Disclaimer : All Characters belong to Masashi Kishimoto.

Warning : Adult readers only, explicit mature content. DLDR

A/N : Habis nulis pefect, Imperfect tiba-tiba terbesit untuk menulis smut gara-gara habis baca fic, harem, NTR gak jelas. Berhubung masih feeling ItaIno jadi pingin bikin adegan erotis antara mereka berdua.


Suami Pengganti.

Ino melepaskan handuknya, Menatap pada bak mandi besar yang penuh busa dan bertaburan kelopak mawar, temaram cahaya lilin memberikan sinar lembut kekuningan di kamar mandi yang sepenuhnya terbuat dari marmer. Di tepi bak mandi itu telah tersedia sebotol champage dan dua buah gelas yang disiapkan oleh pihak hotel untuk sang pengantin baru tapi bukan itu yang terjadi. Ia tak ingin menangis mengingat apa yang terjadi tadi pagi. Ino mencelupkan tangannya untuk menguji suhu air. Ia tak suka air mandinya begitu panas. Merasa cukup wanita itu menanggalkan handuknya dan melangkah masuk dan menenggelamkan dirinya pada air beraroma mawar. Bibirnya mengeluarkan erangan lega. Ototnya terasa relaks oleh hangatnya air yang merendam tubuhnya. Ino menutup matanya menghirup wangi mawar membiarkan pikirannya menjauh dari mimpi buruk yang menjadi kenyataan

Suara pintu terbuka membuatnya terkejut dia pun menoleh.

"Boleh aku bergabung?"

Ino tersenyum menatap pria berambut gelap yang tubuhnya hanya ditutupi selembar handuk melilit pinggulnya. Pria itu paling tahu apa yang ia rasakan saat ini. Dia telah menyelamatkannya dari rasa malu yang harus ditanggungnya.

"Mengapa tidak? Kau suamiku sekarang. Terima kasih sudah menyelamatkan wajahku dan keluargaku " Ino menatap cincin yang melekat di jari manisnya dengan sedih.

"Aku melakukannya untuk keluargaku juga. Aku tak menyangka ia akan berubah pikiran di saat-saat terakhir."

"Bisakah kita tak membicarakannya?"

"Baiklah." Pria itu pun melepas satu-satunya kain yang melekat di tubuhnya dan bergabung bersama Ino di bak mandi. Ia duduk di sisi lain berhadapan dengan wanita berambut pirang itu. "Mau bersulang?" Ia mengisi gelas-gelas itu dengan champagne.

"Bersulang untuk pria bodoh yang meninggalkanku di altar." Ucap Ino hampir berteriak.

"Bersulang untuk kebahagiaan yang kita akan rasakan nanti."

Kedua gelas itu berdenting dan Ino langsung meminum isinya dalam satu tegukan. "Kecil kemungkinan aku bahagia." Ino meraih botol champagne itu dan mengisi gelasnya lagi dan lagi. Dia menguras semua isi botol itu sendirian. Ino merasa tubuhnya berada di awang-awang. Dia begitu ringan dan bahagia. Wanita itu mulai cekikikan sendiri. Pria yang bersamanya telanjang di bak mandi itu hanya menggelengkan kepala tapi ia mengerti Ino membutuhkannya setelah apa yang terjadi kurang dari dua belas jam terakhir.

Tiba-tiba saja Ino menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. Melihat pemandangan itu dia jadi terenyuh. Dia tak mengerti apa yang mendorongnya untuk membantu wanita itu. Ia mengenalnya sejak lama tapi mereka tak pernah dekat. Ia tak tahan melihat wajah menderitanya apalagi semua itu diakibatkan oleh kebodohan adiknya. Mau tak mau ia merasa ikut bertanggung jawab.

Tanpa pikir panjang ia merengkuh Ino dalam pelukannya. Kulit mereka yang basah dan licin bersentuhan. Wanita itu menangis dibahunya. Ia merasakan dada gadis itu bergetar akibat terisak.

