12

.

SANGAT mudah untuk mengingat, namun butuh waktu seumur hidup untuk bisa melupakan—mungkin kata-kata itu bisa mendeskripsikan dari sudut mana pun tentang dirinya.

Hermione Granger tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Bahkan ketika ia disiksa, dijadikan budak untuk diperjual-belikan, atau tinggal di bawah atap Rumah Bordil. Rasanya juga tak seperti ini ketika seorang Thedore Nott meninggalkannya untuk dijajakan pada orang lain. Bahkan ketika dunia menjauh menelantarkannya, membiarkannya bertarung sendirian dengan keganasan dan diskriminasi yang tak berkesudahan.

Hermione tak pernah semerana ini ketika semua mulut memberitakan seberapa rendah dirinya, menyebutnya sampah yang dipungut dari gorong-gorong—dan tak akan pernah bersih walaupun telah dicuci dengan seluruh air di lautan. Karena kotor itu berada dalam darahnya. Tentu saja yang paling bermasalah dalam dirinya adalah status itu. Karena semua hal itu menentukan nasibnya, yang telah membawanya jauh ke dalam semua skema ini. Tapi itu bukanlah jadi soal, setidaknya untuk sekarang. Dia tidak peduli jika memang kebebasan hanyalah sebuah harapan kosong, dan kesetaraan hanya penenang bagi mereka yang malang.

Tapi, sekali lagi, bukan semua hal itulah yang membuatnya terpekur di dalam ruangan sempit ini, dengan jendela ia biarkan tertutup—sehingga menyisakan kehampaan yang membabi buta di dalam benaknya. Hermione menatap bayangannya di cermin dalam gelap, dia sudah kehabisan ramuannya. Dan kehabisan bahan untuk membuatnya sendiri. Dia sudah tidak tidur semalaman suntuk. Sudah dua minggu ia berada di tempat ini, bersama dengan orang-orang yang ia pikir—mungkin—akan memapahnya bangun dari keterpurukan. Hermione percaya hal itu, setidaknya tadinya ia percaya akan hal itu.

Namun The Heatcliff ternyata bukanlah jalan keluar.

Hermione pikir dia bisa bicara dengan kedua sahabatnya. Menghabiskan waktu memperbincangkan hal-hal menarik selama pelarian dengan Harry atau bertengkar ringan dengan Ron—seperti apa yang mereka lakukan dulu. Hermione berniat membicarakan banyak hal pada mereka, terkait rencana baru setelah mereka berhasil menggulingkan rezim saat ini. Dia ingin mendengar harapan kedua sahabatnya. Masihkah mereka mempunyai cita-cita, setelah semua? Karena saat ini dia tak memiliki satu pun. Bahkan rencana tentang apa yang akan ia lakukan besok, ia pun tak punya.

Dia salah ketika mengetuk pintu rumah itu dua kali, melihat kepala merah Ron menyembul—dia tahu, bahkan untuk seumur hidupnya, ia tak akan pernah mengatakan hal apa pun yang telah menimpanya.

"Nak, yang lain sudah berkumpul di meja. Jangan lewatkan makan malammu lagi, ya? Tolong?" Hermione mendengar suara lembut Nyonya Weasley dari balik pintu. Hermione menarik napas, sebelum bangkit dan menuju ke pintu, dia memasang senyum ketika melihat wajah Nyonya Weasley. Tampak sekali wanita itu berusaha menyembunyikan raut keperihatinannya secara mendadak.

Meja makan di The Heatcliff tak pernah sepi. Terutama Fred dan George tak akan pernah membiarkannya begitu. Mereka bedua asik membuat makanan mereka melayang-layang, berubah berbagai bentuk—sengaja mempertontonkannya pada Victoire—anak Fleur dan Bill—dan Teddy Lupin. Kedua bayi itu seumuran, yang membedakan hanya merah dan gelap di rambutnya. Fleur sendiri sedang mengoceh cepat dan panjang lebar dengan aksen yang kental kepada siapa saja yang mau mendengarkannya, mengutarakan komentarnya tentang Muggle yang ia temui di pasar desa Tinyworth yang bilang bahwa wajah Bill tampak seperti ditebas.("…maksudku—kenapa memangnya? Demi Merlin, suaminya tidak lebih cakep dari babi hutan!")

Nyonya Weasley sibuk mengeluh dengan rambut Charlie, mencoba keahliannya dalam membujuk sang anak agar mau memotongnya. ("…mungkin kalau kau mau merapikannya sedikit—sangat sedikit, Nak, mungkin lima senti?—gadis di pinggir desa mengantri untuk kaulamar…") Ron, Harry, Percy dan Bill tampak sangat serius mendiskusikan sesuatu—suara Percy mendominasi, sikap bossy-nya masih kental ("…aku kenal orang-orang penting di Kementerian Bulgaria, Harry. Cukup dekat karena aku dulu jadi Asisten Junior Menteri sih. Aku bisa jadi penyambung-lidah yang pas jika melihat track record kami.") Kingsley dan dua orang anggota Orde yang belum pernah Hermione lihat sebelumnya, bergabung malam ini. Sedangkan Falcone, tampak seperti makhluk yang berasal dari dunia lain, duduk kaku di paling sudut. Tak terganggu dengan aktivitas di sekelilingnya, ia sibuk mengendus makanan yang hendak ia masukan ke mulutnya.

"—bagaimana menurutmu, Hermione?"

Hermione seolah baru saja tersadar. Harry yang berada tepat di sampingnya, menatapnya menunggu. Sekarang seisi meja meninggalkan kegiatan mereka, menatapnya lekat-lekat. "A—aku—"

"Kenapa tidak bicarakan urusan itu di luar meja makan?" sambar Nonya Weasley, menatap Harry penuh isyarat.

"Aku tidak bisa tinggal lebih lama, Molly. Ada beberapa hal yang harus kukerjakan—mendesak." Sahut Kingsley. "jadi sebaiknya menghemat waktu dengan mendiskusikannya sekarang."

Nyonya Weasley nampak tak berdaya, namun dia menghela napas jengkel. Dia beralih pada cucunya. Lalu obrolan berlanjut lagi, nampak lebih seru dari sebelumnya. Tapi Hermione masih merasakan pandangan Harry padanya. Nampaknya dia tak bisa terus-terusan mengabaikannya.

