1

.

.

MALAM itu sangatlah mencekam baginya.

Dia merasakannya—bagaimana udara dingin berhembus seolah membekukan tulangnya, menghamtam kulitnya tanpa ampun—dan sama sekali tidak ada cahaya bulan di atas kepalanya. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, ia yakin malam ini adalah malam di mana musim dingin hampir tiba.

Di tengah butanya malam, terdengar decit kayu yang bergerak dengan irama. Dia bisa mendengar suara-suara roda yang berputar, menerjang kerikil dan mematahkan dahan-dahan di bawahnya. Seberapa pun goncangan dari semua aktivitas itu, dia memeluk lutut dan mendekam di dalam jeruji kayu yang hampir busuk—namun kokoh dan berantai—dengan rambut yang setengah basah menjijikan dan baju cokelat usang yang sudah berlubang di beberapa bagiannya. Ketika perjalanan yang amat menjemukan—menelusuri berapa kilo hutan, hamparan padang rumput—seperti ia dan si kusir kereta kuda yang mengangkut jeruji telah tiba di tempat tujuan. Karena kuda itu mendengkur, pertanda telah dihentikan dan sosok bungkuk melompat dari kursi kemudinya.

Sosok dalam jeruji menegang, kepalanya tegak penuh was-was dengan beringas menatap sekitarnya. Namun matanya tak banyak menangkap hal-hal yang bisa dijadikan petunjuk. Maka dari itu, ketika Burkes berjalan terseok-seok menjauh, ia menunduk. Menenggelamkan dagunya diantara lutut yang meringkuk gemetar.

"Akhirnya tiba juga kau, Burkes. " seorang pria jangkung menyambut di ambang gerbang. Wajahnya hanya berupa siluet—membelakangi sinar yang berasal dari rumah besar di belakangnya.

"Aye, bisa dibilang bukan sebuah perjalanan singkat, Tuan."

"Darimana asalnya kali ini?"

"Yang ini benar-benar dari sisa Perang, nasibnya baru berada di bawah bunker. Entah ditemukan Penjambret atau Kementrian—yang jelas belum banyak memiliki pengalaman."

Dia merasakan pergerakan dari pria jangkung itu—mungkin tingkahnya untuk membuktikan kebenaran dari perkataan si bungkuk—yang jelas kini kedua mata biru menyala telah memerhatikannya sosoknya yang meringkuk dibalik jeruji kayu. Rasa takut itu datang. Dia tidak melakukan pergerakan apapun—namun bibirnya gemetar, tulang terasa menghilang dari bahunya. "Hanya pengelihatanku saja, atau memang kau menjual barang rongsokan padaku, tua bangsat?"

"Tuan… memang sudah tak nampak, tapi hanya butuh sedikit air untuk melihatnya mekar."

Si pemilik mata biru itu terdiam beberapa saat. Sebelum benar-benar menarik diri dan mendengus menghina. "Kalau saja kau membohongiku, Burkes, kau tahu apa yang akan terjadi dengan usahamu di Knockturn Alley itu. Kudengar saat ini sedang maju pesat…"

Si bungkuk membatu menatap tanah, berharap mungkin bumi itu terbelah dan melahapnya. Saat keheningan mencekam itu melanda, mata biru itu semakin mendekat menatapnya. Dia hampir bisa melihat dengan jelas wajahnya—wajah yang dulu, jauh sekali dari ingatannya—namun dia mengenalinya. "Tunggu dulu…"

Dia menahan napas.

"Punya riwayatnya sebelum Perang?"

"Ti—tidak, Tuan. Hanya saja—"

"Status?"

"Darah-lumpur."

Bahwa saat seringai si mata biru mengembang, bulukuduknya meremang dan air mata itu perlahan jatuh melintas di kedua belah pipinya. Malam ini dimana dia akan ingat untuk seumur hidupnya dan tak akan pernah dilupakan.

.

.

