Judul : In Love Again

Ichizenkaze

With : Jeon Jungkook / Kim Taehyung

Park Jimin / Hong Jisoo / Jung Hoseok

Werewolf!Jungkook and Human!Tae

.

This fict will contain some underage love-story, a lot misunderstanding, maybe some smut in the future, and yeah it's older!JK.

.

Happy Reading!

.

.

.

I gave the wolrd

just for you.

.


Jimin berkata, aroma Jungkook itu seperti campuran pinus dan tetes lemon yang diperas. Segar, sekaligus menenangkan. Taehyung selalu mencoba mengendus aktif, ingin ikut menghirup aroma Jungkook yang duduk di sampingnya. Berakhir dengan Jungkook yang menghimpit kepalanya di ketiaknya, dan seruan Taehyung untuk segera melepas kepalanya dengan rengekan yang akan membuat Jungkook menurutinya. Namun, indera manusianya tidak sehebat indera penciuman serigala milik Jimin. Ia juga bilang, aroma Taehyung seperti stroberi, dengan daun mint yang tanggal dan lelehan cokelat. Dan Yoongi beroma seperti pecahan kacang almond dan campuran vanilla, itu yang membuat Jimin suka sekali berdiri di samping Yoongi lalu mendekatkan hidungnya di pundak Yoongi; untuk dapat dihirupnya mesra dan aromanya memenuhi paru-parunya.

Di dunianya. Kaum serigala dan manusia hidup dengan baik dan teratur. Tidak ada pertengkaran yang tidak berguna. Kaum serigala dan manusia seolah ditadikdirkan untuk hidup berdampingan. Taehyung pernah melihat Jimin berubah, dari sosok manusia yang menawan menjadi serigala berbulu cokelat dengan mata abu-abu yang indah. Taehyung pernah mengusap bulu halus Jimin yang mendengking pelan, kemudian melolong senang ketika Taehyung menepuk puncak kepalanya. Tetapi, ia tidak pernah melihat Jungkook berubah, tidak di hadapannya. Walau ketika si lima tahun Kim Taehyung menangis ingin seekor serigala mungil sebagai penemannya, Jungkook tidak jua menunjukkan bentuknya. Ia hanya berbalik menggendong Taehyung dan mendiamkannya dengan pelukan. Mereka yang satu pak dengan Jungkook pernah bercerita jika Jungkook dalam bentuk serigala memiliki bulu hitam yang menyeramkan, dengan mata merah dan bentuk badan tinggi nan besar. Mereka bilang, Jungkook akan menjadi pemimpin mereka. Dan yang tidak bisa ia pikirkan adalah kenapa Jungkook bertahan di sisinya, walau dengan kenyataan jika pemuda itu akan menjadi seorang pemimpin di paknya nanti.

Karena sepanjang yang Kim Taehyung ingat, Jeon Jungkook selalu berada di sisinya.

Pemuda itu begitu teguh berdiri di sampingnya. Ada kapan saja saat Taehyung membutuhkannya. Pelukan Jungkook adalah tempat ternyaman Taehyung menyembunyikan jeritan ketakutannya saat terjadi badai hebat. Jemari mungilnya dapat menemukan kerah kemeja yang Jungkook kenakan dan mencengkramnya tidak mau lepas, bahkan saat badai sudah berlalu dan matahari mulai bersinar Taehyung tetap bergelung dalam pelukan Jungkook.

Yang Taehyung ingat, Jungkook selalu lebih tinggi darinya, ia harus mendongakkan kepalanya saat Jungkook berdiri di hadapannya, ataupun ketika ia duduk di atas sofa dengan Jungkook di sisinya. Ia harus mendongakkan kepala untuk meminta Jungkook menyelesaikan balok rubiknya yang kacau. Jungkook akan tersenyum lembut, mengambil rubik dari tangan mungilnya lalu menyelesaikannya dengan cepat. Taehyung akan berucap huwaaa dengan terpukau, tersenyum lebar hingga Jungkook gemas dan menciumi pipinya yang kurus.

Yang Taehyung ingat, saat ia beranjak remaja dan mulai bersosialisasi dengan teman-temannya, Jeon Jungkook tetap bertahan di sisinya. Pemuda itu kukuh mengantarkan Taehyung ke bioskop atau teater, tempat biasanya ia menghabiskan waktu bersama Jimin dan Jisoo. Atau saat Taehyung harus pulang malam setiap hari selasa untuk esktrakulikuler sepak bola, Jungkook akan setiap menunggunya di gerbang sekolah, senyuman menawan terbentuk di wajahnya saat melihat sileut tubuh Taehyung menghampirinya.

Pemuda berambut hitam itu kini tengah duduk di kursi meja makannya, mata tekun membaca koran dengan segelas kopi hangat di jemarinya. Mulutnya sibuk mengunyah fettucini buatan Nyonya Kim dengan campuran saus tuna yang nikmat. Taehyung meletakkan tasnya di bawah kursi, menggumamkan selamat pagi lalu mengambil karton susu kemudian menuangkannya ke dalam gelas.

"Pagi," Jungkook membalas sambil menurunkan korannya, tersenyum manis lalu melipat korannya kemudian menaruhnya di sisi kursinya yang kosong.

"Hai," Taehyung menyapa, mengunyah roti gandungnya tanpa selai sembari mengangkat tangan.

"Pulang malam lagi hari ini?" tanya Jungkook. Ia mendorong botol selai stroberi, semenjak pemuda itu sangat tahu kesukaan Taehyung akan buah masam-manis itu.

"Hm," Taehyung mengangguk, ia mengambil pisau buah dan meraup banyak selai stroberi lalu mengolesinya ke atas roti gandumnya.

"Aku jemput."

"Aku bukan anak kecil lagi, astaga. Aku bisa pulang sendiri." Gerung Taehyung lucu sambil memasukkan roti ke dalam mulutnya, mengunyahnya lamat-lamat. Ia mengolesi banyak-banyak roti gandum di atas piringnya dengan selai, merasakan giginya ngilu membayangkan dia harus memakan roti penuh selai itu nantinya. "Aku bisa pulang bersama Jimin dan Jisoo."

"Jimin pasti akan pulang bersama Yoongi-hyung,"

"Bersama Jisoo kalau begitu."

"Seungcheol tidak akan membiarkan kekasihnya pulang tanpa dirinya."

Taehyung mengerang sambil mengunyah rotinya, menyesap asamnya selai stroberi yang bertahan di lidahnya. "Aku biarkan Hyung menjemputku dengan satu syarat." Taehyung mengangkat satu jarinya yang lengket oleh selai.

"Es krim?" tebak Jungkook sambil menyesap kopinya.

"Double Cone?" tantang Taehyung, menatap Jungkook dengan mata berharap yang tidak akan pernah bisa ditolak Jungkook.

Jungkook mengerutkan kening seolah berpikir, senang sekali melihat raut cemas di wajah Taehyung. Walaupun rasanya itu tidak diperlukan, Jungkook akan menuruti apapun kemauan Taehyung.

"Call,"

Taehyung menahan jeritan senangnya, memberikan ibu jarinya dengan cengiran lebar khasnya yang berbentuk rectangle. Ia menjilat jari telunjuknya yang lengket akan selai saat Nyonya Kim datang dengan membawa sepiring penuh fettucini dengan saus tuna di atasnya yang menyengat penciuman Taehyung.

"Selamat pagi, ma boy." Nyonya Kim mengecup pelipis Taehyung, menyajikan banyak fettucini di atas piring lalu menaruhnya di hadapan Taehyung, mendorong halus roti penuh selai stroberinya. "Mau tambah, Jungkook-ah?" tawar Nyonya Kim melihat fetuccini di piring Jungkook yang tinggal setengah.

"Tidak usah, Ma." Jungkook tersenyum, menggeleng.

"Di mana sopan santun putraku?" Nyonya Kim menatap Taehyung yang tengah menjilati jari tangannya dengan mata sebal. "Kau melakukannya di depan Jungkook, Sayang." Nyonya Kim duduk di kursi utama di ujung meja makan, mengambil kotak tisu dan memberikannya pada Taehyung.

"Lalu kenapa?" Taehyung mengambil banyak tisu lalu mengusap jari-jarinya.

"Tidak takut Jungkook akan berpaling dan mencari seseorang yang jauh lebih beradab saat makan?"

"Heh," Taehyung membuang gulungan tisu, melemparnya tepat ke dalam tempat sampah. "Jungkook-hyung pernah bilang ia suka melihatku makan,"

"Hm," Jungkook mengangguk menyetujui. "Taehyung seperti anak kecil saat makan. Lucu sekali."

