Penampilan Woojin saat ini jauh dari kata kaku yang biasa melekat padanya. Dia bergaya bak anak muda berumur dua puluhan yang sialnya masih sangat pantas untuknya. Hoodie hitam dipadu dengan ripped jeans dan masker berwarna kelabu sama sekali tidak mencirikan umurnya yang menginjak kepala tiga.

Poni yang biasa tersisir rapih keatas pun kini menjuntai bebas, ikut bergerak seiring dengan pergerakannya yang mengikuti Jinyoung.

Senyum sumringah tak pernah lepas dari wajah manis anak itu semenjak mereka menginjakkan kaki di bagian indoor taman hiburan.

Matanya berloncatan ke segala arah dengan binar cerah, bahkan sambutan dari dua orang yang mengenakan kostum berbentuk beruang yang menjadi maskot Lotte World tampak begitu mengagumkan untuknya. Jinyoung tertawa girang saat dua maskot bernama Lotty dan Lorry itu menjabat tangannya.

Memasuki lantai pertama, arena petualangan 1, Jinyoung langsung berlari ke pagar pembatas Ice Rink—wahana ice skating—yang berada ditengah area. Dari sini keseluruhan taman bermain dalam ruangan seluas empat lantai itu bisa terlihat jelas, mulutnya terbuka lantaran kagum dengan interior yang menyerupai negeri dongeng, tak berbeda jauh dengan pemandangan dari luar yang dibuat persis seperti kastil. Woojin sampai harus berlari untuk mensejajarkan langkah mereka agar tak kehilangan jejak.

"Waaah." seruan kagum kembali keluar dari bibir mungil itu begitu musik dari pengeras suara mengalun indah seiring munculnya parade dari para penari dan penyanyi bertopeng.

Festival topeng musim semi sudah dimulai. Para pengunjung bersorak atas penampilan penari yang lihai meloncat dari atas kendaraan hias ke bawah atau kendaraan lain, pun suara lantang penyanyi yang mengemas lagu tradisional dengan apik. Sekitar sejam Woojin berdiri menemani Jinyoung melihat pertunjukan sampai selesai dengan antusias, lalu kembali mengikuti langkah anak itu yang menunjuk carousel—komedi putar.

Muncul rasa ingin tahu dalam hati Woojin melihat reaksi Jinyoung yang terlalu antusias persis seperti anak kecil mendapat mainan baru atau melihat hal baru. Agak sedikit norak dari pandangan orang dewasa sepertinya.

"Baeby baru pertama ke sini?" tanya Woojin penasaran, menghentikan langkah anak itu.

Jinyoung menggeleng pelan, ada sedikit raut sedih terpancar dari wajah mungilnya sebelum berganti senyum kecil ketika ia menjawab,

"Dulu Jinyoung pernah pergi sama papa dan mama waktu liburan. Naik perahu, balon udara, main esketing, pokoknya seru banget hyung. Jinyoung suka di sini."

"Begitu.. jadi cuma hyung yang baru pertama kali ke sini."

"Eh hyung belum pernah?" kaget Jinyoung.

Woojin berdeham sebagai jawaban. Kalau diingat kembali dia memang tidak pernah menginjakkan kaki di taman hiburan ini, mungkin juga tempat sejenis lainnya yang berada di Korea. Dia tidak terlalu suka suasana yang kelewat ramai dan Lotte World tidak pernah sepi.

Satu-satunya taman hiburan yang pernah dia datangi adalah saat Oktoberfest di Munich, Jerman sepuluh tahun lalu. Festival bir yang rutin diadakan setiap tahun itu seperti sebuah keharusan untuk dihadiri dan Woojin berhasil dipaksa ikut sewaktu kuliah dulu. Jangan tanyakan bagaimana ramainya suasana dalam festival itu, Woojin menolak untuk mengingat pengalaman buruknya terkena muntahan seorang wanita mabuk mengenakan dirndl—gaun tradisional Jerman yang terdiri dari blus dengan lengan berpotongan rendah mengembang, korset, dan celemek.

Woojin sampai harus membuang kemejanya dan memakai kaus suvenir yang dibeli dari stan. Tetapi, foto-foto yang dia dapatkan dari sana memang luar biasa. Bukan hanya kemeriahan dari para pengunjung festival yang datang dari berbagai belahan dunia tapi juga wahana taman hiburan yang tetap beroperasi diantara ribuan manusia tak luput dari bidikan lensanya. Salah satu yang menjadi favorit Woojin ialah foto bianglala setinggi 60 meter yang tampak seperti roda api membelah langit malam. Dia bahkan mengirimkannya sebagai kartu pos pada Minhyun.

