p dir="ltr"Aku terbangun dari tidurku dan menyadari suatu hal yang nampak berbeda. Jelas saja, aku terbangun bukan di tempat biasa dimana aku terbangun. Selimut putih tebal kusibakkan keluar agar kedua kaki dan tubuhku lebih leluasa bergerak. Aku menoleh ke arah kanan dan mendapati seorang laki-laki yang masih tertidur lelap dengan senyuman di wajahnya./p
p dir="ltr"Wajahnya tenang sekali saat tidur, batinku. Wajahnya memang selalu nampak tenang bagaikan tidak ada satu hal pun yang membebaninya. Tak pelak aku mencoba untuk melihat wajahnya dari dekat. Alis matanya tebal namun terbentuk dengan sangat rapi. Kulitnya putih seperti milikku namun permukaannya tidak seperti milikku saat aku coba untuk menyentuhnya. Kalau saja aku seorang wanita, mungkin aku akan jatuh cinta dengan orang ini./p
p dir="ltr"Pandanganku ku alihkan pada telapak tangannya. Terlihat amat besar dan nampak kuat, seperti tangan pria pada umumnya. Apa ia akan marah jika sekali saja aku coba untuk menyentuh tangannya ya? mungkin tidak ada salahnya jika kucoba. Aku sendiri juga penasaran sih sebenarnya./p
p dir="ltr"Permukaan tangan itu dingin dan kasar namun sangat nyaman. Jika aku coba meletakkan tanganku disana, rasanya pas sekali dengan ukuran tanganku. Suatu ukuran yang pas dan tepat, seolah milikku tercipta untuk melengkapi miliknya. Seperti potongan puzzle yang tercipta satu dengan yang lainnya. Aku berpikir apa sih rasanya seperti roman picisan saja. Lagi pula masa aku jatuh cinta dengan orang ini. Jelas itu adalah satu hal yang mustahil./p
p dir="ltr"Saat aku coba melepaskan tanganku, pemuda itu membuka matanya dan tersenyum. Jemari yang sedari tadi terbuka ia katupkan dan mengunci milikku sehingga milik kami saling berpagutan satu dengan yang lainnya./p
p dir="ltr""Selamat pagi." Ia tersenyum dan mengucapkan kata pertamanya di pagi ini, selanjutnya ia tidak berkata apa-apa lagi. Hanya tersenyum memandangiku./p
p dir="ltr""Pagi." setidaknya aku membalas ucapan selamat paginya. Hanya sekedar untuk menjaga tata krama dan norma kesopanan yang sudah lama kutanamkan. Tidak lebih./p
p dir="ltr""Aku senang bisa melihat seseorang di sisiku saat aku terbangun." Ucapannya membuat jantungku berdegup tidak karuan. Tidak hanya ucapannya, namun kali ini juga senyumnya. Aku yang mendadak menjadi salah tingkah, sontak melepaskan tangannya dan berusaha kabur dari atas tempat tidur./p
p dir="ltr"Saat berusaha untuk kabur, tangan Jeno menarik pergelangan tanganku. Tak ayal tubuhku terhempas ke belakang, kembali ke tempat sedianya ia berasal./p
p dir="ltr""Kau tidak ingin menemaniku dulu? ini masih pagi. Lagi pula ini hari Minggu."/p
p dir="ltr"Pagi? Ah iya ini masih jam 8, batinku saat kulemparkan pandanganku ke arah jam dinding yang sedang berputar. Lantas memangnya dia ingin apa?/p
p dir="ltr""Menemani apa?" aku memainkan jari telunjukku berusaha sebaik mungkin agar aku tidak terlihat gugup. Siapa memangnya yang tidak gugup di saat-saat seperti ini. Memangnya dia pikir dia siapa? Menemaninya? Seakan aku sudah lama mengenalnya. Walau aku sebenarnya tidak sepenuhnya keberatan, namun apa kata orang jika mereka tahu./p
p dir="ltr""Seumur hidupku setelah aku memutuskan untuk tidur sendiri, tidak pernah aku terbangun dengan seseorang disampingku." "Jadi, ini sebuah momen yang langka bukan?" pemuda itu mengambil sebelah tanganku. Dengan tempo yang lembut ia mengusap punggung tanganku. Sesekali ia bermain dengan jemari yang menganggur./p