"Jadi kau bisa mengusap mulutnya dengan tisu begitu?" tanya Nyonya Kim sambil tertawa kecil melihat kelakuan dua pemuda di hadapannya.

Jungkook menanggapinya dengan senyuman lebar yang dihadiahi elusan lembut di kepalanya oleh Nyonya Kim. "Butuh bawa bekal, sayang? Hari ini kau latihan sepak bola, 'kan?" Nyonya Kim mengambil satu kotak gula lalu memasukannya ke dalam tehnya yang mengepul samar.

Taehyung menggeleng, "aku sudah janji dengan Jimin dan Jisoo untuk makan siang di kedai ramen langganan Jisoo." Jawabnya sambil mengambil tisu dan mengusap mulutnya.

Nyonya Kim memasang wajah terkejut yang menyenangkan. Melirik Jungkook yang matanya terpaku pada Taehyung tanpa terkecuali. "Kapan-kapan ajak Jimin dan Jisoo mampir, aku akan menyiapkan masakan yang lebih enak dari kedai ramen langganan Jisoo." Nyonya Kim menyesap tehnya dengan mata berkilat jahil.

Taehyung tertawa, "kalau Mama menyiapkan fettucini lagi, aku rasa mereka akan berhenti menjadi temanku."

Kini, Nyonya Kim yang tertawa, "anak nakal," ia menjewer telinga Taehyung yang tengah mengunyah makannya dengan taat, meminta ampun sambil menelan makanannya pada ibunya yang hanya bisa tersenyum melihat putranya yang sekarang tumbuh semakin besar. "Putra Mama tujuh belas tahun dua bulan lagi." Nyonya Kim kini berbalik mengelus rambut Taehyung. "Rasanya baru kemarin Mama melihatmu belajar berjalan. Tiga langkah pertamamu kau terjatuh dipelukan Jungkook."

"Dia mungil sekali waktu itu." Jungkook angkat suara. Matanya penuh akan kenangan.

Taehyung berdiri sambil terkekeh, "dua bulan lagi aku tujuh belas tahun dan siap untuk merasakan soju kemudian mencari pacar!" Taehyung tidak melihat raut wajah Jungkook yang tiba-tiba berubah mendengar ucapannya, juga tidak melihat wajah panik mamanya yang berdeham keras. Taehyung menarik ranselnya hingga naik dan terkait di pundaknya lalu mengecup pipi ibunya. "Aku berangkat!"

"Heh, tidak diantar Jungkook?" ibunya berteriak, menepuk punggung Taehyung saat pemuda itu membungkuk untuk mengecup pipinya.

"Aku bukan anak kecil!" Taehyung balas teriak setengah sebal, menghentikkan kakinya di lantai lalu membuka pintu dengan gusar.

Nyonya Kim menatap tak percaya ke arah Jungkook. Jungkook tertawa kecil. "Aku akan kejar dan paksa dia masuk mobil." Ucap Jungkook, merogoh kunci Audinya dari saku jaketnya.

"Jaga dia," peringat Nyonya Kim lembut, menepuk lengan Jungkook saat pemuda itu mengecup pipinya.

"Selalu,"

.

.

.

"Jungkook-hyung,"

"Apa?"

Si sepuluh tahun Taehyung bangkit duduk dari trampolin, mengakibatkan tubuh Jungkook yang tengah berbaring bergetar pelan menerima pergerakan Taehyung. Pemuda itu menumpu siku pada pahanya, menyangga dagunya dengan telapak tangan dan mata menatap curiga pada Jungkook.

"Aku ingin menjadi keren seperti Hyung." Taehyung berucap dengan pasti. Raut wajahnya menyimpan keteguhan. Ujung lengan baju Taehyung yang panjang menyembunyikan jari-jarinya dari udara dingin. Poni panjangnya yang menutupi alis dan menusuk kelopak matanya tersapu angin, mengirimkan aroma shampo stroberi yang manis."Kau hebat dalam olahraga. Mampu berlari sepanjang satu kilometer dalam tiga menit. Kau menahan nafasmu lebih dari dua menit di dalam air. Kau selalu membantu Mama membenarkan pintu kamar mandi yang rusak. Kau bisa mengganti lampu bolham kamarku yang konslet. Bisa juga membenarkan mobil Mama yang mogok. Kau bahkan bisa memasak Spagetti lebih enak dari Mama." Taehyung menghembuskan nafas. Matanya mengantuk luar biasa. Semilir angin yang berhembus seakan menyanyikan lagu tidur yang menyenangkan. "Kenapa kau lahir menjadi sekeren itu?"

Jungkook menoleh, "Siapa bilang Taehyungie tidak keren?"

"Aku tidak bisa lari secepat, Hyung!" adunya kesal. Ia mulai berbaring kembali, kini di samping Jungkook, dekat sekali dengan hembusan nafas Jungkook yang tenang. "Saat lomba lari, Jimin yang selalu menang. Aku juga ingin menjadi serigala!" teriaknya imut dan penuh kantuk.

Jungkook terkekeh kecil, mengangkat kepala Taehyung untuk menyelipkan lengannya agar Taehyung dapat bersandar. Mata mengantuk Taehyung semakin meredup.

"Taehyungie sudah keren, kok." Gumam Jungkook pelan, membuat Taehyung memajukan bibirnya sebal, sudah ingin membela diri namun Jungkook mendahului. "Taehyung selalu patuh pada Mama dan menjadi anak baik, itu sudah keren. Taehyung selalu belajar dan tidak mengecewakan Mama, itu sudah sangat sangat keren. Apalagi saat Taehyung menurut untuk tidak keluar malam karena itu berbahaya, Taehyung sangat keren! Hyung ingin menjadi seperti Taehyungie."

"Tapi, aku ingin menjadi serigala juga." Taehyung bergumam setengah mengantuk. "Aku ingin sehebat Jimin, dan Jungkook-hyung. Hyung selalu menjagaku, aku juga ingin menjagamu."

Jungkook memandang Taehyung yang kini sudah memejakan mata dengan deru nafasnya yang teratur. Pemuda itu secantik malaikat saat tertidur. Jari Taehyung refleks mencengkram ujung kaus yang dikenakan Jungkook, seolah sebagai perisainya dalam mimpi buruk.

Jari Jungkook mengusap pelipis Taehyung, membelai wajahnya dan menguatkan diri jika di sini, di hubungan ini, hanya Jungkook yang diijinkan untuk menjaga Taehyung, apapun yang terjadi.

.

.

.

Mungkin usia tujuh belas tahun belum bisa membuat Taehyung paham dengan eksistensi Jungkook yang selalu berada di sisinya. Si kecil Taehyung mungkin menyukai keberadaan Jungkook yang setia di sisinya, seolah mempunyai seorang penjaga, seorang perisai. Seorang yang akan bergerak maju dan membela Taehyung habis-habisan, yang selalu menggeram marah pada teman-teman yang menganggunya sehingga mereka lari ketakutan. Si kecil Taehyung sangat menyukai itu semua. Namun si hampir-tujuh-belas-Taehyung terkadang gerah, bosan luar biasa karena melihat wajah Jungkook terus-menerus. Pemuda itu bisa di mana saja, duduk manis di meja makannya untuk menyantap sarapan buatan Mamanya, menonton televisi di ruang tengah dan memainkan Wii miliknya dengan leluasa, berdiri beriringan dengan ibunya di depan kompor dan membicarakan tentang resep masakan, atau berbaring di atas tempat tidur Taehyung tanpa beban. Taehyung terkadang ingin bertanya, meminta penjelasan kenapa Jungkook selalu menempelinya seperti lem. Terhitung hanya di sekolahnya saja Jungkook tidak berada di dekatnya, selebihnya Jungkook selalu mengikuti langkah Taehyung kemanapun. Kelewat posesif semenjak Taehyung mulai menginjak usia remaja.

"Jimin bekerja part-time?" Jungkook bertanya, duduk di hadapannya dengan segelas kopi hitam yang beraoma pekat. Jungkook sangat suka kopi.

"Ulang tahun Yoongi-hyung tiga bulan lagi. Jimin ingin memberinya hadiah dengan uangnya sendiri, semenjak Yoongi-hyung benci sekali melihat Jimin menghabiskan uang orang tuanya untuk hal-hal seperti itu." Taehyung mengemut sendok plastik di genggamannya, lelehan es krim coklat dengan taburan oreo yang manis bertemu di lidahnya.

"Tentang hadiah," Jungkook menyesap kopinya sebelum melanjutkan. "Minggu depan ulang tahunmu. Mau hadiah apa dariku?"

Taehyung melebarkan bola matanya semangat. "Hyung pasti menyesal sudah menanyakan keinginanku."

