Semuanya begitu gelap.

Seluruh lapisan kulitnya terpapar hawa panas menyengat. Mungkin oleh terik matahari yang mencapai pendakian tertinggi, mungkin pula oleh jarak perapian yang terlalu dekat. Telinganya menajam, mencari kosa kata yang hilang dari suara lamat-lamat. Terdengar begitu menyayat, seolah merasakan sakit yang amat hebat.

Sakit?

Beberapa bagian tubuhnya mengenali kata itu seperti teman lama. Begitu akrab hingga tubuhnya terlalu terbiasa. Ah, mungkin rasa nyeri di pelipis kirinya ini adalah salah satu sumbernya. Jari-jari mungilnya tergerak untuk meraba. Permukan yang tak rata ini ... cairan pekat di ujung jemarinya ini ... tak melenceng dari yang ia kira.

"Tolong aku ... tolong..."

Suara itu ... ia mengingatnya sebagai suara Paman Galak yang kerap mencuri. Mungkin ia sedang dipukuli. Mungkin tubuh gemuknya tertimpa puluhan peti. Ia ingin melihatnya ... melihat Paman Galak tanpa tatapan bengisnya yang selalu ia dapati.

Ah, di sana rupanya. Paman Galak terimpit oleh tiang penyangga yang seharusnya berdiri kokoh di sebelahnya. Ia tak bisa melihatnya dengan jelas—bahkan kelopak matanya masiih terasa berat untuk membuka. Tapi ia mendengar isak tangis yang seolah menggema. Ya, Paman Galak yang angkuh itu berurai air mata.

Ketika ia menggeser arah pandangan, bola matanya kembali disuguhi berbagai kejutan. Tak ada lagi bangunan kokoh yang selama ini dibanggakan. Tembok yang besar dan dingin itu kini hanya berupa reruntuhan. Jatuh meninggalkan keangkuhannya, persis seperti yang Paman Galak lakukan. Di bawahnya tampak beberapa sosok yang tak asing dalam pandangan.

Ah, paman di ujung sana itu seperti tengah terlelap di peraduan. Berselimutkan reruntuhan, dibuai oleh irama letupan. Di balik kepulan asap tebal itu pastilah sumber letupan bisa ditemukan. Ia mendengarnya ... mendengar setiap letupannya bagai irama yang saling berkejar-kejaran.

Satu...

Dua...

Tiga...

BOOM!

Tubuhnya terpelanting, mengakui adanya adanya dorongan yang begitu kasar. Suara Paman Galak tak lagi terdengar, demikian pula dengan suara yang semula terdengar samar-samar. Sudut-sudut bibirnya sedikit terangkat, membentuk sebuah ekspresi liar. Orang mungkin akan menyebutnya sebagai senyuman tak wajar.

Dari seorang anak yang juga tak bisa dikatakan normal.

.

.

Naruto belongs to Masashi Kishimoto. No material profit gained from this fanfiction

Warning : AU, typos slightly OOC

.

.

Lelaki itu menggerakkan bola matanya, memastikan situasi di sekelilingnya sudah jauh berbeda dengan situasinya beberapa detik lalu. Tak ada suara rintihan ataupun suara letupan merdu. Hanya ada suara bising dari desingan mesin pengering rambut, milik seseorang yang baru saja mandi selagi ia mengembara lintas waktu.

"Kau terbangun, Hun?" Suara lembut wanita terdengar di sela-sela bisingnya suara hair dryer.

"Yeah," lelaki itu menjawab dengan tak yakin. Mimpikah itu? Dengan visualisasi yang serealistis itu? "Di mana ini?"