"Please, Buat aku merasa lebih baik." Ino memohon dengan lirih pada pria itu. Mengharap ia melakukan sesuatu untuk menghentikan rasa sakit yang melanda hatinya.

"Berjanji padaku kau tak akan menyesalinya besok."

"Tidak...tidak akan." Ino melepas pelukannya untuk menatap sepasang mata obsidian. Membiarkan pria itu tahu ia membutuhkannya meski hanya untuk sekedar lari dari kenyataan.

Ia tak kuasa menolak, Kecantikan wanita itu tak menghilang meski ia memasang ekspresi sedih dan bermata sembab. Rambut pirangnya tampak menjadi lebih gelap dalam cahaya lilin. Bibir Ino bergetar mencoba menahan tangisnya.

Tanpa ia sadari, ia telah merengkuh wanita itu kembali ke pelukannya dan mencium bibirnya. Ia ingin wanita itu merasa ia tak sedang sendirian. Ia ingin membuat Ino merasa dirinya berharga. Memperlakukan wanita itu selayaknya seorang putri setelah dicampakkan begitu saja oleh kekasihnya.

Hangatnya bibir pria itu disambut Ino dengan rasa terima kasih. Ia tak sendirian. Ciumannya begitu asing tapi juga familier. Tak ada tekanan keras, tak ada tuntutan. Hanya ada kepastian kalau pria ini. Di sini untuknya. Bibir Ino merekah menyambut kecupan itu lebih dalam. Lidahnya menyelinap di antara celah bibir merah muda. Membelit dan membuai. Bibir mereka saling melumat dan memagut. Memaksa Ino untuk terhanyut dalam sensasi erotis yang membuatnya melupakan rasa sakit yang meluluhlantakkan kehidupannya.

Tangan Ino terkait erat di leher pria itu. Seolah ia nyaris jatuh dalam jurang dan pria itu satu-satunya harapan untuk membawanya kembali ke atas. Wanita itu mengerang lembut merasakan tangan penuh kapalan menyusuri lekuk pinggangnya. Ibu jari pria itu sedikit menyentuh sisi payudaranya dan membuatnya merasa tergelitik. Bibir pria itu meninggalkan bibirnya menjelajah dari pelipis turun ke telinganya.

"Ah..h" Desah wanita itu saat merasakan lidah pria itu membelai daun telinganya. Ciuman-ciuman itu terus turun hingga ke leher dan bahunya. Membangkitkan rasa hangat di bawah perutnya. Jantung Ino berdetak lebih kencang. Ia menyelipkan jari-jarinya di antara helaian rambut sehitam eboni. Ino ingin pria itu menjadi lebih dekat. Menambal hatinya yang pecah berkeping-keping dengan hasrat.

Wanita itu menggigit bibir bawahnya menahan lenguh yang hampir meluncur ketika merasakan sebelah tangan pria itu meremas buah dadanya. Tangan kirinya masih melingkari pinggang Ino menahan wanita itu agar tak bergerak kemana-mana.

Setiap sentuhan memberikan getar-getar nikmat di sel-sel syarafnya. Ino nyaris menggeliat saat jari pria itu dengan ahlinya memberi tekanan dan elusan menstimulasi puting yang kian lama kian mengeras seiring nafsunya yang meningkat.

Ino telah menyerah, Ia membiarkan nafsu menguasai dirinya. Ia tak peduli, selama itu membuatnya melupakan kenyataan. Selama itu membuatnya merasa lebih baik.

"Bercintalah denganku." Pinta wanita itu. Ia menatap dengan mata sayu yang tertutup oleh kabut birahi.

Dengan perlahan Ibu jari pria itu menyusuri tulang pipi Ino, Sebuah sentuhan yang mengisyaratkan kelembutan. "Aku tak akan pernah bisa menolakmu."

Pria itu berdiri menarik Ino keluar dari bak mandi dan membopongnya masuk ke dalam kamar dengan mudah seolah ia seringan bulu. Mereka tak peduli kalau mereka belum mengeringkan tubuh mereka dengan handuk.