"Hyung?" Jinyoung menarik lengan hoodie yang Woojin kenakan cukup kencang karena tak kunjung mendapat respon.

Woojin tersentak dari lamunannya, "Ah—kenapa?"

Bibir Jinyoung mengerucut lucu. Tangannya langsung menggenggam yang lebih tua, mengisi sela-sela kosong diantara jemari mereka dengan tautan erat.

"Hyung melamun! Hyung kan belum pernah ke sini kalau melamun terus nanti bisa ke sasar lho. Nanti Jinyoung yang bingung cari kalau hyung hilang. Pokoknya ngga boleh lepas tangan Jinyoung ya. Biar Jinyoung yang tunjukan jalannya." ujar Jinyoung, menatap lurus pada Woojin yang mengerjap heran.

Perkataan Jinyoung tidak main-main, melihat dari ekspresi serius dan tarikannya untuk memandu Woojin ke tempat selanjutnya. Selayaknya orang tua protektif yang tidak membiarkan anaknya berjalan sendiri dalam keramaian.

Woojin hanya tertawa pelan pada perlakuan anak itu. Sebenarnya siapa yang anak kecil di sini?

Tak terasa sudah hampir tiga jam mereka menjelajahi taman hiburan ini padahal Woojin yakin tak sampai separuh dari keseluruhan lokasi kalau dilihat dari peta saku yang dia ambil di loket tiket. Mereka baru menjelajahi lantai petualangan pertama dan kedua saja. Itupun sudah ditambah naik beberapa wahana seperti carousel, kapal viking, giant loop, drunken basket, dan lainnya.

Jinyoung masih sangat bersemangat untuk melanjutkan petulangannya. Kalau bukan karena tarikan Woojin yang membawanya ke stan makanan, mungkin mereka akan berakhir menuju lantai tiga dan mengendarai roller coaster lainnya.

Woojin sudah hampir mati di wahana giant loop tadi, rasanya ia takkan sanggup mengendarai kereta menggantung lainnya. Bukan karena dia lemah tapi akrofobianya sama sekali tak membantu dan dia terlalu gengsi untuk mengatakannya pada si kecil. Alhasil jantungnya cukup mendapat banyak kejutan sepanjang bermain dalam wahana itu. Istirahat sejenak adalah hal yang paling dibutuhkannya saat ini.

"Dua puluh ribu won Tuan. Gratis permen untuk adik manis." seru gadis penjaga stan usai mencatat pesanan pada mesin kasir.

Bocah manis itu sempat melirik yang lebih tua untuk meminta persetujuan sebelum menerima gulalinya, tak lupa mengucapkan terimakasih dengan lucu. Mengundang pekikan gemas dari beberapa pelayan lain yang menatapinya sedari tadi.

Satu cola dengan mini corn dog dan satu es cokelat dengan marshmallow yang dikemas dalam gelas tingkat sudah berada salam genggaman Woojin setelah membayar pesanan mereka.

"Anda pasti sangat menyayangi adik anda ya. Jarang-jarang melihat kakak mau menemani adiknya bermain ke sini berdua saja dihari kerja." komentar gadis itu kala menyerahkan kartu hitam Woojin. Woojin hanya membalasnya dengan anggukan sopan lalu mengajak Jinyoung duduk pada bangku panjang yang tersedia di sepanjang lantai dekat pagar pembatas.

"Hyung nanti naik rollercoaster ya!" seru Jinyoung antusias di sela kunyahannya pada makanan empuk nan manis yang meleleh di mulut.

"Hn, habiskan dulu makananmu."

"Esketing juga!" serunya lagi.

"Iya."

"Naik balon udara juga ya!"

Woojin menghela nafas panjang, menatap wajah antusias itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Baeby..." Perkataan Woojin terhenti akibat raungan ponselnya. Dia memutuskan untuk memeriksa dan mendapati nama Jihoon tertera dimuka layar. Woojin langsung mengaktifkan mode pesawat dan menyimpan kembali benda itu dalam saku.

"Baeby lagi balas dendam sama hyung ya?" lanjut Woojin.

