Istana keluarga Malfoy terlihat indah dipandang. Lingkungan bersih disertai tumbuhan juga taman cantik yang diisi ribuan bunga mekar hidup mengelilingi bangunan mewah tersebut. Manor ini telah dibangun beberapa tahun lalu sebelum sepasang suami istri bernama Lucius Malfoy dan Narcissa Malfoy menikah. Karena cinta mereka sangat kuat akhirnya Tuhan memberikan pasangan itu seorang anak laki-laki tampan dengan rambut pirang platina yang dinamai Draco Malfoy. Lucius bangga memiliki putra semata wayangnya lahir sebagai penerus Dark Lord.

You-Know-Who kini sudah tiada akibat peperangan lalu. Perang dasyat antara sesama penyihir menyebabkan kerusakan fatal di setiap tempat, belum lagi Kementrian Sihir memutuskan seluruh anggota Death Eaters akan dipenjarakan di Azkaban bersama pengikut yang lain seperti Bellatrix bahkan Sirius Black ikut serta diseret ke sana. Padahal dari balik skenario itu—Sirius sama sekali tidak bersalah, malah pria yang bersahabat dengan James Potter turut membantu para Auror ketika menyerang markas pelahap maut.

Beruntung peperangan memang sudah berakhir. Hanya saja penerus Lord Voldemort masih tersedia setelah datangnya bayi Malfoy. Tentu, Albus Dumbledore nyaris menjatuhkan cangkir kopi panas saat mendengar berita tersebut lewat koran Daily Prophet. Tidak punya pilihan, Dumbledore memutuskan membiarkan mereka bergerak semaunya selagi keadaan masih terkendali sempurna.

Kini Wizard's world bisa dibilang aman. Dibuktikan sekolah sihir Hogwarts kembali menjalankan pelajaran yang dibimbing oleh Profesor handal.

Tepat pukul 8 malam di Manor Malfoy—Narcissa tengah duduk memperhatikan putranya yang baru menginjak 5 tahun sedang berlari-lari mengejar seekor anjing penjaga rumah. Senyum wanita itu tak dapat disembunyikan, melihat anaknya tumbuh sehat membuat hati Narcissa sangat lega walaupun benar keberadaan Draco membawa penuh risiko.

'Lily, James—anak ku sangat tampan seperti suamiku, Lucius. Aku harap kalian masih hidup, mungkin kita bisa menjodohkan Draco dengan anakmu, Harry.' Narcissa tersenyum pahit memandangi foto yang tertempel di dinding ruang keluarga. Di sana ada Lily dan James sedang berpelukan, di sampingnya ada gambar dimana Draco baru lahir tengah didekap olehnya. Mengenang kenangan lama itu sungguh tidak enak, apalagi kedua sahabat sejatinya sudah mendahuluinya pergi ke surga.

Lagi-lagi air mata Narcissa turun membasahi pipi. Ingin menyekanya segera namun terlambat, ia didahului putranya.

"Oh Draco," Narcissa tampak terkekeh melihat anak kandungnya menyeka air di pelupuk matanya. "Kenapa kau lakukan itu kepada mum?"

Bocah platina menggelengkan kepala membalas pertanyaan sang Ibunda. Alasan dirinya menghapus air itu karena Draco benci menyaksikan Narcissa menangis ketika sedang bersamanya. Draco ingin menghabiskan waktu semasa kecilnya dengan tawa canda Ibu tersayang juga Ayah tercintanya. Tapi ia tahu, mereka mempunyai urusan rahasia masing-masing sehingga Draco harus dididik ketat agar terwujudnya impian dunia sihir.

Setelah enam tahun terlewat—Draco akan mendaftarkan diri sebagai murid tahun pertama di sekolah sihir terelite, Hogwarts.

Jika dipaksa jujur, sebenarnya Draco sedikit senang karena dapat berinteraksi dengan kawan lain di asrama yang akan ia tinggali. Mengingat disepanjang hidupnya terus dipenuhi hal-hal magic atau potion bahkan pelatihan diri membuat kesehariannya jenuh. Rasanya seperti hidup di balik jeruji tanpa kebahagiaan yang tercetak pada hatinya.

Mengenai anak James dan Lily—sering kali Draco mendengarkan cerita anak pasangan Potter itu.

Katanya Lord Voldemort mati terkena kutukannya sendiri. Tongkat sihir yang diacungkan tepat ke kening Harry dilafalkan sebuah mantra terlarang, yaitu Avada Kedavra. Nama mantra tersebut sangat dilarang untuk digunakan kecuali mendapat perintah dari pihak berwajib. Hingga saat melafalkannya mendadak jemari Pemimpin Pelahap Maut tiba-tiba kejang. Tongkatnya pun jatuh, tak disangka-sangka mantra itu terpental balik ke arahnya. Jadilah Voldemort yang menerima takdir untuk mati di tangannya sendiri.

Terkadang Draco tertawa menanggapi cerita dari Lucius. Voldemort sangat bodoh membiarkan pertahanannya dilonggarkan begitu saja tanpa tahu akan berisiko apa.

'Sepenting itu 'kah untuk membunuh Harry Potter?'—Batin sang blonde menghentikan aktivitas kejar-kejarannya. Kaki Draco sudah mati rasa sepanjang waktu dihabiskan mengejar Anjing kesayangannya yang setia menjaga Istana disetiap waktu. Hati-hati Draco mengambil sepotong daging mentah di pinggir sofa yang ia duduki untuk dilemparkan pada binatang manis itu.

"Good, doggy." Puji Draco mengusap-ngusap puncak kepala anjingnya.

Memperhatikan Putranya memperlakukan hewan penuh kasih sudah membuatnya lega. Narcissa beranjak dari tempat duduknya menghampiri Draco. Tangannya terangkat mendarat di atas pundak anaknya. Sentuhan itu perlahan berubah menjadi belaian lembut, berharap Draco nyaman akan sifatnya yang terlalu khawatiran.

Tidak lama terdengar suara bel manor berdering nyaring di luar sana. Narcissa mengerutkan kening sebelum meminta ijin kepada Draco untuk pergi menemui tamu.

Saat pintu megah dibuka—Narcissa membulatkan bola matanya begitu menyadari Severus Snape datang kemari dengan pakaian serba hitamnya yang basah kuyup akibat guyuran hujan deras. Buru-buru Narcissa mencari handuk besar untuk sahabatnya kemudian menyerahkan kain itu kepadanya. Alis Narcissa terangkat atas-atas pertanda keheranan mengapa Severus Snape bertamu ke sini.

Berniat menanyakan itu—Narcissa mengurungkan niat ketika Severus menatapnya datar seperti biasa. Mau tak mau Narcissa menghela nafas menerima kenyataan, ia mempersilahkan Ayah Baptis Draco masuk ke dalam.

"Sayang, ada Uncle Severus di sini. Sapalah, sementara itu aku akan membawa cemilan dan jus." Seru Ibu Malfoy dari belakang.

Draco langsung mengangguk mendengar perintah Ibunya. "Yes mum," balasnya sembari berjalan keluar dari ruang keluarga menuju tempat tamu, diikuti anjingnya yang tak bosan menggonggong menginginkan permainan bola tangkap lagi.

Tiba di ruang tamu—Draco duduk berhadapan dengan Severus. Situasi menjadi canggung tambah gugup ketika matanya tak sengaja bertemu dengan sorot pandangan dingin milik Ayah Baptis. Niat awal membuka topik pembicaraan kini terurungkan, Draco tak bisa menguasai keadaan sekarang. Yang ada dirinya berakhir dengan adu mulut atau adu sihir. Bulan lalu Draco pernah menyulut emosi Severus sampai pria berwajah datar itu mengajaknya berduel yang pasti dimenangkan oleh lelaki berjulukan Potion's Master.

Anehnya Draco tidak pernah menyalahkan semua duel yang pernah dilakukan bersama Severus. Rasanya menyenangkan sekali, toh—alih-alih menambah ilmu pelajaran.

"Dimana Ayahmu?" Severus bertanya pelan mengalihkan suasana tegang.

Yang ditanya mengangkat bahu tidak tahu-menahu soal kemana perginya Ayah Lucius Malfoy. Seingatnya Lucius berpamitan sebelum pergi, dia bilang akan pergi ke Hogwarts untuk mengatakan sumpah agar tetap setia kepada Kementrian Sihir. 'Demi keamanan sihir, eh?' Draco menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, membiarkan tubuhnya beristirahat sejenak. Lelah karena sedari tadi terus bermain dengan Doggy, anjing penjaganya.

Severus menatap ke sekeliling bangunan mewah. Sungguh berbeda daripada tempat yang ia tinggali, gelap tanpa cahaya dipenuhi dengan aroma ramuan di lab pribadinya. Sesekali ia juga membutuhkan udara segar agar merilekskan pikiran, siapa tahu Severus sekarang stres karena masalah anak pahlawan, Harry Potter.

"Maaf menunggu lama, ini kopi kesukaanmu Severus. Nah, Draco sayang minum susumu ya?" Ucap Narcissa meletakan makanan-makanannya di atas meja kaca berlapis emas.

Pria dinobatkan penyihir terkuat hanya menganggukan kepala singkat tanpa menyentuh minumannya. Melihat Narcissa sudah duduk di samping putranya—Severus berdehem rendah untuk memulaikan pembicaraannya. Ekspresinya kini melunak begitu mulut hendak mengucapkan sesuatu. Hal itu membuat Narcissa semakin kebingungan apalagi menyaksikan Severus selunak ini.

Ingin bertanya namun ia tahu. Severus tidak suka startnya dicuri.

"Aku kemari tidak ada maksud lain selain memberitahukanmu suatu berita kecil." Severus mengaduk-ngaduk sendok yang tenggelam oleh kopi di dalam cangkir berbahan perak.

Narcissa memiringkan kepala. "Berita apa?"