p dir="ltr"Aku berpikir sejenak. Aku sendiri tidak begitu mengerti apa yang pria ini pikirkan dan apa yang terlintas di dalam isi kepalanya. Ia nampak senang dengan pilihanku untuk tidak beranjak dari atas tempat tidur. Lihat saja, kini ia sedang sibuk menatapku entah sudah berapa lama./p
p dir="ltr""Bukannya bermaksud lancang namun, apa yang membuatmu berbuat baik kepadaku?" "Maksudku, Lihat lah! bukannya aku tidak suka diperlakukan seperti ini namun yaa-" Ucapanku tidak selesai. Sejenak aku memikirkan kembali apa yang baru saja aku katakan. Memang tidak ada yang ofensif dari pilihan kata yang kupakai. Namun sejatinya siapa saja akan tersinggung mendengar seseorang berkata seperti itu padanya./p
p dir="ltr""Mudah saja." Aku tertegun melihatnya menjawab dengan senyuman/p
p dir="ltr"Apa?/p
p dir="ltr"Apa maksudnya? Aku bahkan sama sekali tidak memprediksi hal tersebut akan tercetus dari mulutnya. Apakah bertingkah manis pada siapa saja adalah hal yang mudah baginya? Apa mungkin aku merupakan satu dari banyak orang yang sudah menjadi korbannya? Mudah saja baginya. Dia tampan, kaya raya, apa lagi?/p
p dir="ltr""Maksudmu?" aku menunggu jawaban darinya. Aku tidak berharap banyak, namun aku tentu mengharapkan sebuah jawaban yang setidaknya layak dan pantas didengar./p
div align="left"
p dir="ltr""Mungkin suatu saat nanti kau akan mengerti."/p
/div
p dir="ltr" /p
div align="left"
p dir="ltr"Apa? Memangnya apa yang tidak aku mengerti?/p
/div
p dir="ltr" /p
div align="center"
p dir="ltr".br / .br / ./p
/div
p dir="ltr" /p
div align="left"
p dir="ltr""Aku pulang setelah makan siang." Aku memotong sayuran yang ada di hadapanku pada sebilah papan kayu yang baru saja aku selesai bersihkan./p
/div
p dir="ltr" /p
div align="left"
p dir="ltr"Dari dulu ibu mengajarkanku memasak, jadi tidak heran jika aku piawai dan nampak bersahabat dengan perkakas dapur. Aku tidak menduga untuk ukuran pri yang tinggal sendiri dia memiliki peralatan memasak yang cukup lengkap. Mungkin ia memiliki pelayan pribadi, aku berusaha untuk berpikir sesederhana mungkin./p
/div
p dir="ltr" /p
div align="left"
p dir="ltr""Kalau memang itu maumu." Pemuda itu kembali berkutat dengan remot kontrol televisi yang ada di tangannya setelah menyelesaikan perkataannya. Menurutmu, siapa yang bersikap kelewat manja tadi pagi? Ternyata dia juga bisa bicara seperti itu. Tapi setidaknya itu menghilangkan image cowok hidung belang bermulut manisku padanya. Atau mungkin tidak./p
/div
p dir="ltr" /p
div align="left"
p dir="ltr""Kau tidak ada rencana untuk tinggal disini bersamaku?" Jeno melemparkan pandangannya padaku Tentu saja dengan senyuman khasnya./p
/div
p dir="ltr" /p
div align="left"
p dir="ltr"Memangnya dia pikir dia siapa? dan memangnya dia pikir aku siapa? Tinggal dengannya? mungkin dia sedang berusaha untuk membuat sebuah lelucon. Iya, sebuah lelucon yang terlampau konyol./p
/div
p dir="ltr" /p
div align="left"
p dir="ltr""Bercanda." Belum sempat aku menjawab pertanyaannya ia sudah memberikan respon lainnya sambil tertawa, seolah ia sudah bisa memperkirakan jawaban yang akan keluar dari mulutku. /p
/div
p dir="ltr" /p
div align="left"
p dir="ltr"Aku senang ia memberikan tawaran itu, namun aku juga masih punya kehidupanku sendiri. Lagipula, bukannya aku hanya menjadi beban baginya kalau aku disini? Itu juga bukan berarti aku suka tinggal disini ya./p
/div
p dir="ltr"br / "Tapi jika nanti waktu mengizinkan, mungkin kau akan ada disini bersamaku." dia tertawa./p
p dir="ltr"Tanpa kusadari, setelah mendengar ucapannya pisau yang ada di tanganku terselip dan mengenai ujung jariku yang sejatinya kulipat untuk mengindari kontak dengan pisau./p