"Balas dendam?" Jinyoung menelengkan kepala, bingung.

Ah, Woojin lupa dia sedang bicara dengan anak kecil yang belum mengerti kejamnya dunia. Minhyun membesarkan Jinyoung dengan baik, menjauhkannya dari segala kemalangan dunia yang bisa merusak kemurniannya. Jadi mana mungkin Jinyoung mengerti arti balas dendam, mungkin kata dendam juga masih asing untuknya.

Woojin cepat-cepat menggeleng, "Bukan apa-apa. Iya, nanti kita naik balon udara." ujarnya dengan berat hati.

"Yeay!"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Jihoon menatap sebal benda persegi dalam genggaman dan melemparnya asal ke atas ranjang. Nada tunggu yang selalu menemani sedari tadi berubah menjadi suara seorang wanita—mesin penjawab otomatis. Tanda orang yang sedang dihubunginya tidak bisa dijangkau dan Jihoon yakin seratus persen orang itu baru saja mematikan ponsel untuk menghindari teleponnya.

Ini bukan kali pertama Woojin melakukannya tapi hampir setiap hari selama dua bulan belakangan. Yah sebenarnya sudah bertahun-tahun pria itu acapkali mengabaikan telepon atau pesan Jihoon tapi semakin parah belakangan ini. Woojin sama sekali tidak menjawab telepon atau pesannya, padahal ada hal penting yang ingin Jihoon bicarakan. Tentang pernikahan mereka yang akan berlangsung kurang dari dua pekan.

Pernikahan yang sudah direncanakan dari lama namun dengan persiapan tidak matang bukanlah impian setiap gadis. Meskipun sudah ada tim yang mengatur dan memastikan lancarnya penyelenggaraan pesta pernikahan itu akan tetapi setidaknya Jihoon ingin Woojin turut andil dalam memilih baik tema maupun cincin pernikahan mereka. Namun sampai sekarang, jangankan melihat batang hidungnya, menghubunginya pun Jihoon tak bisa. Jihoon harus berpuas diri dengan menyerahkan segalanya pada orang lain dan merelakan pernikahan impiannya. Demi seorang Park Woojin, pernikahan macam apapun itu tidak akan menjadi masalah asal mereka bisa bersama.

Jihoon sangat menyukai Woojin. Sejak keduanya dipertemukan dalam pesta ulang tahunnya yang ketujuh belas, Jihoon langsung menaruh hati pada pria yang lebih tua tiga tahun darinya itu.

Awal pertemuan mereka bukan sesuatu yang wah atau istimewa tetapi kejadian yang mengikuti hari itu menjadikan Woojin sebagai pemilik tetap hati seorang Park Jihoon.

Sebagai putri satu-satunya pemilik perusahaan konstruksi terbesar di Korea—Dasoon Group—Jihoon selalu menjadi sorotan. Perkataan baik dan buruk silih berganti memasuki gendang telinganya seperti makanan sehari-hari. Setiap hal yang ada pada dirinya akan selalu mengundang mata untuk memandang maupun mulut untuk berbicara.

Jihoon dituntut menjadi sempurna secara alami bak seorang putri dalam negeri dongeng yang tanpa cela. Terima kasih kepada gen ibu yang menjadikannya secantik bunga sakura, satu-satunya yang mengurangi bebannya dari hal lain untuk menjadi sempurna. Dia yang terpintar di sekolah, berbakat dalam bidang akademik maupun non akademik. Penerima penghargaan atas kepiawaiannya bermain piano. Dan tentu idola bagi seluruh murid disekolahnya.

Oh, maksudnya hampir seluruh murid.

Kehidupan Jihoon baik-baik saja sampai ulang tahunnya yang ke-17. Dia memiliki orang tua yang hebat, kehidupan sekolah yang luar biasa, dan dua sahabat yang senantiasa mendukung serta menemaninya. Segalanya sempurna, ujaran kebencian yang tertuju kepadanya dari para munafik tidak berpengaruh sama sekali sampai sejauh ini.

Ya sampai dia mendengar hal yang sama sekali tak terduga dari dalam bilik toilet.

Waktu itu, saat usia Jihoon menginjak 17 ayahnya memutuskan untuk merayakan ulang tahunnya besar-besaran. Pesta mewah nan megah yang diselenggarakan di salah satu hotel bintang lima menjadi ajang pertemuan bisnis, bukan hanya untuk merayakan ulang tahun seorang gadis remaja. Jihoon diajak berkeliling untuk dikenalkan pada kolega bisnis sang ayah, dia sampai harus meninggalkan kedua sahabatnya dengan tak enak hati.