Entah mengapa naluri Malfoy muda mengatakan bahwa Severus akan memberitahukan tentang Harry Potter. Untuk apa dia datang? Kecuali jika ada masalah mendadak, sangat serius. Pura-pura tidak tahu, Draco memilih mengangkat gelas berisi susu untuk didekatkan ke mulut plumnya. Diam-diam sudut matanya mengamati ekspresi Severus yang sulit diartikan, dia terlihat senang? Lega? Entahlah semacam perasaan itu.

Tidak terasa air susu yang disediakan Ibunya sudah habis sampai setengah gelas. Draco nyaris mengeluarkan suara sendawanya jika saja Severus tak melanjutkan kalimat penjelasannya.

"Kementrian sihir menginginkan aku mengangkat Harry Potter menjadi anak ku secara sah." Jelas Severus mengangkat gagang cangkir tersebut untuk diminum. Salahkan tenggorokannya terasa haus gara-gara belum minum dari kemarin.

Rupanya dugaan Draco benar seratus persen. Harry Potter akan diangkat menjadi anak dari Severus Snape—anak itu pasti mendapatkan peluang banyak untuk belajar mengenai ilmu sihir. Si pirang meletakan tangan kanannya di atas sandaran sofi, masih betah mendengarkan kata-kata Severus walau rasa kantuk memintanya untuk segera tertidur dan terlelap dalam mimpi indah bersama cita-citanya.

Narcissa menggigit kuku jemarinya dengan bingung. 'Kenapa Kementrian Sihir sangat menginginkan Harry diasuh? Bukankah tidak Dumbledore saja yang pandai mengasuh anak?'—batin Narcissa memikirkan sesuatu.

"Apa kau akan menerimanya? Sanggup mengasuh Harry Potter yang sepertinya manja karena sudah kehilangan orang tuanya? Lucius sudah meminta kepada Mr. Cornelius agar Harry diasuh oleh keluarga kami." Tidak mau terlihat lemah—Narcissa pun mulai berontak.

Kantuk di matanya hilang seketika saat mendengarkan dua orang dewasa itu berbicara. Mereka tampak mengajukan masing-masing saran yang pasti usul Kementrian Sihir tak terbantahkan kecuali menyogoknya dengan sejumlah uang besar. Draco tersenyum sendiri membayangkan Harry Potter diasuh di sini, ia yakin hari-harinya tak akan sepi karena bisa menjahili anak itu sepuasnya demi menghilangkan rasa jenuh.

Diliriknya jam dinding raksasa yang jarumnya menunjuk pukul 10 malam, waktunya anak kecil tidur. Draco tak memperdulikan jadwal istirahatnya untuk sekarang, ia ingin mengetahui lebih banyak masalah tentang Harry Potter. Anak ajaib yang bebas dari kutukan Avada Kedavra dari Voldemort.

"Besok sidang peresmiannya. Aku mengundang keluarga Malfoy untuk menghadirinya." Severus berdiri, tatapannya jatuh memandangi Draco yang sedang menatapinya menyelidik. 'Dasar bocah.' Severus terkekeh dalam hati meski ekspresinya masih sedatar tembok.

Tidak punya pilihan lain, Narcissa pun menurut walau di lubuk hatinya tak rela Harry kesayangannya pergi jauh. Tapi memang inilah kenyataannya—dengan tegar menghadapi masalah itu, Narcissa tersenyum penuh arti sembari ikut berdiri mengantarkan Severus pergi ke luar ruangan, disusul Draco di belakang.

"Sampai jumpa besok, Severus." Narcissa melambaikan tangan.

Pria berjubah hitam itu menganggukan kepala singkat sambil membalas lambaian tangan dengan kaku. Akhirnya Manor Malfoy sepi menyisakan puluhan pelayan dan 4 peri rumah di sini, ngomong-ngomong Lucius pergi kemana? Narcissa menyentuh kedua pundak Draco, menuntun anaknya untuk segera tidur.

Sampai di kamar seluas 3 kali ruang keluarga, Draco naik ke atas ranjang berukuran king size. Tubuhnya diselimuti selimut tebal oleh Narcissa dengan cinta mencium kening Draco melalui bibir sang Ibunda.

"Good night, mum."

"Good night, sweetheart."

.

.

.

Harry Potter kini telah resmi memiliki seorang Ayah berkepribadian dingin yang serba tertutup. Mereka tampak tidak akur namun sebenarnya Severus dan Harry menjalin hubungan keluarga begitu dekat sampai ketika anak berusia 10 tahun itu bermain sebuah permainan yang sama sekali tidak berbahaya—tetap saja Severus merasa khawatir. Jangan tanyakan mengapa ekspresi Severus tetap seperti itu meskipun dalam hati tengah dilanda kekhawatiran.

Bocah berkacamata bulat dengan warna mata hijau terang menatap langit-langit dipagi hari. Tangan pucatnya menggenggam tirai cokelat sambil beranjak menuruni tangga demi menyapa Ayah tersayangnya.

Berada di ruang dapur sederhana membuat Harry takjub. Sekilas memang layaknya rumah berhantu yang gelap tanpa cahaya kecuali sinar dari tongkat sihir, tetapi jika diteliti ternyata bangunan tua yang Harry tempati sangat hebat. Orang lain tidak bisa masuk kemari kecuali dengan ijin Severus. Sekarang ia memilih duduk di samping pria berhelaian rambut hitam sembari menikmati sarapan paginya khidmat. Sendok yang digunakannya amat unik, ukiran tulisan khusus terukir di sana. Seandainya Harry dapat mengetahui apa itu artinya.

Hanya butuh 15 menit Harry menyelesaikan makanannya. Mulutnya menguap mendadak mengantuk entah mengapa, mungkin gara-gara kemarin malam begadang membaca buku mantra sihir umum. Berniat ingin pergi ke Hogwarts untuk bertemu Dumbledore—Harry mengambil tas selendangnya yang di dalamnya beberapa buku rahasia.

"Mau kemana?" Severus buka suara dari arah belakang, menatap Harry tajam.

"Ke tempat Profesor Dumbledore." Aku Harry menunjukan surat undangan Hogwarts. Tahun depan dirinya bisa belajar sihir bersama angkatan yang lainnya. Pasti menyenangkan mengisi waktu belajar dengan sahabat dekat apalagi berlatih cara membuat ramuan atau menunggangi sapu terbamg dan bermain Quidditch.

Sebelum pergi membuka pintu, Harry berbalik memandangi Severus sedang merafalkan sesuatu untuk ramuan Madam Pomfrey. Menggunakan kesempatan itu, Harry cepat-cepat berlari meraih pinggang Severus. Ia memeluk Ayahnya dari arah belakang, wajahnya sengaja ditempelkan pada punggung pria tersebut. Senang sekali bisa mempunyai Ayah seperhatian Severus. Setidaknya ini bisa mengobati rasa kesepian setelah meninggalnya kedua orang tuanya.

Mengakhiri acara pelukan ala—lupakan, Harry menarik senyum hangat nan lebar. Mulutnya maju dengan kaki berjinjit berusaha meraih kening Severus.

Cup

"Apa yang kau lakukan, anak kecil hm?" Tanyanya menghapus jejak ciuman Harry.

Sang anak terkikik geli menyaksikan respon Ayahnya. Tahu benar jika Severus sedikit malu-malu kucing kalau diperlakukan banyak kasih sayang, mungkin dia terlalu kaku. Toh—meski begitu Harry tetap sangat mencintainya dan menyayanginya lebih dari siapapun. "Mengecup Father, salah ya?"

Severus menghembuskan oksigen, jemarinya naik mengacak-ngacak surai Harry. "Pulanglah sebelum siang hari." Titah Severus menarik kembali tangannya dari puncak kepala si kacamata.

Sudah mendapat ijin restu membiarkan ia pergi menuju ruangan Dumbledore—langsung saja Harry melesat cepat meninggalkan kamar bawah tanah. Begitu sampai di depan tangga panjang yang tersambung dengan koridor asrama Slytherin dan Hufflepuff—Harry menelan ludah paksa merasakan aura sihir hitam mencekam disituasi sepi. Kaki mungil berbalut sandal diturunkan berniat menuruni tiap tangga agar tiba di ruang pribadi Dumbledore.

Pintu raksasa dihiasi ukiran ular Salazar Slytherin menyebabkan bulu kuduk Harry terangkat sempurna menyadari asrama bernuansa hijau tersebut sangat mengerikan. Padahal Severus mewalikan Slytherin sebagai pembimbing umum untuk segala urusan semua murid. Tidak mau berlama-lama terpaku di hadapan asrama menakutkan—Harry buru-buru melangkah cepat menelusuri lorong Hogwarts. Jendela besar terpasang di setiap koridor adalah pemandangan utama untuk memandangi taman Hogwarts dari lantai atas.

Padang rumput nan asri ditambahkan pepohonan lebat juga membuat siapa saja kagum akan kemurnian hutan itu. Harry berhenti sejenak mengistirahatkan pergelangan kaki, ia duduk di atas mulut jendela sembari mengamati burung hantu berkicau mengantarkan surat-surat penting. Hari ini pertepatan tanggal 24 Desember dengan kata lain murid-murid Hogwarts pulang menuju rumah masing-masing. Itulah mengapa Harry dapat menjelajahi Villa megah ini tanpa khawatir seseorang akan memergokinya.

Saat akan menjuntaikan kakinya ke bawah—tidak sengaja jarinya terkena serpihan kayu di pinggir jendela. Harry nyaris jatuh, beruntung ia masih bisa bertahan menggunakan sebelah tangannya agar tidak terjatuh ke bawah. 'Kalau Father tahu aku pasti dihukum!' Separuh ikhlas—Harry memutuskan menjatuhkan tubuhnya menabrak tanah lembut ditutupi rumput.

