Disclaimer: Naruto adalah serial manga yang dibuat oleh Masashi Kishimoto, dan dianimasikan oleh studio Pierrot. Tidak ada keuntungan dari segi materiel yang didapat penulis atas pembuatan fanfiksi ini.
Mengandung unsur kekerasan, terdapat konten seksual, harap bijak dalam membaca.
Cerita 18+
Saya sudah memberi peringatan
RED: Kiss Me, Ugh!
"Hyatt ..."
"Hup ..."
"Hup ..."
Seminggu sekali mereka berlatih bersama. Memosisikan diri sebagai rival dan menyerang dengan serius.
Pukulan lurus dengan target wajah dan tubuh bagian depan.
Pukul, pukul, pukul, sikut.
"Tch, terlalu lemah, Hinata!" Sasuke melecehkan. Bolak-balik ia berhasil menahan serangan gadis itu serta menangkisnya. Sekali lagi Hinata hendak menendang dagunya, dan kembali ia patahkan.
Hinata terlihat melompat mundur. Gadis itu melakukan tinju bebas sebelum akhirnya berhenti, lalu, mengambil handuk yang tergeletak di kursi besi dalam ruang latihan tersebut.
"Ada apa denganmu? Tak biasanya aku dapat mengalahkanmu dengan mudah," Sasuke mengekori arah Hinata berjalan, sementara si gadis tampak langsung memalingkan mukanya dan meneguk air mineral yang sudah ia siapkan sebelum latihan.
Hinata seolah-olah tak peduli dengan kata-kata Sasuke yang sengaja menggodanya. Atau, ia sekadar pura-pura?
"Hmm ... jangan bilang jika kau masih terbayang-terbayang hal indah semalam?" dua alis Sasuke terangkat ke atas. Wajahnya terlihat meledek, dan ... yah, itu sangat menyebalkan. "Hmm, tubuhku memang nikmat si-"
Bouggg
Botol minuman yang sengaja tak ditutup, Hinata lempar ke wajah Sasuke.
"A-aaah ... Hinata!"
Alhasil baju pemuda itu jadi basah.
"Jangan banyak bicara. Cepat ganti bajumu. Kita ada pekerjaan setelah ini," tukas Hinata menyeka keringat di wajahnya.
.
.
Mobil yang mereka kendarai melaju cepat membelah jalanan Ropoggi. Sasuke mengemudikannya sendiri dan Hinata duduk di jok belakang. Jika sepintas dilihat, maka pemuda itu laksana supir yang sedang mengantar majikannya.
Tujuannya adalah hotel Victoria. Malam ini mereka dibayar untuk mengikuti seorang warga negara asing bernama Crhus Trumble. Crhus adalah pemilik kilang minyak di barat laut Jerman. Pria yang juga menjadi donatur terbesar atas liga Eropa. Yah, singkatnya, kliennya meminta agar pria kurus itu dihabisi.
Dari luar, hotel yang terletak di seberang taman Mori tersebut tampak klasik. Arsitektur dalam gaya Art Deco terlihat pada ornamen yang membentuk perpaduan luar biasa. Gabungan konstruksionisme, kubisme, modernisme, Bauhaus, Art Nouveau, dan Futurisme. Melalui kaca spion dalam mobil Sasuke melirik Hinata yang duduk di belakang.
"Kau sudah siap?"
Tak banyak bicara, gadis itu langsung mengangguk. Mereka selanjutnya turun dari mobil, dan lantas masuk ke dalam lobi hotel tersebut
.
.
.
.
.
Apa yang lebih menyenangkan dari memiliki sekoper uang? Berendam bersama gadis cantik, menikmati fasilitas kelas wahid dari hotel berbintang. Uang membeli segala hal. Masa lalu, bahkan uang yang menuntun masa depanku saat munafik, rasanya menampik fakta uang adalah pengendali hidup. Semua orang melakukan apa pun demi dapat mencium baunya. Persetan legal atau kotor, sekalipun harus menguliti daging manusia, uang tetap manis kala masuk ke kantung celana.
Ballroom hotel ini telah disulap sedemikian rupa. Meja bundar untuk masing-masing tamu, di atasnya diisi gelas-gelas red wine yang menggugah selera. Jika kau memiliki akses VVIP, maka tidak sulit buatmu menemukan zona merah. Tempat; sisi lain dari sebuah kota yang kau cap bersih, serta taat hukum. Sisi ilegal yang mana dijaga oleh para pemilik kepentingan, termasuk aparatur pemerintah.
