Balasan untuk review

deebul: Wow. Long story. Tapi aku suka hhe. Semangat buat melanjutkan. Ceritanya bagus banget!

(Benarkah "Bagus banget"? Oh, terima kasih. Senang fanficku dibaca olehmu)

Ain: Go go semangat author.
lanjut ceritanya yaaaaa

(Iya ini dilanjut kok. Terima kasih, ya manis)

C just for B: Menurutku ini cukup manis interaksi antara Draco sama Harry. Aku sukaaaa~ apalagi dengan sikat Draco yang posesif gemesin gituu. Kuharap ini cepat dilanjutkan yaaa. Aku benar-benar tidak sabar untuk menunggunya. Ini ff Drarry pertama yang kubaca, dan ini mengagumkan hehe.
Semangat untuk melanjutkannya yaaa!

(Oh, baguslah kalau ini fanfic drarry pertamamu, aku lega jadi yang pertama. Jangan ada yang kedua diantara kita ya? /plakk)

wui shui san: jadi penasaran... lanjut lg ceritanya ya...

(Iya, baby. Ini kan dilanjut? Gak penasaran juga ke Authornya?)

Vilan616: aq sangat menanti kelanjtnya. Tp tlng jgn terlalu jahat ma uke manis kita, harry ok

(Aku menanti review mu juga. Hn, iya akan diusahakan. Soalnya, Author suka nyiksa uke.)

DraRryShipper: Kyahh Draco-nya keren banget asw!
Tambahin dong posesifnya~ Itu cocok sekali Draco-nya!
Ditunggu kelanjutannya ya!

(Authornya gak keren juga, huh? /plakk)

Xi-U00: Woah... Mantap banget. Aku nggak tau mau bilang apa lagi. Pokoknya DraRy aku padamu sama nggak sabar nunggu kelanjutannya. Ditunggu~ ganbaree...

(Bilang apa saja bebas, jangan nunggu fanficnya—lebih baik tunggu Authornya saja ya? /plakk)

Kyuushirou: Semangat untuk kelanjutannya ya, ditunggu~
Keep writing 3

(Jangan ditunggu, itu sakit baby. Thanks)

Ren Afrezya: Keren. Wah.. Aku suka karakternya Draco..
Next ya.. Ditunggu kelanjutannya.. Dan saranku sih bahasanya agak dibenerin dikit.. Agak bikin bingung bacanya..Next ka.. Mangatz.. Ganbatte~ wkwk

(Akan diusahakan dibenarkan ya, maaf jadi buat bingung. Kepalamu baik-baik saja, kan? Butuh obatnya gak? Kemari, mau Author kecup /plakk)

ScarheadFerret: Kyaaaaa Draco emang ga bisa lepas sama sifat pervertnya

Aku suka diksi dan gaya bahasa fic ini.
Well, biarpun ada sedikit typo but it's ok.

Dan juga penokohan Draco keknya bakal sakral banget sampe Sorting Hat gitu amat haha

(Thanks, Scarhead. Author juga suka diksi dan gaya fic milikmu.)

Levader: masih lanjut kann?

(Iya sayang)

takaaime: dtunggu up slnjutnya kak

(Thanks sudah nunggu. Mendingan nunggu Authornya saja. /plakk)

hanazawa kay: Wowwwww Aku kira harry akan 1 asrma dan kamar dengan draco xixixixi

(Kalau dia sekamar sama semenya—nanti dia habis dirape tiap malam, baby)

Kalila 12: fighting for the next chapter! like your story

(Gak sekalian suka ke Authornya juga? /plakk Btw thanks ya)

HiNa devilujoshi: Ini akan lanjutkan? Ku suka

(Iya masih dilanjut. Maaf nunggu lama ya)

Thanks for the review.


Suasana di Great Hall penuh dengan obrolan kecil sesama asrama masing-masing. Mereka terlihat sangat antusias, khususnya para siswa tahun pertama. Lelaki berkacamata bulat menguap lebar setelah menghabiskan makanan mewah khas Hogwarts. Hermione menyenggol pundak Harry yang tidak sengaja melamun menatapi piring kosong dengan datar. Gadis ikal itu menghela nafas kemudian menepuk pundak sahabat barunya.

Nyaman berada dilamunannya sendiri—Harry mengedipkan mata menyadari tepukan halus pada pundaknya. Kepala berambut hitam berantakan menoleh ke tempat Hermione duduk di sampingnya. Sadar bahwa dia mengkhawatirkan dirinya, Harry menyunggingkan senyum tipis menjawab kalau ia baik-baik saja. Hermione menghembuskan nafas, menggeleng-gelengkan kepala lalu melanjutkan makan-makannya.

Di sebrang meja—terlihat beberapa anak Slytherin saling membisik satu sama lain mengobrolkan tentang murid tahun pertama. Tidak puasnya mereka membicarakan Draco Malfoy sebagai murid paling berbahaya dan tersegani. Bukan hanya nama keluarganya yang terkenal akan kebangsawanan tetapi Draco juga akan menjabat sebagai prefek. Namun sayang, si pirang sama sekali tidak tertarik menjadi pengaman Hogwarts.

Ia lebih senang melanggar aturan atau menjahili murid lain. Persetan mengenai poinnya, toh—Draco akan mengumpulkannya kembali. Jangan lupakan otak miliknya cerdas kelewat batas.

Kini bibir plum Draco merekahkan sebuah senyum sinis yang ditunjukkan untuk bangku Gryffindor. Sebelah alis diayunkan ke atas begitu Blaise menaikan ibu jarinya, mereka seperti merencanakan sesuatu untuk seseorang. Tidak terlewat, Pansy ikut terkekeh menatapi Hermione tengah menyantap makan malam bersama kedua sahabat baru.

Terlihat jelas ekspresi bahagia terpampang pada wajah cantiknya, Pansy menopang dagu di atas punggung tangan. Memperhatikan gerak-gerik orang yang disukainya diam-diam, ia mengenali Hermione ketika umur 9 tahun. Di sana penuh ketidak sengajaan, Hermione yang masih polos memberikan syal di musim dingin saat Pansy kehilangan jejak orang tua. Sampai sekarang, Pansy terperangkap dengan perasaan lama.

Tak bisa move on? Atau baper?

"Crabbe, jangan ambil makananku!" Theo menyipitkan mata mendapat tiga comot dari samping tempat duduk.

Sementara sang pelaku menggendikan bahu tak peduli, terus melanjutkan makannya khidmat begitu pun dengan Goyle. Duo anak rakus makanan itu tidak mengidahkan tatapan dingin Draco, maklum—mereka belum tahu apa-apa mengenai jati diri para bangsawan.

Goyle menyandarkan punggungnya ke depan, meletakan kepala di atas meja.

"Kenyang..." Sahutnya pelan dengan perut penuh.

Bocah berkulit hitam manis memutar bola mata menyaksikan reaksi Goyle setelah makan banyak. "Wajar, bodoh. Selagi Dumbledore memberikan pengumuman penting—kau daritadi hanya makan."

"Aku belum makan, Zabini. Ibuku melarangku makan karena tubuh besarku." Balas Goyle jujur sembari menepuk-nepuk perut.

Draco menarik senyum tipis memaklumi sikap kedua teman seangkatannya yang tidak menghormati keberadaannya. Untuk sekarang dirinya akan mengabaikan mereka berdua.

Sesekali jemari Draco mengaduk-ngaduk sedotan dari gelas panjang berisi jus labu. Tatapan mata mendadak menajam sesudah menerima intruksi Minerva yang memerintahkan para prefek menggiring murid asrama masing-masing ke ruangan. Sebelum hendak meninggalkan aula—Draco menghampiri si kacamata yang sedang asyik berbincang bersama keluarga Weasley.

Theo menarik tangan Blaise dan Pansy—menyuruh mereka mengikuti sang tuan muda.

"Potter." Panggil Draco tegas.

Mendengar namanya disebut seseorang—otomatis badan Harry dibalikan ke belakang ingin melihat siapa pemanggilnya.

Beruntung kacamata bulatnya tidak jatuh—Merlin... Pura-pura tuli, Harry kembali membalikan badannya kembali menghadap Ron yang masih bicara heboh dengan murid-murid lain. Ditengah-tengah keramaian ini mungkin membuat suasana menjadi panas, ataukah gara-gara kedatangan seorang Draco Malfoy? Buru-buru Harry menendang pikiran dalam benaknya mengenai Draco.

Ingat, dia adalah musuh terbesar. Tidak boleh terpana hanya gegara ketampanan Draco. Harry merutuk nasib kenapa juga di sekolahnya harus memiliki rival? Padahal impian terbesarnya adalah belajar di Hogwarts akan menyenangkan. Ternyata, kenyataan terkadang tidak bagus.

Keringat dingin menelusuri sudut pipi Harry, merasakan seluruh badannya merinding ketika merasakan Draco masih belum beranjak dari tempatnya.