"Bisakah kau berhenti menatapiku, Harry?" bisik Hermione, dia menatap piringnya. Makanannya hampir tak terjamah.

"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Hermione."

"Yah, aku mendengarkan."

"Bisakah kau berhenti seperti ini—menghindari semua orang?" bisik Harry mulai panas. Hermione menatap berkeliling, semua orang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tapi dia bisa merasakan Nyonya Weasley yang mencuri-curi pandang kearah mereka berdua. Namun nampaknya Harry tak peduli karena dia masih terus berusaha memojokannya. "banyak hal yang ingin kami diskusikan. Aku dan Ron—terutama."

"Apakah ada tuntutan lain, padahal hampir setiap hari kalian berdua datang ke kamarku untuk membicarakan hal-hal itu?"

"Tapi kau tidak pernah ambil suara—maksudku, kau tidak benar-benar terlibat. Padahal kami tahu betul seberapa briliannya kau dulu."

"Yeah, ide-ide kalian luar biasa. Rencana yang bagus, Harry—sungguh. Sampai aku tak memiliki celah untuk berkomentar."

"Kau lupa sedang membodohi siapa sekarang, Hermione."

"Aku—"

"Hermione, dear!" keduanya terlonjak, Nyonya Weasley sudah bangkit dari kursinya dan berdiri dengan wajah manis dibuat-buat. Mungkin suara mereka tanpa sadar telah menguras beberapa perhatian, karena kini baik Ginny dan Fleur juga menatap. Namun para lelaki yang lain masih asik berceloteh. "bagaimana kalau kau bantu aku angkat piring?"

Sesaat Harry tampak ingin protes, tampangnya seperti baru saja dibodohi untuk kedua kali. Membantu mengangkat piring adalah alasan paling klise yang keluar dari Nyonya Weasley di setiap penghujung makan bersama. Hal itu sering dilakukannya untuk menyelamatkan mulut-mulut yang mulai menyudutkan Hermione. Dan yang punya nama, tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, ikut bangkit dan mulai menumpuk beberapa piring di sekitarnya. Dia membiarkan mata Harry yang mengekorinya, bahkan sampai ke dapur.

Hermione merasa pening. Dia bertanya-tanya apakah saat ini dia mulai alergi dengan keramaian, karena ketika berada di meja makan dengan sekumpulan orang, dia ingin sekali secepatnya naik tangga dan kembali ke kamarnya. Dia sibuk berpikir sampai Nyonya Weasley menyentuh punggungnya, berkata dengan lembut.

"Biar aku yang cuci piring—sekali lambaian tongkat akan beres. Bisakah kau buang sampah ini ke halaman belakang, Nak?"

Hermione segera mematuhinya. Dia membawa sekantong sampah dan membuka pintu belakang, dia meletakan kantong itu di tong besar. Merasakan udara lembab di luar, sejenak ia seperti berada jauh entah dimana, mengingat tak pernah ia merasakan cuaca seperti ini di bulan ketiga selama ia hidup. Harry pernah memberi tahunya bahwa The Heatcliff berada di pinggiran benua Afrika. Tak terkejut melihat bagaimana liar dan alaminya tempat ini. Afrika merupakan daerah yang jarang terjamah oleh kebanyakan penyihir. Jadi Orde bernegoisasi pada pihak pembelot era baru untuk menempatkannya di tempat ini, dan menamainya secara resmi, agar tak banyak orang tahu letak tepatnya pondok ini berada.

Hermione menatap awan biru gelap, mendengar debur ombak yang saling hantam dengan berirama. Seperti musik penghantar tidur, Hermione selalu membuka jendelanya setiap malam, merasakan angin hangat masuk ke kamarnya sampai ia jatuh tertidur. Kadang ia terbangun dengan napas memburu ketika pintu jendela dihantam angin dengan kerasnya. Namun kadang, ia terbangun dengan mimpi buruk yang terus-menerus sama.

Hermione merasakan momen itu lagi, merasa dimana ia ditepatkan di jurang yang tinggi. Berada di atas ia tak tenang karena takut akan ketinggian, terjun ke bawah pun kecil kemungkinan akan selamat. Hermione tidak merasakan kedamaian berada di sini, tak berbeda jauh ketika di Manor. Harry salah jika dia bilang bahwa Hermione tak ingin terlibat—menghindar. Dia tak pernah mengabaikan setiap percakapan. Hermione selalu mendengarkan dengan cermat, ia ingin tahu apa yang sedang terjadi di luar sana. Karena jika dia tak mendengar kabar buruk dari Manor, berarti Draco baik-baik saja.

Hermione tahu Harry dan Ron berusaha untuk memancingnya bicara, menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun nampaknya mereka tak sampai hati untuk bertanya secara gamblang mengenai hal itu. Hermione percaya jika ia berbagi cerita mengenai sesuatu yang buruk dalam hidupnya, maka bebannya akan berkurang. Namun ia hanya tak ingin mengungkitnya, atau membantu Harry dan Ron untuk mempermudah urusan mereka agar tahu lebih banyak.

Draco tak datang, bahkan setelah dua minggu dia pergi dari Manor. Tidak juga mengirim burung hantu atau orang suruhan—seperti yang Hermione pikir akan dia lakukan. Tapi Hermione lega. Setidaknya Draco tak mencoba memancing keributan, walaupun berada di sini adalah kehendak sukarela dari Hermione sendiri, bukan si kepala pirang namanya jika tidak mengacau.

Saat Hermione puas dengan udara di luar dan hendak masuk ke dalam, Hermione berhenti di balik pintu ketika mendengar suara bisik-bisik tegang Nyonya Weasley di dapur.

"…haruskah kau menuntutnya terus-menerus agar dia mau bicara? Sudah cukup dengan semua penderitaan yang dialaminya, sudah cukup, Harry! Jangan kautambah lagi dengan hal-hal semacam ini…"

"Cepat atau lambat dia akan terlibat dengan penyerangan, Nyonya Weasley. Dia tak bisa mempertahankan keapatisannya."

"Harry, kau belum pernah punya anak sebelumnya."

"Apa maksud—"

"Jadi kau tak akan tahu rasanya. Kalau aku sendiri—aku sendiri tak tahu apakah bisa menjalani hidupku jika salah satu anakku, yah, kau tahu—padahal aku punya hampir selusin anak. Sedangkan bisa kaupikirkan bagaimana jika kau hanya punya satu-satunya dan direnggut darimu tanpa kaubisa melihatnya?"