Topeng seorang putri sudah terpasang sempurna sepanjang lima belas tua bangka dan bibi-bibi berpakaian seharga satu apartemen di Gangnam. Ayahnya, Tuan Park menyambut kedatangan para tamu penting dengan sukacita selagi memamerkan Jihoon pada mereka. Beberapa dari mereka memang menaruh minat pada Jihoon tapi selebihnya lebih tertarik membahas bisnis dan hal lain dengan ayahnya. Jihoon sebisa mungkin menahan diri agar tak kelepasan menguap saking bosannya dengan pembicaraan orang-orang dewasa itu.

Tak terhitung sudah berapa rutukan yang terucap dalam hati, hampir lima belas menit lamanya Jihoon berdiri mematung disamping sang ayah yang sibuk berbincang dengan pria paruh baya yang diketahui sebagai menteri infrastruktur. Entah apa yang mereka bicarakan yang jelas Jihoon hampir mati bosan, netra bening itu mulai berlarian mencari keberadaan dua gadis yang dia tinggalkan sampai tarikan dari sang ayah mengagetkannya.

Ayahnya berjalan terburu menuju kerumunan tak jauh dari pintu masuk ballroom. Jihoon mengernyit heran pada kerumunan yang dipusati oleh dua sosok—seorang pria setengah baya dan remaja lelaki, lantas kesal karena merasa mereka mencuri pestanya. Seharusnya kan yang menjadi sorotan malam ini dia bukan kedua tamu itu. Walau harus Jihoon akui kedua orang itu memang begitu menonjol di antara tamu undangan lain, mungkin karena visual mereka yang cukup tampan bahkan itu juga berlaku untuk pria tua yang belakangan diketahui sebagai Park Seojun, pria bertangan besi dibalik kesuksesan JC Group—perusahaan konglomerat yang merajai industri makanan dan layanan makanan, farmasi dan bioteknologi, hiburan dan media, belanja rumah dan logistik.

"Astaga Park Sajang! Tak ku sangka kau mau meluangkan waktu berhargamu untuk pesta kecil ini."sapa ayah Jihoon sumringah, tangannya terbuka lebar guna mencipta gestur penyambutan sukacita. Melihat kedatangan tuan rumah pesta membuat tamu-tamu lain undur diri menyisakan ruang untuk empat insan itu.

"Jangan berlebihan tuan Park. Mana mungkin aku melewatkan pesta ulang tuhan calon menantuku yang cantik ini." Balas Park Seojun diakhiri kerlingan pada Jihoon.

Mata Jihoon membola, jelas terkejut. Ia yakin kupingnya masih berfungsi dengan baik untuk sadar apa maksud perkataan dari dua orang dewasa itu.

"Calon menantu?"tanya Jihoon berbarengan dengan remaja lelaki itu, sontak keduanya saling berpandang.

"Lihat, lihat. Belum apa-apa mereka sudah kompak begini. Sepertinya keputusan kita untuk menjodohkan mereka tidak salah. Hahaha."

"Yah dari segi manapun mereka memang cocok."

"Jihoonie, ajak nak Woojin berkeliling ya. Appa akan berbincang sebentar dengan Park Sajang."

Kedua pria setengah baya itu sama sekali tak memberi jeda, Jihoon masih memproses segalanya dalam kepala. Otaknya terlalu lamban menyadari keadaan sampai seruan protes mewakilinya.

"Tapi ayah—"

"Kalian harus saling mengenal lebih dulu." Perkataan bernada perintah dari kepala keluarga Park sukses membungkam anak lelakinya. Jihoon sempat menangkap sorot tajam yang ditujukan pada remaja lelaki itu sebelum Tuan Park pergi bersama ayahnya, menyisakan mereka berdua.

Suasana mendadak berubah menjadi sangat canggung, tak ada satupun yang memulai pembicaraan. Keduanya sibuk berkutat dengan pikiran masing-masing. Jihoon tidak tahu harus berkata maupun melakukan apa, ini kenyataan yang sangat mengejutkan untuknya. Tak pernah sekalipun terpikirkan olehnya tentang perjodohan, ia pikir perjodohan hanyalah kisah klasik yang ada dalam drama tapi sekarang melihat dia yang menjadi tokoh utama, Jihoon harus memikirkan kembali gagasan itu.