Waktunya berdo'a semoga tulang-tulangnya tak patah. Ia tidak punya pilihan lain karena jari yang satunya terluka bahkan mengeluarkan darah segar. Jadi beginilah keputusannya, seandainya dia mempunyai tongkat sihir atau seseorang menyelamatkannya. Harry bersumpah orang tersebut tentu memiliki hati suci.

"Aah!"

"Carpe Retractum."

Merasakan tubuhnya terliliti sesuatu yang transparan—bola mata terbuka menampilkan sepasang emerald ditunjukan gratis olehnya. Harry tidak terjatuh, badan miliknya ditarik kembali ke atas entah perbuatan siapa. Mengetahui tali gaib itu menghilang otomatis Harry melihat ke sekeliling, tidak ada orang lewat. Koridor masih seperti sebelumnya, hening tanpa suara apa-apa.

Hantu kah? Segera kepalanya digeleng kuat-kuat membantah isi tebakan jawabannya atas sihir barusan. Pasti ada dalang yang menyelamatkan hidupnya namun orang itu tidak menunjukan kehadirannya. Penasaran akan sosok tersebut, Harry berjalan mengendap-endap melewati lorong sempit di sebelah kanan. Baru saja tangannya hampir menyentuh kenop pintu—suara dingin seperti Pangeran Es terdengar di belakang.

Alhasil niat awal pencariannya gagal. Harry menolehkan kepalanya untuk melihat siapa pengganggu aktivitasnya.

"Kau bodoh, Potter. Kalau mau bunuh diri jangan di sini!" Bentak sang platina meletakan kedua tangan pada pinggangnya.

Mendadak keseimbangan Harry menghilang mengakibatkan tubuhnya ambruk menghantam lantai. Irisnya membulat menatap anak seumurannya tengah memandanginya dengan pandangan dingin. Bisa dirasakan suhu kulit Harry kian menurun, dingin melingkupi permukaan badannya. Kenapa bisa ada anak kecil berada di Hogwarts? Bukankah kastil ini tidak bisa dikunjungi sembarang orang.

Wait, apa mungkin dia adalah orang yang menyelamatkannya? 'Jadi bocah itu yang melafalkan mantra Retractum?'—Harry menegakan tubuhnya, kembali berdiri menghadapi laki-laki tampan berambut rapih seelegan keluarga bangsawan. Ngomong-ngomong kenapa dia bisa tahu namanya?

"Kenapa kau tahu namaku?" Tanya Harry to the point seraya memberikan glare tajam khusus untuknya.

Tapi anak itu hanya mendecih sambil memasukan tangannya ke dalam saku celana. Alisnya tertaik begitu melihat Potter berusaha tenang saat menghadapi calon Pangeran Es Slytherin. Draco Malfoy menghela nafas panjang menyaksikan respon tersebut, sebagai pewaris sah keluarga Malfoy—kepala diangkat atas-atas merendahkan si bocah berkacamata.

"So funny! Tentu saja aku tahu namamu, Harry James Potter." Draco semakin mendekatkan badannya hingga Harry terpojok ke dinding. Punggungnya sudah menyentuh tembok, kali ini ia tidak dapat mundur lagi. "Apa-apaan dengan wajahmu? Jangan bilang kau takut padaku, Potter?" Keningnya berkerut mencoba memahami pergerakan bahasa tubuh anak manis di depannya. Harry menundukan kepala tampak kewelahan menghadapi dirinya, Draco memutar bola mata.

Tongkat sihir yang ia simpan dibalik jubah hitamnya segera dibawa. Ujung tongkatnya menyentuh dagu Harry agar mengangkat kepala bocah tersebut sehingga bisa melihatnya. Draco mendekatkan mulutnya tepat ke lekukan leher Harry, menciumi aroma khas sabun mawar mengeruak memenuhi indera penciumannya. Mata beriris abu-abunya berkilat menatap leher mulus milik sang kutukan petir. Tak disangka-sangka baunya sangat segar, alami dan murni.

Sepertinya Draco menemukan mangsa yang bagus. Lidahnya menjilat bibirnya sendiri, menempelkan mulut Draco tepat pada leher Harry. Tidak ada gerakan khusus selain hanya menempelkan bibirnya. Sang blonde membisikan mantra sesuatu sehingga membuat bekas kecupan pelannya membentuk sebuah lambang ular bermahkota raja berwarna hitam. Namun tak lama, simbol itu menghilang tanpa jejak.

"H-hentikan!" Dorongan seperti tidak diberi tenaga cukup membuat tubuh lelaki menyebalkan ini menjauh.

Harry mengatur nafas yang terlihat merasa panas dibalik lehernya. Badannya terjatuh ke depan—beruntung Draco menahan pinggang Harry agar tidak ditimpa mangsa kesayangannya. Matanya memandangi Harry tengah kesakitan sambil memegangi lehernya, sebelah tangannya mencengkram pundak Draco agar membantu menyeimbangkan keseimbangannya. Setelah laki-laki platina itu melakukan sesuatu terhadap lehernya entah mengapa langsung terasa perih.

Apa yang dilakukan Draco barusan adalah memberi tanda atau menandai mangsanya untuk memenuhi kebutuhannya. Bisa dibilang juga yang akan mendampinginya nanti dimasa depan kelak. Keluarga Malfoy terikat sebuah kutukan yang tidak diketahui semua penyihir, mereka menyembunyikannya sempurna. Kenyataan mengatakan bahwa pewaris Malfoy menyukai darah, bahkan pada abad sebelumnya keluarga itu mengadakan pesta darah habis-habisan yang diambil dari para Unicorn.

Anehnya masalah tersebut tidak dipedulikan oleh pihak kementrian sihir. Entah memang merasa takut untuk menghadapi mereka ataukah disogok sesuatu—yang jelas popularitas Unicorn semakin menurun. Hingga sekarang hewan ajaib itu sudah punah seluruhnya.

Sampai salah satu Keluarga Malfoy mengusulkan sesuatu dan membuat mantra yang hanya bisa dipakai oleh keluarganya yaitu mantra Undeniable Immortal Binder. Tapi tidak sembarang Malfoy menandai seseorang, mereka akan mencocokannya sesuai insting juga mimpinya. But, mengapa Keluarga Malfoy harus melakukan semuanya?

Karena tanpa darah kami tidak bisa hidup.

Undeniable Immortal Binder—merupakan mantra untuk menandai seseorang yang dianggap miliknya. Mantra tersebut tidak terbantahkan karena sudah kutukan permanen, agar bisa menghilangkan tanda kepemilikan—orang itu harus mati.

Lucius Malfoy memberikan tandanya kepada Narcissa Black sejak pertemuannya dimasa kecil. Lucius adalah seorang Vampire, sementara Narcissa ialah penyihir handal dikeluarga Black seperti Sirius. Mereka berdua menikah menghasilkan keturunan baru yang tampan, Draco Malfoy. Anak dari pasangan itu diberkahi banyak kekuatan dan kejeniusan, Draco merupakan penyihir juga seorang Vampire. Dengan kata lain hidup setengah sebagai penyihir lalu setengah Vampire.

Begitulah rahasia dibalik keluarga bangsawan itu. Selain Malfoy ada juga yang turut terkena kutukan Vampire Blood, diantaranya adalah Zabini, Parkinson, Nott, Lovegood, Diggory, Weasley, dan sisanya masih belum diketahui. Mereka keluarga berenam memutuskan bekerja sama untuk merahasiakan identitas aslinya.

Kembali dimana dua bocah berumur 10 tahun sedang berada di tengah-tengah lorong Hogwarts. Harry yang awalnya meringis kini sudah merasa baikan akibat sedari tadi dirinya terus ditatap lekat oleh sosok mesum di hadapannya. Demi menghindari kesalahpahaman, Harry menubrukan punggungnya ke belakang—nafasnya sedikit terengah menahan perih.

"Apa yang kau lakukan?" Harry bertanya sambil menolehkan kepalanya ke arah samping kiri, tidak mau bertatapan dengan anak itu.

Berbeda dengan Draco—sedari tadi ia terus mengunci pandangannya kepada victimnya. Seolah pemandangan di depannya merupakan hal paling indah disemasa hidupnya. Kepala diangkat atas-atas, satu tangannya dimasukan ke saku celana sedangkan sebelah lengannya menggenggam tongkat hitam pekat.

"Tidak ada." Balas Draco singkat. "Dan bisakah kau melihatku? Sungguh tidak sopan berbicara tanpa melihat lawan bicaranya."

Harry menukik alisnya tajam, matanya dipaksakan untuk menatap si orang mengesalkan.

"Ataukah karena aku terlalu tampan, eh?" Draco menaikan alis sembari menyeringai tidak jelas. "Aku memang tampan. Tidak heran kau selalu membuatku gila, Potter." Katanya membalikan badan hendak meninggalkan Harry yang masih kebingungan.

'Apa maksudnya?!' Harry berpikir keras memikirkan kejadian sekarang. Pertama tentang penyelamatan hidupnya melalui sihir misterius, kemudian perlakuan anak itu yang mendadak mendekati lehernya seperti mahluk penghisap darah. Lalu terakhir—mengenai ucapan dari mulut pedas a.k.a Draco. Bila dibanding-banding dia mirip sekali dengan kenalan Severus, namanya tidak salah Lucius dan Narcissa.

Narcissa memperlakukannya sangat baik, sering mengiriminya beberapa hadiah megah khas bangsawan. Sementara Lucius membuatnya bertambah dewasa karena perkataan pria itu yang kelewat bijaksana seperti Ayahnya. Mereka disayangi Harry, itulah kenapa—besok hari natal dirinya dan Severus akan mengunjungi mereka.