Hermione tak mendengarkan lebih lanjut, dia segera menjauhi pintu—seolah kayu itu besi panas yang menyengat kulitnya. Dia berjalan sambil memeluk diri sendiri, menahan terpaan angin yang menghujamnya sampai ke tulang. Hermone mengitari pondok, memutuskan untuk masuk lewat pintu depan. Saat ia mendengar banyak suara di teras, nampaknya Kingsley dan dua anggota Orde itu siap untuk pergi, Hermione menyandar pada tembok pondok yang gelap—sehingga keberadaannya tak disadari oleh siapa pun. Saat dia mendengar suara orang-orang menjauh, perlahan, tubuhnya merosot.

Air matanya tumpah dalam kebisuan.

.

Pada bulan keempat di tahun itu, Hermione mulai melihat lebih banyak langkah kaki yang keluar-masuk The Heatcliff. Diantaranya wajah-wajah baru, beberapa diantaranya sekilas pernah ia lihat sebelumnya. Hermione pernah terlibat beberapa obrolan dengan salah satu dari mereka—tak benar-benar penasaran dengan tugas-tugasnya, hanya saja dia mempertahankan etika selama tinggal di sana. Selain itu Harry dan Ron makin intens memperhatikannya.

"Akan terjadi di minggu ketiga. Orang-orang inti akan ke Albania, sedangkan beberapa anggota menetap di Ingris untuk mengurus antek-anteknya." Kata Kingsley, yang pada siang itu mampir. Dia membawa belasan anggota Orde dari berbagai penjuru. Semua orang yang tinggal di The Heatcliff memperhatikannya dengan seksama selagi ia menjabarkan tentang beberapa penyerangan. Ruang tamu nampak sesak dan pengap. "Harry, McGregor, Bill dan Charlie akan memimpin di Albania. Sedangkan Ron, Percy (Percy hendak protes, namun tertahan karena siku Fred menusuk rusuknya) Robertus akan memimpin di Inggris. Aku sendiri akan memastikan ketersediaan pasukan mana yang paling membutuhkan bantuan. Neville, bagaimana dengan pasukanmu?"

"Laskar Dumbledore siap, tinggal menunggu perintah." Jawab Neville mantap. Selama Hermione berada di The Heatcliff itu adalah kali kedua dia melihatnya. Wajah Neville tak lagi bundar. Ia nampak jauh lebih kurus.

"Baik. Karena aku berencana untuk menempatkan sebagian besar anggota Laskar di Albania, kau oke dengan itu?"

"Well, setidaknya itulah yang kami butuhkan. Keluar negeri sebelum perang."

Beberapa orang tersenyum, Fred dan George melakukan high-five—nampaknya berharap besar bahwa mereka adalah salah satu dari orang-orang itu.

"Bagaimana dengan Malfoy?" tanya Harry. Dia merasakan hening yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Hermione tak menatap siapa pun kali ini—namun dia bisa merasakan bahwa setiap pasang mata menatap dirinya dan Harry secara bergantian.

"Dia bilang dia akan ikut penyerangan ke Albania dan membawa serta orang-orangnya." Kata Kingsley.

"Lantas bagaimana jika dia membelot—maksutku, jika semua ini hanya jebakan? Apakah kau sudah siapkan rencana lain jika itu sampai terjadi?" sambar Ron kenes, dia nampak seperti seekor singa yang baru saja diberi umpan.

"Aku hanyalah perantara, Ron. Posisiku harus mempercayai kedua kubu—"

"Kalau begitu biarkan aku ikut ke Albania dengan Harry."

"Ron!" pekik Nyonya Weasley sebagai tanda peringatan. Tapi seperti anak yang membandel, nyali Ron sama sekali tak ciut.

"Kita berada di posisi yang tak akan pernah bisa percaya dengan seseorang sepenuhnya, kalian semua tahu itu." pandangannya berkeliling, menatap satu persatu mata yang berkumpul pada ruangan sempit itu. Semua mulut terdiam, namun Ron berpikir bahwa saat ini adalah momen yang tepat untuk memuntahkan segalanya. "aku dan Harry mempunyai pendapat yang berbeda tentang itu—tapi menurutku, setelah kita sampai pada titik sejauh ini, kita tak bisa masuk ke dalam jaring-jaring perangkap seperti babi buruan—tidak. Jangan sampai kita mati konyol karena kenaifan yang tak berdasar."

Sesaat tidak ada respon dari sudut mana pun. Bahkan Fred dan George tidak mengeluarkan komentar menyebalkan. Hanya Percy yang mengangguk-angguk penuh semangat dan bergumam bahwa sebaiknya dia dikirim ke negara lain untuk cari bantuan. Harry sendiri memandang lurus, tak membalas tatapan siapa pun yang meminta jawaban penuh harap padanya. Bahkan dia juga tak menggubris pandangan Ron, sampai bisik-bisik mulai terdengar. Beberapa banyak yang setuju dengan kata-kata Ron, namun beberapa banyak yang menyatakan bahwa rencana seperti itu terlalu riskan dan kecil kemungkinan untuk berhasil. Jika memang Malfoy dan kroninya bermaksud berkhianat, maka tak akan ada jalan keluar. Mereka akan terkepung dan menyerah di tempat—itu adalah hal yang paling realistis.

"Baiklah," suara Harry menggema, memecah bisik-bisik. "Semua Weasley dan Kingsley akan ikut ke Albania. Laskar Dumbledore akan menetap di Inggris. Pemimpin-pemimpin Orde yang lain akan dibagi dua; sebagian di Inggris dan sebagian di Albania. Ini rencana yang akan dipakai jika kita dikhianati; lawan. Bunuh orang-orang Malfoy, walau kita berakhir mati di tangan mereka."

"Tapi aku ingin bertarung denganmu melawan Voldemort, Harry!" protes Neville, diikuti dengan anggukan penuh semangat Seamus dan Dean.

"Kementerian akan lebih membutuhkan kalian, kawan." Jawab Harry. "setidaknya kita butuh orang-orang yang hebat untuk menetap, karena masih banyak orang-orang kepercayaan Voldemort di sana. Malfoy tidak bisa untuk membantai semua."

