A/N: selamat hari AoKaga day dari holyverde buat semua laskar AoKaga :") Selamat membaca chapter terakhir~ semoga bahagia selalu!

.


.

Ch 04: Misi Gagal

Oleh Holyverde

.


.

Misi gagal dan Aomine sudah siap untuk memburu siapapun penulis website wikihow yang berani-beraninya mengatakan bahwa mengajak kencan adalah suatu hal yang bisa membuatnya makin dekat dengan gebetannya. Karena itu semua omong kosong!

Biar Aomine ulangi, siapapun yang berpikir jika menonton Black Panther di bioskop dengan Kagami adalah ide yang bagus, maka orang itu adalah orang yang idiot. Yang, kalau dipikir-pikir lagi, Aominelah si orang idiot itu. Tetapi bukan Aomine namanya jika dia tidak bisa menemukan kambing hitam atas nasib sialnya. Karena itulah, dia lebih nyaman memaki-maki si penulis wikihow yang dengan seenaknya mengklaim jika mengajak gebetanmu kencan adalah salah satu aktivitas yang bisa membuatmu dekat dengan gebetan tersebut, tanpa orang itu merasa perlu untuk menjelaskan bahwa Aomine harus menyiapkan mentalnya terlebih dahulu.

Menyiapkan mental karena Kagami terlihat begitu bersinar malam itu. Aomine sama sekali tidak tahu harus bersikap bagaimana saat menyadari kenyataan tersebut.

Kalian tahu tidak ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa saat kita menyukai seseorang, maka saat orang itu bahagia maka kita juga akan merasakan kebahagiaan yang sama? Malam itu, saat Aomine menonton berdua dengan Kagami, si rambut merah itu terlihat bahagia. Dan Aomine tidak tahu harus bagaimana.

"Tau nggak, sudah lama aku nunggu film Black Panther ini. Tadinya aku mau nonton sendirian, tapi ternyata keburu kamu ajak duluan." Aomine ingat Kagami berkata begitu ketika Aomine berdiri di depan pintu apartemen Kagami untuk menjemputnya. Kagami memakai kaus merah marun dengan jaket denim, terlihat ratusan kali lipat lebih menarik dari biasanya, membuat lidah Aomine kelu tak bisa berkata-kata. Setelah menampar-nampar pipinya saat Kagami tidak melihat, barulah Aomine bisa menguasai dirinya kembali. Mereka memutuskan berjalan menuju bioskop karena jarak antara bioskop dan apartemen Kagami hanya kurang dari satu kilometer.

"Sudah lama nungguin tapi, kok, kemarin kamu nggak kelihatan senang waktu kuajak?" tanya Aomine saat dia sudah mempercayai dirinya sendiri untuk bicara tanpa gagu. Kagami hanya membalasnya dengan kedikan bahu.

"Harusnya kamu senang, soalnya aku mentraktirmu dan kamu nggak perlu mengeluarkan uang sepeserpun." Ucap Aomine lagi. Tapi usai Aomine berkata begitu, Kagami malah mendengus.

"Kamu nggak bener-bener mau traktir aku, inget gak sih? Aku berada di sini cuma gara-gara teman misteriusmu itu tiba-tiba batal menemanimu nonton." kata Kagami, nadanya yang terdengar pedas luput ditangkap oleh Aomine karena dirinya sibuk menatap bulu mata Kagami yang sepertinya jauh lebih lentik dari yang biasanya. Detail-detail kecil yang biasa luput dilihat oleh Aomine, kini menguar ke permukaan. Entah apa yang spesial dari malam ini, mungkin karena Aomine yang seenaknya melabeli malam ini sebagai 'kencan' tanpa sepengetahuan Kagami dan memicu indera Aomine untuk lebih peka terhadap detail kecil tersebut. Atau karena bintang malam ini bersinar lebih terang dari biasanya, sehingga membuat Kagami lebih menarik dari yang sudah-sudah. Atau karena... Aomine makin jatuh hati pada Kagami. Mungkin sesederhana itu.

Tidak ada yang tahu.

Yang jelas adalah, saat Aomine duduk di samping Kagami malam itu dan menjadi saksi bagaimana mata Kagami tidak bisa berhenti berbinar saat melihat pria berkulit hitam di layar melawan musuh-musuhnya, Aomine tidak bisa mengalihkan pandangannya.