Begitu Draco menghilang dari pandangannya, Harry bernafas lega. Niatnya ingin menemui Dumbledore diurungkan, Harry merutuk nasibnya seraya menyentuh lehernya. Semoga nanti dia tidak akan muncul di kehidupannya. Ia tidak mau hari-harinya rusak karena anak itu, apalagi tahun depan akan masuk ke Hogwarts. Eh wait? Kenapa di Hogwarts bisa ada anak lain selain Harry? Mungkin kesasar?

Harry mengangguk-ngangguk jelas setelah memprediksi kesimpulannya. Tidak mungkin jika dia tinggal di kastil impiannya, tanpa berpikir apa-apa—Harry mengangkat kakinya hendak mengelilingi koridor panjang.

Tidak tahu bahwa di belakang tembok bangunan—Draco tengah melipat tangannya di depan dada sembari menatap Harry dengan lapar. Kilatan pada kedua irisnya terlihat bercahaya penuh nafsu, alih-alih memperhatikan Harry—Draco akhirnya mengikuti kemana victimnya pergi. Sesekali bola berwarna abu-abunya mengamati lekukan tubuh Harry dan bongkahan bokongnya yang membuat Draco ingin meremasnya.

Know your age?—Persetan tentang umur. Yang dirinya butuhkan sekarang adalah ingin menumpahkan cairannya di dalam lubang hangat Harry. Dapat dibayangkan bocah rupawan itu menggeliat di atas ranjang dengan keadaan terikat. Hanya memikirkannya saja miliknya nyaris tegang. Jemarinya mengacak surai platina sedikit frustasi, nafsu yang tertahan.

Karena kalut dalam dirinya yang lain—tangannya sudah bersiap mengacungkan tongkat ke arah Harry. "Feru—"

"Sayang?"

Kalimat terpotong hingga mantranya tidak jadi dilafalkan. Suara sang Ibu mengintrupsi apa yang ia lakukan, menyembunyikan kekesalannya—Draco menoleh memandangi Narcissa sedang menatapi putranya khawatir. Untuk menghilangkan rasa kekhawatiran Ibu tercinta, Draco menggantikan ekspresinya menjadi seramah mungkin. Tongkatnya kembali di simpan di balik jubah hitam. Bunyi derap sepatu megah terdengar menggema begitu Draco berjalan menghampiri Narcissa.

Wanita itu mengulum senyum lembut seraya merengkuh badan anaknya erat. Jari Narcissa membelai pelan pipi Draco, menciuminya penuh kasih. Walau secara pribadi batinnya menolak segala perlakuan Narcissa pada dirinya yang terus menerus menganggap Draco masih seorang anak kecil. Memang benar dia belum berumur 17 tahun—dan terkadang Lucius melarang Narcissa untuk selalu memanjakannya.

Lucius mendidik Draco sangat ketat sampai waktu bermain pun dibatasi, begitulah hidup sebagai penerus bangsawan keluarga Malfoy. Kini hubungan Ibu dan Putranya terjalin sempurna ketika Draco membalas pelukannya. Mereka tampak menikmati waktunya meski ini keadaan yang bisa disebut sangat langka. Berat hati Narcissa melepaskan pelukannya setelah mendengarkan bunyi sepatu di belakangnya.

"Daddy dan Mummy mencarimu, sweetheart." Ujarnya mengusap pundak Draco. Lucius yang baru sampai melihat anaknya dingin tapi menyiratkan rasa khawatir karena tiba-tiba menghilang. "Mum kira kamu pergi kemana,"

Lucius menepuk kepala Draco seraya mengajak mereka berdua untuk pulang ke Manor karena urusannya sudah selesai. Dalam perjalanan pulang, Draco dibutakan oleh tawaan Narcissa saat Lucius menggumamkan sebuah kata lelucon. Si blonde agak terkejut menanggapi lelucon tersebut, ia kira Ayahnya tidak bisa bersikap humoris.

Mendadak ingatan beberapa waktu lalu terlintas di benaknya. Sosok Harry Potter yang kesakitan dengan ekspresi memelas kembali terekam. "Dad, bisakah kau ceritakan kepadaku tentang Undeniable Immortal Binder? Sepertinya aku menemukan victim milikku." Kata Draco diiringi seringaian licik, bisa ditebak kini lelaki penerus itu mulai gila.

Narcissa membulatkan mata. "Draco? Kamu belum menemukannya 'kan?"

"Kemarin belum, sekarang sudah." Jawab Draco sekenanya seolah-olah kejadian tadi saat bersama Harry hanya angin lewat. Ia santai-santai saja meski telah menandai seseorang. Pandangannya kepada victim untuk bersenang-senang dan menjadikan dia sebagai musuhnya. Sisi buruk Draco adalah—

Menyiksa apa yang dimilikinya. Terutama anak manis seperti Harry.

Ayah bersurai panjang lurus sampai pundak tersenyum bijak. Sembari berjalan mereka berdua menjelaskan tentang hal yang ditanyakan Draco. Mereka para orang tua tentu penasaran—siapa yang ditandai putra tercintanya? Kalau musuh-terpaksa mereka harus menerima dengan hati bersih. Kecuali memang Lucius perlu membunuhnya agar penandaan itu berakhir.

Berniat menanyakan—Lucius berdehem berpura-pura mendorong tenggorokannya agar tidak serak. Dalam hati, jantung Lucius berdetak tak beraturan bertanya-tanya siapa mangsanya?

Tak mau terus dihantui rasa penasarannya, Narcissa duluan mengambil startnya.

"Sebelum itu, siapa victim milikmu?" Narcissa bertanya hati-hati. Dia memperhatikan raut wajah Draco yang mengekspresikan ketertarikannya kepada mangsa baru. Draco tersenyum sambil melirik Ibunya. "Aku yakin kalian sudah saling kenal dengannya."

Balasan Draco membuat keduanya tambah kebingungan. Siapa sebenarnya?

"Greengrass?" tebak Lucius asal.

"What? Nenek sihir itu? Dad, walaupun dia takdirku aku tetap tidak akan memilihnya." Draco memutarkan bola matanya, mulai kesal karena mereka tidak menebaknya dengan jawaban benar.

Narcissa tampak berpikir lebih rasional meski air keringat meluncur membasahi sudut pelipisnya. Sungguh, anaknya membuatnya ingin mengetahui siapa mangsa yang ditandai juga yang ditakdirkan untuknya? Kemarin Draco bilang belum bertemu dengan mangsanya—tapi sekarang? Dengan kata lain Draco baru menandainya beberapa waktu lalu ketika Narcissa dan Lucius mencari keberadaannya.

Siapa yang tinggal di Hogwarts?

Seluruh asrama Hogwarts telah meninggalkan kamar masing-masing yang sudah dipastikan kepergiannya oleh Dumbledore. Kalau saja ada yang mau tinggal di kastil berhantu penuh cerita inu pasti orang itu adalah orang penting di dunia sihir.

Bingo. "Harry. Apakah dia?"

Draco berhenti berjalan, ia bangga mendengar tebakan Ibunya yang tentu saja betul seratus persen. Senyumannya terlukis yang dibiarkan terpampang secara gratis, kedua lengan tanpa dibalut sarung tangan menggenggam tongkatnya sambil melafalkan suatu mantra agar menunjukan bayangan memori Harry dan dirinya dimana pertemuan mereka terlaksana baik.

Di sana Narcissa melongo menonton aksi Draco yang agresif menandai Harry sebuah simbol kepemilikan tak terbantahkan. Lucius tersenyum tipis, sesekali telapak tangannya mendarat mengenai pipi Draco.

"Correct, mum." Serunya bertepuk tangan. "Potter adalah milikku sekaligus musuhku."

'My little Potty... I want feel your skin. Ah, you make me hard—Potter!' Draco berdecak kesal. Suatu saat nanti bila sudah diterima untuk belajar sihir di Hogwarts—ia akan menghabisi Potternya. "Just wait me, baby."

Baik, baru saja berumur 10 tahun pikiran Draco terpenuhi nafsu terlarang. Apalagi sudah—lupakan soal itu.

Touch you. Lick you. Suck you. And thrust you.

You are mine.
I won't let you go.

Salju turun perlahan membuat sepanjang jalan tertutupi benda putih nan dingin. Seiring waktu berjalan semakin banyaknya salju-salju tersebut menumpuk di atap perumahan. Sebagian penyihir kecil menggunakan salju sebagai permainan, yaitu tangkap-lempar bola salju. Permainannya cukup mudah, para pemain hanya perlu mengambil salju dan membentuknya seperti bola kemudian melemparnya kepada si target.

Bagi yang kena itulah gilirannya untuk melempar balik sampai kena. Rasanya menyenangkan ditambah bermain bersama sahabat sehati, waktu pasti tak akan terasa karena dunia serasa milik masing-masing.

Tepat di depan gerbang raksasa keluarga Malfoy—Severus menekan bel pintu bosan. Beberapa kali jarinya menekan alat itu tidak henti, namun si pemilik lebih mengesalkan ketimbang menunggu murid paling bodohnya untuk menyelesaikan essaynya. 2 menit berakhir kini gerbang tersebut otomatis terbuka sendirinya, Harry yang berada di belakang Severus berdecak kagum.

Saat kaki bocah berkacamata itu menginjak keramik megah khas bangsawan—Harry meneguk ludah paksa. Narcissa dan Lucius benar-benar kaya raya ya? Tidak lama mereka tiba di depan ruang utama. Jarak manor dari gerbang ternyata sangat jauh.

"Severus, Harry. Selamat datang!"

Harry buru-buru menoleh ke asal sumber suara. Terlihat seorang wanita ramah menyambutnya lembut, Narcissa mengecup kening Harry sambil menggenggam tangannya, menuntun dia agar masuk ke dalam. "Ayo kemari, diluar dingin." Setelah memastikan dua tamunya duduk di atas sofa empuk—Narcissa menutupi pintu berlapis emasnya.