Saat makin banyak sahutan, diskusi semakin menyala. Hermione menggunakan kesempatan itu untuk bergerak perlahan, merambat memisahkan diri dari perkumpulan. Dia berjalan ke dapur, mengambil segelas air—sebagai kedok agar tak dicurigai—sebelum membuka pintu belakang.

Ia melihat Falcone dari kejauhan, duduk di ujung tebing seorang diri. Hermione tak pernah menyuruhnya enyah di setiap pertemuan, namun pengawalnya itu selalu angkat kaki dengan sendirinya. Godaan untuk bergabung dengannya kuat, namun sebelum dia sempat melangkah, pundaknya di tahan. Ron sudah berada di belakangnya.

"Kau oke?"

"Well, tak pernah sebaik ini. Rencana yang bagus, Ron—sungguh." Jawab Hermione, berharap percakapan mereka tak memanjang.

"Banyak hal yang tak kau sampaikan kepada kami, Hermione. Aku dan Harry bisa merasakannya." Kata Ron, dia menatap ujung tebing, dimana saat ini Falcone nampaknya melempari lautan dengan bebatuan. "orang yang aneh, ya, dia itu?"

Hermione ikut memperhatikan Falcone, dan berpikir bahwa Falcone sama sekali tidak aneh. "Dia hanya mempunyai latar belakang yang berbeda dengan kita."

"Perbudakan." Gumam Ron. "kami tahu asal-usulnya—orang Kingsley mencari tahu sebelum dia boleh ikut menetap. Bagaimana kau bisa percaya kalau dia tak akan menceritakan segalanya pada Malfoy?"

Karena aku sendiri pun punya banyak hal yang tak akan kuceritakan pada kalian, Ron. Namun Hermione tak mengutarakan apa yang dia rasakan. Dia hanya memandang jauh, menerawang. "Di dunia ini tidak hanya dibagi dengan orang baik dan orang Malfoy, Ron." Jawab Hermione. "Falcone sudah bersumpah setia padaku. Apa pun yang akan dia lakukan tak akan membuat diriku dalam bahaya."

Ron tampak tak setuju dengan kata-kata itu, walaupun dia tak memiliki argumen untuk membantah. Mereka berdua tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Ada berbagai hal yang Hermione coba pertahankan saat ini, terutama rasa was-wasnya terhadap pertanyaan-pertanyaan menjerat. Dia bisa saja dengan mudah berkelit, namun—sampai kapan?

"Aku mencoba meyakinkan Harry bahwa sebaiknya kita langsung membunuh Malfoy, walaupun ia tak berkhianat nanti." Kata Ron. Hermione tidak bereaksi, namun tubuhnya membeku. Dia bahkan tak menatap mata sahabatnya. "aku tahu jauh di dalam lubuk hatimu kau ingin segera terbebas dari semua ini, Hermione. Kau ingin terbebas darinya. Sudah sepantasnya kita melakukan hal itu, mengingat banyak hal-hal buruk yang ia sebabkan. Malfoy tak akan menjadi baik walaupun dengan revolusi yang akan terjadi."

Hermione masih mengunci bibirnya rapat-rapat. Namun Ron mengira bahwa ini adalah momen yang tepat, karena ia sudah menghadapnya.

"Kau tak perlu menyuarakan bahwa kau setuju, Hermione. Kami paham dengan posisimu saat ini—mungkin sebagaian orang berpendapat bahwa dia yang menyelamatkanmu. Kau tidak perlu katakan apa pun—aku hanya ingin memberi tahumu."

"Apa yang akan kaulakukan, meledakan kepalanya? Memantrainya dari kejauhan? Karena, sebelum kau benar-benar bisa membunuhnya, orang-orangnya akan menebas kepalamu terlebih dahulu, Ron." Kata Hermione, dia kali ini menatap matanya. "kau selalu mengingatkan Harry mengenai kesetiaan—loyalitas. Dan inikah yang akan kaulakukan, mencoba membantai orang yang berusaha membantu perjuangan kalian selama ini?"

"Kau tidak akan mengerti, Hermione. Kau tidak tahu rasanya dihantui oleh rasa bersalah karena salah satu dari mereka membunuh ayahmu sendiri."

"Kalau begitu kau hanya dendam, Ron. Dan semua ini tak ada hubungannya dengan dendamu itu. Banyak hal yang harus kau korbankan untuk mencapai kejayaan, kau tahu itu."

"Bahkan sekarang gaya bicaramu seperti mereka," kata Ron skeptis.

"Banyak hal yang kupelajari selama hampir dua tahun berada di rumah itu, dan terutama satu hal—satu hal sialan yang harus kau pegang teguh betul, Ronald—" Hermione memajukan tubuhnya, dia meraih kerah baju Ron, menariknya—sebelum berkata tepat di depan wajahnya. "—balas dendam tak akan membawamu pada apa pun. Balas dendam tak akan membawa ayahmu kembali, Ron. Balas dendam hanya akan membawamu pada kesengsaraan yang lebih dalam. Dan kau tahu kenapa Harry tak pernah setuju dengan rencana-rencana gilamu? Karena dia tahu semua konsekuensi itu."

Mereka berdua bertatapan tajam. Ron tampak terkejut dengan kata-katanya—sebelum Hermione melepaskannya, menghela napas karena pintu belakang terbuka. Harry menyembul dari sana.

"Kenapa kalian meninggalkan rapat?" tanyanya pada keduanya. Merasakan ketegangan dalam situasi ini, Harry berjalan mendekat. "apa yang terjadi?"

"Aku baru saja akan masuk. Ada beberapa hal yang ingin Ron sampaikan padamu, Harry." Kata Hermione. Dia melewati Harry tanpa menatap siapa pun lagi, masuk ke rumah dan membelah kerumunan yang mulai pecah.

Hermione tidak benar-benar tahu apa yang ada di kepalanya saat ini—dia begitu ingin menghindari banyak orang, namun di satu sisi dia takut akan kesendirian. Karena pada momen ini, akan banyak pikiran-pikiran sinting yang menyelubungi otaknya. Hermione mendengar beberapa orang menyapanya, memberinya tatapan ganjil—terpana—atau mungkin ingin tahu. Dia tak ingin dekat dengan orang-orang seperti itu saat ini—mengatakan bahwa mereka sangat perihatin dengan kejadian yang pernah menimpanya, dan betapa bersyukurnya bahwa Hermione baik-baik saja. Persetan. Dia hanya butuh orang-orang yang tidak peduli.