"Aku Park Woojin. Kau bisa memanggilku Woojin." Remaja lelaki itu mengenalkan diri, Jihoon sempat bergidik mendengar suara huskynya yang khas.

"Eh? Eoh. Jihoon. Park Jihoon." Cicit Jihoon.

Tak ada lagi yang bersuara setelah perkenalan singkat itu. Jihoon beberapa kali mencuri pandang, meniti penampilan sosok di depannya dari atas ke bawah. Surai sewarna eboni yang tertata rapih, mata setajam elang, hidung bangir berpadu dengan bibir penuh, garis rahang tegas yang semakin meningkatkan sisi maskulin, setelan sederhana namun meninggalkan kesan berkelas membalut tubuh tegap serta kulit tan yang memberikan kesan seksi.

"Tampan juga.."

"Apa?" Lelaki itu menatapnya heran.

Sial.

Jihoon buru-buru menutup mulutnya. Kata-kata yang seharusnya terucap dalam hati malah terucap tanpa sadar. Jihoon merutuki kebodohannya sendiri. Alih-alih menjawab,

"Toilet! Aku permisi ke toilet." ujarnya sebelum berlari menjauh tanpa menunggu jawaban Woojin.

Jihoon kepalang malu. Dia keluar dari ballroom dengan tergesa, tak ia hiraukan tatapan maupun sapaan orang-orang ketika berpapasan di lorong.

Rasa malunya membuncah sampai ke ubun-ubun, bukan hanya malu karena mulut tak tahu dirinya tetapi juga malu karena kedapatan memperhatikan Woojin se-intens itu. Dia butuh menyendiri untuk mengembalikan kewarasannya. Beruntung keadaan toilet dalam keadaan sepi jadi Jihoon tak perlu susah payah menyembunyikan wajahnya yang semerah tomat.

Jihoon menatap pantulan wajahnya sendiri di cermin, lantas teringat ekspresi Woojin tadi. Dia pasti akan mengganggap Jihoon aneh kan?

"Bodoh Park Jihoon. Kau benar-benar tidak tahu malu." monolog Jihoon sebelum memasuki salah satu bilik, rasa malu juga berdampak pada perutnya.

Tak berselang lama ribut suara langkah kaki, pertemuan hak tinggi dengan permukaan marmer, menggema dalam toilet. Tampaknya dua orang baru saja masuk. Jihoon sempat bersyukur ia sudah masuk ke bilik jadi dua orang itu tak perlu melihatnya, ia akan menunggu mereka keluar lebih dulu.

"Kau lihat kan tadi? Aku benar-benar muak melihat jalang itu."

Jihoon merasa tak asing dengan suara ini. Ia menajamkan pendengarannya.

"Sudah lah Doyeon-ah."

Netra bening itu membola, senang mendapati perkiraannya tak salah. Itu suara kedua sahabatnya, Mina dan Doyeon yang sempat ia tinggalkan dengan tak rela karena ajakan sang ayah. Jihoon tak sabar ingin mengejutkan kedua sahabatnya dan menceritakan perihal perjodohan itu pada mereka. Mereka pasti akan sama terkejutnya dengannya.

"Apanya yang sudah? Kau tak lihat senyumnya itu? Aku sampai mual tiap melihatnya. Dan lagi-lagi dia mengacuhkan kita Mina."

Suara Doyeon sedikit meninggi, Jihoon mengernyit heran. Siapa gerangan yang dibicarakan kedua sahabatnya sejak tadi? Jihoon tak pernah mendengar Doyeon sekesal ini sebelumnya.

"Tapi, Jihoon hanya mencoba ramah karena ini pestanya kan? Aku rasa—"

"Ck, mencoba ramah apanya. Coba saja kalau ocehannya ku sebar pasti akan hancur dia."

Jihoon mematung. Dia yakin pendengarannya masih berfungsi dengan baik, dan dia juga sangat yakin nama yang baru saja disebut Mina adalah namanya. Jadi sedari tadi yang mereka bicarakan adalah dirinya?

"Apa ku sebar saja?"

Suara Doyeon terdengar lirih dalam bising sepatu hak memukul lantai. Seiring kepergian mereka, Jihoon mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.