"T'Challa tuh, sumpah ya Aomine, dia itu hot banget. You have no idea, he's like, my favorite Avenger of all time!" Aomine sempat mendengar Kagami berkata begitu di tengah-tengah film dan harus merasa sangat bodoh saat dirinya tidak tahu siapa T'Challa dan apa itu Avenger. Yang Aomine tahu dengan pasti adalah, Kagami tampak bahagia dan Aomine suka melihatnya bahagia. Kalau Aomine juga merasa senang saat mengetahui bahwa T'Challa, si tokoh utama yang sangat digiliai oleh Kagami adalah seorang pria dan berkulit gelap sama sepertinya, maka tidak perlu ada yang tahu tentang itu.

Tetapi sialnya, seperti yang Aomine bilang tadi, kebahagiaan Kagami malam itu tidak diimbangi dengan menipisnya jarak kedekatan emosional antara mereka berdua. Karena malam itu berakhir dengan Kagami yang mengucapkan terima kasih padanya sambil tersenyum dan Aomine yang sama sekali tidak bisa mengucapkan apa-apa dan memilih menggerutu tak jelas untuk menutupi kegugupannya.

Aomine bahkan gagal untuk menggenggam tangan Kagami selama perjalanan pulang seperti apa yang ia rencanakan karena Kagami menolak untuk diantar!

Jadi di sinilah Aomine, telentang di atas ranjangnya, memandangi langit-langit kamarnya sambil berpikir apa ada yang salah dengan step-step wikihow yang dia ikuti. Kalau Aomine boleh jujur, rasanya malas untuk melanjutkan semua ini. Segala langkah yang dia ikuti sama sekali tidak membawanya ke arah yang dia inginkan. Jadi apa Aomine harus melanjutkannya?

Lanjutkan saja! Kepalang tanggung!

Sebuah suara terdengar di kepala Aomine. Suara-suara yang memaksanya untuk terus melangkah sampai akhir. Siapa tahu langkah-langkah itu memang dirancang dengan hasil yang gradual, yang hasilnya baru bisa terlihat saat kamu benar-benar mengikuti langkahnya sampai habis.

.


.

Kalau kamu ingin mengutarakan secara tidak langsung, kamu bisa menggunakan catatan untuk memberitahukannya. Kamu bisa memberikan catatan itu sendiri atau meminta bantuan salah satu temanmu yang bisa dipercaya. Tulislah sebuah catatan manis yang isinya "Aku suka padamu" dan tempelkan di lokernya. Tulislah "Aku suka padamu" pada selembar kertas, pastikan surat itu ditujukan pada siapa dan "bukan" dari siapa. Jika ia membaca catatan itu dan melihat ke arahmu, maka itu artinya dia juga menyukaimu.

Huh.

Step yang itu jelas sangat sulit untuk Aomine jalani. Karena pertama, Aomine ini tidak satu sekolah dengan Kagami. Jadi bagaimana bisa Aomine mengendap-endap ke loker Kagami yang jelas-jelas berada di suatu lorong di gedung sekolah Seirin yang sama sekali bukan sekolahnya? Palingan Aomine hanya akan memasukkannya di tas Kagami.

Lalu yang kedua, tidak mungkin Aomine menulis catatan berisi "Aku suka kamu" dengan tulisan tangannya sendiri. Kagami itu sudah hapal bagaimana bentuk tulisannya—hell, selama beberapa hari terakhir kan dia sibuk menjadi tutor English-nya, jadi jika Kagami menoleh ke arahnya setelah membaca catatan itu, bisa dipastikan adalah karena Kagami tahu siapa yang menulisnya, bukan karena Kagami berharap Aominelah penulisnya. Jadi mungkin, kalau Aomine mau mengakali, dia akan mengetiknya dan mencetaknya dalam selembar kertas. Dengan begitu, Kagami tidak bisa mengenali tulisan tangannya.