Kali ini suara hair dryer benar-benar terhenti. Menciptakan suasana sunyi hingga lelaki itu bisa mendengar tarikan napas panjang wanita itu sebelum menjawabnya, "Konohagakure, Jepang, 9 Juni 2010. Namamu Deidara Andrevsky, 29 tahun dan aku istrimu, Ino." Wow, ia seperti melihat doppelganger dirinya ketika wanita itu berbalik dan berhadapan langsung dengannya. "Ada yang muncul dalam ingatanmu?" Suaranya melembut. Wanita yang mengaku sebagai istrinya ini duduk di tepian sofa yang semula ia tiduri.

"Di mana kauletakkan clay-ku?"

Wajah ayu yang semula diliputi kelembutan hati itu kini berganti. Kedua telapak tangannya terangkat, merangkum wajahnya dari kedua sisi. Manik seindah aquamarine di rongga matanya merefleksikan ekspresi yang ia kenali. "Kau ... jika ingatanmu tersusun secara sistematis, berhentilah bertingkah seolah semuanya berantakan."

Seringai di sudut bibirnya tertarik tanpa bisa ditahan. Tatapan Deidara menajam, mengimbangi tatapan galak yang melapisi rasa kekhawatiran. "Apa yang sudah kulakukan?"

"Mengacaukan sebuah distrik dengan sebuah dirty bomb yang kausimpan dalam sebuah matryoshka. Kau meletakkannya dalam sebuah kotak kayu, lalu mengirimkannya dengan FedEx," sudut mata Ino terangkat ke kanan.

"Kukirim ke mana?" tanya Deidara.

"Kantor Kepolisian Konoha," seloroh Ino. Ia mengerling jenaka sebelum akhirnya mengecup pipi Deidara, "Aku bohong, oke? Kau hanya tertidur seperti seorang bayi, minus senyum superiormu yang terlihat seperti sinis pada keadaan. Menyenangkan untukmu, huh?"

Deidara tertawa, memberikan jawaban tanpa kata. Toh, pertanyataan Ino tak ubahnya retorika yang tak dijawab pun tak apa. Wanita ini sudah terlampau terbiasa dengan segala tindak-tanduknya. Di atas semua itu, ia menerimanya. Tidak, wanita ini bukan sekadar menerima tetapi juga mengulurkan tangan untuk setiap shortcut yang diperlukannya.

Itulah yang membuat wanita ini menjadi sangat berguna.

Sekaligus sangat berbahaya.

"Aku suka idenya," Deidara membelai anak rambut di pelipis wanitanya.

"Ide?" ulang Ino.

"Yeah ... kotak kayu ... FedEx ... dirty bomb. Mungkin dirty bomb-nya perlu sedikit modifikasi. Lebih keren kalau pakai nuclear bomb sungguhan. Atau ... ah, kau sengaja menyesuaikannya dengan favoritmu sendiri?" tanya Deidara.

Ino mengulas senyum tipis, "Kau peduli dengan bagaimana ledakannya terjadi dan aku lebih peduli bagaimana after effect-nya. Bukankah memang selalu seperti itu?"

"Selalu."

"Jadi, apa kau benar-benar akan meledakkannya?"

"Tidak sekarang, Hun," Deidara mengusap pipi sehalus pualam milik istrinya, "tidak dengan keberadaanmu di sana."

"Itu berarti kau sudah memiliki rencana lain." Seperti biasa, tak ada kata-kata manis yang sanggup menumbangkan pemikiran jernih Ino. Ketangguhan yang sangat berbanding terbalik dengan visualisasi yang ia tampilkan. Normalnya wanita sepertinya ada dalam deretan pertama wanita-wanita yang mudah terbawa rayuan. Ucapan Ino berikutnya kembali membuktikan bahwa ia memang benar-benar sebuah pengecualian. "Kau menandai beberapa titik di perairan lepas Pantai Timur. Titik-titik itu berada tak jauh dari jalur penyelundupan yang disukai pedagang-pedagang pasar gelap. Kauyakin tak ada hal yang ingin kauceritakan padaku?"