Lucius yang masih memakai kemejanya turun dari tangga. Bibirnya mengulum senyum tipis menyapa dirinya dan Severus. Pria pirang itu duduk di sebrang meja, menjabat tangan Ayah Harry. Mereka terlihat akhrab meski diantaranya terkadang tidak mau kalah.

"Ini cokelat panas faforitmu, Harry. Dan ini kopi untukmu, Severus." Gumam Narcissa meletakan minuman itu ke atas meja. Harry girang sendiri, tangannya segera mengambil gelas berisi cokelat panas—meminumnya khidmat melupakan alam dunia sekarang. Saking lezatnya Harry ingin mencicipinya lagi. Narcissa sangat cocok dijadikan Ibunya—it's just a dream. I know it.

Severus terbatuk ketika Lucius menanyakan keberadaan Draco kepada Narcissa. Sang istri menggelengkan kepala, tidak tahu apa yang dilakukan Draco sekarang. Mungkin masih tidur karena matahari belum sepenuhnya terbit menggantung di atas langit.

"Kemarin Aunty tidak melihatmu, Harry. Padahal Aunty ke Hogwarts lho." Narcissa tersenyum.

Harry mengedipkan mata sejenak, mencerna kata-kata bibi tersayang. "Maksud Aunt 'Cissy kalau Aunty mengunjungi Hogwarts kemarin? Kenapa tidak bilang padaku?"

"Awalnya mau tapi sepertinya Lucius sibuk mengatur penawaran kepala sekolah Hogwarts." Kekeh Narcissa melipat kakinya yang dibiarkan ditumpu pada kaki kanannya.

Si kacamata mengangguk-ngangguk. Dia tidak melanjutkan pertanyannya melainkan memilih untuk menghabiskan minuman faforitnya. Ia tak sadar kalau Narcissa tengah memanggilkan seseorang supaya datang kemari menyapa tamu. Harry menyeruput cokelat panas itu dengan tangannya, gelas itu dipegang erat-erat takut jatuh. Karena Harry tahu harganya amat mahal, berbeda dari segi pembuatannya.

"Sayang, ada Harry dan Severus. Kemarilah," Narcissa berteriak lembut.

"Coming." Draco menyahut singkat.

Tak menyangka jika dua orang tua baik di hadapannya mempunyai anak. Pasti putra mereka sebaik Narcissa juga—Harry tidak sabar melihatnya. Ia ingin berkenalan dengannya, bermain, sekaligus mengajaknya berkeliling mengitari kebun Hogwarts. Atau memberitahukannya rahasia kecil tentang sekolah sihir elite. Jantungnya berdebar kencang saat baru saja memikirkannya.

Tapi sayang, harapan tak seindah yang diharapkan.

Sosok bocah tampan berambut blonde turun dari tangga dengan mengenakan setelan kemeja putih dan dasi terpasang rapih. Benar-benar anak bangsawan. 'Tunggu! Dia—yang kemarin?!' Ludah pun diteguk.

Alhasil Harry berdiri dari sofa, menunjuk Draco menggunakan jari telunjuknya. Narcissa memiringkan kepala, sementara Lucius dan Severus hanya mengamati mereka berdua diam-diam. "Kau—" Desis Harry tak suka cara bagaimana Draco menatapnya, dia selalu merendahkannya. Ataukah karena dia kaya raya? Sehingga bebas melakukan apa saja?

Mendapatkan respon Harry, Draco menaikan alisnya. Dengan tampang tak berdosa, ia mendudukan badannya di atas sofa.

"Ya, Potter? Kau merindukanku?" Draco lagi-lagi bertingkah menyebalkan yang membuat Harry geram.

"Dalam mimpimu!" Elak Harry bergidik ngeri membayangkan jika dirinya merindukan Draco. Siapa yang mau berdekatan dengannya? Rasanya ingin muntah saja.

Severus mendorong pundak Harry ke bawah agar kembali duduk manis di sampingnya. Tidak sopan jika berdiri tanpa melakukan apapun ketika bertamu, apalagi menunjuk seperti itu. Diakhiri hembusan nafas, Severus menenangkan Harry dengan belaian lembut di kepalanya. Walau gerakannya terbilang sangat kaku. Severus tidak pandai menjadi seorang Ayah. Kata siapa?

"Akui saja, Potter. Aku tahu kau merindukanku," goda Draco memenuhi ruangan menjadi panas.

"Tidak, kau pirang!"

Draco semakin menarik seringainya. Ia tersenyum miring mendapat respon Harry begitu manis plus menggemaskan.

"Namaku bukan pirang, sayang."

"Terserah apa kataku, pervert!"

"Berani melawanku?"

Kesabaran Harry tinggal sedikit lagi, pipinya sudah memanas menahan amarahnya. Catat, Harry bukan orang yang sabar dicemoohi atau diejek, ia sedikit keras kepala juga. Demi mengalihkan rasa kesalnya—Harry menarik nafas dalam-dalam meraih oksigen sebanyak-banyak.

Para orang tua diam menyaksikan pertengkaran anak mereka masing-masing. Lucius menggeleng-gelengkan kepala, sementara Severus-seperti biasa berwajah datar. Meski dalam hati khawatir karena belum pernah melihat Harry semarah ini.

Dilain sisi—Narcissa menitikan air mata di ruang dapur. Dia sudah berlari beberapa waktu lalu, mengambil kamera tentang pertemuan kedua mereka. Seandainya Lily masih hidup—pasti dirinya dan temannya akan berteriak menikmati pertengkaran adu mulut mereka. 'Lily, Draco dan Harry memang cocok.'

Cocok? Darimananya?

"Accio." Kata Draco melafalkan mantra. Sekejap kacamata yang dikenakan Harry melayang menjauhi pemiliknya. Di sebrang meja kaca sana Draco terkekeh melihat emerald indah Harry. "Kejar aku bila kau ingin benda ini kembali."

Dengan santai Draco melompat ke belakang lalu berjalan cepat menuju pintu keluar ruangan.

"Malfoy! Itu tidak lucu!" Harry segera mengejar Draco. Dia meraba dinding-dinding agar tidak menubruk sesuatu disetiap langkahnya. "Malfoy!"

"Ya Potter?" Draco berhenti di kamarnya. Dia menunggu Harry memasuki ruangannya sembari berdiri angkuh.

"Kembalikan kacamataku!"

"Make me."

Kesal diperlakukan seenaknya oleh Draco—Harry pun tidak tinggal diam. Badannya bergerak cepat berusaha menggapai kacamatanya yang teracung ke atas oleh tangan Draco. Salahkan anak di hadapannya lebih tinggi darinya sehingga sulit digapai. Karena Harry terus bersikeras menginginkan kacamatanya direbut kembali—Harry memilih berjinjit sambil menangkapnya yang sialnya Draco selalu tahu pergerakan Harry selanjutnya.

Ketika akan melompat dan lupa mendarat—Harry tidak sengaja kehilangan keseimbangannya sehingga menubruk dada Draco dan menindihnya.

Kelopak mata Harry tertutup rapat-rapat. Rasanya tidak sakit—wajar karena Draco menahan beban tubuhnya. Ragu-ragu Harry membukakan irisnya begitu satu tangan Draco mulai menelusup tangannya ke balik baju yang dikenakan Harry. Refleksi ia menjerit tertahan merasakan jemari dingin Draco menyentuh kulit pinggangnya. Tanpa disadari—Harry menggeliat saat si pirang meremas perutnya.

"U-uh... Singkirkan tanganmu, Malfoy!" Harry meremas kedua bahu Draco erat-erat. Bibir digigit menahan suara yang ingin ia keluarkan akibat sentuhan Draco yang membuatnya mabuk. Harry nyaris saja mengeluarkan desahan ketika ibu jari sang Malfoy menekan nipple kanannya.

Draco menyeringai penuh kemenangan. Tekanan pada nipple Harry kian berubah menjadi cubitan kasar. "Ma-Malfoy sialan! Hentikan—khh!"

"Seriously, Potter. Baru saja aku menyentuh putingmu sudah tegang seperti itu. Apalagi aku menembus bokongmu, huh?" Mengakhiri segala aktivitasnya, Draco bangkit untuk merubah posisinya. Duduk di atas lantai—alhasil Harry kini duduk di pangkuan Draco.

Saling pandang tidak mengungkapkan sepatah kata pun membuat suasana mendadak menjadi hening. Demi memecahkan keheningan semata—Draco berniat membuka suara, ia tak kalah menatap Harry dengan tatapan menggodanya.

"Senyaman itu kah duduk di pangkuanku, Potter?" Godanya.

Harry mengerjapkan matanya tak sadar selama tiga menit berada di pangkuan musuhnya. Segera ia menyambar kacamatanya dari tangan Draco, ia memakaikannya kembali sambil mendorong dada Draco kesal. Setelah penglihatannya normal—Harry berbalik ingin pergi.

Tapi sepertinya Draco tidak akan membiarkan dirinya pergi.

"Pergi begitu saja tanpa meminta maaf?" Draco ikut berdiri menegakan tubuhnya.

"Menurutmu?"

"Lucu sekali. Kupastikan kau akan menyesal, Potter." Katanya sembari memeluk Harry erat dan menggelitikinya. Memanfaatkan kesempatan itu, Draco mengecap leher mulus milik Harry. Lidahnya menari menjelajahinya kemudian menghimpitnya ke dinding. Draco menahan kedua tangan Harry di atas kepalanya, tak memperdulikan jika bocah itu sudah terengah-engah melawan sensasi aneh.

Bukan Draconis bila membiarkan Harry beristirahat melainkan dirinya semakin bersemangat menjalajahi tubuh seksi itu. Draco membuka kancing Harry—merobeknya karena menghalangi pemandangan utamanya.

"Hentikan Malfoy! Hhh—" Harry menumpahkan kepalanya ke kanan dan kiri menghilangkan rasa aneh di balik perutnya.