Dia membaringkan gadis itu di ranjang. Mengamati setiap detail estetik yang tubuh wanita itu tawarkan. Tak pernah bahkan dalam khayalan paling gilanya sekalipun ia berpikiran untuk bercinta dengan Yamanaka Ino. Gadis ini selalu terlarang untuknya tapi sekarang ia di sini menatap wajah merona wanita itu yang memintanya untuk menjamah tubuh sintal yang seharusnya menjadi milik adiknya.

"Mengapa kau menatapku seperti itu." Ino berusaha meraih selimut untuk menutupi ketelanjangannya

"Jangan kau tutupi. Aku hanya sedang mengagumimu."

Ino tak terbiasa dengan pujian dari pria ini karena biasanya ia hanya melemparkan basa-basi dan senyum sopan padanya. Ino hampir tak mengenali sosok pria yang sedang mengangkangi tubuhnya Ia melihat api mata gelap yang biasanya tampak bosan dan suram itu.

Pria memutuskan untuk berbaring terlentang di sisinya. Ia meraih tangan Ino dan membawa ke bibirnya. Ia mengecup buku-buku jari wanita pirang itu.

Ino merona, tak menduga ia akan menemukan sisi lain dari pria yang dijuluki es batu. "Kau membuatmu tersanjung."

"Kau hanya pantas untuk diperlakukan sebagai seorang putri Ino." Pria bermata obsidian itu sibuk mengelus-elus telapak tangan Ino.

Wanita itu menggeleng dan tersenyum tipis. "Jangan!, Aku ingin kau memperlakukanku seperti seorang pelacur. Fuck me hard and dry, will you?. I need that shit out of my system."

"If that your wish, I will obey. Tetapi Jangan mengeluh bila nanti tubuhmu pegal-pegal dan tenggorokanmu sakit karena memekikkan namaku."

Ino berdecak, "Buktikan padaku, Kau bisa menghancurkanku."

Pria itu menarik Ino berguling dan menindihnya. Bobot pria itu menekan tubuhnya terasa lezat. Wajah pria itu melayang beberapa Inci di atas wajahnya. Rambut hitam sebahunya jatuh bak tirai menutupi wajahnya. Ekspresi pria itu menjadi lebih gelap. Aura berbahaya memacar dari tubuhnya. Ia menahan tangan Ino di kedua sisi tempat tidur. "I am trying to fix you, baby."

"Bawa aku menjauh dari rasa sakit dan pengkhianatan ini." Ino memohon.

Dia mencium Ino dengan lembut, Mencoba memberikannya sentuhan seorang kekasih meski ia bukan kekasih Ino. Ia mencoba untuk menenangkannya tapi wanita itu bereaksi seperti api yang membara.

Ino menggigit bibir pria itu kemudian mengulumnya dengan keras. Ia marah, pada kebodohannya. Ia marah pada pengkhianatan mereka dan sekarang ia melampiaskan amarahnya pada tubuh pria ini.

Kuku-kukunya yang panjang menancap dan menggores punggung pria itu. Ia sengaja menggeliat untuk menyentuhkan tubuh pria itu dengan tubuhnya dan puas menemukan bagian yang ia targetkan telah bangun dan mengeras.

Ino membangkitkan binatang yang tertidur dalam dirinya. Dengan kasar ia mencium leher dan bahu wanita pirang itu. Warna merah keunguan menjadi jejak penjelajahan pria itu di kulit Ino. Ia akan membuat Ino memohon untuk dipuaskan.

Tangannya membelai tubuh Ino Menyusuri setiap garis dan lengkung dan berhenti pada sepasang payudara yang mencuat menantang pria itu untuk menyentuhnya.

Tanpa pikir panjang. Telapak tanggangnya yang lebar meremas dan memilin buah dadanya. Tak puas dengan itu ia mengulum putingnya. Menghisap dengan keras kemudian mempermainkannya dengan lidah ahlinya. Ino memekik perlahan merasakan serangan demi serangan menghantamnya bertubi-tubi. Ia merasa semakin panas dan basah. Ia ingin di sentuh.