"Butuh waktu berapa jam hanya untuk memakai gaun yang akhirnya akan kaulepaskan lagi, pelacur bodoh?"

Dia mendengar suara itu dan masih menatap dirinya di cermin sebelum akhirnya pintu kamarnya menjelebak terbuka.

"Sudah beranjak tuli rupanya." Seorang wanita memasuki kamarnya—hanya menggunakan korset dan rambut ikal yang diikat serampangan. Wajahnya sepintas mirip sekali dengan kuda, dengan bibir yang selalu mengerucut dan decakan soalah menjadi bagian dari napasnya. Kini ia berkacak pinggang dan raut wajahnya berkerut marah, denga kulit keriput yang mulai mengendur itu terlihat tambah jelek. "ini adalah hari pelelangan—dimana kau bukan lagi anak bawang yang hanya mendekam di dapur dan mencuci baju—kau kini harus merias beberapa anak-anak sialan di luar sana. Kukira sudah jelas kukatakan itu kemarin?"

"Mm-maaf aku—"

"Jangan mengeluarkan suara, aku benci mendengarmu bicara!" teriaknya, lalu suaranya lebih pelan dan dramatis—namun tak menghilangkan unsur keputus asaan di sana. "kau sudah hampir dua bulan di sini, Demi Merlin, apa yang harus kulakukan padamu?"

Dia menunduk.

"Granger!"

Seperti disengat listrik, matanya mendelik saat kata itu disebut. Seumur hidup, perempuan dari lubang paling kotor manapun boleh memakinya dengan sebutan paling hina, namun Merlin, tolong jangan yang satu itu. Dengan napas tak beraturan, dia menatap wanita di hadapannya. Dan mata perempuan itu balas menatapnya dengan kebencian yang sama.

"Kau benci kupanggil begitu?" pertanyaan itu mempunyai sebuah fakta yang telah terpampang nyata. "hah, anggap saja aku mempunyai perasaan yang sama ketika melihatmu. Melihat mata cokelat polosmu, melihat rambut ikal cokelat yang jatuh ringan itu—untuk memiliki rambut seperti itu, butuh berjam-jam perempuan disini untuk memilinnya dengan pemanas—jadi, mari kita luruskan. Apa kau memiliki sebuah alasan kenapa kau harus selalu diistimewakan?"

"Aku tidak pernah membuat diriku diistimewakan!"

"Lantas bagaimana jika begini—sudah dua bulan sialan kau berada di Rumah Bordil ini, dan kau tak disentuh oleh bajingan manapun—apakah hal itu bukan hal yang bisa disebut 'istimewa'? Apa yang sudah kaulakukan dengan Tuan Nott?"

"Jika maksutmu aku berada di tempat ini karena sebuah kesepakatan dengan orang lain, maka kau salah besar—"

"Oho! Mungkin saja kau memang tak dijual untuk anjing-anjing lapar diluaran sana. Bagaimana jika pemiliknya ingin menyantapmu sendirian?"

"Aku tidak pernah sekalipun tidur dengan Theodore Nott!"

"Kita bisa tahu itu nanti kan," Marilla, germo di rumah bordil itu menyipit—ada nada berbahaya saat dia melanjutkan. "pakai gaunmu, ada ratusan galleon siap masuk ke kantungku."

Pintu dibanting menutup.

Hermione terpekur, terpatri pada tempatnya berdiri. Bertarung dengan egonya antara ingin melompat ke jendela lantai enam dimana kamarnya berada, ataukah menyayat lehernya daripada harus diperjualkan dihadapan lelaki-lelaki bajingan hidung belang. Di sisa hidupnya, dia tak pernah merasakan kebencian menggelegak sedahsyat saat dia melihat kedua mata cokelat Marilla. Tak banyak orang yang ditemui selama dia dirumah hina ini, saat dirinya dibawa oleh Burkes dua bulan lalu dengan gerobak reyot, hidupnya berubah total.