"Ingin secangkir teh?" Hermione mendengar suara Fleur di sampingnya—dia merasa baru saja melewatinya—karena dia pikir Fleur adalah Luna Lovegood. Rambut pirang mereka sekilas sama dari belakang.

"Yeah, oke." Fleur melambaikan tongkatnya, dan secangkir teh mulus mendarat di cengkramannya. Ia memberikannya pada Hermione. Mereka berdua sama-sama menyeruput tehnya dalam diam. "dimana Victoire?"

"Fred dan George membawanya ke tebing." Katanya. Dia menatap Hermione, ekspresinya menimbang. "kau tak mendengarkan—melihat kapan kau pergi keluar."

"Apa maksudmu?"

"Dan Harry belum memberi tahumu." Ujar Fleur. Lalu perempuan itu menarik Koran dari meja—Daily Prophet nampaknya. Hermione lebih penasaran kapan mereka mendapatkan Koran itu—namun rasa penasarannya tergantikan dengan perasaan dingin yang merambat perlahan di pembulu darahnya.

"Malfoy sudah menjatuhkan kekuasaan Barnaby Greengrass." Katanya. Namun Hermione merasakan sesuatu yang menikam dadanya ketika membaca kepala berita utamanya.

Malfoy dan Greengrass, Akankah Berakhir di Altar?

(05/04) banyak yang menantikan kabar berita itu belakangan, melihat asal-usul keluarga dan cocoknya latar belakang dari keduanya. Hampir lima bulan setelah kematian Lucius dan Narcissa Malfoy, pewaris tungal Draco Malfoy nampaknya siap untuk meneruskan generasi selanjutnya. Beberapa kali, setelah jurnalis khusus Prophet mendapat informasi, bahwa pihak Malfoy sering mengadakan pertemuan yang cukup intens dengan keluarga terhormat Greengras. Kabar berdesing bahwa kedua keluarga itu akan segera mempererat hubungan dengan tali pernikahan. Terlebih baik Draco Malfoy dan Barnaby Greengrass adalah orang paling berpengaruh dalam Era Ini. Dan tak mengenyampingkan fakta, bahwa Astoria Greengrass—putri Barnaby Greengrass—pernah berada di Hogwarts. Banyak kerabat dekat yang bersedia buka suara mengenai hal ini, seperti Pansy Parkinson—yang nampaknya mempunyai pandangan unik mengenai hubungan keduanya.
"Pernikahan? Jangan buat aku tertawa—Draco tentu saja tak memiliki selera
setinggi itu." Katanya saat Prophet mendatangi Toko Jubah Impornya. "aku kenal Draco. Percaya padaku, ini hanya sebuah lelucon."
"Akan menjadi pernikahan paling bergengsi di kalangan penyihir abad ini jika hal itu sampai terjadi." Komentar Alfonso O'Conell, Kepala Auror, yang dengan senang hati diwawancari di kantornya.

Namun masih banyak praduga mengenai hal itu. Kejadian yang belakangan terjadi mungkin salah satu faktornya. Saat ini Draco—

Hermione meletakan Koran itu, berusaha sebisa mungkin untuk mengatur ekspresinya seolah tulisan itu bukanlah hal besar baginya. Ia tidak menatap Fleur—dia tak mau tahu bagaimana cara perempuan itu menatapnya. Pasti saat ini dia kelihatan seperti orang yang patut dikasihani. Karena semua fakta-fakta itu berhasil menyudutkannya—dan mungkin hal inilah yang membuat semua orang selalu menatapnya. Membuat sorotan mata yang perihatin—karena dirinya tak lebih dari sekedar lelucon yang tak lucu sama sekali.

Hermione mulai mengenali perasaan dingin yang merambat masuk ke sela-sela relung hatinya. Perasaan yang dimiliki seseorang ketika ia merasa dikucilkan—dilupakan. Terbuang. Apakah benar, dia terbuang? Apakah, berada di sini, di pondok yang sempit ini—bersama orang-orang yang berusaha bersembunyi dari kejaran—tampak seperti orang buangan?

Akhirnya, Hermione. Akhirnya. Benar kata mulut-mulut para bangsawan itu, bahwa sejauh apa pun ia pergi, seberapa banyak pakaian mahal yang pernah menempel di tubuhnya—ia tak akan pernah bisa menembus dinding itu. Dinding yang memisahkan antara orang seperti dia dan orang seperti Draco. Dan saat ini kenyataan telah menamparnya tepat di dagu.

"Hermione, kau tidak menganggap semua ini masalah kan? Kau sudah tahu bahwa Malfoy hanya memainkan peran demi kelangsungan rencananya?" tanya Fleur, menyadarkannya. Namun semua ini sama sekali tak tampak seperti rekayasa. Semua yang tertulis terlihat sangat benar—dan sangat pantas.

"Ya, aku mengerti, Fleur. Terima kasih karena telah memberi tahuku." Kata Hermione, dia segera bergegas meletakan cangkir tehnya dan bangkit. Keputusannya sudah bulat—dia tak ingin mencoba bergabung dengan siapa pun, atau berbasa-basi membuka pembicaran dengan satu mulut pun. Bahkan ketika menaiki tangga dan mendengar Nyonya Weasley memanggilnya dengan lembut pun rasanya salah.

Hermione memasuki kamarnya, merasakan mual saat kegelapan pekat menyambutnya. Dia segera berhambur ke laci meja, membukanya dengan serampangan. Tangannya menggapai-gapai, dia mendengar suara botol saling bergesekan—namun tak satu pun terisi. Dengan napas memburu, dia mengambil salah satu botol, melemparnya asal. Dia mendengar suara botol yang pecah—nampaknya menghantam pintu—tapi peduli setan.

Hermione menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur. Dia menghela napas, bahkan nampaknya menghancurkan seluruh isi rumah tak akan membuat perasaannya lebih baik. Hermione memejamkan matanya—berbisik di balik gigi-giginya.

"Kau bahkan sudah melewati yang lebih parah. Ini hanya hal sepele. Sialan dan sepele."

.

Hermione tidak tahu kapan ia tetidur, namun tak mengherankan jika tengah malam ia terbangun. Dia sebenarnya tak tahu apakah ini malam atau pagi—karena keadaan kamarnya sama saja, gelap gulita di waktu keduanya. Dia bangkit dan menuju pintu, dengan sangat perlahan, dia memutar gagang pintu dan melangkah keluar.

