Agust D x Kitty Gang Jimin AU

.

.

.

.

.

"Berhenti menggigitku tiap kali aku bicara. Sakit, tahu!"

"Aduh, habisnya kau ini sangat menggemaskan, hyung, aku kan tak bisa melawan naluri."

"Kalau memang ingin menggigit, gigit saja dirimu sendiri!"

"Kenapa tidak kau saja yang melakukannya, papi?"

"...tidak bisa, kalau nanti kulitmu berbekas seperti ini kan kelihatannya tidak bagus. DAN JANGAN PANGGIL AKU PAPI!"

"Eh, jadi kau sedang memujiku? Ya ampun, manis sekali."

"Aku hanya mengatakan apa yang kulihat dan—SAKIT, BRENGSEK!"

"Sudah kubilang jangan terlalu menggemaskan begitu, hyung. Sakit ya? Adudu kasihan."

"Serius, Park Jimin, kalau terus begini, leherku bisa luka."

" Jadi kau mau kugigit di bagian yang lain, hm?"

"Bagian yang lain itu maksudnya dimana?"

"Aduh, entah ya, mungkin sesuatu yang cukup muat untuk mulutku?"

"Sesuatu yang muat? Jari-jariku? Atau telapak ta—oi! Tunggu! Oi! Kenapa aku diikat?!"

"Cukup bicaranya, aku mulai tidak sabar."

"Aku sudah coba jawab kan? Kenapa masih dihukum juga?"

"Soalnya kau ini nakal sih, hyung, tapi aku suka pria nakal, mufu."

"Apa harus diikat begini?"

"Kecuali kau punya inisiatif menyentuhku, lebih baik diam saja dan jadi kucing dewasa yang manis, mengerti?"

Mungkin bermulut besar adalah hal yang selalu membawa nasib buruk, tapi Yoongi tak benar-benar paham kenapa yang seperti ini—iya, keadaan yang seperti ini, dengan Jimin beringsut sibuk sambil berkutat melepas ikat pinggangnya, justru terlihat sangat menarik.

Pemuda berambut merah muda itu menjilat bibir lagi, sudah ketiga kalinya sejak Yoongi dibuat terpojok ke dinding dan berakhir di tempat tidur yang hari ini beraroma stroberi. Yoongi juga enggan mengatakan dengan pasti apakah kondisinya bisa dibilang beruntung, meski sejujurnya tidak buruk juga. Benar kan? Liukan pinggul ramping Jimin juga terlihat jauh lebih menggoda dibanding biasanya, oleh sebab itu Yoongi benar-benar ingin tahu apakah reflek menelan ludah ini adalah bagian dari insting seorang pemangsa yang sedang kelaparan.

Jimin mengerang lagi, panjang dan bergairah. Sungguh, Yoongi masih cukup sadar untuk menanggapi dengan penasaran, tentang bagaimana Jimin sanggup mengeluarkan bunyi-bunyi penuh rangsangan seperti itu, termasuk lengkingan super seksi dengan gaung yang membuat seluruh indera perasa Yoongi melayang. Perasaan aneh yang muncul tiap Jimin kembali beringsut menjepit kejantanannya di satu titik ternikmat dalam rektum pemuda itu, cukup kuat untuk melelehkan lututnya menjadi genangan.

Benaknya berputar susah payah dalam pergumulan di atas ranjang beralas seprai terburai. Jimin yang menduduki perut Yoongi dan tengah memompa kemaluannya sendiri, dahi berpeluh lembap sambil terus menerus menggumamkan nama pria itu, sepertinya layak dimasukkan dalam daftar tujuh keajaiban dunia. Pasti ada mantra tertentu karena Yoongi seolah diperintah untuk mendorong tubuhnya seiring gerakan pinggul Jimin, mengumpat saat gelombang klimaksnya mendekat, kemudian lepas begitu saja disertai sejumlah sentakan dan gerung rendah. Secara insting, Yoongi akan memalingkan kepalanya ke samping sebab area kanan lehernya selalu tersedia untuk Jimin yang doyan menjilati telinga.

Yoongi tak habis pikir bagaimana mungkin napas Jimin masih menguarkan wangi manis meski udara di sekitar mereka terasa pengap dan menguarkan bau seks yang teramat kuat. Tapi justru karena ini Jimin, kucing sialan yang hobi mendobrak pintu di keheningan malam, maka Yoongi sanggup mengenali hanya dari wangi tubuhnya.

Juga karena ini adalah Jimin, sosok penuh misteri yang tetap melempar kedip cantik kendati sedang terengah dan malah terkikik meski napasnya berhembus patah-patah.

"Ekpresimu lucu sekali, hyung."

Memang dasar licik, kalau akhirnya diberi senyum lebar yang sangat manis begitu sih, rasa-rasanya Yoongi tak akan keberatan dihukum lebih sering.

Tapi tentu saja, sambil memperhatikan bagaimana Jimin bergelung seperti gundukan selimut hangat, terbersit ide di kepala Yoongi. Mungkin jika datang dengan kabar menyenangkan seperti strategi pemusnahan gerombolan anjiing-anjing penguntit yang menjanjikan atau tawaran perbaikan motor gratis selama setahun penuh di bengkel milik salah satu anak buahnya, Jimin tak akan menjahilinya terlalu jauh. Kecuali kucing itu memang datang tanpa alasan dan langsung menghantam rahang Yoongi jika yang bersangkutan memberi penolakan.

Tunggu. Tanpa alasan?

Apa ada untungnya menyambangi kediaman Yoongi dan berbuat usil sesering ini? Rasanya Jimin itu ketua yang sibuk dan tak akan mau repot tanpa tujuan. Kalau Yoongi iseng menanyakan hal ini, kemungkinan besar lehernya akan digigit lagi. Walau terlihat tak peduli, dirinya tetap manusia biasa yang dipenuhi rasa penasaran, bukan salahnya ingin tahu lebih banyak.

Tapi begitu menoleh dan melihat wajah tidur Jimin yang nyenyak seperti bayi, sepertinya segala pertanyaan barusan langsung menguap dari pikirannya.

Tersenyum tanpa sadar, Yoongi mengerjap sambil mengamati. Jimin itu memang punya air muka yang manis, apalagi saat dipandangi dalam jarak dekat. Ada saat-saat dimana Yoongi ingin berhenti bersabar dan segera menembak salah satu kakinya yang tak pernah bisa diam, tapi melihat Jimin menyeringai dengan girang tiap berhasil mengikatnya di kursi maupun ranjang, Yoongi jadi kehilangan selera untuk melawan. Lagipula, mengamati Jimin yang bertingkah seenaknya juga terbilang menyenangkan. Katakanlah Yoongi terlalu malas mengeluarkan energi atau masa bodoh asal pintunya masih bisa diperbaiki. Toh cuma satu orang saja yang dibiarkan begini. Yoongi tak akan terima jika jam tidurnya diusik oleh orang lain.

Min Yoongi, sang gangster penyendiri yang mampu membuat para bandit bersimpuh di lutut mereka, harus mengalah pada sosok bertubuh mungil yang gemar menodongkan moncong revolver di pelipisnya sambil tersenyum tanpa dosa. Datang tiba-tiba, mempesona bak iblis dari neraka.

Entah apa yang diinginkan Jimin darinya, namun Yoongi enggan buang-buang tenaga untuk berpikir. Tidak dengan sepasang mata yang kini terbuka, juga sebentuk telapak tangan yang kembali mengusap dadanya.

Terpaksa.

Terdesak.

Tergoda.

Yang mana saja.

.

.

.