Lalu belum lagi bagian yang 'meminta bantuan salah satu temanmu yang bisa dipercaya', ini adalah bagian yang paling penuh dengan omong-kosong. Karena siapa, sih, teman Aomine yang bisa dipercaya? Satsuki pernah mengadukan seluruh koleksi porno Aomine ke Ibunya hanya karena Aomine menolak untuk menemaninya berbelanja. Tetsuya? Dia lebih senang tersenyum di atas penderitaan orang. Jadi Aomine sama sekali tidak punya teman yang bisa dipercaya. Karena itulah, lebih baik Aomine sendiri saja yang memasukkannya di tas Kagami.

Aomine bersumpah dia sudah merencanakannya dengan matang. Sebuah catatan bertuliskan, 'Hei, aku suka kamu. Tebak siapa aku?' sudah ia siapkan. Repot-repot dia menelan gengsinya untuk meminjam printer Satsuki di tengah malam karena printer nya sendiri ngadat dan tidak bisa diandalkan di saat-saat terakhir. Lihat? Bahkan printernya—sebuah benda mati—saja tidak dapat dipercaya, apalagi teman-temannya. Aomine juga sudah repot-repot menyelenggarakan rencana latihan persahabatan antara Tim Touou dan Tim Seirin diikuti dengan hangout di majiba pasca latihan agar saat Kagami membuka catatan itu, dia dikelilingi oleh orang banyak seperti apa yang diilustrasikan dalam step wikihow.

Kalau benar Kagami juga menyimpan perasaan yang sama dengan Aomine, maka begitu Kagami membuka catatan itu di tengah hiruk-pikuk Majiba, matanya akan segera mencari Aomine. Dan Aomine berjanji, jika itu terjadi, dia akan segera mengutarakan perasaannya kepada Kagami keesokan harinya.

.


.

Tetapi apa yang terjadi?

Semuanya memang berjalan lancar pada awalnya. Aomine sudah memasukkan catatan yang ia cetak dalam kertas HVS yang ia lipat dengan rapi. Sebuah stiker bertuliskan 'OPEN ME' juga tidak luput Aomine tempelkan pada lipatan luar kertas tersebut, sehingga ketika Kagami membuka tasnya, dia akan segera melihat kertas itu dan terpicu untuk membukanya.

Sehari sebelum ini Aomine bahkan sudah sengaja untuk tidak mengembalikan pensil yang Kagami pinjamkan pada Aomine saat ia mengajarinya bahasa inggris. Menunggu untuk mengembalikannya di majiba nanti, supaya Kagami ada alasan untuk membuka tasnya dan membuka isi catatan itu di tengah hiruk-pikuk majiba.

Lihatlah betapa terencananya Aomine. Tapi sayangnya, Aomine melupakan satu hal. Yaitu pernyataan Aomine tentang teman-temannya yang tidak bisa dipercaya. Kalian ingat Wakamatsu? Rekan setimnya yang sebenarnya sudah Aomine anggap sebagai temannya sendiri itu, dengan tumbennya bermurah hati untuk membagi-bagikan permen karet seusai mereka latihan. Kagami yang tidak bisa menahan diri untuk tidak memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya, tentu saja memutuskan untuk mengunyah tiga permen karet sekaligus. Jadi saat mereka semua sudah terduduk di meja majiba yang paling besar dengan pesanan mereka terhidang di atas meja, Kagami yang sudah tidak sabar untuk memakan burgernya segera merogoh tasnya untuk mencari secarik kertas.

Kertas yang segera ia gunakan untuk membungkus permen karet hasil kunyahannya untuk kemudian ia remas-remas membentuk bola dan ia lempar ke tempat sampah.

Aomine tidak akan mempermasalahkannya, sungguh, jika saja kertas yang Kagami gunakan untuk membungkus sisa permen karetnya bukanlah catatan yang berisi pengakuan cinta Aomine.

Aomine ingin menendang bokong Wakamatsu.

Aomine ingin berteriak pada semesta.

"Kamu kenapa sih? Kebelet pup?" tanya Kagami, menatap Aomine lurus sambil mengunyah burger-nya. Aomine hanya menggeleng.

"Pernah nggak sih kamu ngerasa kalo takdir tuh gak pernah berpihak padamu?" Aomine menerawang ke atas dengan dramatis. Kagami hanya mengangguk.

"Pernah sih, waktu aku ketemu kamu."