Jari lelaki bersurai kepirangan menyisir rambutnya ke belakang. Beraninya mengabaikan orang yang dipanggilnya, Draco segera menarik lengan Harry—membuat yang ditarik tersentak. Refleksi keduanya saling berhadapan dengan jarak terbilang sangat intim.

Nafas hangat Draco menerpa wajah Harry yang lebih pendek. Iris emeraldnya tak sengaja turun melihat bibir menawan milik sang pangeran.

What the—

Harry langsung menarik tangannya agar lepas dari cengkraman Draco.

"Jangan harap kau bisa menghindariku, Potter." Kata si blonde menyiratkan sesuatu.

Kening Harry mengerut mencerna kalimat yang dikatakan musuh di hadapannya. Apa maksud dari perkataannya? Dia pikir dirinya menghindariNya? Justrul Harry tidak mau membuat masalah di hari pertamanya. Mau tak mau Harry membalas Draco, melangkah mundur menjaga jarak.

"Aku tidak menghindarimu, Malfoy." Harry menoleh ke sisi kanan, berharap kontak mata segera terlepas.

Draco tersenyum penuh percaya diri, maju beberapa langkah sehingga jaraknya semakin dekat. Kepala dengan rambut rapih menunduk menghampiri wajah Harry nan manis. Ditariknya dagu sang pahlawan agak kasar, memaksa kehendaknya untuk menatap dirinya.

Degup jantung Harry berdetak tidak normal, mendadak nyalinya menciut saat jemari Draco mulai mengusap dagunya dengan gerakan lambat. Apa dia bodoh? Ini adalah tempat umum, semua orang memandangi dirinya terheran-heran. Seorang Gryffindor dan Slytherin mengobrol baik-baik saja? Bukankah mereka musuh?—begitulah isi pikiran mereka.

Demi Merlin, Draco tidak mau melepaskan pandangannya dari sosok pahlawan. Senyumnya semakin merekah, dan saat itu juga—Draco mendekatkan mulutnya tepat ke telinga Harry. Sebelum berbicara, sengaja ia meniupnya lebih dulu membuat Harry berjengit kaget merasakan tiupan sensual milik sang pangeran Slytherin.

Puas menyaksikan respon Harry, Draco terkekeh. Kemudian mengulum daun telinga Harry tanpa alasan, tentu saja yang menjadi pemilik telinganya mengerang tertahan. Kedua lengan siap mencengkram pundak Draco erat sembari menutup sebelah matanya berniat menahan suara erangannya.

"Apa... yang kau lakukan?" Tanya Harry mendorong dada Draco agar menghentikan aktivitasnya.

Benar saja. Lelaki di hadapannya ini sudah betul-betul stres, dia kelamaan menjomblo sepertinya? Hell, Draco masih anak kecil berumur sebelas tahun sama seperti Harry. Dirinya sungguh tidak mengerti apa yang dilakukan Draco, ditambah kontak fisik atau sentuhan yang diberikan langsung olehnya, menurutnya Harry mengerti?

Justrul itu membuat Harry bergidik. Apalagi sengatan layaknya listrik menyengat setiap kulitnya. Sekarang, Harry mengatur nafas—mencoba terlihat tenang meski Draco tak dapat mudah dibohongi. Alis blonde bocah tersebut ditarik ke atas, masih dengan senyum mesumnya yang tercetak jelas.

"Aku hanya memastikan kau tidak disentuh orang." Balas Draco santai, iris abu-abunya mengunci pergerakan Harry.

"Kau pikir aku mainanmu?" Harry bertanya kembali, mengusap-ngusap telinganya.

Draco memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ekspresinya tetap tenang mengamati mangsa yang ia awasi jelas-jelas. "Bagaimana jika iya?"

Kebetulan sekali Ron selesai berbincang bersama kawanan lainnya. Begitu sadar bahwa Harry telah menghilang dari tempatnya, cepat-cepat Ron berlari menyelinap kerumunan para murid-murid.

Dapat dilihat sahabat barunya terjebak dengan sosok brengsek Malfoy. "Bloody hell..."

Ron menghampiri mereka berdua, menarik pinggang Harry ke belakang. Matanya menyipit memandangi Draco tak suka.

"Apa urusanmu dengan Harry?" Ron bertanya sarkastik. Tatapannya tidak dapat disembunyikan bahwa Ron serius membenci bocah di depannya.

Sekali lagi Draco mengangkat kepala miliknya ke atas, merendahkan Ron seraya memberikan dia senyum licik.

"Oh? Apa ini urusanmu juga, Weasley?" Ia balik bertanya tanpa rasa ingin mengalah.

Harry yang berdiri di belakang Ron hanya mengerutkan keningnya tidak mengerti dengan hubungan mereka yang sedari tadi sejak di kereta mereka terlihat tidak akhrab. Tangan pucat Harry menggenggam ujung lengan jubahnya erat seraya menatapi Draco. Entah bagaimana menyikapi mereka, yang jelas Harry perlu melakukan sesuatu sebelum para guru mengetahui ini.

Hendak maju menengahi adu mulut mereka—sebuah tangan menahan pergerakannya. Lantas, Harry menoleh ke belakang.

Ada Hermione tengah menggelengkan kepalanya pertanda bahwa Harry tidak boleh mengganggu. Sebenarnya ini ada apa? Ia sungguh tidak mengerti. Apa hubungannya antara Ron dan Malfoy?

Gadis ikal tersebut mengajak Harry masuk mengikuti jejak Prefek Gryffindor.

Tahu kalau Harry akan menolak, terpaksa Hermione mendorong punggung Harry ke depan berharap anak berkacamata itu menurut.

Karena tidak ada pilihan lain, akhirnya Harry mengikuti keinginan Hermione. Kepalanya menoleh dimana Ron masih menghadapi Malfoy di depan. Helaan nafas dihembuskan, Harry merasa bersalah meninggalkan Ron sendirian di sana.

"Hermione, ada apa dengan mereka?" Harry berjalan pelan-pelan menelusuri tangga.

Sang muggleborn tersenyum kecil menyembunyikan kekhawatiran. "Tidak ada, Harry. Ron hanya tidak suka jika sahabatnya diganggu,"

Seolah percaya apa yang dikatakan Hermione, Harry mengangguk mengerti. Kedua Gryffindor itu melangkah terburu-buru melewati tangga sebelum jalurnya berubah.

Tiba di depan gambar seorang wanita gendut yang bernyanyi dengan suara nyaring—otomatis Harry maupun Hermione serentak menutupi kedua telinganya. Rasanya bising, nyaris merusak gendang telinga. Untung ada Percy menyusul dari belakang. Harry menatap pria jangkung tersebut, menyingkir dari tempatnya untuk mempersilahkan sang ketua prefek memimpin.

"Ijinkan kami masuk, madam." Pinta Percy sopan.

Namun wanita itu menggeleng kuat-kuat, pegangannya pada gelas mengerat saat akan bernyanyi lebih keras. "Tunggu setelah aku menyelesaikan nyanyianku,"

Lagi-lagi murid Gryffindor mendengus kesal, menunggu perempuan gemuk selesai bernyanyi.

Tidak butuh satu jam, pintu terbuka lebar. Percy berdiri di hadapan semua siswa menghadang mereka masuk terlebih dahulu. Pria itu mengulumkan senyum simpul, mengambil daftar murid tahun pertama.

"Sebelum kalian masuk, aku perlu memberikan pengumuman penting. Pertama, aturan mengenai waktu. Para murid dilarang keluar kamar saat jam malam, usai makan malam di Aula diharuskan langsung kembali ke asrama. Tidak diperkenankan menjelajahi bangunan lain. Kedua, para murid Gryffindor tidak boleh memasuki asrama lain, urusannya akan panjang. Ketiga, dilarang berkeliaran diluar asrama. Keempat, tidak diijinkan melakukan sihir di dalam asrama kecuali dengan ijin prefek." Jelas Percy panjang lebar.

Semua ekspresi tegang terpampang jelas ketika Percy mulai membeberkan tiap aturan. Hermione mengacungkan tangan ingin bertanya.

"Saya ingin bertanya," Hermione tetap mengangkat tangannya.

Percy mencari keberadaan Hermione, menerawang melihat kemana arah tangan itu berada. "Ya silahkan, Granger."

Hermione menurunkan tangan, maju beberapa langkah mendekati Percy sembari melihat-lihat tangga-tangga lain.

"Jika salah satu murid melanggar aturan, bagaimana?" tanyanya polos.

Seisi tempat di sana berbisik-bisik, penasaran bagaimana hukuman atas aturan yang dilanggar. Percy Weasley menarik senyum ramahnya, cerdas juga anak ini bertanya mengenai aturan terlanggar. Tanpa basa-basi Percy berdehem menjawab pertanyaan Hermione.

"Tentu saja akan dapat detensi dari wali asrama, Profesor McGonagall. Beliau akan memberikan hukuman setimpal atas kelakuannya." Percy tersenyum. "Mengerti?"

Ragu-ragu Hermione menganggukan kepala. Kakinya mundur mendekati tempat Harry, menenangkan perasaan gugupnya sejak bibirnya mengungkapkan kata barusan.