Kami membaur di antara mereka. Di depan terdapat panggung utama yang mana ketika lampu dimatikan, acara lelang bakal segera dimulai.
Kulihat Sasuke meneguk wine yang baru ia tuang. Aku ingin memukul kepalanya sembari berkata, "Bodoh! Ini bukan bar. Kau mau bekerja atau mabuk?!" Padahal dia seorang dokter, tapi Sas lebih sering mengabaikan kebiasaan buruknya. Terlebih kita mau bekerja. Apa jadinya jika dia kehilangan konsentrasi?
Ku injak kaki Sasuke lengkap dengan high heels-ku.
"Aakh ..." tampak dia yang meringis kesakitan langsung menoleh. Iris sehitam arangnya menatap mataku tajam. Aku balik memicing. Sebuah gidikan ngeri di bahunya, sebelum Sasuke balik memalingkan pandangan.
Matanya tertuju pada seorang lelaki bertubuh tambun yang naik ke atas panggung, dan ... tak lama lampu dimatikan.
It's showtime. Kami semua duduk di bawah temaram. Hanya lilin pada meja masing-masing menjadi satu-satunya sumber cahaya. Dia mengenakan tuksedo putih, warna yang cukup berbenturan dengan dress code malam ini: hitam untuk laki-laki, dan merah untuk perempuan.
Sorot cahaya lampu terarah padanya. Agaknya, ia memang pembawa acara untuk lelang malam ini. Terdengar sesaat pria tersebut basa-basi.
Aku sedari tadi terus memperhatikan sekitar. Pandanganku tak betah lama-lama diam. Tentu saja kami duduk di sini untuk sebuah hal. Buruan kami malam ini adalah pria bernama Houzuki Gengetsu. Pria nyentrik bergaya rambut 'Elvis Presley', si maniak gadis bawah umur untuk dijadikannya budak.
Aku mendecih. Tak kunjung kulihat keberadaan lelaki sialan itu. Apa dia tidak datang? Harusnya, dari hasil informasi yang digali Sasuke, dia ada di sini sekarang.
Suasana berubah hening saat dua algojo mendorong sebuah jeruji kotak yang di dalamnya terdapat tiga gadis belia naik ke atas panggung.
Di tengah dinginnya ruang ber-AC, gadis-gadis malang itu dibiarkan tanpa busana. Raut mereka tertunduk dengan tangan ketiganya dirantai ke atas. Mereka dipertontonkan bak sebuah karya seni yang sewajarnya memang untuk dinikmati. Ekshibisi menjijikkan yang lebih busuk dari susu basi.
Tanganku mengepal. Aku benar-benar muak. Apa-apaan ini? Serendah itukah perempuan di mata lelaki? Tidak. Di sini juga ada beberapa perempuan yang menjadi peserta lelang. Lalu apa? Untuk apa mereka diperjualbelikan?
"1.000.000 yen,"
Seketika aku menoleh.
Di belakangku, pria gemuk dengan banyak cincin di jarinya mengangkat tangan.
"1.600.000 yen."
Seorang lagi menginterupsi. Cerutu terselip di tangan kiri, kemudian ia mengembuskan napasnya.
Kepulan asap nikotin membubung samar di udara. Tersenyum licik, tetapi senyumannya lekas pudar usai ada yang menawar dengan nominal lebih fantastis.
"Berhenti bicara kalian. 3.000.000 yen. Berikan gadis-gadis itu padaku."
Seorang laki-laki bertubuh tinggi dan ramping. Rambut pirang panjang yang terlihat eksentrik disisir ke belakang. Jenggot segitiga, kumis tipis, wajah tanpa alis.
Berbeda dengan orang lainnya yang memakai jas, meski sama-sama berwarna hitam, pria tersebut mengenakan baju berkerah tinggi dengan lengan panjangnya yang dilipat.
Seringai di bibir Sasuke kulihat terulas. Aku menyandarkan punggung dan mengatur posisiku duduk.
Akhirnya, datang juga.
.
Blam!
Aku menutup pintu. Segera kupakai sabuk pengaman dan Sasuke langsung menghidupkan mesin mobil.
Kami mengikuti maybach hitam yang lebih dulu melaju.
Lelang selesai selepas dua jam tawar-menawar. Sial. Si bedebah itu rupanya menang banyak. Hampir separuh dari barang dan orang yang dilelangkan berhasil ia bawa. Entah berapa puluh juta keluar dari kantungnya malam ini.