Kedua sahabatnya membicarakannya? Dan, apa yang dimaksud ucapan Doyeon tentang menyebar itu? Apa itu berarti mereka mengkhianati Jihoon?

Tidak. Tidak. Jihoon tidak mau berprasangka buruk. Dia butuh penjelasan lebih atas semua ini.

Jihoon buru-buru keluar dari bilik toilet untuk mengejar kedua gadis itu. Beruntung mereka belum jauh, Jihoon mempercepat langkah untuk menyusul sebelum mereka melewati persimpangan lorong yang menuju Ballroom.

"Apa maksud ucapan kalian tadi?"

"Eh??? Jihoona?!" Mina tampak terkejut melihat Jihoon begitu berbalik," Ap-apa maksudmu?"

"Aku ada di dalam bilik tadi." tutur Jihoon, menatap lekat pada Mina. Mina tampak gugup. Raut bersalah bercampur takut jelas terpancar dari mata rubahnya. Jihoon bersikeras menuntut jawaban melalui tatapan mata, sampai salah satu dari mereka menghela nafas.

"Sudahlah katakan saja. Aku juga sudah tidak tahan." ujar Doyeon pada Mina sebelum kembali menatap lurus pada Jihoon. Doyeon maju selangkah hingga jaraknya dengan Jihoon hanya terpaut satu kaki.

"Dengar Park Jihoon. Aku sudah lelah berpura-pura menjadi temanmu. Aku muak melihat sikap sok baik dan topeng puterimu itu. Kau bilang orang-orang itu munafik? Sejujurnya aku tidak tahu harus berkata ini atau tidak tapi menurutku, yang munafik itu kau Jihoon. Kau pikir kami tidak lelah mendengar semua keluhanmu itu? Kau pikir aku tak sakit hati tiap kau bilang lebih enak menjadi aku yang hanya anak pemilik toko roti?! Kau pikir mina terima saja tiap kali kau memberikan barang bekasmu padanya karena dia suka?!"

" Apa? Aku pikir—"

"Asal kau tahu, dirimu yang sekarang ada berkat semua yang kau miliki. Jadi berhentilah berpura-pura dan berhenti jadi orang yang menyebalkan. Kau seharusnya menikmati semua yang kau punya daripada berpura-pura menyedihkan di depan kami."

Jihoon tertohok mendengarnya. Dia sama sekali tak mengira dua orang yang begitu dia sayangi tersakiti oleh perkataan dan perbuatannya selama ini. Jihoon sama sekali tak bermaksud. Jihoon pikir dengan mereka, dia bisa menjadi diri sendiri dan mengeluarkan segala keluh kesah yang selalu dipendamnya seorang diri.

Jihoon pikir mereka menerima dirinya apa adanya.

"Aku.. Aku tak tahu kalian berpikir begitu. Aku.."

"Sudahlah aku tak ingin mendengar omong kosongmu lagi. Jangan menghubungiku atau Mina lagi. Ayo Mina!"

"Maaf Jihoon-ah."

Selepas kepergian dua sosok yang sempat mengisi tempat orang-orang paling penting dalam hidupnya, Jihoon memilih bersembunyi di tangga darurat. Dia tak boleh terlihat oleh siapapun saat ini, tidak dengan keadaan menyedihkan begini.

Air matanya tak mau berhenti turun dan dadanya luar biasa sesak. Jihoon terduduk pada anak tangga terakhir, menutup mulutnya rapat agar suara tangisnya tak terdengar.

Rasanya sangat menyakitkan.

Derit pintu terbuka, Jihoon menunduk dalam berusaha menyembunyikan wajahnya sekaligus berharap siapapun itu agar cepat berlalu. Tapi bukannya melangkah pergi, orang itu justru duduk di sampingnya, tepatnya diujung anak tangga lain. Jihoon mengintip dari sela-sela rambutnya yang turun menutupi wajah, meski buram karena air mata tapi dia masih bisa mengenali sosok yang baru saja dikenalnya tadi.

Itu Woojin. Duduk dalam diam tanpa menoleh pada Jihoon. Menatap lurus ke depan seakan ada sesuatu yang menarik pada pintu. Jihoon tak peduli sebenarnya dengan apa yang dilakukan lelaki itu, dia hanya butuh sendiri.