Sudut bibir Deidara terangkat. Ia selalu suka ketika Ino menganalisis setiap perubahannya dengan cepat. Tak ada yang bisa luput dari penglihatannya yang cermat. Termasuk ketika ada informasi yang terlambat. Seperti sekarang ini, ketika ia belum sempat menceritakan detailnya karena jadwal di laboratoriumnya yang padat.

"Take a notes, Hun. It will be a long, long story."

.

.

.

Ino melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Tangannya juga tak kalah sibuk dari langkahnya, memasang rompi anti peluru sembari tetap menjaga ponselnya. Di seberang sana ada Chouji yang terus mengabarkan detail perkembangan yang terjadi di lokasi bencana.

"Yamanaka, kau mau ke mana?" Seorang rekannya bertanya.

"Menumpang kendaraan dinasmu, Hyuuga," Ino menukas dengan cepat.

"Uchiha-sama mengirimkanmu?" Sudut mata pemuda itu sedikit menyipit, seolah tak percaya dengan kata-katanya sendiri.

"Yeah. Beliau menyuruhku bergabung," jawab Ino sekenanya, "Nanti malam."

"Hey!"

Gadis itu tak lagi tertarik untuk menyimak—bahkan jika lelaki berperangai sopan itu tengah mengumpat. Matanya sibuk mencari-cari kendaraan mana saja yang akan berangkat. Setengah berlari ia berusaha mengejar sebuah mobil yang jaraknya paling dekat.

"Yamanaka?" Suara itu terdengar menyapanya dengan heran. Masih dengan napas terengah-engah Ino mengamati sosok yang ada di sampingnya. Hendak memastikan pemilik suara itu bukanlah Uchiha Itachi seperti yang baru saja didengarnya.

"Uchiha ... –sama?"

"Aku tak ingat pernah memberikan instruksi padamu untuk masuk dalam tim investigasi," Itachi menukas dengan cepat. Pertanda yang lebih dari cukup untuk memberi tahu keberadaan Ino tidaklah ia restui.

"Aku juga tidak pernah ingat Anda melarangku untuk masuk dalam tim ini, Bos," Ino membalasnya dengan tenang. Seolah dalam kata-katanya tak terkandung makna membangkang. "Atau jika memang iya, anggap saja Anda sedang memberikan tumpangan pada seorang wanita yang mau mengunjungi kerabatnya di lokasi bencana."

"Itukah alasanmu memaksa ikut dalam tim?" tanya Itachi.

"Kubilang anggap saja begitu," seloroh Ino.

Itachi tak bereaksi, bahkan tidak untuk sekadar berganti ekspresi. Lelaki ini, entah bagaimana caranya mengendalikan emosi. Membuatnya bersikap dan bertindak impulsif agaknya akan jauh lebih sulit ketimbang menunggu bunglon bermimikri. Ino sendiri juga tak begitu peduli. Marah atau tidak, yang jelas sekarang ini Itachi membiarkannya menumpang di mobilnya dan tidak mengusirnya pergi.

Tidak sampai satu jam yang lalu gempa menghantam lautan di wilayah timur Konoha. Menyusul kemudian ombak besar menggulung daratan pantainya. Korban jiwanya tidak banyak, Ino mengakui Public Safety Bureau negara ini memang kompeten di bidangnya. Hanya saja, ancaman ketiga mulai mengintai mereka.

Kebocoran sebuah reaktor nuklir.

Konoha Daiichi, sebuah reaktor nuklir milik Genken turut menerima dampak dari gempa yang terjadi. Karena itu, area rawan bencana mesti diperluas lagi demi menghindari bahaya radiasi. Penyebab dan dampak yang akan ditimbulkannya itulah yang hendak mereka selidiki, tentunya setelah upaya mitigasi.

DHUAARR!

Suara dentuman keras membuat Itachi dan Ino terkejut, sebelum akhirnya berpandangan. Hanya sepersekian detik sebelum masing-masing mengerti apa yang harus dilakukan. Itachi tergerak untuk menambah kecepatan laju kendaraan sementara Ino bergerak cepat untuk meminta laporan pemantauan.