Jungkook mengulum senyuman sambil menggeleng, lengannya terulur untuk mengusap remah es krim yang menodai sudut mulut Taehyung.

"Traktir aku Häagen-Dazs selama satu bulan," Taehyung mengeluarkan permintannya dengan mata berharap.

"Lalu setelah itu Mama mencopot semua gigiku," Jungkook memutar bola matanya malas. "Yang benar saja, KimTae. Kau sudah tujuh belas, bukan lima tahun."

"Siapa bilang es krim hanya untuk anak kecil?" Taehyung merenggut, gagang sendok plastik menggantung di bibirnya dengan mata memohon yang sangat imut.

"Uh, jangan tatap aku seperti itu." Jungkook menunjuk mata memohon Taehyung gusar. "Aku tidak akan tergoda. Berhenti."

"Jungkookie-hyuuuuung, jebal?" Taehyung tahu rayuannya selalu berhasil, apalagi pada Jungkook. Bibirnya melengkung ke bawah dengan tangan menggenggam gagang sendok plastik dan terlihat begitu terluka, seolah Jungkook baru saja menyakiti perasannya. "Aku tidak akan bilang pada Mama, aku berjanji!" Ia mengangkat tangannya sungguh-sungguh.

Jungkook menggigit bibirnya tidak tahan, "Arasseo," gumam Jungkook akhirnya dengan setengah tidak rela. Ia selalu terperangkap pada permainan Taehyung yang sialnya selalu membawa keimutannya yang mutlak dan tidak bisa Jungkook bantah sedikitpun. "Häagen-Dazs untuk satu bulan,"

Taehyung menahan jeritan senangnya, mengulurkan lengannya dengan jemari bergerak-gerak aktif seolah ingin mencengkram Jungkook. "Aku sayang Jungkook-hyung! Kau yang terbaik!"

"Aku benar-benar menyesal menanyakannya," gumam Jungkook main-main yang dihadiahi tendangan dari Taehyung di tulang keringnya.

Dan Taehyung mengerti satu hal, tidak ada yang bisa mengerti dirinya seperti Jungkook. Sepanas apapun perkataan yang hinggap di ujung lidahnya, kegusaran ditiap lamunanya sebelum tidur, mengira kenapa Jungkook begitu kukuh berdiri di sampingnya. Ia tidak bisa mengutarakannya pada Jungkook. Taehyung hanya takut, tidak ada yang bisa mengerti dirinya sebagaimana Jungkook melakukananya,

.

.

.

"Mata Hoseok-sunbae bisa-bisa jatuh keluar dan menggelinding menabrak ujung sepatumu jika ia tidak berhenti menatapmu dari tiga puluh menit lalu." Jimin berbisik di samping Taehyung. Suaranya mampu di dengar oleh Jisoo yang duduk di hadapan mereka berdua dengan mulut sibuk mengunyah potongan kimchi pedas yang sangat disukainya.

Taehyung melirik, menangkap sosok Hoseok dengan ujung matanya yang tengah berbincang asik dengan Namjoon. Pemuda itu melipat tangan di depan dada dan mata tertuju padanya, membuat jantung Taehyung seakan terbalik karenanya.

"Sudah simpan nomornya?" tanya Jisoo, sudut mulut Jisoo menyimpan saus toppoki yang kini ia lahap. Jimin menggerutu tentang cara makan Jisoo yang hampir serupa dengan Taehyung. Mereka selalu menyediakan satu kotak tisu di tengah meja makan mereka. Semenjak di antara mereka bertiga, terdapat dua pemuda yang sangat kanak-kanak saat menyantap makanan.

"Sudah," Taehyung tersenyum lebar, ia mencengkram ponselnya dengan ceria. "Kami bertukar pesan semalam."

"Woah," Jimin berseru heboh, gatal melihat mulut Jisoo yang bernodakan saus lalu mengambil berlembar tisu dan mengusapnya gemas ke sudut mulut Jisoo.

"Jadi bagaimana?" Jisoo menatap antusias pada Taehyung. "Bertukar pesan apa saja semalam?"

Mata Taehyung kembali bersinar, ia menggigit bibirnya menggemaskan dengan wajah bahagia yang lucu. "Aku mengundangnya datang ke ulang tahunku—uh ulang tahun kita maksudnya. Tidak apa-apa, 'kan?"

Taehyung dan Jisoo berbagi ulang tahun di hari yang sama. Tiga puluh desember tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh lima. Di tengah musim dingin dan nyanyian natal yang masih hangat, juga semarak tahun baru yang semangat. Jisoo terlahir di tanah Ibunya di Amerika, sedangkan Taehyung berada di rumah sakit pusat kota Daegu. Taehyung seperti menemukan kembarannya, apalagi dengan sikap dan tingkah laku Jisoo yang terkadang begitu mirip dengannya.

"Tentu saja," Jisoo menyahut, "aku juga akan membawa banyak teman."

"Apa aku boleh bawa banyak temanku juga?" sela Jimin setelah sibuk dengan ponselnya beberapa menit. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya lalu menyantap makannya.

"Kau boleh bawa keluarga Yoongi-hyung dan lamar dia saat itu juga," Taehyung berucap serius.

"Ide bagus." Jimin terkekeh lucu. Mendapat tendangan di kakinya dari Taehyung dan juga Jisoo bersamaan. "Bercanda astaga. Aku akan lamar Yoongi-hyung lebih romantis dari itu. Omong-omong, kau undang Jungkook-hyung juga kan?"

Taehyung tidak paham kenapa ia berhenti mengunyah makanan di mulutnya saat nama Jungkook terucap dari bibir Jimin. Ia melanjutkan kunyahannya sambil mengangguk. "Tentu saja. Dia janji memberiku hadiah traktiran satu bulan di Häagen-Dazs."

Jisoo menatap Taehyung iri, menggenggam sumpit di jarinya dengan gamang. "Kukira kau … dengan …Jungkook-hyung… yeah." Jisoo menunjuk samar tanda di leher Taehyung, berdenyut ketika jari Taehyung menggapainya lalu mengusapnya pelan. Tanda itu selalu berdenyut lirih saat Taehyung mengusapnya, dan seketika senyuman Jungkook singgah di pelupuk matanya.

Taehyung menggeleng pasti. "Dia hanya teman, lebih pada seorang kakak." Ucapannya terasa pahit. Taehyung menenggak minumannya untuk menghilangkan kepahitan yang tinggal di ujung lidahnya. "Dia melakukan ini hanya untuk melindungiku. Jangan berpikir macam-macam!" Ia menunjuk lehernya dan membuat Jimin dan Jisoo mengeluarkan nafas mengerti.

"Jungkook-hyung juga berpikir seperti itu?" kini Jimin yang bertanya. "Maksudku, dia hanya menganggapmu sebagai seorang adik dan teman?"

Taehyung membersit. Tidak. Jungkook tidak pernah berkata apapun dengan status mereka. Ia hanya selalu berada di sisi Taehyung tanpa kenal waktu. Taehyung jelas-jelas menampik raut lembut di wajah Jungkook saat mereka bersama, atau tatapan halusnya ketika menatapnya. Taehyung hanya tidak mau mengakuinya.

"Aku rasa begitu."

"H-hei." Jisoo mencengkram lengan Taehyung. "Hoseok-hyung berjalan ke sini."

"Apa!" "Apa!"

Jimin dan Taehyung berucap bersamaan, bersiap menoleh namun tertahan suara Jisoo.

"Jangan menoleh!"

Jimin dan Taehyung kaku di tempatnya, padahal Jimin sudah gatal sekali ingin menoleh dan memberikan Hoseok cengiran jahil yang pasti mampu membuat kakak tingkat mereka itu salah tingkah.

"Hai,"

Hoseok tiba di samping meja, aroma parfumnya yang manis membuat Taehyung kelaparan akan manisnya donut serta taburan almond tipis di atasnya. Taehyung mengangkat kepalanya menatap Hoseok dan menahan senyuman idiot yang mendobrak ingin terbentuk di wajahnya. Jisoo berdeham jahil dengan siulan Jimin yang kelewat kurang ajar.

"Hai, Hoseok-hyung!" Jimin yang balas menyapa, tersenyum lebar dan memberi cubitan di lengan Hoseok. Jimin dan Hoseok tergabung dalam klub dance yang sama dan dari Jimin jugalah Taehyung bisa mendapatkan nomor ponsel Hoseok dan bertukar pesan semalam. Hoseok tertawa ceria, memukul bisep Jimin main-main lalu meletakkan telapak tangannya di pundak Jimin, terlihat sekali gugup setengah mati.

"Hoseok-hyuuung." Jisoo memanggil diiringi suara manisnya yang lucu. Menyenggol kaki Taehyung di bawah meja sambil mengedikkan kepala ke arah Hoseok. "Kudengar kalian berdua bertukar pesan semalam."