"Aku mengerti perasaanmu. Berat ya, tak bisa mengatakan yang sebenarnya dan harus selalu berpura-pura. Tapi, mau bagaimana lagi? Kita tak bisa memilih untuk dilahirkan seperti apa, dalam keadaan apa, pun memilih orang tua. Yang terpenting sekarang adalah siapa kita dan menjadi apa ke depannya." Tepat sebelum Jihoon mengusirnya, Woojin berkata dengan pelan tapi masih bisa terdengar.

Jihoon tak tahu lelaki itu sedang berusaha menghibur semata atau sedang membicarakan diri sendiri sebab ada kesedihan dalam nada bicaranya. Dan, itu membuat Jihoon berpikir, dia, lelaki itu, dan anak-anak lainnya yang mungkin bernasib sama, apakah benar-benar sendiri dalam dunia penuh kepura-puraan ini?

Karena kalau iya, Jihoon benar-benar merasa tidak memiliki siapapun lagi. Orang tua yang menyayanginya demi menjadi sebuah pajangan, Jihoon tau itu hanyalah kasih sayang semu, pun kedua sahabat yang ia kira sangat mengerti dirinya, Jihoon tau kini itu hanyalah angan hampa.

Kesepian yang sejak lama Jihoon tampik mati-matian kini menyergap dengan dahsyat. Rasanya sangat menyakitkan menyadari betapa kesepiannya dirimu. Menyadari kau tak memiliki siapapun yang benar-benar menyayangi dan menerima dirimu apa adanya.

Tangis Jihoon pecah, bahunya bergetar lebih kencang, dia sudah tak perduli lagi pada riasan maupun keberadaan orang lain di tempat itu. Jihoon butuh menumpahkan segala sakitnya.

Hampir sejam Jihoon menguras penampungan air matanya ditemani Woojin. Lelaki itu hanya duduk dalam diam membiarkan Jihoon menangis sepuasnya. Benar-benar diam tak melakukan apapun, sampai Jihoon lelah menangis sendiri. Dia mengangkat wajahnya dan menghapus air yang membasahi pipi gembilnya, meski likuid bening itu masih sesekali turun, menarik ingusnya hingga suara menjijikan terdengar.

Masa bodo dengan Park Woojin, siapa suruh dia tak menawarkan apapun pada Jihoon padahal sapu tangan akan sangat membantu dalam situasi ini.

Jihoon menatap Woojin dengan wajah memerah—karena menangis, lelaki itu tampak menengok arlojinya beberapa kali hingga akhirnya menoleh. Woojin tersenyum.

"Sudah? Jangan menangis lagi. Kau adalah bintangnya malam ini. Tak perlu menangisi omongan sampah seperti itu. Kau tahu yang mereka katakan tidak benar." Ujar Woojin dengan lembut. "Hapus air matamu dan buktikan pada mereka, hm?"

Woojin berdiri, menepis debu pada Armani hitamnya sebelum mengulurkan tangan. Jihoon menatap telapak tangan dan tatapan teduh itu bergantian. Lantas tersenyum karena apa yang dikatakan Woojin ada benarnya, orang-orang itu—kedua sahabatnya, tunggu apa mereka masih pantas disebut sahabat?—tak tahu rasanya menjadi Jihoon. Mereka tak tahu seberapa menyedihkannya hidup tanpa bisa menunjukkan jati diri yang sesungguhnya.

Tapi, tak apa. Berkat ini, Jihoon tau kalau mereka tak pantas ada dalam hidupnya, dan bonusnya Jihoon bertemu orang lain yang mengerti dirinya. Jihoon menemukan orang yang memahami kesulitannya, dan terlebih dia bersyukur orang itu yang kelak akan menjadi pendampingnya. Malam itu, Jihoon telah memutuskan siapa si pemilik debaran hebat dalam dadanya. Itu milik Park Woojin.

Oh, Jihoon berharap Woojinnya kembali.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Woojin langsung jatuh terduduk pada salah satu bangku panjang terdekat begitu mereka turun dari balon udara. Tulang-tulang di sekujur tubuhnya masih bergetar dan keringat dingin belum berhenti menguar dari pori-porinya. Wajahnya pun sudah kehilangan rona kehidupan semenjak balon udara itu mulai berjalan.