"Kau baik-baik saja, 'Mione?"—yang ditanya mengurut dada. Mata Harry menyipit mengamatinya.

"Aku baik, Harry. Thanks!" Hermione menepuk kepala Harry gemas.

Usai menjelaskan beberapa patah kalimat lagi, Percy membuka lembaran murid tahun pertama Gryffindor. Sepertinya pria tersebut akan mengabsen seluruhnya. Mengingat Ron belum menyusul, Harry menggigit bibirnya ingin pergi menemui sahabatnya.

Sayang, Hermione selalu mencegahnya. Memangnya ada apa? Gara-gara Malfoy? Harry melepaskan cengkraman Hermione yang memaksanya untuk diam di sini.

Bukan Harry pula yang penurut, ia akan memberontak jika tekadnya sudah bulat.

"Cukup Hermione, aku ingin melihat Ron. Sudah waktunya jam malam, aku takut dia tersesat." Kata Harry berlari meninggalkan Hermione yang membawa perhatian Percy tertuju ke arah bocah berkacamata.

Sudut pelipis Hermione dipijit melalui jemarinya, benar-benar keras kepala. Melihat punggung Harry yang mulai menjauh, Hermione menatapinya dengan tampang khawatir. 'Ini semua gara-gara si darah murni itu...'—batinnya seraya mendengarkan suara Percy yang mulai memanggil nama murid satu-persatu.

Di sisi lain—pertepatan di Great Hall.

Ron dan Draco berdiri berhadapan. Situasi terasa tegang setelah tangan Ron menelusup ke saku jubah untuk mengambil tongkat sihir.

"Kau ingin berduel denganku, Weasley?" Draco menutup mulutnya menahan tawa. "Nyalimu bagus juga."

Laki-laki bersurai kemerahan menodongkan tongkatnya tepat ke arah Draco. "Tutup mulutmu, Malfoy." Ia mengeratkan pegangannya pada tongkat tersebut—menatap Draco tajam.

"Mulutku tak bersalah, Weasley..." Sahut Draco menyentuh tongkat milik Ron dan menuntunnya agar benda itu menyentuh lehernya. "Tapi jika kau ingin mengucapkan satu mantra padaku, aku tidak keberatan."

Lidah Ron mendecak sebal menerima perkataan Draco yang super menyebalkan.

Tongkatnya ditarik paksa membuat Draco melepaskannya. Senyum sang blonde mengembang miring, ia mendekati Ron sambil menepuk pundaknya.

"Sebaiknya urusilah urusanmu sendiri, Weasley. Jangan lupakan rasmu berbeda denganku." Bisik Draco menuntut.

Ron memutar bola matanya, menyingkirkan tangan Draco yang hinggap di atas bahunya. "Dan jangan berani menyentuh Harry. Aku tidak akan membuatnya jatuh kepada orang yang salah sepertimu, Malfoy. Kau tidak bisa lari dari masa lalu, terutama keluargamu yang dulu mengabdi pada Death Eater."

Menyangkut hal keluarganya, sontak Draco menatap Ron dingin. Ia tak berkata apapun, hanya diam sembari berjalan menubruk pundak Ron.

Saat melewati lorong—Draco tidak sengaja berpapasan dengan Harry yang sedang berlari. Langkah anak itu terhenti begitu Draco menatap dirinya datar.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata—Draco berjalan cepat melewati Harry seolah tidak peduli.

Hal ini membuat si kacamata keheranan. Sejak awal biasanya Draco mengganggunya atau berlaku seenaknya selama bertemu. Tapi sekarang berbeda, tatapan si pirang tampak mendingin. Ada apa dengannya? Harry memukul kepalanya sendiri kemudian melanjutkan pencariannya mencari Ron.

Harry masuk ke Aula terburu-buru—nyaris bertubrukan dengan ketiga murid Slytherin.

"Perhatikan jalanmu, Potter!" Bentak Pansy cuek.

Lelaki berparas manis itu mengedipkan matanya terkejut akan respon para Slytherin yang sangat marah.

Belum sempat ingin meminta maaf—trio Slytherin tersebut pergi merutuk nasib mereka yang buruk. Harry semakin tidak mengerti, memangnya harus selamanya selalu hati-hati? Wajar saja jika sedang buru-buru ketelitiannya akan berkurang atau diabaikan. Lama-lama makin jengkel saja kepada murid-murid Slytherin.

Harry pun bergegas pergi memasuki Aula, mencari-cari Ron.

"Harry?"

Ia menoleh—"Ron!"

Alhasil perasaannya terasa lega setelah menemukan Ron di Great Hall. Cepat-cepat, Harry menghampiri dimana Ron berdiri. Pandangannya menyipit melihat tongkat sihir Ron digenggam pada tangan kanannya. Berniat menanyakan—Harry mengurungkan niat saat Ron menyeretnya keluar.

Di koridor Hogwarts, mereka terhenyak dalam lamunan masing-masing. Tak ada yang berani membuka suara selain gema sepatu yang menemani kesunyian semata.

Harry benci disituasi seperti ini, sebelum hendak memecahkan keheningan—mendadak pikirannya terlintas mengenai sosok Draco. 'Aku tidak mengerti!'—Harry mengangkat kepalanya, menatap Ron yang berjalan di sampingnya.

"Ron?" Panggilnya pelan, hampir tidak terdengar.

"Iya, Harry?" Ron mengalihkan perhatiannya, membalas tatapan Harry.

Ludah diteguk paksa, "kau mengenal Malfoy?"

Ron tertawa menanggapi pertanyaan simpel Harry, ia mengangguk. "Tentu saja, apa ada masalah dengan itu?"

Harry menggeleng, mengubah arah pandang menuju jendela-jendela raksasa.

"Tidak ada, apa kalian musuhan?"—Pertanyaan Harry membuat Ron nyaris tersedak. "Walau memang kami sudah berdamai, tetap saja api kami tidak padam."

"Berdamai?" Harry menaikan alisnya. "Kalian seperti sedang perang saja."

Kami memang berperang, Harry. Terutama Ibuku yang tidak terima karena leluhur memilih keluarga Malfoy untuk meneruskan tugas penting dibandingkan kami. Aku tentu tidak akan tinggal diam, belum saatnya kau mengetahui ini. Keluarga Weasley memusuhi para Malfoy. Dan sialnya kementrian sihir mempercayakan seluruh misi kepada MALFOY.

Aku belum mempercayai sepenuhnya kepada si keparat Malfoy. Bagaimana jika jadinya mereka mengkhianati semua tugas dan misinya? Tugas untuk menyelidiki kutukan lalu misi membasmi para Death Eaters? Bukankah Malfoy mantan pelahap maut? Mereka bisa saja bersekutu! Kementrian sihir memang bodoh.

Untung saja aku masih punya pahlawanku, Auror.

"Lupakan, Harry. Ngomong-ngomong, kau tahu soal Quidditch?"

Dengan penuh semangat empat lima, Harry menampilkan senyum menawannya. Ia bersemangat menjelaskan bagaimana aturan permainannya juga cara-cara mengendalikan sapu agar melaju dengan baik. Ron hanya tersenyum canggung, lelaki itu menikmati obrolannya sampai tak sadar kalau Minerva datang menegur mereka berdua.


Fuck you, Potter! (c) Leenalytte
Harry Potter (c) J.K Rowling

Warning: Typos, BoysLove, Yuri, EYD, content sexual, Mature, and others

Rated: T (For Now)

Pairing: [Draco x Harry]
Slight!PansyxHermione
Slight!GinnyxLuna
Slight!RonxHarry
Slight!CedrixHarry
Slight!SeverusxLucius
Slight!BellatrixxNarcissa
Slight!FredxGeorge
And others


Don't read Don't read.
Enjoy.


Gara-gara tertidur sedikit terlambat kemarin malam mengakibatkan dirinya bangun telat. Matahari nyaris bangkit di tengah-tengah langit, kacamata bulatnya diraih untuk mempermudahnya melihat. Di sebrang ranjangnya terlihat Ron masih tidur dengan dengkuran lumayan keras, kepala Harry menggeleng-geleng melihat sikap sahabatnya yang super santai. Ia memutuskan mengambil beberapa buku transfigurasinya, sebelum hendak pergi keluar—Harry menyambar jubah dan seragam Hogwarts.

Usai mematut diri di depan cermin, Harry mengulaskan senyum tipis merasa penampilannya sangat sempurna. "Bagus, saatnya pergi—"

"Bloody hell! Jam berapa sekarang?!"

Ron membulatkan kedua matanya lebar-lebar, bocah itu menyibak selimut—beranjak mempersiapkan peralatan sekolahnya, tidak lupa memakaikan jubahnya. "Kenapa kau tidak membangunkanku, Harry?" Ron bertanya kesal, tangannya masih berkutat menyisir rambut merahnya.

Harry yang mematung di dekat kaca menggendikan bahu. Tidak tega juga mengganggu orang tidur yang kelewat nyenyak.

"Harry! Sebagai gantinya tunggu aku!"