"Chouji!"

"Seperti yang kaulihat, Yamanaka. Reaktornya meledak," rekannya di seberang sana seakan memberi rangkuman singkat dari hasil pemantauan satelit yang dikirimkannya pada gawai milik Ino.

"Akimichi, evakuasi warganya?" Itachi ikut bertanya meski masih sibuk di balik kemudi.

"U-Uchiha-sama? Etoo ... evakuasi masih terus berlangsung. Masih ada sekitar seribu warga yang belum dievakuasi. Kebanyakan dari wilayah Konoha Timur dan Utara. Unit 5 dan Unit 6 sedang begerak ke sana," jelas Chouji.

"Perlebar radiusnya sampai 20 kilometer dari reaktornya. Koordinasikan dengan Public Safety Bureau. Beri tahu aku jika ada perubahan signifikan" Itachi masih ikut memberikan arahan, "Yamanaka?"

"Aye, aye, Sir," sahut Ino dengan cepat, "yo, Sasori-chan. Berikan aku propane dalam jumlah yang bisa dipakai untuk menyalakan sebuah generator. Buat sepuluh kali lipatnya dan kirimkan bill-nya ke Konoha Police Department. Katakan pada siapa saja di sana, Uchiha Itachi-sama menginginkan benda itu tiba di Konoha Daiichi Power Plant dalam lima belas menit."

Jika saat ini atasannya sedang tidak menyetir mobil, sepertinya Ino akan benar-benar dihabisi. Minimal ia akan menerima tatapan setajam sharingan—sebuah jurus mata fiksional—yang menusuk ke dalam sanubari. Beruntung, karena kesibukannya saat ini, Itachi hanya menghela napas, meliriknya dengan sudut mata tanpa memperlihatkan emosi. Entah karena waktu dan kesempatan tak merestui, entah karena ia memang mengerti apa yang Ino kehendaki.

"Propane?" ulang Itachi.

"Huh? Jangan bilang Uchiha-sama tidak tahu kalau itu adalah salah satu bahan bakar generator?" Ino mengerjapkan matanya setengah tak percaya. Ekspresinya seolah menyiratkan 'Aku tak percaya ada juga hal yang tak diketahui Uchiha-sama.'

"Maksudku kenapa harus propane," ralat Itachi, "kau memesan propane dalam jumlah besar seolah-olah kauyakin generator di sana memang menggunakan itu sebagai bahan bakarnya."

"Huh? Kurasa itu adalah given jika aku memiliki atasan yang belakangan ini sangat menyukai reaktor nuklir itu sampai-sampai menyimpan blueprint pembangunannya," jawab Ino dengan santai.

"Kupikir kau bukan tipe yang gemar mengamati hobi atasanmu, Yamanaka," komentar Itachi.

"Aku takkan begitu jika itu bukan hal yang menurutku menarik, Uchiha-sama," balas Ino, "menilai kebiasaan Anda, kurasa Anda sudah menandai reaktor ini sebagai salah satu reaktor yang bermasalah."

"Tidak sejelas itu, Yamanaka. Aku hanya kebetulan menyimpannya," Itachi membalas sekenanya.

Ino meliriknya sekilas. Sedikit merasa kecewa karena Itachi tak terpancing untuk memberikan detail yang lebih jelas. Entah karena memang pribadinya yang tak bisa bicara lebih dari satu paragraf atau memang karena ia tak memandang Ino sebagai sosok yang pantas. Barangkali, di matanya Ino hanyalah sosok officer penggembira yang tak bisa diajak menyelesaikan masalah secara tuntas.