Dia tak menyangka ketinggian dari lantai empat nyatanya masih berefek besar pada akrophobianya. Padahal dia sudah menyakinkan diri sendiri kalau ketinggian 4 lantai tak seberapa, tapi Woojin lupa kalau ketinggian tiap lantai arena taman bermain berbeda dengan batas tinggi tiap lantai gedung pencakar. Alhasil dia terkena serangan panik begitu melihat ke bawah dari balon udara, tubuhnya menjadi kaku dan terkena tremor ringan. Sialnya dia tak bisa langsung turun dan harus ikut tur sampai selesai sesuai prosedur.

"Hyung ngga apa-apa?" Jinyoung bertanya dengan cemas.

Woojin langsung mengusap keringat di kening dan bertindak seolah dia baik-baik saja. Duduk tegak seraya melemparkan senyum simpul pada si kecil.

"Baeby senang?"

"Hyung ngga senang.." balas Jinyoung sedih.

Woojin terkekeh pelan, "Selama Baeby senang, hyung senang kok."

"Tapi.."

"Hyung ngga apa-apa cuma butuh istirahat sebentar. Duduk sini jangan murung begitu." Woojin menepuk tempat kosong di sisinya yang langsung diduduki Jinyoung. Raut bersalah terpancar jelas dari wajah mungil itu. Jinyoung menunduk dalam.

Bagaimana pun ini kesalahannya karena memaksakan kehendak tanpa memikirkan kondisi pamannya. Jinyoung bahkan telat menyadari keadaan pria itu kalau bukan karena petugas yang menemani mereka bertanya lebih dulu. Padahal di awal dia yang berjanji untuk menjaga sang paman tapi malah dia juga yang membuatnya nyaris mati di atas sana.

"Sudah ku bilang jangan murung begitu. Baeby ngga dengar kata hyung?" Woojin menepuk puncak kepala Jinyoung, ia bisa menangkap sedih dalam mata yang sempat berbinar cerah itu.

Jinyoung sudah akan menangis kalau Woojin tidak buru-buru mengalihkan perhatiannya.

"Baeby lihat itu.." Woojin menunjuk sepasang kekasih yang sedang bersenda gurau beberapa meter dari tempatnya dan Jinyoung, "Lalu di sana."

Jinyoung mengikuti arah telunjuk Woojin yang berpindah pada seorang paman dengan balita laki-laki di pundaknya. Dia tidak mengerti kenapa Woojin menunjukkan itu, hanya mengingatkan Jinyoung pada sang papa yang pernah menggendongnya begitu.

"Menurutmu kita sekarang mirip yang mana di antara kedua itu?"

Jinyoung meneleng bingung, sedetik kemudian menunjuk pasangan ayah dan anak yang masih berdiri di toko boneka. Sebab satu-satunya yang terlintas dipikirannya, Woojin adalah ayah angkatnya dan mereka sama sekali tidak mirip pasangan yang terlihat seperti papa dan mamanya itu.

"Salah. Kita mirip mereka." Woojin mengarahkan jari Jinyoung pada pasangan kekasih tadi. Jinyoung semakin tidak mengerti.

"Tapi kan ngga ada anak perempuan di sini hyung."

"Baeby yang jadi anak perempuannya."

"Tapi Jinyoung bukan anak perempuan." protes Jinyoung tidak terima. Tentu saja karena dia anak laki-laki, mana mungkin terima dikatakan begitu.

"Hyung ngga bilang Baeby anak perempuan tapi Baeby yang jadi anak perempuannya."

"Jinyoung ngga ngerti.."

"Baeby akan mengerti nanti kalau sudah lebih besar. Yang penting Baeby tau kalau kita seperti mereka dan cepatlah jatuh cinta sama hyung, ya?"

Anggukan ragu-ragu menjadi jawaban pertanyaan itu. Jinyoung urung bertanya lebih lanjut, ia sudah cukup merasa bersalah untuk tak membuat pamannya pusing meski jauh di dalam hati Jinyoung sama sekali tak mengerti. Yang penting Woojin tampak senang dengan jawaban samar itu.

.

.

.

.

.

—Bersambung—

Hmm Park Woojin bisa-bisanya mendoktrin anak polos masalah begitu ㄱ_ㄱ

Btw ini bertele-tele ngga sih? kok aku rasanya kurang ngefeel ya :(

Mau curhat deng, akutu sebenarnya kurang ngefeel sama 2park makanya lama banget bikin part mereka, mau ku ganti Hyungseob tapi udah kejauhan yakali baru ganti sekarang. Jadi maaf ya kalau lama ㅠㅠ ㅠㅠ