"What? Tapi aku bisa terlambat, Ron!"

"Salah siapa karena tidak membangunkanku?!"

Tanpa berniat melanjutkan adu mulutnya, Harry mengerang ingin protes. Ia duduk kembali di atas meja seraya membaca-baca buku penjelasan mengenai ilmu transfigurasi. Halaman demi halaman dibalikan tidak minat, Harry mulai menguap, terlelap dalam kebosanan. Dagu diangkat melirik Ron yang belum selesai memilah peralatan sekolahnya.

Astaga kenapa dia sangat malas? Harusnya membereskan alat-alatnya sebelum tidur kemarin, Harry memijit pelipisnya pasrah

Setelah lama menunggu, akhirnya Ron sudah siap dengan buku bawaannya.

"Ayo lari," ajak Harry mengetuk-ngetuk sepatunya ke tanah bersiap berlari.

Kening milik si Weasley mengerut. "Tidak mau."

"Kau mau kita terlambat?" Harry bertanya mulai jengkel.

"Tapi kita sudah memang terlambat, Harry."

"Karena itu kita harus lari sebelum kita lebih terlambat!" Desaknya seraya berlari mendahului Ron.

Ron mengacak-ngacak rambutnya, menyesal bisa bangun telat. Akhirnya mereka berdua berlarian di koridor, tanpa sadar Professor Quirrel memperhatikan Harry dengan senyum seringainya.

Pria tersebut keluar dari tempat persembunyiannya, menatapi mereka yang berlari semakin menjauh. Quirrel menarik senyum licik, sebelah tangannya masuk menelusuri saku jubah—menggenggam batu merah nan cerah. Baru saja akan merafalkan sesuatu—sebuah tepukan tangan menghentikan aksinya. Refleks, Quirrel menoleh ke belakang.

Severus Snape.

"Oh Severus, selamat pagi." Sapanya polos, dia menepis tangan Severus kemudian melangkah cepat meninggalkannya.

Keringat dingin mengalir menelusuri pipi. 'Sejak kapan dia ada di sini?!'

Severus hanya mengamati kemana Quirrel pergi, pandangannya dialihkan dimana anak kesayangannya tengah berlarian di koridor. Lagi-lagi kepalanya menggeleng pasrah, ia perlu mengingatkan putranya nanti agar tidak terlambat lagi.


Ruangan Transfigurasi - 8.30 AM


Pintu raksasa dibuka tergesa-gesa oleh Ron, dilihatnya anak-anak sudah mulai menulis sesuatu yang sepertinya menyalin dari buku paket. Buru-buru Harry mengeluarkan perkamennya untuk memulai menulis—sayang, seekor kucing hitam—turun menghampiri mereka berdua. Ron menaikan alis, siapa yang berani meninggalkan hewan peliharaan di dalam kelas? Hendak mengambilnya—mendadak kucing tersebut berubah menjadi sosok—

Minerva McGonagall menghela nafas panjang, sebagai wali Gryffindor—wanita tersebut memukul kepala Harry dan Ron menggunakan buku tipis.

"Darimana saja kalian? Kalian terlambat 25 menit." Kata Minerva melipat tangannya di dada.

Ron celingak-celinguk mencari alasan, menghindari kontak mata dengan Minerva. Belum lagi Harry menatapi dirinya tajam seolah mengatakan ini-salah-mu. Ron mengurut dada, memejamkan matanya berniat berkata jujur bahwa semua kesalahan atas terlambatnya adalah ulahnya.

"Kami tersesat," balas Harry singkat.

Kepala Ron menoleh cepat menatap Harry horor yang berani berbohong. Apa kau sudah gila, mate?!

Minerva mendengus kecil, membalikan badannya kembali pada meja gurunya. "Cepat duduk, kuharap kalian tidak butuh peta untuk mencari bangkunya."

Harry mengangguk, berjalan menghampiri bangku kosong di belakang Hermione. "Pagi, 'Mione." Sapanya meletakan buku-buku miliknya di atas meja.

Hermione tersenyum tipis, melanjutkan kegiatannya untuk menyalin rangkuman penting mengenai Transfigurasi. Sementara di meja paling ujung, Draco mengeratkan pegangannya pada pena bulunya dengan mata terkunci memandangi Harry. Pandangannya tambah menajam begitu Ron balik menatapnya dingin, dan sengaja merangkul bahu Harry meminta tinta.

Draco mendecakan lidah murka, punggungnya di sandarkan pada sandaran kursi. Ekspresinya kian lebih dingin dibandingkan sebelumnya. Menyadari hal itu, Blaise langsung menepuk pundaknya dari samping.

"Kau kenapa lagi, Draco?" Tanya Blaise menarik tangannya sendiri dari atas pundak sahabatnya.

Sang pangeran memutar bola matanya, mengutuk Weasley sungguh-sungguh. "Jangan tanya aku, perhatikan saja situasinya." Balas Draco seraya mengambil bukunya kepada Minerva. Oh cepat sekali dia mengerjakannya—pikir Theo di belakang.

Pansy memperhatikan Draco dari sudut ruangan. Gadis tersebut memutar-mutarkan penanya kemudian membawa buku tugasnya untuk diserahkan kepada Minerva—setelah itu, langsung menyusul Draco yang pergi keluar tanpa berpamitan lebih dahulu.

Harry memicingkan mata, sepertinya memang ada yang tidak beres. Tanpa memikirkan apapun, ia segera mengerjakan tugasnya. Tidak sadar bahwa Ron dan Hermione sedari tadi mengamati kemana mereka berdua pergi.

"Draco, tunggu!" Pansy berlari berusaha meraih Draco. "Hey!"

Beberapa kali Pansy memanggilnya tetapi si tuan manja ini sama sekali tidak memperdulikannya. Terpaksa, gadis itu menahan tangan Draco berharap bahwa dia mengerti tentang kekhawatirannya selama ini. Pansy melepaskan genggamannya setelah Draco berhenti.

Keheninganlah yang menemani mereka, angin sepoi menyapu rambut masing-masing membuat jubah mereka sedikit terbawa arus.

Pansy menarik nafas dalam-dalam. "Dengarkan aku, Draco." Ia menggigit bibirnya, menatap rambut rapih Draco. "Kau mungkin kesal karena mangsamu selalu dikerumuni oleh orang-orang yang kau benci, aku tahu itu. Tapi setidaknya, kontrolkan lah emosimu. Kau perlu mengendalikannya, mungkin ini faktor usiamu yang masih kekanak-kanakan atau memang sudah takdir bahwa kau begitu agresif padanya—" Pansy menghentikan pembicaraannya.

Draco membalikan badan, berdiri menghadap Pansy yang masih dengan tatapan dinginnya.

"..Maksudku, aku tidak ingin orang lain mencurigai kutukan kita. Jadi," Matanya menerawang, menyusun kalimat-kalimatnya yang mendadak menghilang. "Selama keluargamu menyelidiki kutukan ini, kau harus bersabar. Setelah mereka menemukan cara untuk terlepas dari kutukan ini... Kau bisa berhenti menandai Potter dan hidup bebas.."

"Potter bukan mangsaku,"

Kening Pansy mengerut. "Apa?"

"Dia bukan mangsaku, bodoh. Aku hanya menandainya asal," jawabnya sembari menengadahkan kepalanya.

"Potter bukan takdirmu?! Jadi siapa orang yang akan menjadi takdirmu?!" Pansy bertanya, menunggu jawaban tak sabar.

Draco mengacak surainya frustasi. "Aku tidak tahu."

"Kau gila, Draco." Pansy menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bagaimana bisa kau menandai seseorang selain orang yang menjadi takdirmu?! Draco, kau akan menerima akibatnya!"

"Aku tidak peduli."

"Apa kau menyukainya?" Tanya Pansy menatapi sorot mata Draco.

Yang ditanya tersenyum miring. "Entahlah," Ia menundukan kepalanya memainkan jari-jemarinya. "Yang jelas aku menginginkannya."

"Apa kau mengerti dengan semua kegilaanmu, Draco? Kau baru saja melanggar aturan kutukanmu sendiri, bagaimana jika kau mati? Aku tahu kau belum meminum darah!" Nada suara Pansy meninggi.

Draco menyeringai. "Hee, jadi kau memperhatikanku? Tenang saja, Pans. Aku tidak akan mati,"

"Jadi, kau menandai Potter agar tidak hidup bersama dengan takdirmu, begitu?" Tebak Pansy penasaran.

Kepalanya mengangguk. "Begitulah,"

"Kau baru saja melarikan diri dari kenyataan, Draco." Pansy mencibir pedas.

"Diam, Pans." Draco memejamkan matanya, mengedarkan penglihatannya menuju danau hitam. Memandanginya dari balik jendela, ditemani Pansy bukanlah ide buruk.

Pansy berdiri di sampingnya, tersenyum miris. "Dunia memang kejam, ya." Dia menyentuh permukaan kaca.