Di tengah lengangnya jalanan Ropoggi, mobil kami mengekori mobil Gengetsu. Tugasku sekarang mempersiapkan semuanya. Kupastikan pistol tidak kekurangan peluru. Pisau yang tajam pula telah siap untuk sekadar merobek daging hingga menembus tulang.
Dug ...
Aku terkejut,
Sasuke mengerem mendadak.
Sebuah mobil boks ugal-ugalan menyalip kami dari belakang.
"Tch! Menghalangi pandangan saja!" Sasuke mengumpat.
TNNNNN ...
Dia langsung membunyikan klakson dengan keras.
Haaah ...
Aku hanya bisa mengambil napas dan mengembusnya pelan-pelan. Kutahu Sasuke bukanlah tipe penyabar.
"Dinginkan kepalamu. Kau tinggal menyalipnya,"
Sasuke kemudian mengarahkan mobil ke kanan. Namun ketika hendak menyalip, mobil boks itu ikut ke kanan juga. Sasuke memutar setirnya ke kiri, mobil boks turut ikut ke kiri.
TNNNN ...
TNNNN ...
Kutepuk keningku.
Ada apa ini? Apakah mobil di depan sedang mengajak bermain-main?
"Kau sama sekali tak bisa melihat mobil Gengetsu?" tanyaku menoleh pada Sasuke.
Sasuke mengangguk. "Mobil di depan terlalu besar."
Mau bagaimana. Sepertinya tak ada cara lain.
"Pelankan ..."
Aku mengeluarkan kamera pengintai yang biasa kami gunakan untuk misi jarak jauh. Sebuah drone capung. Gerakan sayapnya didapat dari mesin bensin. Sisa bahan bakar lalu disalurkan ke belakang sebagai daya dorong tambahan ketika sayap-sayap sedang mengarah ke bawah. Perangkat miniaturisasi yang hebat. Drone ini pula dilengkapi alat yang membuatnya melaju normal ketika diterpa angin kencang.
Drone kuterbangkan keluar melalui jendela. Aku langsung menghubungkannya ke smartphone melalui FVP. Dari sana kulihat mobil Gengetsu sudah melaju jauh di depan.
"Sial. Mereka berbelok." Pekikku.
Sasuke terang langsung menancap gas, tetapi lagi-lagi mobil di depan menghalangi.
TNNNN ...
"Oi, berengsek, minggir kau!" teriak Sasuke melongok dari jendela.
Dari kamera drone, mobil Gengetsu berjalan menuju sebuah kompleks perumahaan elit.
Sasuke mendecih. Ia kembali pada posisinya.
Sesaat, Sasuke terlihat memperhatikan eksistensinya di dalam cermin. Namun, tak lama pandangannya teralih pada alarm yang sebelumnya ia pasang di sana.
"...?" mata Sasuke menyipit.
Benda itu menyala-nyala; berkedip-kedip, tanda jika kamera tersebut menangkap gerak mencurigakan. Alarm ini dirancang khusus untuk melihat keadaan belakang mobil, sebagai penanda apakah kami sedang dibuntuti atau tidak. Dengan pertimbangan waktu, jarak, serta posisi, maka setelah semua perhitungan itu, alarm akan menyala dengan sendirinya.
"Sas?" tolehku.
Kudapati dua jip di belakang mobil kami. Di balik kemudi, kulihat pria botak memakai kaus tanpa lengan. Di sampingnya seorang berkacamata hitam duduk membawa senapan laras panjang. Sementara di dalam jip yang satunya, kulihat dua orang bertubuh gempal.
"Tch, kita diikuti juga ya?"
Brumm ...
Aku memejam mata erat-erat. Memegang dasboard mobil kuat-kuat. Sasuke memutar mobil kami, dari depan terdengar suara ban yang bergesekan dengan aspal.
Sepertinya mobil di depan mengerem mendadak. Sasuke gila, mobil ini berhenti di hadapan dua jip itu dengan jarak kurang dari satu meter. Apa dia berniat membunuhku?
"What are you doing?!" kupukul pipi Sasuke.
Bough ...
"Akh ... apa yang kau lakukan, Bodoh?! Lihat di depanmu."
"...?!"
Dari balik kaca, kulihat dua orang turun dari mobil. Lengan kedua pria itu dipenuhi tato sampai leher. Mereka seperti pegulat tangguh yang dapat menghentikan gerak lawannya dalam sekali pukul.
"Sas?"
Cleck ...