Uchiha Itachi memang terlahir sebagai prodigy. Rasanya tak ada orang yang akan meragukan kecemerlangannya dalam berbagai misi. Lelaki itu seperti dikaruniai sepasang mata yang sangat tajam hingga bisa melihat hal-hal yang tersembunyi. Seolah tak cukup, ia juga diberkahi dengan daya pikir yang tak kalah tajam hingga bisa mengolah hasil penglihatannya menjadi sebuah informasi. Bukan informasi biasa tentunya, mengingat beberapa kali informasi itu cukup untuk menumbangkan kelicikan sebuah dinasti.

Awal mula ketertarikannya pada Konoha Daiichi sepertinya dimulai dengan pertemuan dengan beberapa penyidik National Tax Agency. Pertemuan itu sesungguhnya hanya membahas Memorandum of Understanding antara kedua lembaga untuk saling bertukar informasi. Ino tak tahu persisnya bagaimana tapi ia tahu mereka menyebut beberapa nama perusahaan pemasok energi. Salah satunya adalah Konoha Daiichi. Hanya saja kecurangan mereka tak meninggalkan bukti yang memadai.

Konoha Daiichi mungkin takkan mendapatkan atensi penuh Itachi bila rekannya tak memberikan informasi secara gradual. Konohagakure masih rawan dengan penyelundupan dan perdagangan ilegal. Cara kerja mereka begitu rapi, terlalu rapi hingga rencana operasi tangkap tangan yang dicanangkan satuan inteldik lebih banyak menemui kata gagal. Itachi memang tidak ditugaskan dalam satuan itu, namun assignment-nya tak memengaruhi caranya memandang sekumpulan ini sebagai bukti yang tak patut disangkal. Jika dikaitkan, semua hal ini akan berakhir menjadi sebuah skandal.

Itu pulalah sebabnya Ino menempatkan Itachi sebagai sosok teratas dalam daftar. Membunuhnya bukanlah sebuah solusi—lagi pula cara itu terlalu kasar. Tetapi mengundangnya masuk dalam permainan hide and seek mungkin akan jauh lebih membuat mereka berdebar.

.

.

.

"Propane katanya."

Lelaki berperawakan sedang itu menoleh pada sosok yang lebih tinggi darinya. Seorang pria Kaukasian yang masih mengamati lelehan reactor core dengan pandangan terpana. Jika mengambil foto tak merusak citranya, mungkin ia sudah mengeluarkan kamera demi mengabadikan setiap detail yang ada.

"Siapa?" Pandangan matanya belum juga beralih, seolah-olah apa yang tengah disaksikan matanya adalah sebuah kejadian langka.

"Istrimu," lawan bicaranya menjawab dengan jengah, "kau punya waktu lima belas menit sebelum propane-nya datang dan polisi datang menyudutkanmu dengan segala hal yang mereka punya."

"Kuharap polisinya pirang, bertubuh ramping, dan bermata biru," seloroh Deidara. Lawan bicaranya sudah akan menyergah, mengatakan betapa spesifiknya keinginan Deidara ketika lelaki itu menambahkan, "aku sudah khawatir ia akan menyebutkan boric acid untuk menyerap neutron. Tapi kurasa fokusnya bukan di situ."

"Karena dia tahu polisi normal takkan hafal bagaimana cara kerja reaktor nuklir," tukas lelaki berperawakan sedang itu. Cahaya di ujung lorong membuat helaian merah di kepalanya tampak mengilap. Ia seharusnya tak sedang berada di sini jika Deidara tak mengundangnya. Apalagi mengamati melelehnya reactor core juga tak pernah menjadi hobinya.

"Kau cukup mengenalnya, Sasori," Deidara menoleh ke arah si lelaki berambut merah, "dan kau juga sudah lebih dari cukup untuk mengenalku."

Seulas senyum terlukis dari sepasang bibir Sasori. Tak terlukis guratan ekspresi senang darinya—membuat senyumnya justru terlihat seperti seringai. Deidara memang tak sedang memuji. Mengenal pasangan suami istri ini sama artinya dengan melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang mereka miliki. Bila diartikan lebih jauh, bisa saja diartikan sebagai sindiran bahwa dirinya sama gilanya dengan mereka sendiri.