"Hah?" Aomine jelas tidak paham apa maksudnya. Jadi dia hanya mengangkat alisnya, mengisyaratkan agar Kagami menjelaskannya.

"You know lah, kenapa takdir tega mempertemukan aku sama orang aneh yang sukanya malakin duit dan narsis setengah mati kayak kamu?" Ucap Kagami tidak peduli sambil terus menggigit potongan burger-nya.

"Wow, Kagami." Aomine kehilangan kata-katanya. Hampir dia berkata, tolong ingatkan aku kenapa aku bisa suka sama kamu. Tapi Aomine bisa menahan dirinya untuk diam dan hanya menendang tulang kering Kagami di bawah meja.

.


.

Kagami Taiga: Oi, aho. Besok jadi belajar bahasa inggrisnya ga?

Pesan dari Kagami terbaca tanpa dibalas oleh Aomine. Aomine menimbang-nimbang apakah dia benar-benar akan melakukan langkah kesembilan yang diinstuksikan oleh wikihow.

Jika kamu berani, kirimkan SMS yang isinya "Ya ampun, (masukkan namanya) keren sekali! lalu kirim SMS lain yang isinya "Eh, maaf ya, SMS yang tadi untuk (masukkan nama temanmu.)" Jika ia menyukaimu, maka tidak alasan baginya untuk tidak mengajakmu berkencan.

Aomine tidak percaya dia sudah mengikuti kedelapan langkah yang terdapat dalam artikel wikihow itu. Kini, sudah saatnya bagi Aomine untuk menjalankan langkah kesembilan. Yaitu yang barusan saja Aomine baca di layar smartphone-nya. Berbagai variasi pesan yang ceritanya akan ia 'salah kirim'kan ke Kagami sudah berjajar dan siap untuk dikirim.

Mulai dari yang simpel macam: Kagami keren banget gak sih?

Atau yang lebih menggambarkan perasaannya macam: Aku curhat ya, ngerasa nggak sih akhir-akhir ini Kagami makin bersinar gitu? Atau aku aja yang ngerasa kayak gitu ya? Tau nggak apa artinya?

Tapi pada akhirnya, Aomine memutuskan untuk tidak terlalu gamblang ataupun terlalu gombal. Dia memutuskan mengirimkan pesan singkat berbunyi: Akhir-akhir ini aku kepikiran dia melulu. Sialan banget, kenapa sih Kagami itu nggak berhenti masuk di otakku?

Mengangguk puas dengan apa yang telah ia rencanakan dan merasa jenius dengan apa yang dia pikirkan, Aomine lalu mengetiknya.

"Daiki sudah makan belum?" suara Ibunya terdengar dari luar kamarnya.

"Belum, Ma, sebentar-"

"Makan dulu! Ini juga kenapa ruang tamu berantahkan? Ini kaos kaki, kok, berserakan semua di depan TV."

Uh-oh. Ibunya mulai mengomel.

"Daiki?! Kesini sebelum ibu ke kamarmu dan membuang semua koleksi sepatumu!" Teriakan Ibunya makin mengeras, membuat Aomine buru-buru berdiri dan meninggalkan ponselnya begitu saja. Jika ada yang Aomine pelajari selama 17 tahun dia hidup di dunia, maka 'jangan pernah mengabaikan ibumu saat ia mengomel kalau tidak ingin sesuatu yang buruk menimpamu' adalah salah satunya.

.


.

Aomine Daiki: Akhir-akhir ini aku kepikiran dia melulu. Sialan banget, kenapa sijjksnckakl

Kagami menatap layar ponselnya dengan mata tajam yang memicing. Hatinya mencelos begitu membaca pesan yang dikirimkan Aomine. Bukannya menjawab pertanyaannya, Aomine malah menjawabnya seperti itu...

Kagami Taiga: Dia siapa? Teman misteriusmu? Sejak kapan aku jadi teman curhatmu hah?

Kagami mengehela napasnya dalam. Dia lalu melemparkan ponselnya ke atas ranjang, malas menatap layarnya lama-lama karena Aomine tidak kunjung menjawab pesannya. Segala percakapannya dengan Himuro kembali teringat dalam pikirannya.

Coba pikirkan deh, ada apa sebenarnya dengan Aomine? Atau ada apa denganmu?