"Jika aku tidak mau?" Mulutnya menggigit perpotongan leher Harry. Menikmatinya sesekali menghisap kuat hingga meninggalkan jejak kemerahan di sana. "Nhh—tsk Malfoy! Berhenti menyentuhku!"

Sementara di belakang pintu kamar Draco—ketiga orang tua tengah mendengarkan mereka secara seksama. Narcissa menahan diri agar tidak berteriak, Lucius menggeleng-gelengkan kepalanya, Severus hanya memasang wajah datar. Meski diam-diam dua pria dewasa ini berharap dapat melihatnya langsung dengan kedua matanya. Lupakan.

"Malfoy! Kau brengsek!"

"Yes baby? Kau ingin aku menekan putingmu lagi?"

"Lepaskan aku—Khh!"

"Tidak mau,"

"Malfoy! Ini tidak lucu!"

"Aku tidak sedang melucu,"

"Lepas!"

"Mulutmu berkata demikian namun tubuhmu menolak perkataanmu. Lihat," Draco menggesekan selangkangan Harry menggunakan lutut kakinya—membuat Harry semakin mengerang.

"Hentikan!"

Begitulah cerita mereka saat pertama kali Harry mengunjungi Malfoy's Manor. Dipenuhi pertengkaran ditambah bumbu cinta disetiap alurnya, Draco yang nafsu tidak dapat menahan diri—Harry yang menolak membuat si pirang makin bersemangat menjamah kulit mulus milik musuhnya.

Tidak disadari juga oleh mereka—bahwa dibalik pintu lapisan emas dikerumuni orang tua. Saking asyiknya mengecap tubuh mangsanya sampai tidak menyadari keadaan disekelilingnya. Beruntung Draco dapat menggunakan tongkat sihir sehingga memudahkan memperlakukan Harry sesuai keinginan—berbeda dengan pemilik kacamata bulat kuno—masih berusaha keras menentang tuannya sambil menggeliat mencoba melepas diri di atas pangkuan sang pangeran Malfoy.

Sepasang iris abu-abu merekam aksi perlawanan Harry yang membuat nafsunya semakin meningkat. Bagaimana bisa berhenti kalau Harry terus mengerang dengan wajah memelas? 'Fuck you...'—Draco menyisir rambut rapihnya ke belakang, memanalisir birahinya.

Akhirnya ia memutuskan menghentikan perlakuannya. Draco membiarkan anak itu bebas untuk sementara, badan tegap milik penerus keluarga bangsawan ditegakkan. Badannya didudukkan di atas ranjang berukuran king size, masih dengan memperhatikan Harry di atas lantai.

Nafas lega terhembus tanpa rasa risih akan kejadian selanjutnya. Kini sepenuhnya Harry bisa bergerak semaunya, terima kasih kepada bocah so tahu yang berhasil menghancurkan pagi hari natalnya. Tatapan tajam Harry diberikan langsung kepada Draco—dan sialnya laki-laki pirang itu tidak bosannya mengamati setiap gerakan dirinya. Apa yang salah dengan otak dia?

"Kau gila, Malfoy." Desis Harry menepuk-nepuk pakaian, membersihkannya dari kotoran debu.

"Setidaknya aku gila karena kau, Potter. Salahmu yang membuat diriku seperti ini." Balasnya penuh penekanan di salah satu kalimatnya.

Belaian angin menyapa rambut masing-masing. Tiupan lembut berasal dari jendela raksasa di belakang Draco datang, menyebabkan suhu mendadak turun. Mata Harry meremang menatap pepohonan lebat menari mengikuti arus permainan angin tersebut, bisa dilihat sekarang—Harry terkagum-kagum taman di manor yang sedang dirinya kunjungi. Bukan hanya cantik, namun segar dan murni. Cocok untuk menenangkan pikiran saat lelah.

Lamunannya tersadar setelah mendengarkan jawaban Draco. Kedua alis yang terukir manis menekuk tajam mencerna kata-kata barusan.

"Apa maksudmu? Jadi selama ini aku membuatmu gila? Lucu sekali, Malfoy! Kita baru bertemu kemarin dan kau menyalahkanku jika semua kegilaanmu itu salahku!?" Harry mendecak kesal.

Namun sepertinya Draco tetap santai-santai saja meski di depannya ada lelaki yang mencoba memojokinya. Bibirnya diukirkan senyum licik, Draco melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya. Pakaian serba megah khas bangsawan terkadang tak senyaman baju piyama ketika tidur, sekalian telanjang ya? Bisa mati disiksa Lucius nanti.

"Kau hanya tidak tahu, Potter."

"Apa yang aku tidak ketahui?"

Pertanyaan Harry mampu sedikit mengejutkan Draco. "Kau akan mengetahuinya diakhir nanti. Semoga kau bertahan dengan hidup barumu yang sudah menantimu, Potter."

Karena aku tidak akan menyerah.

Sepahit apapun penolakanmu terhadapku, rasaku tak pernah berubah meski memang aku punya banyak pilihan.

Kau hanya milikku, Potter.

Musuh kesayangan milikku karena membuatku tertarik padamu.

"Fuck you, Potter!" (c) Leenalytte

Harry Potter (c) J.K Rowling

Warning: Yaoi, boyslove, homosexsual, mature, typos, EYD, and others.

Rated: M

Pairing: DraRry (DracoxHarry)
Slight! BlaisexTheo
Slight! FredxGeorge
Slight! CedrixHarry
Slight! GinnyxLuna
Slight! PansyxHermione
And other slight

Don't like don't read.
This is just for fun.

Thanks to Chriselda&Kyuushirou.

Enjoy!

Dinihari pukul empat di suatu bangunan gelap tanpa cahaya ada satu orang anak laki-laki berumur sebelas tahun sedang membereskan barang-barangnya untuk pergi ke kereta pada pukul sembilan nanti. Setiap kebutuhan menuju sekolahan Hogwarts diteliti baik-baik sampai memeriksanya berulang kali. Dari kemarin anak rupawan manis ini belum tertidur akibat memikirkan kesenangan mempunyai banyak teman di sekolah sihir. Ya, dirinya ialah seorang penyihir dari keluarga Potter.

Berterima kasihlah kepada Ayah angkatnya, Severus Snape mengijinkannya bersekolah di Hogwarts tanpa syarat apapun. Kebebasan menyertainya selagi tidak melanggar aturan, meski sialnya ia tidak dapat berbicara dengan Severus bahkan menyapanya seolah-olah sudah saling kenal. Hal ini karena Dumbledore takut beberapa anak Hogwarts akan membocorkan kenyataan yang ada kepada orang tuanya yang merupakan masih anggota Death Eater, memang pada dasarnya pelahap maut telah dibubarkan oleh pihak kementrian sihir.

Harus berpura-pura tak mengenali Ayahnya cukup membuat nyali Harry merosot sepenuhnya. Tapi mengingat keinginannya menjadi pahlawan dan penyihir terkuat di dunia akhirnya kembali membangkitkan semangat sosok Harry Potter.

Satu tahun berlalu terasa cepat baginya, sehari-hari di ruang bawah tanah bersama Ayahnya sangat menyenangkan. Belum lagi Severus selalu menceritakan cerita atau lebih tepatnya dongeng disaat Harry bermimpi buruk mengenai buku hitam yang tiba-tiba mengeluarkan sinar hijau tengkorak muncul di permukaan tersebut. Terkadang mengingat semua mimpinya, entah mengapa rasanya seperti nyata bahwa ia akan menghadapi itu. Dan paling menakutkannya, The Dark Lord bangkit, hidup kembali dalam keadaan tanpa hidung.

Kekuatan mengerikan disertai lafalan mantra menghancurkan Hogwarts. Salah satu teman Harry mati terkena kutukan You-Know-Who, anehnya ia tidak diberi tahu siapa Raja Kegalapan tersebut. Severus menolak mentah-mentah tidak mau memberi tahu siapa nama dalang kematian kedua orang tuanya. Padahal Harry sudah melakukan jurus andalannya, yaitu memelas. Mungkin masalah ini terlalu serius? Oke, dimaklumi.

Mengenai Narcissa dan Lucius—terakhir kali mereka berkunjung untuk melihat Harry sekitar minggu lalu. Jangan tanyakan dimana si pirang itu berada—

Tok tok tok

Jendela kamar terketuk oleh seekor burung hantu hitam. Diantara dua kakinya membawakan surat sesuatu, segera jendelanya digeser ke samping mempersilahkan burung tersebut masuk ke dalam. Harry mengelus kepala hewan kesayangan Severus Snape, mengecupnya pelan sebelum pengantar surat itu kabur terburu-buru. Sekarang, mari membaca secarik kertas ini.

To: Harry Potter

Datanglah ke stasiun 9 ₃/₄ sekarang. Jangan sampai ketinggalan kereta atau aku mengurangi uang jajanmu. Keluarga Weasley menunggumu di depan stasiun.

Salam,
Severus.

"Oh Father, suratmu singkat sekali. Tapi terima kasih sudah memberitahuku," tanpa memikirkan hal lain lagi—Harry menarik koper besarnya. Severus tidak memberikan kata sisipan atau sekadar hati-hati di jalan, bukankah orang lain sering mengatakan semacam begitu? Mungkin Severus tipe orang penyembunyi. Ia lebih baik memendamnya dalam hati, sendiri.

Tidak seru.

Mengakhiri rengutannya, Harry membuka pintu rumahnya kemudian berjalan mengitari jalan raya yang masih sepi. Langit kelam yang perlahan diisi matahari menjadi pemandangan utama baginya melihat alam bebas. Sepanjang jalan sepatunya menggema menemani kesunyian semata. Sedikit angker bila harus jujur, tapi Harry tak memperdulikannya. Ingat, ia merupakan sosok pemberani yang ditakdirkan meneruskan tugas Ayah dan Ibunya.