Tentu saja takkan ada yang mau.

Entah bagaimana awalnya mereka bertemu. Entah dalam sebuah simposium, entah dari sebuah kasus yang menjeratnya di masa lalu. Entah apa pula yang membuat Sasori memutuskan untuk menjadikan mereka sekutu. Sasori hanya mengingat Deidara sebagai scientist eksentrik yang selalu tahu apa yang ia mau. Secara sederhana, Deidara menyukai kepanikan massal dengan teramat menggebu-gebu. Jumlah korban jiwanya tidak begitu penting—ia bukanlah pembunuh berdarah dingin yang gemar menyaksikan tumpukan mayat sembari berlalu. Baginya, berjalan di antara mayat-mayat bergelimpangan dan tumpahan darah yang berceceran hanya akan mengotori sepatu.

Hobi gilanya ini tentu saja menjadi sebuah ancaman di negaranya. Sasori tidak begitu paham bagaimana mekanismenya, tapi ia cukup mengetahui keberadaan Deidara di sini tak lepas dari peran Rusia. Keberadaan istrinya di sini juga menguatkan segalanya. Deidara tak ubahnya seekor singa. Bila ia mengamuk di Rusia, maka negaranyalah yang menerima malapetaka. Kirimkan saja ia ke negara tetangga—yang memiliki potensi bahaya—biarkan saja ia mengamuk sepuasnya. Lengkapi dengan personal trainer-nya—yang dalam hal ini berarti istrinya—maka singa yang berbahaya itu justru menjadi komplemen dalam rencana.

"Andrevsky-san, sebelah sini!"

Suara berbalut kepanikan memanggilnya dari ruangan seberang. Sepertinya ia membutuhkan Deidara untuk menyelesaikan masalah kompleks yang tengah menerjang. Mungkin mereka hendak memperbaiki generator, dengan sisa bahan bakar yang tak terbuang. Atau mencari-cari boric acid—atau apa pun itu—agar jumlah neutronnya tak semakin berkembang. Sepertinya Sasori juga lebih baik menyelinap pergi, sebelum polisi atau orang-orang yang merepotkan itu datang.

"Orang dari Konoha Police Department tadi bilang, mereka akan membantu mengirimkan propane ke sini," ada secercah harapan yang terselip dalam bola matanya. "Kuharap bantuannya segera datang. Propane kita habis terbawa ombak. Tim Yakushi sedang memperbaiki generatornya. Beberapa orang-orangnya sedang pergi ke gudang untuk memastikan apa saja yang masih kita punya. Kurasa lebih baik kita ikut saja."

"Aku juga. Kurasa kita masih punya boric acid atau semacamnya," komentar Deidara.

"Ah, kau berencana melarutkannya pada coolant-nya?"

Deidara mengangguk, "Aku khawatir ini akan terjadi dalam waktu yang agak lama. Apalagi kalau propane-nya tak kunjung datang atau generatornya tak bisa mengalirkan listrik. Kecuali kalau kau berpikir sebaliknya.

Lawan bicaranya menggeleng, "Tidak, menurutku ini juga akan terjadi dalam waktu yang lama. Kita butuh sesuatu yang cepat untuk menghentikan proses fisinya. Ah, kurasa kita perlu menyampaikan ini pada Bos."

"Jika tujuanmu berkaitan dengan proses mitigasi, aku sudah memberitahukannya tadi. Meskipun Bos sepertinya berkeyakinan kita bisa mengatasi ini sebelum matahari terbenam," tukas Deidara.

"Sebelum matahari terbenam? Huh, kalau saja bisa, aku menginginkan keajaiban itu," lelaki itu menggerutu.

Deidara tak menggubris, hanya mengulas sebuah senyum tipis. Ia tak berbohong, tidak pula memberikan informasi menyimpang dari apa yang seharusnya tergaris. Satu-satunya hal yang dilakukannya hanyalah memilah kata-kata manis. Diksi yang tepat untuk memprovokasi rekan sejawatnya sekaligus menusuk sisi atasannya yang egois.