Draco tidak menyahut apapun. Bocah itu terlalu sibuk memikirkan tubuh polos Harry. Jika diperhatikan, memang Harry mempunyai postur tubuh kecil nyaris menyerupai perempuan karena pinggangnya yang terlihat sangat ramping. Draco mengurut pelipisnya, ia tersenyum sinis-kegilaan terhadap keinginannya sendiri.

"Fuck you, Potter..."


Training Ground - 10.00 AM


Tepat di lapangan luas yang ditumbuhi banyak rerumputan tebal—semua murid tahun pertama berdecak kagum melihat bangunan Hogwarts dari arah luar. Neville Longbottom mengambil sapunya di pinggir pintu, ia menaikinya namun sapu tersebut sama sekali tidak mau terbang. Apa ini rusak?—begitulah isi pikirannya. Karena tak mau mendapatkan nilai D atau E, Neville menukarkan sapunya ke sapu yang lain.

Beruntung di sana ada 5 sapu lagi yang tersisa. Saat hendak dicoba, Neville tersenyum puas. Ia sudah menungganginya—tetapi si sapu belum mau terbang.

Sepertinya sapunya rusak?—Neville lagi-lagi berbalik ingin menukarkannya kembali. Namun terlambat, Madam Hooch sudah datang dengan langkah cepat menghampiri para murid. Neville menghembuskan nafas, mendadak moodnya turun.

Sembari mendengarkan penjelasan mengenai aturan terbang dan lain-lainnya, Harry memeriksa sapunya. Oh, ia ingin cepat-cepat terbang mengarungi udara bersama sahabatnya.

"Katakan up, gunakan tangan kananmu. Oke, mulai!" Titah Madam Hooch meniup peluitnya.

Harry mengedipkan kedua mata, menatap sapunya yang tergelatak di hadapan tubuhnya. Pelan-pelan, dia mengucapkan up—kemudian sang sapu terbang otomatis tertarik hingga sekarang sudah berada di genggaman tuannya. Tentu, Hermione yang berdiri di dekatnya menatapi Harry terkejut.

Susah payah Hermione berkata up namun sapu itu tidak mau naik. Begitu pun dengan Ron, keningnya malah terkena gagang sapu tersebut nyaris memar.

Sementara para murid Slytherin—mereka terlihat santai. Masing-masing sapu sudah ada pada genggaman tangan mereka. Harry menatap Draco yang langsung ditatap kembali oleh si pemilik mata abu-abu itu.

Cukup lama mereka bertatapan sampai Harry harus menggelengkan kepalanya untuk segera sadar. Bodoh!—rutuknya dalam hati.

Draco menarik senyum seringainya, dia berjalan mendekati Harry saat Madam Hooch sibuk menjelaskan materinya kepada yang belum selesai.

"Potter." Panggil Draco, berdiri di depannya angkuh.

Harry mengangkat kepalanya memandangi Draco. "Apa maumu, Malfoy?" Desisnya tak suka.

Draco mengayunkan sebelah alisnya ke atas, memberikan Harry senyum licik. "Mauku? Aku mau kau."

Alhasil sang pahlawan mengerjapkan matanya, berkerut tak mengerti. "Apa?"

"Hanya orang bodoh yang tidak mengerti perkataan barusan, Potter." Katanya melangkah mendekatinya hingga menghimpit Harry ke belakang.

"Tidak semua orang pintar mengerti perkataanmu, Malfoy." Harry mendorong dada Draco berharap tuan muda Malfoy ini menjauhinya sekarang juga.

Yang terjadi adalah, Draco tetap tak bergeming di tempat. Menatapi wajah Harry yang indah ditambah dengan dua mata cemerlang berwarna hijau—Draco menarik dagu Harry lembut, menarik dagu anak itu untuk membawanya ke dalam ciuman dalam.

Harry menutup penglihatannya, mengutuk segala kelakuan orang menyebalkan di hadapannya.

"Pfft—gugup, Potter?" Draco berhenti tepat di depan bibir Harry. "Kau pikir aku akan mencium mu? Percaya diri sekali." Ia menjauhi kepalanya, memasukan kembali lengannya ke dalam saku celana.

Sungguh menyenangkan rasanya mengelabui musuhnya, Draco menjilat bibirnya sendiri sembari menepuk para kawanannya di sana. Meninggalkan Harry yang masih mematung di tempat dengan tatapan terarah ke arah sosok si pirang. Harry menendang sapunya, menatap tajam pada orang yang telah melecehkannya. Dia pikir dirinya tidak berani?

Melihat Harry bersiap mengeluarkan tongkatnya, Ron yang kebetulan menoleh dimana Harry berdiri langsung berlari menghampirinya. Ron merebut tongkat sihir tersebut, mengguncang-guncangkan pundak Harry.

"Kau kenapa, mate?!" Ron bertanya panik, masih menggoyangkan badannya.

Harry tak menjawab, pandangannya tetap terkunci kepada bocah seenak jidat yang mengesalkan. Iris emeraldnya melirik Ron, menghembuskan nafasnya kasar.

Sepertinya Harry benar-benar tidak tahan akan perilaku Draco yang kelewat batas. Anak itu perlu disingkirkan—

"Harry!" Ron menepuk kepala Harry. "Tentang Malfoy lagi?"

"Kau benar, Ron. Dia tak jauh dari Iblis," Harry mengambil sapunya yang tergelatak di atas tanah, dengan kesal—Harry melangkah hendak mengembalikan sapu itu ke tempatnya kembali.

Hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat sepenuhnya. Yang awalnya dipenuhi kehangatan bersama Ayah tercintanya kini lenyap seketika, mengingat dirinya dilarang terlihat akhrab atau mengobrol biasa—membuat mood Harry semakin menurun. Belum lagi atas gangguan si iblis stress yang seenaknya memperlakukan Harry seenak jidat.

Terkadang hidup tak semulus yang diidamkan. Harry meletakan sapunya di gudang, diakhiri hembusan nafas pasrah—tangannya pun menutup pintu itu kemudian berbalik ingin pergi ke kelas selanjutnya.

"Mr. Longbottom! Bertahanlah! Turun perlahan ke bawah!" Madam Hooch berteriak sembari berusaha menenangkan sapu Neville yang terbang dengan arah tidak menentu.

Menyaksikan sahabatnya berada dalam bahaya, Harry membeku di tempat. Ia ingin menolongnya, tapi sepertinya itu tidak diperlukan lagi karena Neville pada akhirnya terjatuh dengan dihadiahi patah tulang. Madam Hooch segera membawanya ke Hospital Wings. Harry melangkah menghampiri Hermione dan Ron.

"Hey, dia meninggalkan sesuatu." Draco memungut bola bening berwarna merah. Laki-laki tersebut menyeringai seraya melemparkannya ke satu arah pada tangannya yang lain. "Tidak buruk,"

Harry menatap Draco tajam, dengan sangat berani layaknya seorang pahlawan dunia sihir—kakinya berdiri tegap menghadap Draco. Tidak peduli apa lagi yang akan dilawan Draco asalkam benda milik Neville aman dan terselamatkan.

"Oh, kau ingin benda ini kembali?" tanya Draco melirik benda itu. "Lakukan jika kau bisa, Potter." Tantang si pirang lalu terbang menggunakan sapu terbang.

"Aku pinjam sapumu, Ron." Harry merebut benda terbang tersebut dan mulai mengejar Draco.

Hermione menghela nafas kasar, merutuk aksi Harry yang sangat keras kepala.

Sementara di atas sana—Harry sudah berada di samping Draco. Tangan pucat miliknya mencoba meraih benda bulat Neville berharap ia dapat menggapainya walau hanya menyentuhnya saja.

"Apa beruntungnya kau menyelamatkan anak itu?" Draco memutarkan mata, memindahkan benda Neville ke tangan lain.

Harry mendesis tidak suka, menarik pundak Draco mendekat lalu menggenggam tangan sang darah murni. Hal itu membuat Draco tersentak, cukup terkejut—berani juga anak ini menyentuhnya?

Ini semua karena pembelaan terhadap sahabat kesayangannya, huh? Draco terkekeh dalam seringainya. Ia melepaskan tangan Harry yang mencengkram jubahnya.

"Neville temanku. Jangan ganggu dia." Baru saja Harry akan mengambilnya—mendadak keseimbangan tubuhnya runtuh menyebabkan Draco dengan cekatan menahan pinggang Harry, menjaganya dari kecelakaan.

"Ck, ck. Apa ini yang kau sebut berupaya menolong teman yang menolongnya pun sama sekali tidak becus, hn?" Kepala Draco turun menatap Harry yang masih belum bergerak, betah meletakan kepalanya di lekukan lehernya.

Pikiran Harry seolah menghitam, ia terlalu terkejut jika dirinya tadi akan jatuh yang berakhir lebih buruk dari Neville ternyata Merlin masih menyayanginya—tapi kenapa harus DIA? Aroma parfum khas orang bangsawan tercium begitu jelas. Harry memejamkan matanya, meremas kedua pundak Draco sambil menciumi wangi milik bocah tersebut.