Tidak terasa—Harry tiba di sebuah stasiun. Bola mata hijau seterang kunang-kunang meneliti jalan-jalan yang akan disusuri olehnya. Ada beberapa petugas pengaman di sudut kereta, tidak menyiakan-nyiakan kesempatan—Harry mendekati penjaga itu.

"Excuse me, sir." Sebisa mungkin tangannya menarik koper sambil mendekati pria bertopi.

"Ya, nak?" tanyanya sopan.

Harry mengambil nafas dalam-dalam seraya meluruskan otot-ototnya. "A-apa aku boleh bertanya?"

Di dunia muggle tentu Harry harus bersikap sopan, takutnya mereka membencinya. Masalahnya bisa runyam bila dibenci oleh para muggle.

Terdengar suara tawa dari pria yang baru saja ditanyakan Harry. Refleksi degup jantungnya bertambah kencang merasa was-was menerima respon si pengaman stasiun. Dengan sabar, Harry menunggu tawa pria tersebut reda.

"Tentu saja boleh, nak. Apa yang ingin kamu tanyakan?" terlihat pria di hadapannya tersenyum ramah.

Thanks Merlin!—Harry berdehem memulai pertanyaannya. "Dimana jalan ke kereta 9 /?"

"Berapa kali aku menjawab? Jalur itu tidak ada! Ya ampun, ternyata di sini banyak orang bodoh. Bukankah sebelum masuk sudah diberikan kereta yang sudah disiapkan? Ah! Atau kau masuk lewat belakang, hm? Kemari kau anak kecil! Aku perlu melaporkannya!" seru si penjaga mencengkram tangan Harry.

Save me now!

"Maaf tuan, sepertinya anak saya sedang melantur tidak jelas. Ayo sayang," cengkraman pada tangannya dilepaskan begitu pria itu sudah menerima penjelasan.

Harry hanya mengedipkan kedua bola matanya polos, tidak mengerti akan situasi sekarang. Terlebih lagi, siapa wanita gendut yang seenaknya menarik tangannya paksa menuju ke suatu tempat? Tergesa-gesa Harry menarik lengannya kembali. Tatapan gusar miliknya ditunjukan ketika wanita berumur 37 tahun menatapnya balik.

Rambut keriting berwarna merah dengan wajah ramah—Harry menaikan alisnya saat wanita tersebut mengusap kepalanya.

"Harry, kementrian sihir menyuruhku untuk mengantarkanmu ke kereta 9 /. Panggil saja aku Molly, sayang." Kata wanita yang mengaku sebagai Molly.

Ragu-ragu Harry mengangguk. "Yes, Mrs. Molly. Tapi dimana keretanya?"

Molly tertawa menanggapi kebingungan Harry. Dia menepuk-nepuk pundaknya sembari menunjukan jari telunjuknya ke tembok datar. Melihatnya Harry melongo tidak mempercayai apa yang dikatakan Molly. Namun sayang, beberapa anak seumurannya datang dan langsung mendorong trolinya ke depan—alhasil orang itu menghilang sekejap.

Barulah Harry percaya—meski dalam hati masih menyimpan rasa ragu.

"Come on, Harry. Anakku baru saja melewati ini, kau akan bertemu dengannya. Cobalah,"

Belum sempat Harry berterima kasih-sebuah tangan mendorong punggungnya sehingga ia terdorong ke tembok tersebut. Matanya terpejam erat tidak mau melihat kelanjutannya jika saja ia menubruk dinding ini. Tetapi sepertinya tidak, kini dirinya telah berdiri di hadapan kereta bertulisan 9 /.

Kaki Harry melangkah masuk ke dalam kereta. Banyak orang berteriak kegirangan berada di sini, ia mencari ruangan kosong sambil berjalan mengelilingi kereta. Disaat Harry menemukan ruang kosong—tangannya langsung menggeser pintu kaca—namun sebuah suara mengintrupsi kegiatannya dari belakang.

Dengan malas Harry memutar kepalanya ingin melihat siapa dalang pengganggunya.

Demi celana dalam Merlin!

"Menyingkir dari ruangan kami, Potter." Ujar sosok itu, dengan sengaja menubruk bahu Harry menggunakan pundaknya. Seolah tidak salah apapun, Draco Malfoy beserta teman-temannya duduk di ruangan yang ditemukan Harry.

Kesal melihat kelakuan Draco yang super menyebalkan, Harry bergegas membalikkan badan hendak mencari ruang kosong lainnya. Tapi sepertinya Draco tidak akan membiarkan Potternya pergi begitu saja. Kakinya dilipat hingga bertumpu, sambil menatapi Harry—Draco mengeluarkan seringai biasanya.

Ketiga sahabat karib bernama Pansy Parkinson, Theodero Nott, dan Blaise Zabini terkekeh melihat Draco terhibur oleh lelaki mungil berkacamata.

"Pacar barumu, Drake?" tanya Pansy diikuti kikikan geli.

Draco menarik senyum miringnya sembari menepuk kursinya yang kosong. Mengajak Harry untuk duduk di sebelahnya secara tidak langsung. Namun sayang sekali—Harry tampak tidak tertarik dengan tawaran Draco, terbukti ekspresi anak pahlawan itu terlihat tak nyaman. Cengkraman jemarinya pada koper kian mengerat, merasa direndahkan oleh keempat seangkatannya.

Baru saja di kereta sudah membuat amarahnya naik sampai ubun-ubun. Harry menghela nafas panjang, dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

"Lebih baik aku duduk di atas lantai saja daripada duduk bersebalahan denganmu, Malfoy." Ujar Harry hendak menarik kopernya untuk mencari ruang lain.

Alis Draco tertaik. "Aku mempersilahkanmu duduk di sini, Potter. Dan kau menolak kebaikanku? Berani sekali," ia menyeringai.

Theo menyilangkan kedua tangan di belakang kepala. Ikut nimbrung apa yang dikatakan Draco bersama Harry. "Mungkin dia takut padamu, Drake. Wajar dia 'kan belum bisa menguasai sihir satu pun?"

Pansy menutup mulutnya menahan tawa. Blaise menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, melirik Harry menggunakan sudut mata.

"Kemari, Potter." Perintahnya tegas.

Harry menggeleng. "Tidak,"

"Ingin aku paksa saja, hm?"

Ketika Harry akan membalas tawaran Draco—kalimatnya terpotong oleh panggilan seseorang di depannya. Laki-laki berambut kemerahan dengan tampang ramah datang menyambut kedatangannya. Harry mengedipkan kedua mata, seolah-olah melupakan amarahnya setelah bertemu dengan sosok itu.

Ronald Weasley merangkul bahu Harry, mengajak dia untuk ke ruangan miliknya yang sudah ditempati. Sebelum pergi, sorot pandangannya memandangi Draco Malfoy dingin. Yang pasti dibalas tatapan tajam dari sang pewaris, tak sadar—Draco memperlihatkan kilat matanya membuat Pansy pindah tempatnya di samping si pirang.

"Tenang, Drake. Weasley tidak akan merebut milikmu," ungkap Pansy mengusap punggung Draco sekadar menenangkannya.

Bisa gawat jika Draco kehilangan kendalinya, ia bisa menyerang siapa saja. Apalagi membunuh—pada waktu umur 5 tahun—kata Narcissa Draco sudah membunuh kurang lebih 6 orang, akibatnya para korban kehilangan darah begitu banyak. Seakan kasus itu ditutup rapat oleh pihak kementrian sihir—Lucius akhirnya mengambil tindakan kepada anaknya. Ia melatih Draco cara bagaimana mengontrol diri serta kekuatan pribadi lain.

Sejak insiden pembunuhan tersebut—Draco sedikit sadar diri meskipun keinginannya untuk menghisap darah tidak pernah terpenuhi. Kini irisnya kembali berwarna abu-abu, ekspresinya dingin memperhatikan Harrynya pergi begitu saja dengan tawa canda.

"Brengsek Weasley." Draco mendecak kesal mengacak surainya frustasi.

"Come on, Drake. Apa yang membuatmu marah? Hanya karena dia disentuh oleh—temannya?" tebak Blaise memakan cemilan dari tas Pansy.

Theo menggerakan kepalanya ke kanan dan kiri, ikut mencomot satu permen cokelat megah khas keluarga Parkinson dan memasukannya ke mulut. Dapat dirasakan rasa manis menjalar ke lidahnya, menyaksikan kedua sahabatnya sedang menghabiskan cemilan kesukaannya—Pansy mengangkat tangannya menampar pipi mereka masing-masing. Berani sekali menghabiskan cokelat buatan Ibunya.

Sementara di tempat Ronald Weasley berada—seorang wanita ikal menerjang memeluk leher sang pahlawan. Harry dibuat sesak tak dapat bernafas teratur yang langsung dilepaskan Ronald.

Hermione Granger menggerucutkan bibirnya cemberut. Ia mempersilahkan Harry untuk duduk dan menyimpan barang bawaannya, tak sampai berapa menit membereskannya—Ronald duduk di samping Harry sembari mengulurkan tangannya, memintanya berjabat tangan. Ragu-ragu si Potter kecil menerima uluran tersebut. Di sebrang kursi terlihat Hermione tersenyum geli. Sepertinya gadis ini senang akan balasan Harry yang kikuk.

"Namaku Ronald Weasley, panggil saja Ron." Kata Ron nyengir.

Disusul Hermione yang siap-siap ingin menjabat lengan lembut Harry. "Panggil aku 'Mione, nama lengkapku Hermione Granger. Aku berasal dari keluarga muggle namun anehnya aku ditakdirkan menjadi seorang penyihir." Jelasnya membeberkan rahasia pribadinya.