Semenjak kematian Albus Dumbledore di tahun keenamnya, kedamaian dalam dunia sihir runtuh. Kejayaan Voldemort meningkat secara tak wajar, didukung dengan layunya Orde Pheonix. Teramat kontras, sehingga kehidupan kaum-kaum sepertinya terombang-ambing bergantung pada keberuntungan. Peraturan-peraturan baru yang dikeluarkan Kementerian—yang sudah teramat gamblang dikuasai oleh mereka dari sisi gelap—menjerat kaki mereka, merambat naik hingga lama-kelamaan leher-leher lah yang menjadi taruhannya.

Setelah pemakaman Dumbledore, Trio Gryffindor itu memutuskan untuk hengkang dari sekolah mereka untuk mencari Hocrux. Namun ditengah perjalanan, betapa ironi saat mereka tertangkap dan dipisahkan oleh Penjambret. Harry—banyak kabar berdesing samar—bahwa berhasil melarikan diri. Ron bernasib sama, namun keluarganya berhasil menebus kebebasannya dan kabarnya, karena alasan kemurniaan darah keluarga Weasley walaupun berbandrol pengkhianat, mereka termaafkan jika pergi sejauh mungkin dari Inggris. Sedangkan disela-sela perpisahan memilukan itu, hanya Hermione seorang lah yang terjebak oleh beberapa Penjambret dan digiring ke bunker dimana tawanan-tawanan Perang dikumpulkan untuk kelak ditentuka kemana nasib akan membawa. Kejadiannya hampir delapan bulan lalu.

Pernah sekali, ketika Hermione hendak di pidahkan dari satu bunker ke bunker yang lain, ia diarak menyusuri jalan Diagon Alley—sebelum dia dijebloskan ke dalam Rumah Bordil ini—dia berpapasan dengan Kingsley Shacklebolt dipersimpangan. Dia tidak lagi dengan pakaian khasnya—dengan jubah tertutup dan tudung yang hampir menyembunyikan wajahnya, dia membalas tatapan Hermione dan memberikan isyarat untuk tetap menutup mulut. Lalu mereka saling melewati begitu saja.

Semenjak saat itu, dia tak lagi memiliki harapan dengan masa depan. Semua buku-buku yang pernah dibacanya, perkamen-perkamen yang berisi hasil tulisan briliannya dan mulut yang selalu mematahkan setiap argumen, kini menutup seolah tiada guna. Ditelantarkan, dijual bahkan diinjak sedemikian rendahnya merupakan akhir yang tak pernah dibayangkannya.

Menurut peraturan yang telah disahkan setahun belakangan, darah murni merupakan bangsawan. Berdarah campuran pantas menjadi buruh, dan darah lumpur berstatus budak. Izin menggunakan sihirnya dicabut, tongat sihirnya dihancurkan. Mereka telah merampas organ-organ hidupnya, bahkan kini mulai secara perlahan membatasi ruang gerak napasnya. Hanya tinggal menunggu kapan lehernya akan dipenggal di khalayak ramai sebagai bentuk hiburan karena si para bangsawan bosan.

Setelah terasing dan terpisahkan dari dunia, Burkes memungutnya dari penjara bawah tanah. Lalu menjualnya pada salah seorang saudagar kaya raya, yang tak lain adalah pemilik dari Rumah Bordil ini, Theodore Nott. Dulu mereka pernah sering berpapasan di koridor, saling tatap tanpa sengaja di Aula Besar. Sebelumnya Hermione tak pernah menganggapnya ada—dia tak pernah menarik perhatian Hermione.

Hermione termangu menatap cermin dihadapannya.

Dia lelah terus menerus memoles wajahnya dengan bubuk bedak. Berapa kalipun ia benahi riasan wajahnya, air matanya akan tetap menghancurkan sedemikian rupa.

.

.