"Kau menyukainya, huh?" Draco menaikan sebelah alisnya.

Sontak Harry mendorong dada Draco menjauh, merebut bola Neville dan melirik dia tajam. "Jangan bodoh, Malfoy. Aku tidak pernah mau menyukai apapun darimu, jadi berhentilah menggangguku."

Tanpa basa-basi, Harry meninggalkan Draco, terbang lebih cepat agar sampai di permukaan tanah. Sampai di sana, seluruh murid Gryffindor menyorakinya, Harry tentu tersenyum bahagia. Terutama Hermione dan Ron yang sibuk menyeramahi Harry.

Draco mendecih di atas sana, ia pun pergi dimana Pansy dan yang lainnya menunggunya di suatu tempat.

"Bagaimana hubunganmu dengan Potter?" Blaise bertanya asal, merasa penasaran juga.

Theo mengangkat kepalanya dari aktivitas bacanya.

Si blonde mendudukan tubuhnya di atas kursi, bernafas sedikit memburu. "Tidak buruk." Draco mengacak surainya frustasi, rambutnya kini berantakan. Tidak biasanya seorang anak bangsawan mengacak-ngacaki penampilannya apa ini semua gara-gara sosok Potter?

Pansy lagi-lagi menghela nafas panjang. "Aku bukannya tidak menyetujui pilihanmu, tapi sebaiknya kau berhenti saja." Kata gadis itu tanpa berpikir.

Refleksi, iris abu-abu Draco melirik Pansy tajam. "Aku tidak butuh saranmu, Pansy Parkinson."

"Draco, kau akan terus begini sampai kau berhenti memilihnya." Pansy tetap menambahkan, tak tahu bahwa Draco akan menghimpitnya ke tembok dengan tatapan dingin seolah bukan Draco yang dikenalinya. Ia baru tahu jika Draco sangat sensitif seperti ini.

Kebetulan, Blaise berada di belakang mereka—lantas tangan manis miliknya menarik jubah Draco untuk melepaskan gadis tersebut. Diantara tengah-tengah pertengkaran kecil itu akhirnya berhenti berkat upaya Blaise menghentikannya.

Draco tidak mengerti.

Sungguh tidak tahu apapun. Dirinya pikir dengan menandai anak kesayangan Ibunya Narcissa, hidupnya akan lebih baik dan berwarna. Tapi nyatanya tidak, apa Narcissa tidak salah memilih anak kacamata itu?

Draco memejamkan kelopak mata, membiarkan lantunan angin menerpa rambutnya. Karena terlalu sibuk memikirkan masa lalunya yang kelam—ia tidak menyadari, sedari tadi Harry terus memperhatikan gerak-gerik Draco di depan sana.

"Ayo, Harry." Ajak Hermione mendahuluinya, berjalan beriringan bersama Ron untuk masuk ke kelas selanjutnya.

Harry mengangguk tanpa mengalihkan perhatiannya. Tatapannya tidak lepas, entah ada magnet yang menyuruhnya tetap seperti ini—ataukah khawatir?

Buru-buru Harry menggelengkan kepalanya, mengikuti kedua temannya yang sudah di depan.

"Aku tahu ini berat," Blaise melipat kedua tangannya di dada. "Mungkin karena umur kita yang masih berumur sebelas tahun jadi pemikiran kita terbatas. Dilain waktu, kau pasti menemukan jalannya, Drake."

Draco membuka mata, memandangi lapangan Hogwarts yang luas. "Kau benar." Ia bangkit, membuang sapu terbangnya ke sembarang arah. "Aku masih punya banyak waktu. Kenapa tidak kugunakan saja untuk bersenang-senang?" Bibirnya mengukirkan sebuah senyum seringai, aura yang dipancarkan olehnya mendadak menjadi ancaman besar bagi orang-orang di sekitarnya.

Blaise menepuk jidat. "Kau salah paham lagi.."

"Aku heran bagaimana Uncle merawatnya." Pansy mengambil sapu yang dibuang Draco, menggenggamnya erat kemudian menyimpannya kembali ke tempat semula.

"Jangan remehkan dia, Pans. Dia gila karena di dalamnya ada dua orang." Blaise merangkul bahu Draco, menyeretnya paksa untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.

Pansy mengerutkan kening. "Aku pikir kau juga sama gilanya dengan Dray. Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan."

Blaise mengangkat bahu tak peduli.

"Masa sekarang, Draco benar-benar gila. Dia tidak bisa mengontrolnya, Pansy. Ditambah Potter yang terus menolaknya," Blaise menepuk-nepuk kepala Draco. "Kau tak perlu berjuang sekeras itu, Draco."

Yang ditepuk menatap tajam Blaise, tangannya siap ditepis namun sepertinya Blaise lebih tahu gerakan selanjutnya jadi ia menahannya. "Ya. Ini semua demi Potter berhargamu. Jangan berubah sekarang, belum malam."

Draco mendorong Blaise menjauh. "Aku tidak butuh." Tanpa peduli, sang pangeran pergi dengan langkah cepat.

Pansy melongo. "Sebenarnya Draco itu kenapa?!"

Blaise mengusap-ngusap puncak kepala Pansy. "Aku bisa menjelaskannya nanti akhir pekan. Tertarik?"

Gadis itu tersenyum. "Jelaskan semuanya kepadaku tentang Draco."

"Roger. Tapi ini tidak gratis," bisik Blaise tepat ke telinga Pansy.

"Kau ingin bayaran apa?" Pansy bertanya kesal. Blaise menyeringai, menarik dagu Pansy mendekat dan membisikki sesuatu.


Great Hall - 7.40 PM


Para Professor sudah duduk rapih di depan seluruh meja asrama masing-masing. Namun, ada satu kursi kosong yang membuat Harry merasa terganjal sesuatu. Tempat di samping Ayahnya menghilang, siapakah namanya? Quirrel?—Hatinya tiba-tiba gelisah. Belum lagi Hermione belum datang kemari, Ron tidak mau berhenti menanyakan satu-persatu siswa perempuan mengenai keberadaan Hermione.

Mau tak mau, Harry perlu mencarinya. Walau makanan di sini terlihat sangat enak, tetap saja prioritas keselamatan Hermione adalah yang utama. Baru saja Harry hendak berdiri—

Pintu Aula terbuka lebar—menampakan sosok Professor yang menghilang datang sambil berlari dengan ketakutan.

"Troll! Berada di dungeon!" Quirrel mengatur nafas, melirik Harry dengan wajah tak dapat diartikan. 'My lord.. He is here.'

Otomatis semua murid berteriak panik setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Quirrel. Mengingat Hermione belum datang ke sini—Harry semakin panik. Tangannya menarik Ron untuk pergi mencari sahabat sejatinya. Di sebrang sana, Severus menatap Harry tajam. 'Tsk, dia tak jauh beda dengan James.'

Pria berminyak itu bangkit, melangkah berniat mengikuti kemana anak itu pergi. Tapi sayang, Quirrel menahannya. Professor itu merengek, meremas genggamannya lalu menjilat telinga Severus. "Kau mau pergi kemana, sobat? Jangan berani hancurkan rencanaku."

Severus menaikan alisnya, ekspresinya tetap datar. "Apa maksudmu, Professor Quirrel?" Tanya Severus—lebih tepatnya mengejeknya.

Quirrel terkikik geli, ia melepaskan genggamannya seraya melihat ke arah jendela Hogwarts. "Kau akan melihatnya.."

Dumbledore menggebrakan meja, memerintahkan semua murid untuk diam. "Tenangkan diri kalian, kita akan selamat. Troll hanyalah mahluk hutan, kami akan mengatasinya. Para prefek akan menggiring kalian kembali ke asrama."

Draco mendecakan lidahnya. "Bukankah tempat kita ada di bawah tanah? Troll ada di sana. Apa Dumbledore ingin Slytherin mati?"

Pansy tertawa pelan. "Lucu sekali, Dray. Jadi bagaimana? Apa kita turuti kemauannya saja?"

Theo muncul, duduk di samping Blaise. "Kemauan siapa?"

Gadis berambut pendek itu menghela nafas panjang, tangannya sudah terkepal. "Dumbledore, bodoh!"

Sementara di toilet khusus perempuan—

Hermione berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya dengan tatapan kosong. Anak ikal itu menghapus jejak air matanya, memaksa kehendaknya untuk berhenti menangis. Ketika tangannya membuka pintu, sebuah monster besar sudah berada di hadapannya. Refleksi, tubuhnya tiba-tiba membeku.

Nafas Hermione tertahan, kedua matanya membulat. 'Troll..' Hermione menutup kembali pintunya, sontak hal itu membuat perhatian Troll tertarik. Dengan tangannya yang besar—troll tersebut menghancurkan toilet yang dijadikan tempat persembunyian Hermione.

"Aah!" Hermione meringis, lututnya tergores oleh serpihan kayu. "Sial.." Dia berusaha berdiri, berlari ke tempat yang lebih aman.