"Haish, mulutmu Hong Jisoo." Gerutu Taehyung, ia gatal ingin mencekik leher kurus Jisoo dengan jarinya. Bergumam tentang ingin menjejeli mulut Jisoo dengan kimchi saat pemuda itu tidur.

"Benar," Hoseok mengiyakan dengan cepat. "Acaranya jam tujuh malam, 'kan?"

"Iyaaa," Taehyung yang menjawab, ia melayangkan senyuman manis yang dibalas Hoseok tak kalah manis. "Hoseokie-hyung datang kaaan?"

"Tentu," melewati kepala Jimin, lengan Hoseok bergerak menggasak rambut mangkuk Taehyung dengan gemas. "Menurutmu aku punya pilihan lain?"

"Taehyung akan ngambek dan mogok bicara denganmu jika kau tidak datang." Jimin meringis saat Hoseok meremas pundaknya berkali-kali. Ya, Tuhan. Dia benar-benar gugup menghadapi Taehyung.

Hoseok memasang wajah terluka, "aku mana bisa tahan mogok bicara dengan Taehyung."

"Tapi Taehyung saat ngambek itu sangat imut, Hyung. Kau harus melihatnya." Jimin berucap, mendapat cubitan sebal di perut kotak-kotaknya dari Taehyung yang duduk di sisinya.

"Dia akan pura-pura tidak melihatmu saat berpapasan," tambah Jisoo.

"Dan tidak mau mengangkat telpon juga membalas pesanmu." Jimin menambahi.

Hoseok tertawa, mendengarkan dengan patuh ketika Jisoo dan Jimin membuka berbagai macam rahasia Taehyung yang membuat pemuda itu menggerung marah sambil mencoba menghentikkan Jisoo dan Jimin.

"Apa aku harus membuatnya ngambek?" tanya Hoseok main-main. Jemarinya sudah tidak meremas pundak Jimin lagi. Terlihat begitu terpana pada Taehyung.

"Aku akan hapus nomor Hoseok-hyung." Ancam Taehyung begitu lucu.

"Jangan lakukan itu," Hoseok membentuk senyuman sedih, entah itu nyata atau hanya di pandangan Taehyung. "Nanti Hyung bertukar pesan dengan siapa lagi jika Taehyung menghapus nomorku?"

"Bertukar pesan denganku saja, Hyungnim." Jimin menunjuk dirinya sendiri dengan bangga.

"Mana mau," jawab Hoseok sambil melengos. "Kau cukup bertukar pesan dengan Yoongimu saja, oke?" Hoseok tertawa melihat wajah sebal Jimin dan mengusap puncak kepala Jimin bersahabat, "Oh, dan Tae. Nanti mau pulang bersama?"

Taehyung yakin ia hampir menjerit saat menjawab anggukan persetujuan atas ajakan Hoseok.

.

.

.

Sudah tiga hari berturut-turut Taehyung membiarkan Hoseok mengantarnya pulang. Mentraktirnya es krim di kedai langganannya setiap sore sembari bermain game di smartphone mereka dengan heboh dan berisik. Taehyung suka mendengar tawa Hoseok yang menyenangkan, Taehyung suka sikap lembut Hoseok yang mengusap ujung bibirnya dengan tisu, Taehyung suka ketika Hoseok memandangnya dengan penuh binar cinta di matanya.

Taehyung berdebar. Tidak bisa lagi dipungkiri.

Taehyung juga membiarkan dirinya terlelap di pundak Hoseok setelah sesi latihannya dengan klub sepakbola usai. Menyandarkan kepalanya di pundak Hoseok dengan tenang diiringi hembusan angin sore dan siulan kurang ajar Jimin dari jauh. Taehyung tidak bisa berhenti senyum, mengontrol degup jantung berisiknya yang kalut juga tangannya yang dingin saat jemari Hoseok menggapai miliknya lalu menggenggamnya begitu lembut.

Hoseok sangat hangat. Jarinya. Pundaknya. Hembus nafasnya, serta kegugupannya begitu dengan tidak tega membangunkan Taehyung dari tidurnya karena lembayung senja yang semakin turun dan membuat segalanya menjadi gelap. Hoseok menggenggam tangannya saat mereka berjalan beriringan menuju parkiran, diiringi candaan manisnya dan jarinya yang tidak bisa berhenti menyisiri rambut Taehyung yang berantakan.

Yang Taehyung tidak pernah kira adalah keberadaan Jungkook di pintu masuk sekolahnya. Kemeja hitam keluar dari lingkar jinsnya, sepatu timberland merah serta jaket bomber yang semakin membuat postur tubuhnya lebih tegap dari biasanya. Taehyung gelagapan melepaskan jari Hoseok, memberikan senyuman maaf, menepuk punggung Hoseok dan berkata akan menghubunginya nanti malam lalu berlari ke arah Jungkook; yang masih melekatkan matanya ke arah genggaman Taehyung dan Hoseok yang sudah terlepas.

Ada percik amarah ketika Taehyung masuk ke dalam Audi Jungkook. Menyibukkan diri memainkan ponselnya dan tahu bahwa Jungkook mencengkram stirnya terlampau erat. Mata kacau membelah jalan raya dengan hembus nafas gusar yang membuat Taehyung menggigit bibirnya bersalah.

"Siapa tadi?" Jungkook bertanya diantara gerit giginya yang beradu.

"Hanya teman," gumamnya. "Dia seniorku, kami satu klub."

"Aku tidak pernah melihatnya berlatih," balas Jungkook, alisnya bertautan penuh tanya.

"Dia baru masuk klub sepak bola seminggu lalu," jelas Taehyung. "Kenapa?" Ia memberanikan diri menolehkan wajahnya untuk merekam ekspresi Jungkook.

Jungkook menggeleng lebih gusar, membelokkan mobilnya diiringi helaan nafas sebal dan menolak menyuarakan kegelisahannya.

"Aku cemburu."

.

.

.

"Um," Taehyung merunduk gugup, memainkan lengan ranselnya sembari menggigiti bibirnya perih. "A-aku ada acara dengan Jimin dan Jisoo."

Taehyung tidak mengerti kenapa ia berbohong. Ia tidak mampu mengangkat wajahnya dan menatap Jungkook.

"Kami makan di salah satu kedai ramyun baru di pojok jalan," ucapnya cepat. "Aku lupa mengabari Hyung."

"Oke," Jungkook membuka suara. Lengannya terulur, ibu jari menyapa dagu Taehyung lalu mengangkat wajah Taehyung hingga berhadapan dengannya. "Kenapa menolak menatapku?"

"A-aku takut kau marah," gagap Taehyung, mencoba melepaskan jari Jungkook di dagunya. "Aku tidak suka melihat kau marah."

Jungkook pernah marah, satu kali, ketika Taehyung lupa mengabari Jungkook jika ia singgah di rumah Jimin setelah sekolahnya usai. Ia baru pulang pukul sepuluh malam, dengan sosok Jungkook berdiri di depan pintu rumahnya penuh amarah dan tatapan tajam yang menghunus. Ia tidak suka sikap dingin Jungkook yang menyuruh Taehyung meminta maaf pada Ibunya karena lupa mengabari, dan menitahkan Taehyung untuk tidur setelahnya. Ia tidak suka diamnya Jungkook untuk seminggu kemudian, lelehnya sikap Jungkook adalah karena tangisan Taehyung yang berisik, berdeguk meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kelakuannya dan diakhiri dengan usapan Jungkook di kepalanya teramat lembut serta bisikan akan maafnya yang diterima.

"Kau sudah mengabari Mama," Jungkook bersuara tenang dan tidak menyiratkan amarah sama sekali. "Setidaknya beritahu aku atau Mama jika kau ada acara, maka semua beres."

"Oke," Taehyung menggigit bibirnya kelu. Mencoba mengangkat pandangan dan menatap mata Jungkook yang hangat. "Aku pergi mandi dulu kalau begitu,"

Jungkook mempersilahkan. Membiarkan Taehyung melewatinya, dan saat itulah hidungnya mengendus aroma lain. Ia sudah menyadarinya, ia hanya mengira itu campuran aroma Jimin ata Jisoo yang sering kali melekat terlalu lama di sisinya Taehyung. Namun ini berbeda, aromanya tidak seperti Jimin yang penuh akan amber dan kopi, juga buka aroma Jisoo yang semanis gulali dan potongan kiwi. Bukan, ini bukan mereka berdua. Jungkook refleks mencengkram lengan Taehyung, membawa hidungnya mendekat ke pundak Taehyung yang menatapnya bingung.