"Tolong sentuh aku"

"Di mana?" Pria itu pura-pura tidak tahu padahal Ino sudah belingsatan. Ia masih saja bermain-main dengan payudaranya.

Malu untuk berkata. Ino meraih tangan pria itu dan meletakkannya di antara kedua kakinya.

"Sudah tak tahan?, Bersabarlah sebentar."

Pria itu tak melakukan banyak hal. Hanya melayangkan telapak tangannya dengan ringan di selangkangannya. Hal itu membuat Ino mengerang frustrasi. Organ kewanitaannya dari tadi sudah becek dan berkedut-kedut oleh rasa tak puas. Tapi pria ini malah menguji kesabarannya.

Merasa berbaik hati, pria itu menyentuhkan telunjuknya di klitorisnya. Ia menggesek dan membuat gerakan memutar membuat Ino terkejut dengan stimulasi kuat di titik paling sensitif. Ia memekik tertahan dan melenguh.

Pria itu meningkatkan level permainannya dengan menyingkap kedua kaki Ino dan memaksa wanita itu menunjukkan bagian paling privat dari tubuhnya. Ino merasa malu, tapi juga senang melihat tatapan pria itu.

"Kau tak keberatan aku memasukimu?"

"Lakukan, Aku membutuhkannya."

"Sabar, Aku ingin mencicipimu dulu." Dia menempatkan wajahnya di antara kaki Ino sejenak menghirup aroma khas wanita. Ia kemudian menjulurkan lidahnya menyusuri lembah yang menyembunyikan harta karun untuk dibuka.

Desahan desah nikmat wanita itu membuat dirinya tambah bernafsu. Ingin ia cepat-cepat menyatukan tubuh mereka tapi ia menahan diri. Karena ini bukan tentang dirinya. Ini semua tentang Ino. Ia menyelipkan jari telunjuknya di liang yang kini terbuka cukup lebar. Begitu basah dan hangat. Wanita itu sudah siap dan sangat terangsang. Ia menyelipkan satu jari lagi dan mulai mengerakkannya keluar masuk. Memompa lubang itu hingga cairannya menetes keluar. Wajah Ino memerah. Dia hanya bisa mengerang dan merintih. Menahan tubuhnya untuk tak beringsut dan menggelinjang. Jari-jari yang panjang itu menyentuh G-spotnya Ino merasakan otot-otot di sekitar pinggulnya menegang membangun dinding kenikmatan.

"Lagi...sedikit lagi."

Pria itu menyadari Ino sudah dekat dengan klimaksnya. Dia menyelipkan jari ketiga dan kembali menggunakan mulut dan lidahnya untuk menstimulasi klitoris wanita itu.

Ino merasa dirinya begitu penuh, terisi maksimal. Mendapat rangsangan dari luar dan dalam ia hanya memejamkan matanya perlahan-lahan dinding penghalang itu roboh. Otot vaginanya berkontraksi membuat otaknya mengirimkan sinyal kenikmatan ke seluruh tubuhnya yang kini berpeluh. Ino berteriak di puncak orgasme nya dan pria itu tersenyum. Ia ingin memberi wanita itu lagi dan lagi.

Masih belum pulih dari orgasmenya. Pria itu sudah mau merentangkan kakinya lagi. Ino menghalanginya dan menatapnya dengan pandangan tak percaya.

"Apa kau serius?"

"Kau lihat ini dan kau akan mengerti."

Mata Ino terbelalak melihat apa yang ada di antara kaki pria itu. Dia begitu besar. Tanpa sadar Ino mengulurkan tangan untuk menyentuhnya.

Pria itu berdesis di antara gigi-giginya. Kelembutan tangan Ino membuat dirinya semakin keras. Ia harus memiliki wanita ini sekarang.

"Aku rasa yang ini bisa menghancurkanku." Ucap wanita itu takjub.