Namun troll itu lebih lincah, dia memukul senjatanya ke setiap ruang toilet sehingga Hermione harus membungkuk. "Help me! Please! Help!" Hermione berteriak meminta bantuan, suaranya nyaris serak—air mata bercucuran.

Mahluk besar berbadan kotor—menyeringai penuh kemenangan. Tangannya siap untuk menghancurkan Hermione yang terduduk lemas di atas lantai.

'Merlin..'

"Pergi kau mahluk jelek!"

Hermione mengangkat kepalanya, menatapi dua orang sahabatnya yang sangat diharapkan ternyata datang untuk membantu. Hatinya merasa lega, segera—tanpa menyiakan kesempatannya—dirinya berdiri, berlari menuju Harry dan memeluk tubuhnya erat, melupakan rasa sakit di lututnya.

Harry membalas pelukannya, ia tersenyum kemudian atensinya kembali tertuju kepada Troll tersebut. Terlihat Ron berusaha mengalihkan perhatiannya menggunakan kursi rusak.

"Ayo bantu dia," Harry melepaskan pelukannya. Dengan hati-hati, anak kacamata itu mengambil tongkatnya sambil berlari mengambil barang-barang untuk dilemparkan ke arahnya.

Serentak, Troll mengamuk karena menerima lemparan benda-benda keras mengenai kepalanya. "Aaagh!" Kesal rasanya, langsung saja troll itu mengambil Harry—mengencangkan genggamannya.

Ron melotot. "Harry!"

...

Jantung Draco berdetak lebih kencang, ia menajamkan matanya lalu berlari membalikki arah menuju suatu tempat.

'Anak itu,' desis Draco.

Pansy dan Blaise cepat-cepat berlari mengikuti Draco dari belakang. Takut kalau si pirang berubah menjadi buas.

Sedangkan di toilet—Harry mengerang kesakitan, merasakan cengkramannya mengerat membuat nafasnya memburu. "L-lakukan sesuatu, Ron!"

Ron mengedipkan mata. "W-what?! Lakukan apa?!"

Harry menusuk hidung troll itu dengan tongkatnya, berharap dia berhenti mengeratkan cengkramannya. "Apa saja!"

Hermione mendaratkan tepukannya di atas bahu Ron. "Wingardium Leviosa."

Ludah ditelan paksa, Ron mengambil tongkatnya—menodongkannya gugup. "Berdoalah Harry!"

"Cepat!" Titah Harry menuntut, erangannya sudah sekeras speaker.

"Wingardium Leviosa!" kata Ron lantang. Sontak, alat pemukulnya mengapung ke udara. Mata Ron berbinar. "Aku berhasil!"

Troll itu melemparkan Harry ke sembarang arah—membuat tubuhnya ambruk ke lantai. Darah mengalir melalui kakinya akibat dirinya tertusuk serpihan kayu besar. Harry menutupi lukanya, ia tidak dapat bergerak—ini terlalu sakit.

Ron berhasil menjatuhkan pemukulnya tepat ke atas kepala troll, dia sepertinya pingsan dan—akan menimpa tubuh Harry.

"Awas Harry!" teriak Hermione panik.

Harry menengadahkan kepala, melihat mahluk raksasa tersebut akan jatuh menimpanya. Disituasi genting ini juga? Tamatlah sudah. Harry menutup kedua matanya erat—

Duk

Hal yang pertama Harry temukan adalah—aroma parfum kesukaannya tercium pada indera hidungnya. Kedua, helaian rambut rapih berwarna pirang platina. Ketiga, dekapan erat dari sang penyelamatnya. Harry menyembunyikan wajahnya di balik leher Draco, kedua tangannya mencengkram pundak Draco. Merasa terselamatkan olehnya—sangat berhutang budi padanya.

Brakk

Troll itu pun jatuh menyebabkan tempat di sana bergetar layaknya gempa bumi.

Draco dengan wajah kalem menurunkan Harry pelan, ia memperhatikan ekspresi mangsanya yang masih terkejut. Mencium bau darah yang wangi membuat Draco tidak dapat menahan diri, perlahan—dirinya berlutut dengan gaya kesatria. Draco menyingkap celananya, darah itu mengalir lembut.

Tanpa ijin, Draco sudah menempelkan bibirnya pada lukanya. Lidahnya menjilatnya, bahkan menghisapnya hingga darah tersebut berhenti mengalir.

Harry mengerang sakit, ia meremas rambut Draco dan mendorongnya. "Perih!"

Draco terkekeh sinis, dia menjilat bibirnya sendiri. "Tidak buruk, sangat manis. Kuharap suatu saat nanti aku meminum cairanmu yang lain."

Mata hijau cemerlangnya melotot, beruntung masih belum mengerti apa yang dikatakan olehnya. Harry memalingkan muka, tidak berani menatap sosok orang yang telah menyelamatkannya. Kenapa harus dia? Kenapa selalu dia? Apa maksudnya ini?

"Tidak bisakah kau terlepas dari masalah, Potter?" Ejek Draco.

Ron datang menghampiri Harry, begitu pun dengan Hermione. Mereka tampak terkejut akan kehadiran Draco yang menolong Harry dari maut. "Kau tahu? Ini yang kedua kalinya." Kata Draco sembari mengangkat tangannya, meraih pipi Harry kemudian mengusap bekas luka goresannya.

Harry hanya terdiam, matanya tidak lelah memandangi Draco. Perasaan apa ini? Hatinya tanpa sadar terasa bergetar, apalagi pipinya yang memanas.

"Malfoy." Ron mendesis. "Dan bisakah kau berhenti menguntit kami?"

Alis Draco terayun ke atas. "Menguntit? Percaya diri sekali. Aku hanya lewat, kebetulan tuan putriku dalam bahaya. Jadi aku menyelamatkannya, jika itu kau—aku akan membiarkanmu mati saja tertimpa troll."

Ron mengepalkan tangannya, ingin meninju wajah Draco sekarang juga. "Sombong seperti biasanya ya, tuan Malfoy."

"Aku? Hanya berkata sesuai fakta, Weasley." Draco berdiri, hendak kembali ke asramanya.

Hermione maju selangkah, membantu Harry untuk ikut berdiri juga. "Terima kasih."

Si pirang menatap Hermione singkat. "Aku tidak butuh kata-kata itu darimu," Draco tanpa peduli membalikan badannya.

"Draco!"

Suara gadis yang dikenalinya terdengar nyaring, bersamaan dengan Blaise. Mereka menghampiri sahabat kesayangannya, dua tangan Pansy memeriksa tubuh—setiap tubuh Draco. "Merlin! Aku khawatir kau kenapa-kenapa! Kenapa kau tiba-tiba pergi?!" Tanyanya tidak sabar.

Draco hanya memberikan senyum simpul. Blaise yang berdiri di belakang Pansy sedikit terkejut. 'Diri yang mana lagi dia?' Blaise bertanya dalam hati.

"Draco! Hey!" Pansy menoleh, mendapati Draco tetap berjalan keluar toilet. "Ck, dasar. Ayo Blaise," saat Pansy akan berbalik-matanya tak sengaja bertemu.

Ah gadis itu..

Pansy berhenti sejenak, bibirnya merekahkan sebuah seringai. "Granger. Senang melihatmu di sini." Ucap Pansy sembari menarik tangan Blaise untuk mengikuti Draco di depan sana.

Hermione tak bergeming di tempat sesudah menerima seringaian dari Parkinson. Wajahnya berubah masam, gadis bersurai kecokelatan itu menghela nafas pendek kemudian membantu Harry berjalan ke Gryffindor Common Room. Sayang, Profesor McGonagall dan Profesor Snape datang dengan ekspresi terkejut.

"Oh.. Bisa kalian jelaskan ada apa ini?" Tanya Minerva menuntut jawaban.

Ron mendesah. "Ceritanya sangat panjang, professor... Aku dan Harry mencoba menyelamatkan Hermione dari troll."

McGonagall menyerngitkan kening. "Benarkah begitu, miss Granger?"

Hermione mengangguk. "Jika mereka tidak ada.. Mungkin aku bisa mati. Dan aku sangat bersalah, karena aku—Harry terluka parah."

Otomatis, Severus membulatkan matanya. Pria itu mendekati Harry. "Aku akan membawa anak ini ke ruanganku untuk mengobatinya." Severus berkata datar. Minerva menyetujuinya, menyuruh Hermione dan Ron mengikutinya ke ruang pribadinya sementara staff yang lain membereskan kekacauan ini juga trollnya.

Di ruangan Severus, Harry terduduk di atas ranjang dengan ukuran lumayan besar. Senyumnya merekah senang karena Ayahnya sekarang sedang mengobatinya.

Sudah lama sekali dirinya tidak kesini. "Aku merindukanmu, Father."

Severus menempelkan kapasnya di atas lukanya lalu menekannya pelan dan memberi Harry sebuah ramuan. "Hm." Sahut Severus, menyimpan alat-alatnya kembali ke tempat.

"Malfoy menyelamatkanku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika dia tidak datang.." Harry merendahkan kepalanya. "Ini yang kedua kalinya dia menolongku, Father.."