Chamomile. Ia kembali menghirupnya, dan parfum beraroma manis, seperti permen karet, butiran coklat di atas donut. Jungkook mengeratkan cengkramannya. Membawa wajah Taehyung mendekat dan melesakkan hidungnya ke perpotongan leher Taehyung. Pemuda itu berontak, mencoba melepaskan cengkraman Jungkook dengan kuat.

Masih lemon. Masih aromanya. Masih dirinya. Jungkook mengeluarkan nafas gemetar yang penuh ketakutan.

"J-Jungkook-hyung!" teriak Taehyung sebal, "Kau mencengkram lenganku terlalu kuat." Cicitnya sebal.

Jungkook mengeratkan dagunya kaku, "Bertemu siapa?" tanyanya perih. Tenggorokannya sakit akan prasangka buru. Taehyung diam beberapa saat. Tidak mampu menjawab. "Aku tanya, bertemu siapa? Kau tidak bersama Jimin dan Jisoo, kan? Jujur padaku."

Mata Taehyung penuh air mata. Bibirnya bergetar. Ia menjilatnya penuh sebelum hentakannya berhasil membuat cengkraman Jungkook terlepas.

"Itu urusanku. Aku bertemu dengan siapa saja itu urusanku!" teriaknya membela diri.

"Jawab aku." Jungkook menekan kata-katanya dengan tajam. "Bertemu siapa?"

"Orang yang kusuka!" Taehyung meluapkannya dengan tiba-tiba. "Aku menyukainya semenjak aku di tingkat satu. Dia seorang Alpha juga. Dia baik. Dia tidak berniat buruk apapun selain mengajakku makan lalu mengantarku ke rumah. Dia baik! Berhenti bersikap kau satu-satunya orang yang bisa menjagaku!" dan ucapan itu menusuk Jungkook, yang menyipitkan mata dengan leher tercekik panas.

Bayang pemuda yang pernah dilihatnya bersama Taehyung menusuk ingatannya. Jari mereka yang bertautan manis, lalu senyuman yang dilayangkan Taehyung begitu manis, Jungkook tahu ia cemburu. Ia cemburu keras, tidak bisa ditampik lagi. Paru-parunya mendidih memikirkan Taehyungnya bersama orang lain. Otaknya tumpul membayangkan Taehyung tersenyum semanis itu untuk orang lain.

"Kau tidak boleh menyukai orang lain, Taehyung-ah!" geram Jungkook penuh amarah.

"Lalu apa?! aku harus menyukaimu?!" Alis Taehyung bertaut sebal. "Aku selalu berpikir ini menyeramkan. Ini menyeramkan! Kau selalu berada di sisiku itu menyeramkam! Kau bersikap seolah-olah hanya kau yang bisa melindungiku itu menyeramkan! Jimin bisa melindungiku! Hoseok-hyung bisa melindungiku! Jadi berhentilah bersikap kau satu-satunya yang bisa. Ini menyeramkan, Hyung." Suara Taehyung getir, ia menyimpan amarah di bola matanya. "Aku selalu bertanya-tanya kenapa kau begitu terobsesi padaku. Kau terlalu protektif. Aku tidak selemah itu. Aku selalu heran kenapa Ibu selalu memintamu untuk menjagaku. Aku sudah tujuh belas tahun! Aku sudah dewasa!"

Amarah Jungkook surut seketika, bercampur menjadi ketakutan yang menghimpit. Dadanya hancur. Nafasnya tidak berfungsi. Ia mencoba menarik lengan Taehyung, namun pemuda itu menolaknya. Ia menjauh. Ia beringsut mundur hingga punggungnya menyentuh dinding. Teramat jelas ingin Jungkook tidak menggapainya.

"Bukan kau yang tidak bisa hidup tanpaku, Taehyung-ah." Suara Jungkook lemah, seiring dengan hembus nafasnya yang penuh akan ketakutan. Ia mengepalkan jarinya. Sadar jika tidak bisa membawa Taehyung ke pelukan. Sadar jika pemudanya itu tengah mencerna kata-kata yang tengah ia katakan.

"Aku," bisik Jungkook semakin lemah. Tarikan nafasnya tercekik penuh kesakitan. "Aku yang tidak bisa hidup tanpamu."

.

.

.

Taehyung mengira, ia akan mendapati Jungkook duduk di ruang makannya seperti sedia kala. Ia akan melihat Jungkook yang membaca koran dengan tenang dan segelas kopi yang mengepul hangat di hadapannya. Taehyung mengusap matanya, untuk menyadari jika tidak ada Jungkook di sana. Tidak ada sosok jangkungnya duduk di ruang makannya dengan tenang sembari mendengar ocehan Ibunya tentang pekerjaannya.

Perkelahian mereka semalam menyisakan Taehyung yang berdiri terkejut dengan ucapan Jungkook, dan dengan pemuda itu yang begitu saja pergi. Jungkook biasanya menginap di rumahnya. Sepanjang yang Taehyung ingat, Jungkook selalu tertidur di kamar tamunya, atau tertidur pulas di sofa di ruang tengahnya dengan televisi menyala dan segelas bir di atas meja. Jungkook tidak pernah tidur di samping Taehyung kecuali Taehyung yang memintanya. Semenjak Taehyung beranjak dewasa, Jungkook tidak pernah memaksa menyentuhnya jika Taehyung tidak ingin. Ia memberikan garis batasan yang nyata sekali, dan tidak sedikitpun melewatinya. Ini adalah pertengkaran mereka yang terhebat. Taehyung biasanya menurut pada Jungkook, ia tidak bisa membantah ucapan Jungkook. Namun, semalam ia berbicara begitu kurang ajar. Dan, entah kenapa ia begitu ingin Jungkook menjauh darinya.

Maka, pagi itu. Selama ia bernafas, ia tidak melihat Jungkook di rumahnya. Ia menyeret langkahnya untuk duduk di kursi makan. Terbiasa menatap Jungkook yang duduk di hadapannya, tersenyum lembut lalu melayangkan sapaan pagi. Taehyung merapatkan bibirnya, mencoba untuk tidak menangis.

"Selamat pagi," Ibunya menyapa, mengecup pelipis Taehyung yang masih terdiam. "Mau fettucini?" tawar Ibunya dengan nada ramah yang tidak biasa.

Taehyung diam. Ia merunduk. Dadanya terhimpit perih. Tangisannya tak kuasa untuk tertahan.

"Mama mendengarnya semalam," Ibunya duduk di sisinya, mengusap pundak Taehyung kemudian turun untuk mencengkram jari Taehyung. "Mama tidak bermaksud mendengarnya. Mama hanya terkejut kalian bertengkar sehebat itu. Mama juga baru tahu ternyata Taehyung berpikiran seperti itu selama ini." Kini, usapan Ibunya naik menuju rambutnya "Menurutmu Mama membiarkan begitu saja Jungkook untuk bertahan di sisi Taehyungie? Menurutmu Mama tidak memikirkannya beribu kali?"

Taehyung semakin merunduk. "Di malam pertama Mama melihat Jungkook adalah satu tahun setelah kau lahir ke dunia ini. Dia masih seperti itu. Rambut hitam legam. Tatapan mata tajam. Berdiri di hadapan rumah dengan mata penuh kesungguhan. Ia menatap Mama, lalu berkata…" Ibunya berhenti sesaat. "Mulai sekarang, aku yang akan menjaganya."

Ibunya menarik nafas, menepuk-nepuk punggung tangan Taehyung dengan tabah. "Dia kemudian bercerita, dia melihat Taehyungie saat sedang duduk di taman seorang diri. Ibu saat itu tengah membeli makanan, menitipkanmu pada seorang Ahjumma, namun Ahjumma itu meletakkanmu begitu saja di kursi taman. Ia bercerita, mainanmu terjatuh, kau menangis keras, kemudian dia menghampirimu, mengambil maninanmu yang terjatuh, dan memberikannya padamu. Ketika ia menatapmu, ia bisa melihat seisi dunia. Ketika ia bersamamu, ia seakan menggenggam seluruh semesta. Itu terjadi begitu saja. Ikatan itu terjadi begitu saja. Ia terikat padamu, Taehyung-ah. Ia tidak bisa jauh darimu. Ia bersumpah akan menjagamu, dan dia melakukannya dengan teramat baik. Mama mengenalnya hampir tujuh belas tahun, dan cinta di matanya tidak berubah sedikitpun."

Punggung Taehyung bergetar, ia menangis. Ia menyesali ucapannya. Hatinya perih. Tenggorokannya sakit. Ia tidak mampu berucap.