Hermione berjalan menuju tangga. Namun dia berhenti secara refleks ketika mendengar namanya disebut dengan desisan di salah satu kamar. Hermione mencari sumber suara—dia sebenarnya tak lagi heran jika namanya selalu dibawa-bawa dalam perbincangan rahasia. Tapi dia mengenal siapa si pemilik suara. Apa yang sekiranya seorang Ginny Weasley bicarakan tentang dia?

"…oh ya? Kalau begitu kau penengah yang sangat luar biasa. Kau benar-benar pandai dalam memerankannya—aku sulit membedakan mana rasa simpati dan mana rasa benar-benar menyukai—"

"Hentikan, Ginny. Jangan mulai lagi."

"Dia datang untuk menjadikan tempat ini pelariannya, Harry. Dia tidak akan pernah sudi berada di sini kalau dia tidak hampir mati!"

"Ginny, kuperingatkan kau—"

"Kenapa kau melakukan hal ini padaku, Harry?"

"Berhentilah untuk terus-menerus berkecimpung di masalah yang sama, Ginny. Kita tak pernah mengalami kemajuan dalam diskusi ini. Aku tak mau lagi berdebat denganmu."

"Aku sudah menunggumu setelah semua ini, Harry. Kau bilang setelah kau selesai dalam misimu, dan aku tak protes walaupun harus menunggumu tanpa kabar selama tiga tahun—dan sekarang kita sudah berada di tempat yang sama, dengan harapan yang baru. Aku tidak mengerti dengan semua ini, Harry. Salahkah aku jika tak menyukainya?"

Hermione merapatkan diri ke dinding, dia menahan napas ketika keheningan menyusul. Dia menunggu momen dibagian mana namanya disebut di dalam obrolan konyol ini—karena dia bersumpah tadi dia mendengar namanya. Hermione meremas sisi bajunya.

"…apakah aku salah membenci Hermione, karena dia satu-satunya alasanmu untuk tak mau memberi kepastian padaku—setelah semua hal yang kulakukan padamu? Kau menggantungkan semua ini bukan karena misi yang Dumbledore berikan padamu. Kau menggantungkan semua ini, karena kau pikir Hermione masih di luaran sana, menunggu untuk kau selamatkan—mungkin dia adalah perempuan yang selalu kau inginkan. Tapi tahukah kau bagian terserunya? Bagian terserunya adalah—dia secuil pun tak pernah memandangmu—tak lebih dari sekedar anak lelaki konyol yang pernah tumbuh bersama dengannya—dan saat ini dia rela mati demi lelaki lain!"

Hermione terperanjat mendengarnya—sungguh. Bahkan dari jarak samar, nada Ginny benar-benar kurang ajar dan telah melewati batas. Hermione berpikir bahwa Harry sudah pantas untuk menamparnya atas tuduhan-tuduhan keji itu. Dia menunggu momen itu—menahan napas. Namun ternyata ada hal-hal yang lebih parah dari kata-kata yang keluar dari mulut Ginny. Jantung Hermione rasanya merosot pindah ke perut saat dia mendengar suara Harry.

"Ginny, kau perempuan yang sangat baik. Aku selalu rela mengorbankan apa pun untuk menjagamu tetap aman. Aku selalu menyukaimu—kau pandai dalam sudut mana pun. Bahkan untuk menilaiku. Aku tak akan pernah bisa membantah, Ginny—karena tidak ada yang pernah kau keluarkan dari mulutmu kecuali kebenaran. Dan aku tak akan pernah mengatakan apa yang ada di benakku, karena kau dengan sangat mudah membacanya. Tapi satu hal yang kaulupakan mengenai semua ini—Hermione adalah penyesalanku. Dan dia adalah penebusan dosa. Apa yang terjadi dengannya saat ini adalah kesalahan-kesalahanku dulu, dan sekarang kau tahu aku dalam masa memperbaikinya."

Hermione pikir dia masih akan mendengar hal yang lebih banyak—hal yang lebih masuk akal. Namun ia terpatri saat Harry keluar dari kamar secara tiba-tiba. Lelaki itu tidak nampak terkejut melihatnya, sebaliknya, ia malah berlalu dan menuruni tangga. Hermione mematung masih bergelut dengan pikirannya sendiri sampai nalurinya memutuskan. Dia segera mengejar Harry.

Hermione masih bisa melihat punggung lelaki itu menghilang dari balik pintu depan. Hermione melangkah cepat dan menyusulnya sampai ke luar. Harry terus berjalan, tak peduli semakin jauh ia melangkah, akan semakin kuat angin menerpa.

"Harry—apakah kau—kehilangan pikiranmu?" teriak Hermione, mencoba mengalahi deru angin.

"Oh, yeah, persetan dengan ini semua."

Hermione akhirnya meraihnya, ia menarik pundak Harry. "Apa-apaan itu tadi?" dia takut saat melihat wajah Harry tak menunjukan gejala bahwa ia baru saja main-main dengan semua hal tolol yang ia katakan di kamar itu. "kau sinting?"

"Bukan aku yang sinting—tapi kau!" katanya seraya menunjuk wajah Hermione. "perempuan mana yang bersedia menjadi korban dari semua ini secara sukarela? Well, biar kujelaskan padamu. Kau sekarang akan bangun dari semua kekacauan ini, bangkit dan menata lagi semua cita-cita yang pernah kau bangun. Lupakan mimpi buruk yang selama ini menghantuimu. Kau akan membuangnya jauh-jauh. Selesai—tamat. Kau dengar aku? Lemabaran tentang Malfoy sialan itu sudah selesai."

"Kau bicara omong kosong, kau tahu itu, Harry."

"Tidak, ini bukan omong kosong. Kau hanya belum tahu apa yang akan dia lakukan—"

"Sampah yang ditulis oleh Skeeter? Yeah, aku tahu. Tapi bukan berarti ini akhir atau awal dari apa pun. Dan kupikir kau salah satu dari mereka yang tahu sebenarnya? Bahwa ini hanya sebuah tipu muslihat?"

