BUTTERFLY

Cast:

Kim Mingyu

Jeon Wonwoo

Kim Seok Jin

Hong Ji Soo

Bagian 1 - Don't think of anything

Seorang pria dengan setelan jas berwarna hitam lengkap dengan dasi dan sepatu kulit berwarna senada itu terlihat sedang menaiki bukit kecil didepannya. Semilir angin di pagi itu menerbangkan helaian rambut coklatnya. Membuatnya Nampak berantakan juga kelihatan tampan pada saat yang bersamaan.

Didepannya, seorang anak lelaki kecil yang sudah berada diatas bukit melambaikan tangan kepadanya sambil tersenyum lebar memperhatikan deretan giginya yang belum tumbuh sempurna. Hidungnya terlihat memerah karena dinginnya cuaca pagi itu "Appa! Sini… cepat. Eomma tunggu appa" teriaknya dengan suara khas anak-anaknya.

Lelaki itu membalasnya dengan senyuman lebar. Ia mengeratkan coat berwarna coklatnya dan berlari kecil mendekati anak lelaki itu. Begitu lelaki tinggi itu sudah disampingnya, ia menggenggam jemari imut anaknya. Tangan satunya terlihat membawa kumpulan bunga Gerbera berwarna-warni dibalut rapih dengan kertas berwarna coklat dibawahnya. Ikatan pita berwarna merah membuat bouquet bunga itu semakin manis.

"Eomma, Goo dan Appa disini. Selamat ulang tahun eomma!" Ayahnya tersenyum lebar mendengar anaknya berbicara. Anak lelaki itu menarik tangan ayahnya, mencoba mengambil perhatiannya "Appa, 1, 2, 3…" Ia memberi aba-aba sebelum mulai menyanyikan lagu,

Saengil chukka hamnida

Saengil chukka hamnida

Jigueseo ujueseo jeil saranghamnida

Kkochboda deo geobge byeolboda deo balg ge

Sajaboda yong gamhage. Happy birthday to you

Saengil chukka hamnida

Saengil chukka hamnida

Sarangahaneun uri eomma

Saengil chukka hamnida

Sang ayah juga tidak mau kalah menyanyikan lagu itu. Mereka menyanyikan lagu ulang tahun bersama-sama dengan bersemangat. Sesekali tangan mereka yang bertautan digoyangkan ke kanan dan kekiri mengikuti gerakan badan mereka. Ketika lagu selesai dinyanyikan, mereka bertepuk tangan. "Appa, bunganya…" anak lelaki itu menunjuk bunga Gerbera di tangan kanan ayahnya.

Lelaki tinggi berkulit kecoklatan itu melirik bunga ditangannya dan maju satu langkah ke gundukan tanah dihadapannya, melepaskan gengamannya pada tangan kecil anaknya. Gundukan tanah yang merupai bukit kecil itu telah tertutupi salju yang turun malam tadi, menudungi rumput hijau dibawahnya. Tidak jauh dari gundukan itu sebuah pohon rindang berdiri kokoh. Akar-akar besarnya menjalar hingga muncul ke permukaan tanah. Daun-daunnya rontok dibawa pergi angina musim gugur beberapa bulan lalu. Menyisakan ranting pohonnya yang terlihat basah bekas salju semalam. Beberapa gundukan kecil salju juga terlihat hinggap di beberapa bagian ranting dan bahan pohon. Memberi kesan indah musim dingin.

"Jisoo-ya, bunga ini masih menjadi favoritmu kan?" ia tersenyum. Sebuah marmer berwarna hitam terpancang di bagian utara gundukkan tanah itu. Diatasnya tertulis

Hong Jisoo

Lahir 30 Desember 1990

Meninggal 8 May 2013

Ia meletakkan karangan bunga Gerbera itu di pinggiran gundukan. Lalu mundur dan kembali meraih tangan kecil anaknya. Mengusapnya pelan, berusaha menciptakan kehangatan dari tangannya yang besar. Ia menunduk dan tersenyum lebar hingga kedua matanya menyipit. Anak lelaki itu terkikik. "Selamat ulang tahun Jisoo-ya. Aku mencintaimu. Kami mencintaimu"

Wonwoo menggeliat dibawah selimutnya. Dering telepon membangunkannya di pagi hari. Ia mengulurkan tangannya, meraba nakas disampingnya. Berusaha mencari sumber suara, "halo" sapanya dengan suara serak.

"Aigoo, Wonwoo-ya. Apa yang kau lakukan? Sudah jam berapa ini eoh? Kau belum bangun?" suara seorang wanita terdengar diujung telpon. Ia hampir berteriak Membuat lelaki menjauhkan telpon genggamnya dari telinganya.

"Eomma, aku tidak tuli. Kau tidak perlu berteriak padaku. Dan lagi pula ini hari minggu, aku berhak bangun sedikit lebih siang" ia menyibakkan selimutnya. Namun udara dingin kembali membuatnya menarik selimutnya hingga menutupi dirinya. Sial! Apa pemanasnya tidak berfungsi. Kenapa dingin sekali Rutuknya dalam hati.

"Aish, bagaimana kalau kau bekerja. Kau akan terlambat kalau tidak ada eomma yang membangunkanmu. Atau haruskah aku menelponmu setiap hari? Aigoo, aku tak menyangka kalau si tukang tidur ini akan menjadi seorang guru."

Wonwoo terkekeh, tuturan panjang ibunya yang tanpa henti itu memaksanya mendudukan dirinya di ranjang. Ia menyelimuti seluruh tubuhnya hingga menyisakkan kepalanya saja "bangun siangku tidak ada hubungannya dengan pekerjaan ku eomma" sekarang mata Wonwoo sudah sepenuhnya terbuka, "ada apa eomma menelpon ku sepagi ini?"