"Kau bertanya, kenapa dia selalu di sisimu setiap saat?" Ibunya menarik nafas, memberikan jawaban yang membuat Taehyung semakin tenggelam dalam penyesalan. "Karena dia harus berada di sisimu, Sayang. Sebelum kau menerimanya menjadi pasanganmu, dia harus berada di sisimu setiap saat. Taehyungie akan berumur tujuh belas sebentar lagi, Mama yakin Taehyung sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan sendiri. Ini hidupmu. Mama tidak bisa campur tangan. Jika Taehyungie merasa ini terlalu berlebihan, maka lepaskan. Biarkan Jungkook mencari orang lain."

Dan bayangan akan Jungkook bersama orang lain membuat Taehyung menangis semakin kencang.

.

.

.

"Kau bodoh, tahu itu?" Jisoo menyilangkan tangannya di depan dada. Wajahnya penuh kesal. Walau kenyataan beberapa jam lagi adalah pelayaan hari ulang tahunnya tak sedikitpun membuat wajah Jisoo berkilat senang. "Seungcheol mengikatku saat aku berumur tujuh tahun." Mulai Jisoo lebih tenang. "Kau mungkin tidak ingat rasanya karena Jungkook-hyung melakukannya saat kau masih bayi. Tapi aku merasakannya saat mata Seungcheol mengunci milikku. Dia menahan semestaku. Dia mencengkram duniaku di tangannya. Aku tidak bisa lepas, Taehyung-ah. Begitupun dengan Seungcheol, kita berdua terikat. Saat dia menandaiku, aku tidak pernah merasa sehidup itu. Dia hanya menandaiku, dia tidak menggigitku. Dia memberikanku waktu sampai aku berumur tujuh belas tahun untuk memutuskan. Dia tidak memaksaku, dan begitupun Jungkook-hyung."

Taehyung menatap langit-langit kamarnya tanpa ekspresi. Tidak tahu harus merespon apa atas ucapan Jisoo.

"Apa kau akan menerimanya?" Taehyung akhirnya angkat suara setelah diamnya yang panjang. "Mereka berkata, setelah berumur tujuh belas tahun kita berhak untuk memilih, menerimanya atau melepasnya, bukan?"

"Kau ingin melepasnya?" Suara sangsi Jisoo terdengar tidak percaya. "Seungcheol bertahan di sisiku selama sepuluh tahun, dan aku akan melepasnya?"

"Dia sudah bertahan di sisimu selama sepuluh tahun, kau tidak bosan?"

"Oh Astaga, Taehyung." Jisoo membuka mulutnya tidak percaya. "Kau tidak mengerti ini. Kau tidak mengerti sama sekali pembicaraan ini, kan?"

"Aku mengerti apa yang aku bicarakan."

"Jadi kau mengerti jika kita melepas ikatan ini, mereka akan mati, kan?"

Taehyung tercekat. "A-apa?" Taehyung memicingkan mata terkejut. Bangkit duduk untuk mencerna lebih dalam ucapan Jisoo.

"Taehyung-ah." Jisoo memulai lemah, namun penuh ketenangan. "Mereka menandaimu di sini." Jisoo menyentuh sisi kanan lehernya. "Jungkook-hyung menandaimu di sana. Itu berarti segalanya untuknya. Ia menandaimu, tidak menggigitmu. Hanya memberikan satu tali di denyut nadimu jika kau adalah miliknya. Aku tidak bisa merasakan atau menciumnya, namun Jimin dan Seungcheol bisa. Bahkan Hoseok-hyung juga bisa. Mereka berkata, kau beroma sepertinya. Kau kira Jimin tahu bagaimana aroma Jungkook dengan mengendusnya langsung bahkan saat mereka berdua belum bertemu? Dia tahu aromanya darimu. Jimin tahu kau terikat dengan Jungkook karena aromanya. Aku bersemangat tentang ide kau bersama Hoseok-hyung karena aku mengira Jungkook-hyung hanya menandaimu untuk menjauhkanmu dari bahaya. Aku tahu dari Seungcheol jika tanda di lehermu itu sebuah kepemilikan. Jungkook-hyung ingin kau menjadi miliknya," Jisoo membenarkan posisi duduknya.

"Mereka akan mati." Taehyung menekankan ucapan itu. "Apa maksudmu dari itu?"

Jisoo menarik nafas panjang sebelum menjelaskan. "Seungcheol pernah satu minggu tidak bertemu denganku, Tae. Saat aku pergi mengunjungi Nenekku di Amerika, dan ketika aku kembali, saat aku datang ke rumahnya… Ia sekarat." Jisoo menjelaskan dengan hati-hati. Suaranya tidak teratur, seolah kenangan itu menjadi mimpi terburuk bagi Jisoo. "Ia tidak bisa bernafas. Ia tidak bisa makan. Ia tidak bisa melakukan apapun karena aku tidak berada di sisinya. Dia membutuhkanku. Dan saat nanti aku menerimanya. Menerima Seungcheol untuk benar-benar menjadi belahan jiwaku, dia bisa terbebas dari itu. Dia tidak akan sekarat hanya karena tidak berada di dekatku. Jiwaku dan dia sudah terikat. Dan itu mempermudah segalanya."

"Jadi," Taehyung berdeha. Sudut matanya berkerut "Kau berkata, jika aku melepasnyaj—jika aku melepas ikatan Jungkook-hyung…" bernafas. "Dia akan mati?"

Jisoo diam, menggigit bibirnya lalu mengangguk. "Itu berarti kau menolaknya. Dia akan menarik tali ikatannya dari lehermu, dan seorang serigala dengan belahan jiwa yang memilih untuk melepasnya berarti kematian bagi mereka."

.

.

.

Taehyung menenggak sojunya dengan leluasa, mengeluarkan suara desahan puas sembari menaruh botol sojunya ke atas meja. Ia merayakan menit pertama umurnya yang menginjak tujuh belas tahun dengan membuka botol sujo kemudian menenggaknya dengan rakus, walau beberapa detik kemudian dia mengernyitkan hidungnya dan berteriak akan rasa pahitnya yang membakar tenggorokan. Jisoo tidak lebih baik, dia meminum sojunya dengan wajah mengernyit tidak suka, dan bergerak kembali meminum spritenya tanpa mau menenggaknya lagi walau dengan bujukan Jimin.

Klub tempat ia dan Jisoo merayakan ulang tahunnya tidak jauh dari sekolahnya. Teman-teman sekolahnya berdatangan setiap menit, mengucapkan ulang tahun dengan teriakan dan dibalas Taehyung dengan tepukan terimakasih sembari memberikan segelas bir yang diterima dengan senang hati. Taehyung sudah menghabiskan tiga botol soju ketika Hoseok datang. Pemuda itu mengenakan kemeja putih yang dimasukkan ke dalam celana jinsnya. Ia memberikan Taehyung pelukan selamat ulang tahun yang erat, membuat Taehyung membalasnya sembari tertawa.

Jisoo ijin untuk pulang saat jam masih menunjukkan pukul dua pagi, berkata terlalu lelah dan berjalan keluar bersama Seungcheol. Jimin membawa Yoongi ke lantai dansa, tidak terlihat di antara banyaknya tubuh yang berada di sana. Hoseok kemudian duduk di sampingnya, menggenggam rum di jarinya lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Taehyung untuk berucap lebih jelas.

"Jadi, kau belum memutuskannya?" Hoseok bertanya pasti.

"Memutuskan apa?" tanya Taehyung setengah mabuk. Bayang-bayang lampu kerlip di atasnya membuatnya pusing.

"Tanda di lehermu." Hoseok berucap pasti. Menyesap rumnya kemudian menunjuk leher Taehyung. "Aromanya kentara sekali, Tae. Lemon. Aku tidak bisa menghirup milikmu."

Taehyung tersenyum tipis, "Yeah?" bisiknya. "Hyung tidak bisa menghirupnya?"

Hoseok menggeleng penuh rayu, semakin mendekatkan wajahnya. "Tapi itu tidak membuatku untuk mundur."

"Hyung tidak melakukannya?" Tanya Taehyung, mulai menyandarkan tubuhnya nyaman dan membiarkan Hoseok semakin mendekat. "Mengikat orang lain bla bla bla." Gumamnya masa bodoh.

"Bagi kami, hubungan belahan jiwa semacam itu dibagi dua." Hoseok mengangkat dua jarinya. "Pertama karena mereka ditakdirkan satu sama lain, kedua karena mereka memilih takdir mereka sendiri."

"Bukankah ini berarti aku ditakdirkan untuk orang lain?" Taehyung kembali bertanya. Hoseok tampan sekali. Dilihat semakin dekat, jantung Taehyung semakin berdegup cepat. Ia tidak bisa menahan kegugupan di wajahnya begitu melihat dendang tawa Hoseok mengudara.