Harry mengangguk canggung—melepaskan tangan Hermione takut melihat tatapan Ron yang sedari tadi tersenyum aneh, entah ancaman atau memang wajahnya begitu. Berniat mengedarkan pandangan ke arah jendela—sosok wanita berpakaian maid datang membawa banyak makanan di troli. Harry tentu tidak tertarik membelinya—ingat Ayahnya pernah bilang jangan membeli apapun kecuali perutnya sedang sangat lapar.

Mengingat Severus terlalu menjaga kesehatan dirinya membuat Harry senang. Dalam diam ia tersenyum membayangkan betapa senangnya belajar bersama Ayahnya nanti di kelas ramuan nanti.

"Kau belum memperkenalkan diri." Ron menyela pikiran Harry.

"Ah—Harry Potter. Namaku Harry Potter." Balasnya kikuk.

Hermione yang sedang membeli tiga cokelat kodok menoleh ke tempat dimana kedua temannya mengobrol ringan. Gadis ikal tersebut menunjukan senyum lembut seraya membayar makanan yang dibelinya, selesai berterima kasih—Hermione duduk di atas kursi. Memberi Ron dan Harry sebuah cokelat berbentuk kodok yang dibungkus unik.

Bola mata emeraldnya dikedip beberapa kali. Apa cokelat ini enak? Harry menelan ludahnya paksa. "Makan saja, mate. Itu tidak akan membuatmu mati,"

Father.. Aku baru tahu cokelat ini. Dengan canggung, jemari pucat nan mulus miliknya menerima uluran bocah cilik itu. Permukaan makanan ringan yang disebut-sebut cokelat memang menyerupai kodok, bukan hanya kodok—namun itu bergerak-gerak ingin kabur. Sukses membuat Harry ingin muntah. Berniat menolak—ia menggelengkan kepala cepat-cepat.

Kalau dirinya menolak pemberian mereka pasti akan menyakiti hatinya.

Karena tidak mau membuat kedua teman barunya tersakiti, akhirnya Harry memberanikan diri untuk memakannya. Toh—mereka juga memakannya juga, berarti makanan ini tak berbahaya. Hanya satu gigit

"Enak 'kan?" Hermione menggigit cokelatnya.

Harry mengangguk mantap, ternyata rasanya lebih enak dibandingkan kue vanilla yang dibeli kemarin. Dan mereka bertiga akhirnya kalut dalam obrolan hangat. Layaknya keluarga yang baru saja bertemu setelah berabad tahun berpisah.

Karena terlalu menikmati perbincangan mereka sampai tak sadar bila kereta sudah tiba di depan danau hitam. Seluruh murid yang ada di dalam kereta berhamburan keluar memilih perahu untuk menjadi sarana transportasinya. Sebelum Harry hendak naik ke perahu—tak sengaja pandangannya menemukan sosok Draco. Anak itu tidak menaiki perahu melainkan pergi dengan tangga rahasia di bawah tanah bersama—what? Ayahnya?

Harry hanya menghela nafas sepertinya Severus menyembunyikan rahasia lain yang tidak boleh dirinya ketahui. Terpaksa ia mengusir pikiran itu jauh-jauh memilih untuk mengikuti Hermione dan Ron.

Mereka bertiga duduk di atas perahu sambil memperhatikan lampu-lampu menyala di sekitar bangunan kastil Hogwarts. Semua murid khususnya ditahun pertama pasti berdecak kagum melihat bangunan tua yang begitu berdiri kokoh menjulang mencakar langit. Hermione tersenyum kecil seraya menyentuh air danau tersebut yang terasa sangat dingin. Ron ikut melakukannya, menggerakan tangannya.

"'Mione, aku tak yakin nanti dapat asrama yang kuinginkan." Sahut Ron mengurut dada.

Hermione menjitak kepala Ron, kedua tangannya berkacak pinggang sembari memperlihatkan wajah angkuhnya yang terlihat manis. "Jangan berpikir yang aneh-aneh, Ron! Memang iya kau penakut tapi kau pasti cocok di Gryffindor."

Ron menarik alis, "kenapa kau percaya diri sekali?"

"C'mon, Ron! Kau tidak pintar, payah, pemalas, penakut—asrama apa yang cocok denganmu? Tidak ada. Kupastikan kau ditempatkan di Gryffindor," jelas Hermione seraya turun dari perahu setelah sampai direrumputan hijau khas Hogwarts.

Di sana sudah ada Minerva McGonagall tengah berdiri di depan pintu raksasa. Harry ditarik Hermione paksa agar cepat-cepat masuk ke dalam.

Begitu sampai di dalam tepatnya di Great Hall—lampu-lampu yang menggantung di atas adalah pemandangan pertama yang dilihat Ron dan Hermione. Mereka berdua berputar kegirangan nyaris menubruk seseorang kalau saja Harry tidak memberi mereka peringatan kecil.

Murid ditahun pertama diperintahkan berdiri di hadapan semua Profesor Hogwarts. Bisa dilihat Severus sedang duduk tenang sembari memperhatikan anak tercintanya dalam diam.

Sang topi seleksi dipegang Minerva, setengah murid lainnya merasa canggung—ketakutan dimana mereka akan ditempatkan.

"Baiklah langsung saja kita mulai," Minerva memakaikan kacamatanya, membaca kertas deretan nama murid.

Kedua tangan Harry menggenggam ujung bajunya, gugup. Tak sadar jika Draco sedari tadi mengamati Harry dengan tatapan remeh.

"Pansy Parkinson,"

Gadis berambut pendek maju, langsung duduk di atas kursi.

"Slytherin!"

Sontak meja Slytherin riuh bertepuk tangan menyambut kedatangan kawan baru.

"Hermione Granger,"

"Gryffindor!"

"Ronald Weasley,"

"Gryffindor!"

Ron menyentuh dadanya—dapat dirasakan detakan jantungnya berdegup tak teratur. Ia memeluk Hermione erat sambil menitikan air mata, masih takut. "Aku bilang apa tadi? Kau pasti bersamaku, Ron!" Katanya berniat menenangkan sahabatnya.

Bocah bersurai kemerahan itu tersenyum lebar berterima kasih kepada Hermione yang selalu berpikir positif kapanpun disituasi apapun.

Selanjutnya—

"Harry Potter,"

Otomatis semuanya hening, semua pasang mata tertuju pada sosok bocah berparas manis yang terduduk di atas kursi. Tampak si penyeleksi berpikir kebingungan. Harry memejamkan kedua matanya.

"Baumu aneh, nak."

What—?

"Seperti apa tempat impianmu?"

Harry menarik nafas dalam-dalam, bisikan topi itu membuat bulu kuduknya merinding.

Aku ingin bersama teman-temanku. Ron... dan 'Mione.

Topi tersebut tersenyum tipis. "Anak yang aneh."

...

"Gryffindor!"

Senyum merekah terlukis jelas dibibir Harry—si kacamata berlari memeluk kedua sahabatnya dengan erat.

"Selamat Harry! Akhirnya kita bisa bersama!" Hermione mencubit hidung Harry gemas, sementara Ron hanya tertawa. Sesekali mengacak-ngacak rambut Harry.

"Draco Malfoy,"

Begitu nama itu terdengar—suara tepuk tangan yang awalnya riuh menjadi sunyi.

Harry mengerutkan kening penasaran, kepalanya ditolehkan mengarahkan dimana sosok Draco Malfoy yang berjalan melewati kerumunan dengan angkuh.

Tatapannya seperti biasa—merendahkan semua orang. Saat sampai di depan, Draco tidak duduk—ia hanya berdiri menunggu Minerva memberikannya topi.

Tapi anehnya—si penyeleksi tidak ditempelkan di atas kepala Draco. Minerva hanya menyodorkan topi itu kepadanya. Jari telunjuk si pirang didekatkan di depan mulut topi tersebut, nyaris bersentuhan.

Alis Draco tertaik mendapati respon topi itu nampak shock.

"Kusarankan kau menutup mulutmu." Bisik Draco menunggu jawaban.

Minerva pura-pura bisu, tak mau mendengar percakapan Draco apalagi aura anak itu yang sangat menusuk.

"—Lord Slytherin.."

Dumbledore membulatkan kedua matanya. Murid-murid dari tahun pertama dan tahun terakhir terkejut, sangat terkejut mendengar langsung keputusan sang penyeleksi.

"Slytherin!"

Tak ada gemuruh tepuk tangan—mereka terlalu enggan menyoraki sosok pangeran es Slytherin. Sebelum Draco meninggalkan tempat—ia menyempatkan untuk menatap Harry. Bibirnya tersenyum licik, kemudian berbalik hendak duduk di meja Slytherin.

Pansy duluan yang memeluk leher Draco, tentu dibalas oleh pelototan Blaise.

"Drake~ Oh honey aku kira aku akan berpisah denganmu." Pansy tersenyum lega.

Draco memeluk pinggang Pansy, menundukan kepala menatap temannya. "Jangan memelukku, Pans. Kau tidak lihat si darah lumpur melihat kita? Dia cemburu," Draco berbisik pelan.

Ketika ditatap Pansy untuk memastikan—Hermione buru-buru mengalihkan pandangannya.

"Kau benar, Drake." Pansy menyelipkan rambutnya ke belakang. "Dia cemburu, lucu sekali."

"Attention please."

Dumbledore Albus berdiri di singgasananya dengan senyuman hangat.

"Selamat datang di Hogwarts dan nikmati makan malam kalian." Katanya menjentikan jari—otomatis makanan mewah sudah berada di depan mata.

Ron meraih sendok dan garpu—menyantap daging kesukaannya rakus.

Besok adalah hari pertama mereka belajar. Harry melirik Severus, memberikan senyum tipis meski Ayahnya langsung menoleh ke arah lain.

Oh.

Bagaimana dengan musuhnya?

Semoga saja tidak mengganggu.

To be continue.

Terima kasih sudah membaca.

Jangan lupa review.

-Leenalytte-