Severus meletakan kotak p3k tersebut di atas meja kecil, berbalik menatap putra kesayangannya. "Kenapa tidak coba kau balas?" Saran Severus datar.

Harry mengerutkan kening. "Balas? Apa? Maksud Father membalas budinya? Tapi dia menyebalkan, Ayah." Elak Harry.

Pria berambut hitam legam itu mengangkat bahunya, dia duduk di meja kerjanya. "Kau boleh tidur di ranjangku, besok kau harus sudah ada di asramamu."

Bocah berkacamata itu mengangguk. "Iya, Father. Good night,"

Dia tidak menjawabku... Apa aku harus membalasnya?—Harry menutupi wajahnya dengan bantal, membiarkan pikirannya melayang-layang sampai dirinya tertidur nyenyak ditemani mimpi indah.


The next day - 6.30 AM


Samar-samar, sinar matahari menelusup di antara celah-celah tirai. Ruangan bernuansa hitam gelap perlahan sedikit terkena cahaya membuat kelopak mata bocah berbadan mungil itu bergerak-gerak. Tidak lama, dirinya bangun dengan pandangan buram. Sebelah tangannya meraih kacamata, memakainya sehingga apa yang dilihatnya menjadi jelas.

Harry Potter menguap kecil, kakinya sudah merasa baikan. Ia tidak menemukan keberadaan Ayahnya, mungkin sudah pergi?

Kecewa memang, tapi Harry mengerti. Ayahnya bukan tipe orang santai, dia sangat rajin sampai dipercayai oleh seluruhnya. Ketika kaki Harry menyentuh lantai dingin, suara ketukan pintu dari luar terdengar memecahkan keheningan. Penasaran siapa tamu di pagi hari ini, Harry berjalan pelan-membuka pintunya.

Oh. Merlin.

Quirrel berdiri di hadapannya dengan raut wajah shock.

"Kenapa kau bisa ada di sini?" Tanya Quirrel sembari melangkah masuk dengan kedua tangan sibuk membawa puluhan buku tebal. Saking gugupnya, Quirrel menubruk dinding dan menjatuhkan sesuatu tanpa ia sadari.

Harry membereskan tempat tidurnya. "Fat—Profesor Snape memberikanku ramuan penyembuh, dan aku tertidur."

Pria tersebut bergumam sebagai jawaban, ia pun pergi tanpa pamit setelah urusannya selesai.

Begitu Harry mengenakan jubahnya, matanya menemukan batu merah. Warnanya sangat mengkilat, berkilau dan misterius. Seolah-olah itu adalah mainan, Harry membawanya tanpa ada rasa bahaya.

Lalu, Harry pergi meninggalkan ruangan Ayahnya dengan tangan menggenggam batu tersebut.

Quirrel yang merasa bodoh karena menjatuhkan barang berharganya—ia pun memukul-mukulkan kepalanya sendiri. Tidak ada cara lain selain mengancamnya untuk memberikan batu itu. "Selalu saja berhubungan dengan anak James itu."

Di koridor, Harry tidak sengaja bertemu dengan Draco. Mereka berdua berhenti berjalan, Draco memberinya seringai seperti biasa. Tangannya tersimpan di saku celana tanpa mengenakan jubah Slytherinnya.

Laki-laki itu berdiri tepat di hadapan Harry. "Bangun tidur, Potter? Penampilanmu seperti mayat hidup."

Harry mendecak tak suka, ia mundur beberapa langkah. "Bukan urusanmu."

"Oh tentu saja itu urusanku, karena kau milikku." Kata Draco sembari menyentuh bahu Harry dan mendorongnya ke dinding pelan.

"Apa?" Harry menyipitkan matanya tak mengerti.

"Sepertinya kau lebih mengerti dengan perlakuan daripada kata-kata." Draco menatap leher mulus Harry, ia tidak sabar menandainya dengan gigitannya.

Harry memutar bola mata kesal. "Terserah." Ia menggigit bibirnya, mendorong Draco. "Thanks."

Alis Draco terangkat. "Untuk apa?"

Harry menghela nafas kasar. "Aku kira kau tidak sepikun ini." Cibirnya sembari memalingkan wajahnya.

"Oh itu." Draco tiba-tiba memperlihatkan seringainya. "Tentu saja itu tidak gratis, Potter."

Si kacamata melotot. "Tsk, aku tidak memintamu untuk menolongku juga!"

"Ssh, sekarang aku menagih hutangmu." Draco menarik dagu Harry. "Mau tak mau kau harus membayarnya."

Harry menepis tangan Draco. "Tch, apa maumu?" Harry bertanya tak sabar.

Dengan senang hati, Draco mendekatkan mulutnya pada telinga Harry, meniupnya sebelum hendak bicara yang pasti—Harry mengerang tertahan.

"Kau harus membayarnya dengan tubuhmu.." Bisiknya sambil mengecup daun telinga Harry.

Mata Harry membulat, memoloti anak itu lalu menampar pipi Draco tidak sadar. "Bodoh! Sampai kapanpun aku tidak akan membayarnya!"

Sang pewaris Malfoy mengusap pipinya sendiri, ia mendesis kemudian melepaskan sentuhannya pada dagunya. "Apa aku perlu mendisiplinkanmu, huh?"

Kepala Harry menggeleng. "Tidak perlu. Aku tidak butuh bantuanmu."

"Oh? Kau akan menyesalinya, Potter." Draco menekan tubuhnya kepada badan Harry. Bibirnya mulai mengecapi leher putih miliknya dengan semangat. "Sangat lembut."

Harry mendorong kepala Draco berharap perlakuannya berhenti. "Hentikan, Malfoy! Ini tidak lucu!"

Draco memutar bola matanya. "Aku tidak sedang melucu, Potter. Aku hanya menyentuh lehermu, apa ini salah?"

Sang anak yang bertahan hidup dari kematiannya dulu mengacak surainya kesal. "Jangan sentuh aku. Bisa?"

"Sayangnya aku tidak bisa." Draco mengecup leher Harry, menjilatnya dan menghisapnya sampai itu berubah menjadi kemerahan.

Harry tentu mengerang, bukannya menghentikannya—kepalanya malah mendongak dengan kedua tangan mencengkram bahu Draco. "Ng.. Malfoy,"

"Yes baby?" Draco mengecupnya lagi, kali ini pada telinganya.

"Stop it.." Erang Harry mencoba mendorong dada Draco. Yang didorong tersenyum sinis, ia akhirnya menghentikan seluruh aktivitasnya.

"Sangat menyenangkan menyaksikanmu menggeliat dengan erangan seksimu. Apalagi nanti aku menindihmu di ranjangku? Oh, tidak sabar. Aku ingin menembus pantatmu itu, Potter." Kata Draco meremehkan.

Harry melotot. "Apa?!"

Draco mengangkat pundaknya. "Aku tahu kau mendengarnya, jangan berpura-pura tidak tahu, Potter. Atau kau benar-benar ingin aku menyentuhmu, hn?"

"Terserah!" Harry berbalik, berjalan ingin segera meninggalkan Draco.

"Terserah? Baiklah, aku ingin mengikatmu disetiap malam di atas ranjangku." Draco tersenyum jahil.

Langkah Harry terhenti, tangannya sudah terkepal dan baru saja dirinya berbalik karena ingin meninjunya—tiba-tiba seorang gadis berambut hitam pendek datang memeluk pinggang Draco dari belakang.

Ekspresi Harry tiba-tiba berubah tanpa alasan. Ia mematung di tempat, melihat kedekatan mereka.

"Dray! Aku mencarimu." Pansy mengembungkam pipi.

Draco melepaskan tangan Pansy yang hinggap di antara pinggangnya. "Merindukanku, Pans?"

"Tentu saja." Balasnya manja.

Menyadari Harry tidak bergerak sedikit pun, Draco menatapinya. Bibirnya menyeringai, merangkul pundak Pansy. "Cemburu, Potter?"

Harry mendecih. "Dalam mimpimu!"

Draco terkekeh. "Kenapa kau tidak jujur saja, Potter? Aku pasti akan memberikanmu kenikmatan jika kau mau."

Anak bermarga Potter itu tak menjawab, ia hanya menjawabnya dengan mengacungkan jari tengahnya. Lalu berbalik meninggalkan mereka berdua.

"Dasar." Kata Draco sambil melepaskan rangkulannya.

Pansy tersenyum kecil. "Pantas saja kau sangat terobsesi padanya."

...

Harry menenggelamkan dirinya di atas bak mandi. Kenapa hatinya berdenyut seperti ini?

Apakah—dirinya benar-benar cemburu?!

"Impossible!"

Bagaimana kisah selanjutnya?

Tetap tunggu kelanjutannya.

Apakah Draco tetap akan mencintai Harry?

Ataukah sosok anak yang baru datang menganggu hubungan mereka?


To be continue


Maaf update sangat telat. Author sibuk, ditambah tugas numpuk yang malas sekali untuk dikerjakan.

Terima kasih sudah membaca.

-Leenalytte-