"Aku sudah melihatmu dengan tanda ini semenjak kita bertemu, Tae-ya." Hoseok mengusap leher Taehyung dengan lembut, membuat Taehyung merinding dengan nafasnya yang tercekat. "Aku sempat berpikir untuk mundur, karena nampaknya seseorang sudah mengklaim dirimu terlebih dahulu dibanding diriku. Namun kemudian," Hoseok berbisik. Dekat sekali. Hingga hembus nafasnya menabrak bibir Taehyung. "Kau memandangku seperti itu. Kau menerima ajakanku untuk pulang bersama. Kau menerima ciumanku di pipimu, ingat? Saat terakhir aku mengantarmu plang. Kau tidak bersamanya di ulang tahunmu yang ke tujuh belas. Jadi, aku beranggapan aku akan melangkah maju alih-alih mundur."

Taehyung berkedip bingung. Ia menyukai Hoseok. Ia benar-benar menyukai Hoseok. Ia suka senyuman Hoseok yang cerah. Ia suka ketika Hoseok menggasak puncak kepalanya lalu membawanya ke pelukan. Taehyung suka ketika Hoseok bersikap penuh kelembutan. Menyapa kulitnya dengan sentuhan yang membuat jantungnya berdegup tidak karuan. Maka, ketika Hoseok semakin mendekat. Ia menutup matanya erat. Erat sekali hingga gelap menelannya.

Ia merasakan bibir Hoseok. Lembut. Beraroma rum. Nafasnya panas. Gigitannya tidak memaksa. Taehyung menarik nafas berisik. Lemas, dan membalas cengkraman jari Hoseok di jarinya.

Ini bukan ciuman pertamanya. Taehyung pernah mengecup bibir Jungkook saat dirinya berumur empat belas tahun. Menumpu telapak tangannya di pundak Jungkook, berjinjit, lalu mengecup cepat bibir Jungkook. Tidak ada apapun. Tidak ada degupan. Tidak ada kepakan sayap kupu-kupu di dasar perutnya. Tenang. Hanya ketenangan. Hanya tentram yang menusuk hatinya kala itu. Jungkook yang hanya berkedip bingung. Tidak mampu membalas. Taehyung yang langsung berlari ke kamarnya. Tersenyum idiot dengan pipi memerah.

Taehyung menarik dirinya dari usapan Hoseok yang menyapa garis rahangnya begitu mesra. Menurunkan sisa-sisa degup jantungnya yang berisik, dan tiba-tiba tergagap merasakan tetapan bingung di wajah Hoseok.

Ia merasakan denyut nadinya yang berjengit. Membuat Taehyung ikut bingung kenapa ia melepas ciuman mereka begitu saja. Taehyung melayangkan senyuman maaf, Hoseok menerimanya, masih mengusap pipi Taehyung kemudian melabuhkan kecupan kecil di pipinya.

Taehyung gemetar. Ia mencoba bernafas. Lalu matanya menemukan Jungkook. Berdiri tak jauh dari posisinya. Jungkook berdiri dengan kedua lengan masuk ke dalam mantelnya. Rambut gelapnya disinari lampu-lampu klub yang kacau. Suara Taehyung tercekat. Ia ingin Hoseok berhenti mengecup pipinya, namun di satu sisi ia ingin memanggil Jungkook untuk keegoisannya.

Ini adalah tepat tiga hari ia tidak bertemu Jungkook. Ia menyadari postur tubuh Jungkook yang semakin kurus, pundak lebarnya turun dengan kekecewaan yang mutlak bersarang di matanya. Tatapannya penuh sakit hati dan pengkhianatan. Garis bibir Jungkook rapat, menatap Taehyung tanpa cela dan membuat Taehyung kembali gemetar.

Ia ingin menjelaskan, matanya menyiratkan permohonan maaf. Namun sebelum Taehyung membuka suaranya, sosok Jungkook sudah terlebih dahulu membalikkan tubuh, tenggelam di antara kerumunan, dan membuat Taehyung menangis seketika.

.

.

.

"Datanglah ke sana dan jaga Taehyung untuk Mama,"

Jungkook tidak bisa menolak permintaan Nyonya Kim kala itu. Ia berakhir dengan mengganti bajunya. Mengambil kunci mobilnya lalu mengendari Audinya ke klub di mana Taehyung mengadakan pesta ulang tahunnya bersama Jisoo. Ia melewati pintu depan hanya untuk menghirup aroma minuman keras yang tajam, bersamaan dengan beberapa aroma serigala muda yang membuat jantung Jungkook mencelos. Terlalu banyak serigala. Ia berharap tanda yang ia tancapkan di leher Taehyung bisa membuat banyak serigala mundur dari pemudanya.

Ia meringsek maju menuju lantai dansa yang penuh, dapat menghirup aroma Jimin dan pasangannya. Mereka teramat jatuh cinta. Jimin menatap pasangannya dengan begitu tulus, walau aroma alkohol menguar dari cara Jimin membuka mulutnya dan memberikan bisikan lembut yang menggoda. Jungkook berdeham, mencoba mengelilingi klub yang penuh dan mencari Taehyung.

Klub bukanlah tempat yang ia sukai. Jungkook masih lebih memilih berlari di antara pepohonan di hutan atau berenang di pantai ketika penat menusuknya. Klub adalah pilihan terakhir untuk tempat yang akan ia kunjungi. Jungkook berniat akan memesan minuman ketika akhirnya ia menemukan Taehyung di pelupuk matanya.

Tiga hari. Sudah tiga hari ia tidak menemui pemuda itu. Ucapannya menancap ke relung hati Jungkook. Pengakuannya tentang lelaki yang disukainya. Semua itu membuat Jungkook kehilangan kepercayaan diri untuk bertemu dengannya. Dan melihat Taehyung yang tertawa ceria dengan rambut mahoninya yang terjatuh lembut membuat gelenyar rindu menghantam Jungkook begitu kuat. Ia rindu bertahan di sisi Taehyung dan menghirup aromanya yang bercampur dengan aroma Taehyung. Ia rindu pemuda itu. Tiga hari tanpa Taehyung bagai neraka yang menghukumnya.

Jungkook terlalu sibuk mengamati Taehyung hingga tidak sadar dengan pemuda yang duduk di samping Taehyung, kini tengah membisikkan sesuatu yang membuat wajah Taehyung memerah karena malu. Jungkook bersungguh-sungguh tidak akan menghampiri Taehyung dan hanya akan bertahan di sini, menatap Taehyung dari kejauhan. Namun ketika pemuda itu mendekat hingga bibirnya dan Taehyung bertemu, Jungkook tertatih mencari nafas.

Ia menahan diri untuk tidak bergerak maju dan menonjoknya. Pemuda sialan yang sudah dengan berani-beraninya menyentuh Taehyungnya.

Taehyungnya. Ia miliknya. Taehyung hanya miliknya.

Jungkook mencengkram jarinya kuat. Kuat sekali hingga kukunya menancap ke telapak tangannya. Ia sudah siap melangkah dari menarik ujung kemeja pemuda itu kala ia melihat dengan penuh kesedihan saat Taehyung mengangkat tangannya, mencengkram bahu pemuda itu lalu membalas ciumannya.

Saat itu, segalanya runtuh bagi Jeon Jungkook. Mimpi-mimpi indahnya tentang hidupnya yang akan dijalani bersama Taehyung meledak seketika. Kekuatannya sirna. Jiwanya melolong sedih. Patah hati menusuk jelas ke dadanya yang hancur.

Walau ketika Taehyung menangkap matanya, walau saat itu Jungkook menyerah dan mengakui kesalahannya. Tahu jika ia terlampau posesif pada pemuda itu. Tahu jika ia terlalu mengukung Taehyung di cengkramanya. Taehyung tetap tidak bergerak untuk menghampirinya. Taehyung tetap berada di posisinya. Taehyung tetap membiarkan pemuda itu menyentuhnya.

Dan untuk terakhir kalinya, dengan mengirimkan tatapan kesedihan yang mencolok, Jungkook pergi dengan remuk jiwanya yang tak berbekas.

.

.

.

Taehyung menggedor pintu rumah Jungkook. Mengetuknya cepat dengan penuh kekuatan. Ia baru menyadari ini kunjungan ke dua kalinya ke rumah Jungkook. Ia jarang sekali berkunjung ke rumah Jungkook karena pemuda itu selalu terlebih dahulu berada di rumahnya kapan saja. Tenggorokan Taehyung tercekat. Mengetuk semakin kuat sembari memanggil nama Jungkook keras.