Tanpa kuduga Sasuke bergerak lebih cepat dari perkiraan ku. Dia membuka pintu dan keluar.
"Oi, mau apa kalian membuntuti kami? Kau pikir aku tidak tahu, huh?!" lontar Sasuke berjalan santai mendekati mereka. Ia seolah kehilangan segenap rasa takutnya. Dengan gaya yang sedikit tengil, Sasuke meludah.
"Tch, jadi begini tampang RED yang acap disebut-sebut itu? Mirip banci!"
"Jangan banyak bicara!"
Sasuke memukul salah satu di antara mereka. Refleks yang diberikan tak kalah cepat. Orang itu menangkis tangan Sasuke dan balik menyerang. Sasuke melompat mundur. Lawanya lumayan gesit. Meski bertubuh gempal, tetapi keakasannya bak orang Cina yang pandai bermain kungfu. Tubuh subur tak menghalangi gerak fisiknya saat bergerak.
Bugh
Satu pukulan mengenai pipi membuat Sasuke terdorong mundur. Mereka menyerang Sasuke bersama-sama. Aku harus berpikir bagaimana ini segera usai. Tidak ada waktu. Mobil Gengetsu mulai masuk ke halaman rumah. Jika ia tidak keluar, akan sulit untuk menghabisinya. Dari luar saja tampak bagaimana penjagaan rumah itu sangat ketat.
Buagh ...
Bough ...
Bogem mentah Sasuke mengenai ulu hati satu di antaranya. Lelaki kedua menghujamkan pisau yang semenjak tadi ia selipakan di balik punggung. Ia buang sarung pisau berujung lancip itu dan membebaskannya ke arah Sasuke.
Satu tusukan, dua tusukan, tiga tusukan, semua lolos. Sasuke dapat menghindarinya dengan mudah. Namun ...
Buagh ...
Tanpa Sasuke sadari, ada yang menjegal kakinya dari belakang.
Sasuke jatuh.
"Kau tak bisa lari lagi sekarang!"
Senyum licik mengembang di bibir sang lawan. Memar di pipi tak lagi terasa sakitnya. Pria itu menduduki perut Sasuke dengan pisau di atas kepala yang siap ia tancapkan.
"SAS?!"
Aku membuka pintu mobil.
"MATI KAU-!"
Kulepaskan pelatuk pistol ku ...
"JANGAN BERPIKIR DAPAT MENGHENTIKAN KAMI!"
Dorrrr ...
Darah memuncrat dari lengan kirinya. Pria itu langsung jatuh, tersungkur ke samping. Aku sudah melumuri peluru tersebut dengan racun yang mampu mengacaukan sistem pernapasan. Kinerjanya serupa sianida.
"KEPARAT!"
Seorang berlari ke arahku. Sebelum bangkit, Sasuke menjegal kaki pria itu, dan terjatuh.
Buggh ...
Dua orang lagi keluar dari jip dan berlari ke arah kami. Kami terlibat adu pukul. Namun jangan sekali-kali meremehkanku, karena aku bisa mematahkan leher kalian dalam sekali serang.
Buagh ...
Bough ...
Buagg ...
Pertarungan sengit. Mereka cukup lihai bertarung dengan tangan kosong dan jarak dekat.
Bugh ...
Sebuah tepakan mengenai perutku. Kubalas dengan tendangan pada rahang yang membuat beberapa giginya copot.
"Sigh!"
Mengusap darah yang mengalir di bibir, pria itu menatapku tajam.
Sedikit pun aku tak bergidik. Sudah. Akhiri saja, kutu-kutu sialan!
"Hinata, kau baik-baik saja?"
Sasuke mengajakku bicara sembari menghadapi lawannya.
"Tak perlu ada yang kau khawatirkan."
Kuambil pisau dari belakang tubuh. Dengan ini semua akan selesai.
Tanpa kusadari, sebuah bola kecil seukuran gundu menggelinding. Bola itu mengeluarkan asap pekat yang membuat mata perih.
Sasuke menarik langkah. Asap ini ... tidak salah lagi, obat bius!
"Hinata?!"
Kudengar teriakan itu.
Namun, dadaku mendadak sesak.
Aku seolah tak mendapat pasokan oksigen yang paru-paru butuhkan.
Tubuhku begitu ringan. Aku tak merasakan apa pun. Aku tak bisa merasakan sakit bagaimana memar menghiasi sebagian wajah dan tubuhku.
Aku mencium bau yang membuat kepalaku pening seketika itu. Keseimbanganku, terasa semakin goyah. Kakiku kebas dan lemas.