"apa hal yang aneh kalau eomma mu menelpon? Aku sudah berhari-hari tidak mendengar kabar dan suaramu…" Nada suara ibunya mengecil diujung kalimat.

"Maaf eomma, aku sibuk mengurus beberapa hal beberapa hari ini. Aku harus menghadiri pelatihan yang diadakan sekolah, sebelum aku mulai mengajar semester ini. Selain itu tempat tinggalku juga masih berantakan. Banyak keperluan rumah yang belum aku beli. Aku harus membeli panci untuk keperluanku memasak disini"

"Omo! Haruskah eomma menyusulmu kesana dan membantumu?"

Wonwoo buru-buru membalasnya, "Tidak eomma, aku baik-baik saja. Ini juga baru sepuluh hari sejak aku pindah ke Seoul. Minggu ini aku akan menyempatkan membereskan rumah"

Eommanya terdiam diujung telpon. "Halo, eomma… kau masih disana?"

Terdengar bunyi kresek ditelpon. Wonwoo sudah bisa menebaknya, pasti ibunya sedang menangis disana. "Wonwoo-ya, eomma merindukanmu…"

Sekarang Wonwoo yang terdiam. Ia mengerti ini sulit bagi ibunya dan dirinya. Ini pertama kalinya bagi Wonwoo dan ibunya berpisah. Selama ini Wonwoo tidak pernah jauh dari ibunya. Bahkan ia memilih untuk melanjutkan sekolah di Universitas kecil di dekat rumahnya di daerah Changwon agar ia bisa tetap bersama ibunya.

Sejak ayahnya meninggal tujuh tahun yang lalu, ibunya lah yang harus membanting tulang mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari mereka. Selain dirinya, Wonwoo juga memiliki seorang adik laki-laki bernama Chan. Ketika Wonwoo lulus kuliah tahun lalu, adiknya baru saja akan memasuki universitas.

Tidak seperti Wonwoo yang berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliahnya, Chan harus melanjutkan kuliah dengan biaya sendiri. Sebenernya Chan bersikeras untuk bekerja daripada kuliah. Ia bilang, ia bisa membantu ibunya berdagang sayur di pasar atau bekerja di kedai Paman Seo yang selalu ramai pengunjung. Chan tidak ingin membebani kakak dan ibunya.

Namun Wonwoo tetap bersikukuh bahwa Chan harus kuliah. Ia tidak ingin mengorbankan cita-cita Chan untuk menjadi seorang sutradara karena ketidakada biayaan yang mereka hadapi. Menurutnya, dialah yang harus berkorban demi adik dan ibunya. Oleh sebab itu, Wonwoo memutuskan untuk mengadu nasib di Seoul. Berharap dengan ijazah yang ia peroleh dari fakultas pendidikan, ia akan mendapatkan gaji yang lebih tinggi di ibukota. Setelah mencari dan mengirimkan lamaran ke beberapa sekolah, ia diterima di sebuah taman kanak-kanak di Seoul bulan lalu. Wonwoo akan mulai mengajar bulan Maret ini.

Mata Wonwoo sudah berkaca-kaca. Ia menutup hidungnya. Berusaha menahan agar tangisnya tidak pecah. Ia tidak ingin membuat ibunya khawatir. Setelah sedikit tenang, ia melepas jepitan tangannya di hidung, menyisakan jejak kemerahan pada hidungnya "aku juga merindukanmu eomma. Aku juga merindukan Chan. Apakah dia baik-baik saja?" Wonwoo berusaha mengalihkan pembicaraan.

Eommanya terdiam, Wonwoo bisa merasakan bahwa eommanya sedang mengangguk disana, "sama sepertimu, ia akan segera memulai semester pertamanya Maret ini"

"Baguslah"

Ibu Wonwoo berdehem, "Wonwoo-ya, bagaimana kabar Seokjin? Aku dengar Seokjin sedang melanjutkan sekolah S2nya di Seoul. Mungkin dia bisa membantu-"

Wonwoo memotong ibunya dengan cepat "aku baik-baik saja eomma. Aku rasa aku belum membutuhkan bantuan siapapun termasuk Seokjin"

Ibunya terdiam. Ia sangat paham kalau Wonwoo akan menghindari topik ini. "baiklah, aku tutup dulu telponnya. Nikmati hari liburmu. Jangan lupa makan teratur. Apakah persediaan makananmu masih ada? Kimchi? Kau punya beras bukan?"

Wonwoo terkekeh, ibunya sudah kembali ceriwis, "Aku makan teratur eomma. Dan persediaan makananku masih ada. Kau tak perlu khawatir. Baiklah kalau begitu, sampaikan salamku untuk Chan."

"Eoh, akan eomma sampaikan. Aku tutup. Bye" sambungan telepon terputus. Wonwoo menghela nafasnya. Ia berjalan kearah lemari pendigin dan membukanya. Isinya kosong. "ah aku lapar" ucapnya sambil mengusap perut datarnya.

Halo semuanya. Ini merupakan FF pertama yang aku tulis. Setelah sekian lama timbul tenggelam di dunia per-FF-an sebagai reader, aku akhirnya memutuskan untuk menulis cerita ini.

FF ini terinspirasi dari lagu BTS – Butterfly.

Maafkan kalau ada typo atau ketidak-smooth-an dalam menulis FF ini.

Semoga kalian menikmatinya. Terima kasih J

Oh dan disini, aku memang sengaja mengganti tahun kelahiran Jisoo serta cast yang lain, guna kepentingan cerita.