Hermione terpekur diatas karpet beludru yang mahal itu—kepalanya bersandar lunglai pada meja di sebelahnya. Di penghujung musim panas, udara pada hari itu teramat lembab. Dia hanya melapisi korset yang dipakainya dengan selembar kain tipis tembus pandang dengan liarnya. Rambut cokelat keemasan itu dikepang serampangan—sehingga banyak sisa-sisa anak rambut yang jatuh di tengkuknya. Dia bisa saja keluar pada hari itu, sekedar membeli baju atau menatap kerumunan jalan di Diagon Alley. Mungkin menggunakan kesempatan ini untuk membeli buku—menambah koleksi abu di perapian karena disetiap kedatangannya setelah dari luar, Marilla selalu dengan teliti membongkar semua kantung yang ia bawa masuk. Dan perempuan tua bangka itu benci ia membeli buku. Yang jelas, Marilla tidak suka dengan segala hal yang membuat Hermione bahagia.

Jadi dia membakar semua koleksi buku-buku Hermione. Yang terselamatkan hanya jika Hermione meminta tolong Tom, kuli angkut squib di Rumah itu untuk menyembunyikannya di bawah ubin-ubin yang dapat dibongkar.

Tapi kali ini dia ingin menikmati saat-saat seperti ini. Dia ingin memandangi wajah tirus dengan hidung yang tegak lurus itu agak lebih lama. Sudah seminggu dia tidak kembali—rasanya Hermione enggan untuk meninggalkan sisinya, barang sedetik saja.

"Jadi kenapa kau tidak ajak Tom untuk membeli buku?"

Hermione menatapnya dari sudut mata, "Menyebalkan sekali membelinya hanya untuk melemparkan ke perapian."

"Bukannya kau sudah bersekongkol dengan Tom mengenai hal itu?"

"Orang tua itu semakin hari, semakin parah pula dia tuli. Pernah sekali waktu aku menyuruhnya untuk menyembunyikan beberapa tumpuk buku di bawah ubin selagi Marilla keluar untuk membeli selendang baru. Aku enggan apakah Tom menyembunyikan bukuku atau menghitung ubin-ubin yang terkelupas—karena lama sekali dia menunduk di sana. Sehingga dia tak mendengar suara Marilla yang menggelegar memenuhi ruangan ketika dia pulang. Alhasil tempat itu diciduk, dan Marilla akan mengancam membakar rambutku jika dia melihatku menyentuh selembar kertas pun." Hermione menatap lawan bicaranya. "kau berjanji untuk ajak aku keluar ketika kau pulang. Nah?"

Hening, tidak ada respon apa pun. Sampai Hermione tersadar bahwa pertanyaan tersebut telah menyudutkannya—dan Hermione menyesal telah melontarkannya. Sudah berada di sini dan mengunjungi Hermione, rasanya dia begitu tak tahu diri sampai menyebabkan pikirannya risau. Jadi saat suasana menjadi kering kerontang, hanya terdengar napas satu sama lain yang bersautan, Hermione menyukupkan dirinya untuk tak berpikir apa pun.

Theodore Nott—nama itu telah membuat sarang di kepalanya, menyisakan sebuah ruang yang Hermione sendiri tak tahu seberapa besar ukurannya. Yang jelas di setiap harinya, terlebih saat fajar mulai menenggelamkan diri di ufuk Barat, tak ada yang bisa dipikirkannya selain berharap atas nama Merlin akan kedatangan cowok itu. Sudah cukup dia melewati seharian penuh kegetiran—dilempar caci maki oleh Marilla, hampir dijual—hidup di Rumah Bordil bukanlah soal mudah. Dia ingat malam dimana Burkes membawanya dengan kereta kayu busuk tua, menjualnya seperti seonggok daging tak berguna. Dia pikir akan menjadi budak seperti nasib-nasib darah-lumpur lainnya, namun nampaknya teramat keliru karena dia lupa bahwa saat ini, setelah Perang dan dimenangkan oleh mereka yang gelap, menjajakan perempuan-perempuan berdarah kotor merupakan hal legal. Sedangkan orang tua Theodore adalah pemilik usaha Rumah Bordil ini—mereka adalah bangsawan dengan kekayaan gila-gilaan. Salah satu dari jajaran mereka yang dihormati pasca Perang. Karena kesetiaan orang tuanya pada Voldemort-lah yang menjujung mereka pada posisi itu.