"Kau masih mengharapkannya—"

"Harry—"

"Kau masih berharap dia datang, memohonmu untuk kembali—ya, aku bisa melihat semua itu dari matamu, Hermione. Kau tak lebih dari seseorang yang putus asa. Dan apa yang sekiranya kau lakukan, aku ingin tahu, ketika lelaki yang selama ini kaupikir tulus memberikan segalanya padamu, dengan mudahnya berpaling dengan perempuan yang lain?" Hermione merasakan sesuatu yang kuat mencengkram dadanya. Matanya perih ketika ia harus membalas tatapan Harry—ada yang memberontak liar, godaan untuk menanamkan tinju di wajah lelaki itu sangat besar. Dia harus menggunakan seluruh tenaga untuk menahannya. "kenapa kau harus mempertaruhkan segalanya, padahal dia tak pernah menganggapmu ada?"

Hermione menghela napas, dia bisa merasakan getaran amarah saat ia melakukannya. "Bukankah hal itu yang juga Ginny tanyakan padamu?"

Mata Harry melebar, Hermione puas melihatnya merasa tertampar tanpa harus menggunakan tangannya.

"Kau ingin tahu apa yang ada di benakku saat ini, Harry? Bukan aku yang putus asa, bukan aku yang patut dikasihani. Kau lebih pantas mendapatkan semua itu. Karena kau begitu egois—persetan dengan semua hal yang kaukatakan pada Ginny, bahwa apa yang kaurasakan padaku karena perasaan berdosa. Kau tidak lebih dari orang serakah yang berambisi untuk memiliki. Dan yang paling menyedihkan—sangat menyedihkan—bahwa aku hampir tak melihat perbedaan antara kau dan Draco."

"Aku sama sekali—bukan bajingan itu."

"Kalau begitu kau akan masuk ke dalam rumah, naik ke tangga dan datangi Ginny persis seperti kau meninggalkannya tadi. Katakan padanya bahwa perasaanmu hanya lelucon konyol, bahwa semua yang kau katakan padanya tak lebih dari imbas masa lalu dan kau pikir kau telah salah menilainya. Kau dengar itu?"

Harry tidak merespon lama. Hermione menunggu jawaban, mempertaruhkan segalanya agar ia mendengar apa yang ia inginkan. Mata hijau cemerlang itu selalu tampak sama, mempunyai sisi keras dan bandel secara bersamaan. Dia tahu apa yang ada di dalam benak kepala pitak itu hanya dengan menatap matanya—Hermione tahu. Dan dia berharap Harry tak mengutarakannya. "Aku benar-benar berharap Malfoy akan menikahi perempuan itu." Ujarnya. "dengan begitu dia mempunyai objek lain untuk dipermainkan, meninggalkanmu—dan pergi ke neraka jahanam."

"Aku akan bertingkah seolah aku tak pernah meninggalkan kamarku malam ini, Harry. Dan kau juga harus demikian."

"Ron tahu." Kata Harry menantang. "dia tahu bahwa selama ini, di setiap harinya, aku tak pernah berhenti memikirkanmu."

Hermione menutup matanya, dia merasakan kepalanya pening tak karuan. Ini semua benar-benar sinting. "Aku tak meninggalkan kamarku malam ini, Harry. Tak peduli apa yang Ron ketahui."

Hermione berbalik, melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Pikirannya semerawut, langkahnya gotai saat dia menaiki tangga. Dia mengenyampingkan rasa getir ketika ia melewati pintu kamar Ginny yang kini sudah tertutup rapat.

Dia berdiri mematung di kamarnya yang gelap dan sempit. Lalu tubuhnya merosot perlahan, merasakan letih yang tiba-tiba menyerang. Hermione merebahkan tubuhnya di atas lantai kayu yang dingin, merentangkan tangannya. Dia menatap kegelapan seolah matanya bisa dengan jelas menatap seisi ruangan. Hermione pikir dia sudah gila—karena dia merasa melihat siluet bayangan kepala pirang. Suara yang khas merasuk ke dalam kepalanya. Granger, Granger, Granger.

Dia tak pernah tahu. Hermione tak pernah tahu, maka dari itu selama ini ia menetap, ia bertanya-tanya kenapa Ginny tak pernah mau menatap matanya ketika ia bicara dengannya. Kenapa Ginny tak pernah mau berada di satu ruangan dengannya berdua tak lebih dari beberapa detik lamanya. Hermione merasakan kegetiran yang familiar. Dia menarik napas dalam-dalam. Hermione tahu kenapa dia sangat marah pada Harry tadi, dia bahkan merasa harus menamparnya—karena rasanya bagi Hermione dia pantas untuk mendapatkan semua itu.

Setidaknya saat ini dia tahu rasanya menjadi Ginny.

.

Hermione menegang saat mendengar suara kegaduhan di lantai bawah. Jika siang itu Fred dan George tidak pamit untuk desa, Percy dan Ron pergi bertemu mitra—Hermione tak akan peduli. Namun apa yang terjadi jika para biang keributan pergi? Hermione segera keluar dari kamarnya, menuruni tangga dan samar-sama terdengar suara Harry menggema di pintu depan.

"…enyah, oke? Dia tak pernah seperti ini sebelumnya. Apa yang kaulakukan padanya? Dia tak ingin bicara dengan siapa pun—"

"Harry," Hermione mencapai pundak Harry. Cowok itu menoleh. Dia tak heran mendengar suara lelaki itu menegang, dengan Nyonya Weasley yang gelisah di sisinya—karena kepala pirang Draco Malfoy berada di depan pintu rumahnya. Hermione membalas tatapan ketakutan Nyonya Weasley dengan anggukan. "hai, Draco."

"Granger, bisakah aku bicara denganmu?" kata Draco. Hermione rasanya sudah lupa kapan terakhir kali melihatnya begitu—dia tampak sangat menawan dengan setelan andalannya. Kali ini dia membawa sebuket bunga lily merah muda di tangannya. Lelaki itu sama sekali tak peduli dengan tatapan penuh kebencian Harry, karena kedua mata biru-kelabunya hanya terpancang pada Hermione.

"Enyahlah, Malfoy—"

"Tidak apa-apa, Harry, tidak apa-apa—sungguh. Aku baik-baik saja." Kata Hermione. Dia memberikan senyum meyakinkan pada Harry, menahan dadanya karena nampaknya Harry bisa menikam Draco kapan saja. Sedetik Harry kelihatan seperti akan menolak permintaan itu mentah-mentah—dan Hermione sudah mengantisipasi jika kegaduhan terjadi—namun Harry tak memberikan respon apa pun. Hanya wajahnya yang seperti dipaksa makan cairan stinksap yang terpancar.

