian dicat emas pada bulatan lambang akronim huruf pemiliknya.

Ia berbalik, dari tempatnya berdiri, bangunan itu semarak dengan lampu taman dan lampu sorot pada spot-spot tertentu, walaupun berintensitas rendah di semua sudutnya, termasuk di setapak yang baru saja dilintasi.

Jendela berderet pada dinding bercat putih tulang, tampak satu jendela di lantai dua sana, sinar temaram dibalik gorden berwarna krem. Sinar redup lampu seperti bulatan bulan. Membayang dari kain tebal bertekstur garis.

Lama ia tatap jendela itu. Di sana, di kamar itu seseorang masih bergelung dengan hangatnya selimut, dan lapisan matras empuk.

Cakrawala masih gelap, waktu baru bergerak tiga jam dari pergantian hari. Belum waktunya matahari muncul. Jangankan sinar, semburatnya saja sama sekali belum ada. Langit masih bersaput warna hitam. Bintang berkedip walau samar. Rembulan pucat tertutup lapisan awan hitam tipis, seperti sang dewi tengah mengenakan brokat hitam, menerawang.

Burung malam pun masih meningkahi sunyinya dini hari.

Ada setitik pilu, ada setitik bening disudut mata.

Beberapa kali ia kerjapkan matanya yang kini memicing menghindari tiupan angin.

Ia harus kuat, demi kebaikan semuanya. Terutama demi dia.

Ia memutar tubuhnya, lalu berjalan ke arah pintu kecil yang dijaga seorang petugas keamanan di pos serupa bangunan kecil, beberapa panel dengan lampu bulat merah, hijau, dan oranye, menempel pada dindingnya, pintu yang juga dari deretan besi hitam, akses keluar masuk yang hanya dilalui orang-orang sekelas dirinya di rumah besar itu.

Penjaga berusia pertengahan empat puluh, tersenyum. Jaket tebal dengan kerah ditegakkan hampir menutup sampai telinga, tangannya berbalut sarung tangan berbahan kulit hitam, tubuh gempalnya beranjak keluar dari pos kecil yang hangat, beberapa kali ia mengerjap menghilangkan kantuk.

"Apa kau mau pergi di pagi buta seperti ini, Kuroko-kun?" suaranya agak dikeraskan karena tersamar angin yang kadang mendenging.

Mata sipitnya memperhatikan pemuda yang tertutup jaket serta syal tebal, dipunggungnya sebuah ransel tampak menggembung.

"Iya Haruto oji-san, sudah waktunya aku pergi, terimakasih untuk semua bantuannya." Ia sedikit menarik fabrik tebal yang menutup setengah wajah dengan telunjuknya, lalu tubuh mungil membungkuk.

Tampak paman itu menghela nafas, bagaimana pun ia sangat menyukai sosok kecil yang sudah beberapa bulan menjadi salah satu penghuni rumah besar yang selalu ia jaga. Pupil coklatnya mengikuti gerak langkah pemuda itu yang mulai membuat jarak.

Sesaat kemudian sepasang kakinya menyusur trotoar di sepanjang pagar rumah besar itu. Berkali matanya menatap jendela kamar yang berada di sayap kanan.

Sebuah kamar yang sangat besar dan mewah.

"Sayonara." ucapnya pelan. Lalu kedua kaki kecilnya mulai memaksa langkah, setelah semenit lalu ia hanya berdiri di luar pagar menatap ke arah itu, kedua tungkai sangat berat, seperti tengah dirantai dengan ujung-ujung bola besi. Ia tetap berusaha menyeret langkah.

.

Suasana sunyi, tak satupun kendaraan yang melintas. Jalan besar itu serupa lorong hitam, lampu penerangan redup di beberapa titik, sebagian terhalang ranting kerontang .

Tiba-tiba sepasang lampu menyorot. Memerangkap tubuh kecilnya dalam cahaya kekuningan yang menyilaukan. Mata memicing sedangkan tangannya yang tertutup sarung tangan berbahan fleece melindungi matanya dari terpaan sinar.

Sebuah mobil terparkir di tepi jalan. Pemuda itu menghampiri. Kaca pengemudi turun perlahan.

"Sudah lama menunggu?" tanyanya, tubuh mungil dibungkukkan untuk mencoba menatap seraut wajah dalam kegelapan. Namun sebenarnya ia sudah sangat hapal bentuk dan lekuk seraut wajah tampan di dalam mobil itu.

"Cepat masuklah, diluar sangat dingin!" sebuah perintah yang sarat dengan kekhawatiran.