"Kau ingin aku memperlakukanmu seperti pelacur? Bertingkahlah seperti pelacur. Buka pahamu lebar-lebar!"

Ino merasa malu sekali tapi ia menurut. Pria itu mempossisikan dirinya dengan nyaman. Ujung penisnya menggores organ intimnya. Ino bergidik. Apakah akan cukup pikir wanita itu dalam hati.

"Jleb..." tanpa aba-aba pria itu memasukinya. Ino terkejut dan merasakan sedikit sakit. Dinding otot vaginanya terpaksa melebar untuk mengakomodasi ukuran pria itu. Ia merasa begitu penuh.

"Kau tak apa-apa." Terdengar nada khawatir dari suaranya.

"Beri aku waktu sejenak, kau..uh.. cukup besar."

Damn!, wanita ini begitu rapat. Ia tak akan bisa bertahan lama kalau begini. Melihat Ino sudah cukup nyaman pria itu mengerakkan pinggulnya.

Mulut Ino terbuka dan ia mulai mendesah. Rasanya begitu nikmat. Setiap gerakannya membuat tubuh Ino menggelenyar. Ia menatap wajah pria yang menindihnya. Ia serupa dengan pria yang menyakitinya. Mata berwarna onyx dan rambut hitam kelam tapi ia juga berbeda. Dia tampak lebih dewasa dengan garis halus yang muncul di wajahnya. Siapa sangka Ino berbulan madu dengan pria yang salah.

Wanita ini begitu indah dan dia berniat untuk memujanya dan memberinya lebih banyak kenikmatan. Ia tak pernah menikmati seks seperti saat ini. Tubuh mereka bersatu dengan sempurna seolah memang dibuat untuk satu sama lain. Rintihan wanita itu di telinganya membuat dirinya hampir gila. Otot-otot wanita itu dengan kuat menjepitnya membuat dirinya merasakan kenikmatan tiada tara.

"Itachi.."

Akhirnya Ino menyebutkan namanya. Dia membungkam rintihan Ino dengan ciuman. Wanita itu hampir klimaks lagi dia bisa merasakan kontraksinya. Ia melepaskan bibir Ino dan fokus dengan gerakan pinggulnya yang semakin mengentak dan cepat.

Kulit gadis itu merona dan bulir-bulir keringat membasahi pelipisnya. Ia bergelinjang dan menggeliat, "Please...please make me cum." Wanita itu memohon dengan putus asa.

"Sabar sayang, I'll take you there."

Berpegang dengan kata-katanya Itachi berusaha untuk menahan diri. Ibu jarinya mengusap klitoris wanita itu lagi dan ia menghunjam dengan dalam.

"Ah...Ah...Yes, baby. Yes.. a little bit more." Ino mencoba memberi instruksi.

Mata Ino terpejam ketika satu dorongan terakhir menyapu dan menenggelamkannya kembali dalam kenikmatan, "Itachi, I am cumming"

Pria itu tersenyum lega, Sekarang ia bisa mengejar kenikmatannya sendiri. Tak butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan pelepasannya. Ino begitu rapat pria itu mengerang tertahan tatkala ia mencapai puncak kenikmatan. Ia merasa sangat puas ketika cairan semen-nya menyembur mengisi rahim wanita itu. Dia mencium Ino dan berguling ke samping. Berbaring terlentang dengan nafas terengah. Ino beringsut dan meletakan kepalanya di dada pria itu. Itachi pun merangkulnya.

"Masih merasa tidak diinginkan?"

"Tidak...tadi itu cukup intens. Aku rasa pernikahan ini tidak buruk." Komentar wanita itu.

"Mengapa?"

"The sex was good."

"Aku senang bila itu bisa menghiburmu."

"Aku mengantuk, Aku tidur duluan ya." Tak lama setelah memejamkan matanya Ino tertidur pulas.

Itachi menatap wajah tidur wanita itu. Ia berharap esok Ino tak terkejut dan berteriak karena yang tidur di sebelahnya bukan Sasuke. Pria yang wanita itu cintai melainkan dirinya.