Jadi merupakan suatu keberuntungan yang luar biasa ketika dirinya hendak diperjualkan persis seperti binatang di pelelangan, dia malah menemui Ksatria Berkuda Putih yang bersedia memperlakukannya layak bak binatang kesayangan. Dia sebenarnya benci perumpaan itu—namun tiada kiasan yang lebih baik lagi untuk menggambarkan kondisinya saat ini.

Hermione sering melihat Theodore dulu, walaupun terbilang dia berada di Asrama yang bersebrangan kepercayaannya dengan Asrama yang di tempatinya. Mereka berdua—seperti murid-murid Hogwarts lainnya—pernah berpapasan di koridor, mengerling tak sengaja di Aula Besar, atau tanpa disadari pernah berbagi kelompok di beberapa mata pelajaran. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa keduanya tak benar-benar mempunyai memori yang menonjol daripada itu di masa-masa sekolah.

Dan tidak ada yang tahu, bahwa kini dia menggantungkan hidup pada cowok itu.

Obrolan mereka ketika bertemu yang tak lain dan tak bukan hanya memutar ulang sisa-sisa ingatan mereka di tahun terakhir—atau lebih tepatnya tahun dimana semua kedamaian itu berakhir, tahun dimana Hermione dalam masa kejayannya. Menjadi manusia merdeka seutuhnya, tanpa harus melangkah kesetiap penjuru dengan tudung di kepala atau khawatir untuk keluar bahkan dilangkah pertama.

Theodore bukan tipikal Slytherin kebanyakan, mungkin satu banding sepuluh dari yang ada. Karena sifat pendiam dan tenang, bukanlah ciri khas dari Asrama bersimbol ular itu. Mungkin hanya karena keturunan, Hermione menerka-nerka. Karena terlalu lancang rasanya bertanya 'Kenapa kau di Slytherin padahal kau tidak picik' atau 'Apa karena ayah dan ibumu pengikut Voldemort jadi kau ditempatkan di asrama sinting itu'. Tidak—jadi Hermione tidak ingin peduli darimana asal-usulnya, atau mengapa seorang Theodore Nott berada di Asrama Slytherin. Dia hanya ingin memegang teguh kepercayaan yang kini ada di hadapannya, bahwa cowok itu bersedia merebahkan diri di kamarnya, di kasurnya yang terbilang kumuh untuk bangsawan seperti dia. Dan menyisakan waktu untuk melangkahkan kaki ke tempat kotor ini.

"Apa ada yang merisaukanmu?" ketika akhirnya tampang murung Theodore mulai mengganggunya.

"Apa kau bahagia di sini, Granger?" Hermione mengernyit, dia tidak suka pertanyaan itu. Tentu saja, ini segalanya!

"Kenapa kau betanya?"

Theodore tidak langsung menjawab, seperti sengaja memperlambat dalam bereaksi. Dia menghela napas berat, dalam satu tarikan napas itu, masih dengan tubuh bersandar pada kepala tempat tidur, dia menegak. Menatap pada Hermione disebrang. Seperti telah meneguk intisari yang sedari tadi dirangkum dalam kepala. Hermione tak yakin dengan apa yang akan keluar dari mulut itu adalah sesuatu yang baik, karena walaupun agak menyungging senyum yang tiba-tiba dan menakutkan, mata Theodore tak dapat menyembunyikan gejolak yang Hermione sendiri sulit untuk menyimpulkannya.

"Kemasi baju layak yang kaupunya—yang pernah kubelikan. Ada pembeli yang akan menjemputmu malam ini."

.

.

.

.

.

DISCLAIMER : The One and Only, Our Legend JK. ROWLING.