Pemuda itu mengangguk. Segera menekan handel pintu, membukanya, menghempaskan diri pada jok hitam disebelah sang driver, ia segera menutup pintu agar hawa dingin berhenti menyergapnya.

Lengannya menarik sabuk di samping pintu depan lalu memasangkan pengamannya menyampir di dada, sesaat kemudian kendaraan berwarna abu-abu metalik itu melaju, menciptakan rentang jarak menjauhi tempat yang ia tinggalkan.

Kembali kepala itu memutar menatap mansion besar untuk yang terakhir kali.

Sebuah senyum terukir di wajah si pengemudi, berusaha memberi sedikit kehangatan dan kekuatan untuk seseorang yang sangat ia sayangi. Walaupun dalam kendaraan itu gelap, ia berharap kehangatan senyumnya dapat sampai pada sosok mungil di sampingnya.

Kedua tangan pria berwajah tenang itu memutar lingkaran stir, berbelok menuju jalan bebas hambatan yang kosong saat ini, sesekali lampu menyorot dari arah berlawanan lalu gelap mengiringi setelahnya.

Beberapa kali mobilnya disalip, tapi si pengemudi tetap tenang, ia ingin momen bersama sosok mungil bisa lebih lama. Sudah terlalu lama mereka tidak lagi berkendara bersama.

Hening, keduanya terdiam, tak satu pun memulai membuka pembicaraan, yang satu enggan bicara, yang lain sungkan untuk bertanya. Namun keduanya mengerti situasi ini.

Mata beriris lebar terpejam, membayangkan sosok itu yang sebentar lagi akan menggeliat dibawah selimut tebalnya. Tanpa sadar ia menghela nafas.

Sampai tadi malam ia masih berprofesi sebagai pelayan di rumah itu, mengurusi seluruh keperluan tuan muda Akashi - Akashi Seijuurou. Tapi sekarang tidak lagi. Bahkan ia tidak diijinkan untuk sekedar pamit pada tuannya. Ia harus segera angkat kaki begitu ia mendapat titah yang sangat mendadak. Sebelum tuan mudanya bangun ia harus sudah tidak lagi berada di rumah besar itu.

Biasanya pemuda mungil itu akan bangun sebelum pagi hari, bahkan sebelum ayam jantan berkokok.

Mempersiapkan dirinya dengan pakaian layaknya pelayan lain. Menyisir rambutnya serapi mungkin, meraup pomade untuk kesan basah dan rapi. Sebetulnya ia belum lama bekerja di rumah besar itu.

.

Sejak kedatangannya tadi, Tetsuya sudah bersiap untuk membersihkan dan merapikan ruang kafe.

Tapi kakaknya melarang saat tangan mungil itu baru saja menyentuh gagang sapu, "Masih terlalu pagi, istirahat saja dulu, Tetsuya, simpan barangmu di atas!" dagunya sedikit mendongak. Pemuda mungil itu mengangguk mengerti.

Di ranjang kecil itu ia mendudukan dirinya, tanpa terasa tubuh miring bersandar pada headboard, kemudian terlelap.

.

"Kuroko ?" satu sapaan terdengar, seorang pemuda dengan surai oranye baru keluar dari kamar mandi, tetesan air membasahi kaos di leher belakang. Tiba-tiba ia menerjang tubuh mungil Tetsuya. "Apakabar Ogiwara-kun?" suaranya masih serak, pemuda riang itu terkekeh.

"Kau benar-benar pulang kan Kuroko?" ia tatap cerulean besar itu dalam-dalam. Tetsuya hanya mengangguk.

"Aah pasti akan membuat nii-sanmu senang!" seru Shigehiro, ia menunjukkan senyum lebarnya.

"Nah aku akan ke bawah membantu Mayuzumi-san beres-beres, kau istirahat saja dulu." Kembali surai biru itu mengangguk.

Ruangan di lantai dua ini tidak terlalu luas, bahkan sama besarnya dengan ruangan café di bawah, hanya ada dua kamar tidur dan ruang tengah.

Tetsuya mendudukkan dirinya di atas dipan kecil, bersisian dengan tempat tidur Shigehiro. Ya, tempatnya dulu.

Ruangan ini samasekali tidak berubah.

Ia tersenyum pahit.

::

::

tbc

::

::


Note :

Satu lagi fict multi chapter yang saya tulis, semoga menghibur…

Gomeen, cerita sebelumnya belum kelar sudah bawa fict yang lain….

Buat Iky….semoga cepat pulih dari wb… I really miss your ficts… XD

Juga buat semua author akakuro...moga bisa update cerita bagusnya...I miss you all...(ngarep bisa baca lanjutan cerita yang lama belum update...XD)

Lots of love buat semua readers….

Mel~