Draco tak menyia-nyiakan kesempatan ini dan menyodorkan buket bunganya ke dada Harry—yang secara refleks ia cengkram. Sebelum ia memberi kode agar Hermione mengikutinya, ia mendesis di depan wajah Harry. "Pergilah ke dapur, Potter. Nampaknya kau kini ahli mengerjakan pekerjaan rumah."

Hermione segera mendorongnya—takut kalau ledakan tak terduga terjadi. Hermione merasakan terpaan angin sejuk dan awan mendung memayungi ketika mereka berdua berjalan ke ujung tebing. Sampai ketika Draco menghentikan langkahnya, Hermione baru mengalihkan pandangannya dari cakrawala dan menatap lelaki di hadapannya.

"Pulanglah, Granger." Kata Draco dengan suara lunak.

"Aku sudah di rumah, Draco."

"Apa yang kaubicarakan? Kau tidak seharusnya berada di sini. Kau mempunyai Manor. Barang-barangmu sudah lama sekali tak tersentuh, apakah kau tega membiarkan mereka terlantar?"

"Barang-barang itu bukan milikku, kau ingat?" kata Hermione. Bibirnya menciptakan sebuah senyum—namun Draco menatapnya dengan nanar. "aku tak pantas berada di sana. Setelah bersama lagi dengan orang-orang yang dulu, aku menyadari bahwa aku tak diciptakan untuk hal-hal luar biasa yang kau berikan padaku. Aku merasa pulih di sini—merasa kembali ke lingkungan dimana seharusnya aku berada."

"Granger, tidak—tentu saja tidak. Kau hanya marah padaku, aku tahu itu. Kau merasa kecewa dengan segala hal yang terjadi. Dan aku akan memperbaiki segalanya—kau percaya itu? Aku akan berubah, Granger. Kita bisa menikah dan kita akan mempunyai anak lagi—apakah kau tidak ingin punya anak denganku lagi?"

"Mengapa? Agar kau bisa menggunakan mereka untuk mengancamku?"

"Apa maksudmu? Tentu saja tidak. Aku membutuhkanmu, semua tampak berantakan ketika kau pergi dan aku tak ingin memaksamu untuk kembali. Kau hanya membutuhkan waktu untuk berpikir—itulah kenapa sebabnya aku tak pernah datang untuk menemuimu."

"Dan akhirnya kau datang, menyuruhku kembali, walaupun kau punya seorang perempuan yang lebih layak untuk kaunikahi?" tanya Hermione.

"Kau percaya sampah itu? Demi Salazar, Granger, sedikitpun aku tak berniat ingin menjelaskan hal itu—karena kupikir kau telah memahaminya!" kata Draco. Lalu lelaki itu maju, menyentuh pundaknya. Hermione bisa merasakan sensasi yang selama ini hilang, membara di seluruh tubuhnya. Namun saat ini bukan momen yang tepat untuk mengenang—dia tahu itu. "kau bisa melakukan apa pun, kau bisa pergi ke manapun. Kita akan memulai hidup yang baru setelah semua ini. Kau tahu bahwa penyerangan akan terjadi dalam hitungan hari? Setelah itu, kaulah yang akan pergi ke altar denganku, bukan perempuan Greengrass manapun. Era Kegelapan akan runtuh, revolusi akan bangkit dan kita akan tinggal di dalamnya. Kau dan aku."

Hermione merasakan kakinya lemas saat dia melihat senyum Draco terpampang di wajahnya. Dia sudah lama tak melihatnya, setelah semua. Dan dalam sekejap, semua hal-hal yang terjadi, kejadian sinting yang mereka lalui, sirna tak berbekas. Hermione merasakan momen itu merasuk ke dalam jiwanya seperti air yang dingin membasahi kerongkongan yang tandus.

Merlin, bagaimana bisa dia tak ingin menemuinya lagi, padahal hatinya meronta-ronta akan sebaliknya? Hermione tahu kenapa sebabnya The Heatcliff bukan jawaban dari kerisauannya selama ini. Karena dia ternyata menjauhi tempat yang benar—tempat dimana ia seharusnya berada.

"Paris." Kata Hermione. Draco mengerutkan keningnya, tampak bingung. "aku ingin pergi ke Paris."

Draco tampak seperti orang yang baru saja tersadar—dia mengangguk. "Oh, yeah, Paris—mendiang kakekku meninggalkan Manor kecil di sana. Kita bisa menetap beberapa saat, sampai kau merindukan Inggris."

Hermione tersenyum. Dia mendengar debur ombak saling bersaut-sautan di bawah mereka. "Aku punya permintaan padamu, Draco." katanya, memandang Draco lekat-lekat. "ini tentang teman-temanku. Aku tahu Harry tak pernah menyukaimu, apalagi Ron. Tak mengherankan jika mengetahui keluarga mereka adalah korban dari era ini, dan kau tahu itu. Aku sudah katakan pada mereka bahwa kedepannya tak akan ada kaitannya lagi dengan dendam. Dan kuharap kau juga berpendapat demikian."

"Tentu saja, Granger. Tak akan ada lagi hubungannya dengan dendam, sepenuhnya hanya urusan bisnis. Apakah kau pikir aku rela menyediakan tempat untuk mereka dan bernegoisasi atau membiarkanmu bersama mereka lagi, jika semua ini masih ada kaitannya dengan masa lalu? Apakah kau pikir aku akan sudi?"

"Aku akan percaya padamu kali ini, Draco." ujar Hermione. "tapi aku adalah salah satu orang yang percaya tahayul—jika saja nanti, ketika penyerangan terjadi salah satu dari mereka mati karena kutukan yang entah dari mana asalnya, digorok lehernya oleh orang yang tak diketahui, gantung diri setelah penyerangan berhasil bahkan tersambar petir sekalipun—aku akan tahu bahwa lelaki di hadapanku saat inilah yang harus kumintai pertanggung jawaban."

Draco menatapnya was-was, pegangan pada pundak Hermione melemah. Dia bisa merasakan suasana yang tadinya hangat perlahan-lahan memudar.

"Karena jika sampai kau membunuh Harry atau Ron—jika sampai kau mengkhianati mereka—aku bersumpah atas nama Merlin bahwa aku akan membunuh diriku sendiri, Draco."