Lima menit kemudian, sosok Jungkook membuka pintu rumah dengan mata merah akibat kurang tidur dan rasa kantuk yang menggelantung di wajahnya. Mata pemuda itu menyipit, tidak mengira mendapati Taehyung di depan pintu rumahnya, apalagi dengan insiden semalam yang cukup menyakitkan. Jungkook berakhir berlari ke rumah dengan sosok serigalanya yang mengambil alih, berlari beratus kilometer dan melewati perbatasan Busan, hampir berkelahi dengan pak lain yang merasa wilayahnya dihampiri tanpa pemberitahuan. Jungkook baru pulang saat pagi hari, dengan matahari yang meninggi dan langsung ambruk di tempat tidurnya karena kelelahan.

"Kau lupa membawa mobilmu," Taehyung berucap, "aku menemukan kuncinya tergantung di luar. A-aku membawanya ke sini—sebenarnya Mama yang menyuruhku untuk mengembalikannya."

Jungkook diam, menarik nafas dalam, mengukung aroma Taehyung ke dalam penciuman. Aroma stroberinya teramat manis di bawah penciuman Jungkook. Namun, mengingat ciuman Taehyung dengan pemuda itu semalam memberikan denyut mengerikan di jantungnya, menendang perut Jungkook dengan perasaan sakit hati yang keterlaluan. Ia berbalik mengambil kunci mobilnya yang diulurkan Taehyung.

"Thanks," gumamnya lirih. Serak. Kehilangan kekuatan.

Ia berniat menutup pintu rumahnya ketika lengan Taehyung menghadang. Penuh kesungguhan. Ia menatap Jungkook dengan kening berkerut.

"Kenapa diam saja?" gentaknya sebal. "Kenapa Hyung semalam diam saja?!"

"Hm?" Jungkook menaikkan alisnya bingung. Rasa sakit hati dan kantuk yang menyerangnya membuat Jungkook sulit untuk mencerna ucapan Taehyung.

"S-saat aku berciuman dengannya," Taehyung memulai lemah, "kenapa Hyung diam saja?"

Jungkook mematung. Jari mencengkram kenop pintu. Berkedip. Memandang Taehyung teramat dalam. Ia menghembuskan nafas. Mengusap wajahnya yang kaku, dan tidak mempunyai tenaga untuk menjelaskan. Ia benar-benar letih. Penolakan yang Taehyung berikan membuat tubuhnya lemah, ia hidup tanpa Taehyung di sisinya selama tiga hari, dan itu benar-benar menguras seluruh tenaganya.

"Aku ingin menonjoknya," aku Jungkook parau. "Aku ingin menarik kerah bajunya dan meninjunya sampai mampus. Aku ingin menggaretnya keluar dari klub dan melemparnya sampai mati." Jungkook menggeritkan ucapannya dengan serius. "Itu yang sangat aku ingin lakukan padanya semalam. Lalu, kenapa aku diam?"

Jungkook mendekatkan wajah, dekat sekali pada Taehyung hingga ia bisa menghitung deru nafas ributnya yang kalap. "Karena kau membalas ciumannya."

Ia bisa merasakan tubuh Taehyung yang kaku, hembus nafasnya semakin cepat, dan Jungkook benci harus berada dalam situasi ini dengan Taehyung.

"Aku menjagamu dengan sepenuh hatiku, Tae-ya." Gumam Jungkook perih. "Aku yang ada di sisimu ketika kau melangkah pertama kali. Aku yang ada di sisimu ketika gigimu tumbuh dan kau menangis terus-menerus karena demam setelahnya. Aku yang mengantarmu sekolah, aku yang menjemputmu, aku yang mengajarimu menendang bola dan naik sepeda. Aku menjagamu dengan seluruh hidupku," Jungkook berkedip jengah. "Aku mengira, enam belas tahun berada di sisimu akan membuatmu bergantung padaku dan tidak bisa hidup tanpaku. Namun nyatanya ini terlihat menyeramkan di matamu. Nyatanya, kehadiranku membuatmu bosan dan ingin lepas dariku."

"Dan apa? ini menjadi salahku?" tantang Taehyung dengan raut wajah siap menangis. "Aku tidak pernah meminta Hyung untuk mengikatku! Aku tidak pernah meminta menjadi belahan jiwamu! Kau yang melakukannya! Aku tidak pernah meminta."

Jungkook mengeluarkan deguk tawa hancur yang penuh kesedihan. Bola matanya berkaca-kaca, namun ucapannya menusuk hati Taehyung.

"Benar," bisiknya. "Kau tidak pernah meminta."

"Lalu kenapa?! Kenapa aku? kenapa harus aku?"

"Aku tidak tahu kenapa harus kau, Taehyung-ah! Aku juga tidak tahu! Kau pikir aku tahu?!"

"Kenapa enam belas tahun lalu Hyung harus bertemu denganku?! Kenapa aku?!"

Jungkook menarik nafas terkesiap. Desir darahnya melonjak marah. Ia mengetatkan dagunya mendengar teriakan Taehyung yang tak berhenti. Ia bahkan sulit untuk bernafas. Semua menjadi sulit untuknya,

"Bertemu denganku seburuk itu di matamu?" Jungkook tidak menampik kekecewaannya. "Menjadi milikku semenyeramkan itu untukmu?"

"Aku hanya ingin tahu alasannya!" balas Taehyung tidak mau kalah. "K-kenapa aku…hiks. Dari semua orang k-kenapa aku…"

Selanjutnya, yang ia tahu Jungkook menarik tengkuknya terlalu cepat, mencium bibirnya memaksa dan membuat Taehyung tidak mampu berbuat apa-apa. Tidak ada debaran. Tidak ada kepakan kupu-kupu. Semua hanya berisi ketenangan. Hangatnya bibir Jungkook yang menyentuh miliknya. Telinganya terasa tuli. Seakan semua berada di tempat yang seharusnya singgah. Semua benar-benar menjadi utuh dan tenang.

Lesakan ciuman Jungkook berakhir, pemuda itu memberikan satu kecupan manis di bibirnya yang diam. Bergerak merundukkan kepalanya lalu mengecup leher Taehyung. Ia gemetar. Ia mencengkram pundak Jungkook, sebelum pemuda itu membuka mulutnya, dengan tiba-tiba menggigit leher Taehyung. Ia mengeluarkan deguk nafas kaget penuh rasa sakit, mencoba mendorong tubuh Jungkook agar menjauh darinya.

Segalanya tiba-tiba menjadi sebuah alur film rusak yang muncul tidak terhentikan. Ia melihat Jungkook muda yang mengambil mainannya yang terjatuh lalu memberikannya dengan senyuman tampan. Ia melihat Jungkook yang tertawa sembari dengan sabar mengajarinya main sepeda. Ia melihat senyuman bangga Jungkook saat Taehyung menendang bola yang diulurkannya dengan akurat. Taehyung melihat semuanya. Perjalanan hidupnya, dengan Jungkook yang selalu berada di sisinya tidak lelah. Tawanya, senyumannya, tatapan sayunya, serta usapan hangatnya yang menyapa.

Seisi dunia seolah berputar di genggamannya. Melihat wajah Jungkook, membuat Taehyung tahu dunia tidak berarti apa-apa. Dalam dekapan Jungkook, menyadarkan Taehyung jika tempat teraman di dunia adalah pelukannya. Hanya Jungkook yang mampu menjaganya segenap jiwa.

Taehyung yakin ia berteriak, melepaskan diri dari Jungkook yang mengusap bibirnya yang penuh darah Taehyung. Sesaat, ia ketakutan. Ia mencoba menyentuh lehernya yang lengket. Degup jantungnya bertalu. Ia menatap nanar pada Jungkook yang masih sibuk mengusap bibirnya dengan tenang.

"A-apa yang kau la-lakukan?" tanyanya gagap, bergerak mundur teratur dan merasakan jiwanya yang kosong tak tertolong. Semua terasa hampa, seolah ada seseorang yang menyedot seluruh rasa bahagianya.

"Aku melepasnya." Jungkook menelan air liurnya paksa. Menatap Taehyung dingin dan mata tajamnya menghunus Taehyung terlalu kuat. "Aku melepasmu sekarang."

Dan saat Taehyung menyentuh lehernya, di mana Jungkook menandainya, dengan denyut yang bergemuruh ketika ia menyentuhnya, kini tidak ada. Kosong. Semua normal. Tidak ada lagi tanda Jungkook di sana.

"Kau bebas, Taehyung-ssi."

.

.

.

[TBC]

.

.

Jungkook makin buas, aku gasanggup ;(

Btw, ini a werewolf with human relationship yang aku buat sendiri yaa. Jadi kalau masih ada beberapa penjelasan yang agak rancu, mohon dimaafkan, hehehe.

Hope you all like it!