"Mohon maaf, Buchou. Semuanya berjalan di luar rencana. Peralatan yang kita perkirakan tahan gempa ternyata tumbang ketika tsunami menerjang. Generator penyuplai listrik untuk coolant-nya mati. Kami khawatir reactor core-nya akan meleleh." Itu yang dikatakan Deidara kala ia memberikan laporan pada atasannya.

"Ini tidak masuk akal. Unit peralatan yang kita pakai di sana sudah memenuhi standardisasi ketahanan gempa. Kita bahkan sudah mengujinya berkali-kali sebelum memasangnya pada reaktor yang kita miliki."

"Tapi generatornya..."

"Hm? Kau mau mengatakan kalian tidak bisa memperbaikinya?"

"Tidak. Yakushi dan timnya sedang mengusahakan itu. Satu-satunya yang menjadi masalah adalah kita tidak punya persediaan propane yang cukup untuk menggerakkannya."

"Gudangnya..."

"Hanyut terbawa ombak."

Deidara bisa memastikan migrain dadakan yang diderita sang atasan. Antara keselamatan lingkungan atau kebanggaan, entah mana yang hendak ia dahulukan. Mengambil tindakan cepat untuk mitigasi berarti mengakui reaktor mereka tak sehebat yang digembar-gemborkan. Tetapi mengabaikan begitu saja aspek keselamatan tentunya akan membuat mereka panen hujatan.

Tidak, tidak, ia sudah memperhitungkan segalanya. Sudah semua, termasuk simulasi terkait datangnya bencana. Ia sudah memilih material-material terbaik, lengkap dengan sumber daya manusia yang digdaya. Memaksimalkan segala potensi ini akan membuat opsi panen hujatan menjadi panen pujian. Konoha Daiichi Tetap Tegak Meski Diterjang Bencana, sepertinya akan menjadi headline beberapa koran dalam beberapa pekan ke depan.

Publikasi gratis semacam ini tentunya sangat menguntungkan perusahaan. Mereka mungkin akan merugi—meski takkan banyak mengingat mereka memiliki klaim asuransi yang bisa dicairkan. Tetapi sebagai imbalannya, harga sahamnya akan melonjak seiring dengan kredibilitas yang teruji oleh prahara mengerikan.

Seandainya—hanya seandainya—semuanya tak berjalan seperti yang dikehendaki, ia masih bisa menyalahkan alam sebagai tersangka utama. Sedikit polesan indah, seperti lapisan gula dalam setiap tutur kata. Manusia tak ada apa-apanya bila disandingkan dengan kuasa Sang Pencipta. Bahkan jika manusia merencanakan sesuatu, kuasa Tuhan akan meluluhlantakkan dengan begitu mudahnya.

"Hey, kau tidak langsung mengiyakan kan waktu Bucho seyakin itu. Selesai sebelum matahari terbenam itu seperti meminta kita menjadi magician. Kalau aku memang bisa jadi magician, lebih baik kusulap saja biar semua kekacauan ini tidak terjadi," lelaki itu masih saja mengoceh. Agaknya merasa kesal dengan arogansi pimpinannya.

"Memang tidak. Kubilang gudang bahan bakar untuk generator tersapu ombak, kita akan kesulitan untuk mengatasi overheat di reaktornya. Akan sulit untuk menyelesaikannya dengan cepat. Tapi yah...,"

Tepukan simpati bersarang di pundak Deidara. Rekannya sama-sama mengerti betapa arogannya pimpinan mereka. Mencoba mewujudkan keinginan beliau adalah cara termudah ketimbang mendengarnya terus menerus berbicara. Apalagi dengan konten ucapan yang berulang kali menyebut lemahnya mental dan keyakinan mereka.

.

TBC

.