Aku tak dapat berpikir.
"Hinata?!"
Suara yang terdengar memanggil namaku kian samar.
"Hinata?!"
Pandanganku menggelap.
Bough ...
"HINATAAA?!"
"Diam, Berengsek!"
Seseorang memukul tengkuk Sasuke dari belakang menggunakan potongan kayu.
.
.
Akhir-akhir ini curah hujan cukup tinggi. Memasuki penghujung bulan November, suhu udara terasa lebih dingin. Siang hari seakan berjalan dengan cepat, dan semua orang harus segera memersiapkan diri untuk menyambut salju di bulan Desember.
Ino masih terkulai di atas kasur. Cukup malas rasanya guna sekadar bangun dan mencuci muka. Tangannya meraba sisi kanan ranjang. Senyum getir kemudian tersimpul. Bodoh, gumamnya. Harusnya ia tidak melakukan itu. Jelas sekali bukan? Suaminya jarang pulang ke rumah ini.
Tangan Ino lalu bergerak mengambil ponsel yang ia taruh di atas nakas.
Tak ada balasan. Semalam ia mengirim pesan pada Hinata. Terakhir gadis itu bilang, setelah bekerja, ia akan datang ke sini. Hinata selalu menjadi tempat curahan hati terbaik. Ya, meski tak jarang gadis itu mengatainya sebagai orang yang bodoh, tetapi apa yang keluar dari mulut Hinata adalah hal jujur.
"..."
Ino menggaruk tengkuknya. Ia bangkit, lantas duduk. Netra akuamarinnya memandang jam dinding.
"Oh My God, aku bangun kesiangan?"
Jam dinding menunjuk pukul sepuluh pagi.
.
Usai mandi, Ino buru-buru mempersiapkan diri. Ia harus segera membuka toko bunganya.
Selai kacang ia oleskan ke atas selembar roti tawar untuk sarapan. Biasanya pagi-pagi begini ada acara ramalan zodiak di televisi.
Ino mengambil remot kontrol yang tergeletak di atas sofa. Dengan melihat ramalan di pagi hari, itu membuatnya jadi lebih baik. Ramalan penaka sihir yang memberi kekuatan dan semangat baru untuknya mengawali langkah.
Klik ...
Yang tersaji pagi ini adalah acara berita pagi. Tampak seorang reporter berdiri di depan mobil yang masih mengepulkan asap, sekiranya baru terbakar.
Penyebab kecelakaan masih belum diketahui. Saat ini pihak kepolisian masih menyelidikinya. Seperti yang terlihat, mobil putra bungsu keluarga pemilik Uchiha Medical Center ini menabrak marka jalan. Dari informasi yang kami himpun, mobil sudah kehilangan keseimbangan dari titik 12, atau tujuh meter di sana. Saksi mata mengatakan, terjadi benturan keras sebelum akhirnya mobil tersebut meledak.
Netra Ino membulat.
Baru semalam ia menghubungi Hinata, bahkan mereka berjanji untuk bertemu.
"Ti-tidak mungkin kan?" tangan Ino bergetar. Kakinya melemas ...
"Bagaimana kondisi Hinata sekarang?"
.
.
Beberapa jam sebelumnya,
"Sayang sekali. Padahal gadis ini sangat cantik. Pasti mahal dijual di pasar gelap."
"Sudahlah. Bos hanya ingin menjauhkan adiknya dari wanita itu. Angkat yang benar."
Setelah Hinata pingsan, mereka mengangkat tubuh Hinata dan membawanya masuk ke dalam jip. Di sana tubuh Hinata diikat, kemudian dibungkus menggunakan kain. Mereka telah siap membuang tubuh tak berdaya perempuan itu ke laut.
"Hitungan ketiga kita lempar."
Dari atas tol laut Tokyo Bay Aqua-Line, suasana di bawah sana terlihat mengerikan. Arus tenang air laut bagai monster yang tengah diam menunggu umpan. Setelah dilempar, Hinata niscaya tak kan selamat. Dengan tubuh dan kaki yang terikat, pun di bawah pengaruh obat bius, mustahil baginya lolos sekali pun Dewi Fortuna berpihak padanya.
"Satu,"
Hitungan dimulai.
"Dua,"
Mulai besok, nama RED tidak ada lagi.
"Tiga!"
Tubuh Hinata dilempar begitu saja.
.
.
.
Bersambung
Fanfiksi ini adalah sekuel dari RED
Selamat membaca^^