p dir="ltr"Mendengar aku mengaduh setelah tanganku teriris oleh pisau, Lee Jeno menghampiriku dan mengambil jari tanganku yang terluka. Ia memasukkan bagian jari yang terluka itu pada mulutnya. Tepat setelah darah itu berhenti menetes ia mengeluarkan jariku dari mulutnya./p
p dir="ltr""Apa yang kau-" aku menarik tanganku menjauhi tiap inchi dari tubuh Jeno, menghindari adanya kotak lainnya yang bisa membuatku kehilangan kendali./p
div align="left"
p dir="ltr"Ia tidak menjawab, tapi raut wajahnya dengan jelas berkata 'Syukurlah kau baik-baik saja' tanpa harus ia ucapkan ke dalam kata-kata./p
/div
p dir="ltr" /p
div align="center"
p dir="ltr".br / .br / ./p
/div
p dir="ltr" /p
div align="left"
p dir="ltr"Aku pada akhirnya berkemas pulang dan kembali ke rumahku. Tadi Jeno sempat menanyakan nomor ponsel dan alamat surelku. Kehilangan kontak dengan orang sebaik dia bukan lah pilihan yang baik jadi apa salahnya kalau aku tetap berhubungan dengannya./p
/div
p dir="ltr" /p
div align="left"
p dir="ltr"Yang menantiku di depan pintu rumahku adalah Jisung Park. Laki-laki yang terpaut usianya 2 tahun dibawahku itu tengah duduk termenung di undakan anak tangga yang mengarah tepat ke pintu rumahku. /p
/div
p dir="ltr" /p
div align="left"
p dir="ltr"Jisung tinggal bersebelahan denganku. Ia adalah anak dari seorang penjual bunga. Ayahnya membuka kios bunga yang letaknya tidak jauh dari tepi pantai. Jisung sering membantu disana. Aku pernah melihatnya membawa satu pot besar penuh bunga yang ukurannya jauh lebih besar dari tubuhnya. Walau nampak berat ia hanya bisa tertawa setelah berhasil menaruh pot bunga tersebut pada tempatnya./p
/div
p dir="ltr" /p
div align="left"
p dir="ltr"Ayah dan ibunya bercerai dan Jisung memutuskan untuk ikut dengan ayahnya, karena ibunya menikah lagi dengan suami pertamanya./p
/div
p dir="ltr" /p
div align="left"
p dir="ltr"Jisung termasuk anak yang sering terlihat bergerak dengan temponya sendiri, dan aku menemukan hal tersebut sangatlah manis. Parasnya seperti anak kecil. Pipinya merona diatas kulitnya yang pucat. Matanya kecil. Mungkin kalau aku bisa mengibaratkan sosok dirinya, aku akan memilih seekor anak ayam./p
/div
p dir="ltr" /p
div align="left"
p dir="ltr"Namun kini anak ayam yang biasanya ceria itu sedang termenung dan duduk seorang diri. Aku memberanikan diri untuk mendekat, mengesampingkan tangga yang ia duduki mengarah tepat pada pintu yang nantinya akan aku masuki./p
/div
p dir="ltr" /p
div align="left"
p dir="ltr""Jisung."/p
/div
p dir="ltr" /p
div align="left"
p dir="ltr""Renjun! senang melihatmu kembali!" Raut wajahnya berubah drastis, seakan baru saja menemukan hal yang yang sudah lama ia cari./p
/div
p dir="ltr" /p
div align="left"
p dir="ltr""Untuk apa kau menungguku?" aku menaikkan sebelah alisku. Bukannya sekali ini saja ia mencariku namun aku tidak suka melihatnya sedih atau murung seperti tadi./p
/div
p dir="ltr"br / "Kemarin aku mencarimu seharian. Aku tahu orang rumahmu sedang tidak ada di rumah. Chenle juga sedang tidak bisa dihubungi." "Umm... jadi aku- cemas?" Aku tertawa melihatnya yang mendadak mengeluarkan ekspresi yang beragam./p
p dir="ltr""Jangan tertawa! Lihat! aku baru saja membelikanmu tteokbokki sambil berharap kau pulang hari ini. Untung saja kau benar pulang, kalau tidak aku tidak bisa menghabiskan ini sendirian." ujarnya menyelesaikan kalimatnya yang panjang./p
p dir="ltr""Dengan keju?"/p
p dir="ltr""Dengan keju!"/p
p dir="ltr"-To be Continued-/p