Ada apa dengan Kagami? Kagami tidak tahu. Dia hanya kesal. Kesal karena Kagami tidak tahu siapa teman misterius Aomine yang membuat Aomine lebih fokus padanya dari pada sesi one-on-one mereka, yang cukup dekat dengan Aomine sampai Aomine mau mengajaknya nonton Black Panther berdua, yang cukup menyita perhatian Aomine sampai Aomine bercerita pada Kagami soalnya.

Kagami kesal dengan teman misterius Aomine dan Kagami tidak tahu kenapa.

Really, Kagami? Kamu tidak tahu kenapa?

Sebuah suara yang entah datang darimana, terdengar di telinga Kagami. Berbisik penuh konspirasi. Kagami tahu, suara itu adalah suara alam bawah sadarnya. Tapi Kagami sama sekali tidak ingin mendengarnya. Karena jika Kagami mendengarnya, maka itu artinya Kagami akan mengakui sesuatu yang sama sekali tidak ingin dia akui.

Denting suara ponsel Kagami menyadarkannya dari lamunan, ketika dia menatapnya dan menemukan nama Aomine Daiki di layar, Kagami tidak tahu harus bagaimana.

Aomine Daiki: ASTAGA WOI. ITU AKU SALAH KIRIM SUMPAH GA BOHONG.

Bahkan pesan itu tidak ditujukan untuknya. Pesan itu akan Aomine kirimkan pada yang lain. Pesan yang berisi curahan hati Aomine tentang bagaimana dia tidak bisa berhenti memikirkan teman misteriusnya. Huh. Bahkan untuk menjadi teman berbagi cerita, Aomine tidak memilihnya.

Kenapa rasanya sakit ya?

Kagami Taiga: You know what, terserah. Aku cuma mau tahu besok kita jadi belajar bareng atau enggak.

Aomine Daiki: Jadi dong.

Aomine Daiki: Kamu... nggak mau tahu siapa 'dia' yang aku maksud?

Kagami menatap ponselnya tanpa berkedip. Lalu ia bertanya pada dirinya sendiri, Hei, Taiga... apa kamu mau tahu?

.


.

Kagami Taiga: Apa aku kelihatannya peduli? Kamu suka sama siapa kek, itu bukan urusanku.

Aomine membaca pesan itu dan seketika ia tahu.

Oh. Ternyata selama ini dirinya begitu bodoh. Aomine lalu tertawa. Benar juga, ya. Siapa Aomine sampai dirinya berani berharap bahwa Kagami Taiga akan menyukainya balik? Siapa Aomine sampai dirinya lancang berpikir kalau Kagami Taiga akan tertarik padanya?

Huh.

Apa Aomine akhiri saja semua ini?

Jawabannya... adalah iya. Saat Aomine melaksanakan langkah kesepuluh dari artikel wikihow ini, saat itulah Aomine akan berhenti. Aomine sedikit banyak sudah tahu Kagami akan menjawab apa. Jadi Aomine tidak akan rugi apapun walau Kagami menolaknya.

Nyatakan perasaanmu. Apapun jawabannya, kamu harus percaya diri. Jika ia berkata ya, kamu harus percaya diri kalau ia menyukaimu apa adanya dan kamu adalah orang yang benar-benar menyenangkan. Jika ia tidak menyukaimu, abaikan dia dengan mengatakan sesuatu seperti, "Oh, oke. Tidak apa-apa." Lalu, lanjutkan hidupmu! Ingat, jawaban "tidak" bukan berarti ia menganggapmu seseorang yang buruk. Motivasinya mungkin beragam. Berpikirlah dengan percaya diri kalau seleranya tidak sesuai dengan dirimu dan masih banyak pria di luar sana yang akan beruntung memilikimu. Camkan itu!

Nyatakan perasaanmu, katanya.

Omong kosong macam apa itu? Rasanya mudah saja menulis begitu. Tapi yang menjalani ini yang panas dingin. Lagipula, kenapa instruksinya rancu begitu? Nyatakan perasaanmu padanya. Nyatakan bagaimana? Apa tidak ada cara yang lebih detail? Dengan mengajaknya kemana dulu kek, atau nyatakan dengan kata-kata yang bagaimana kek.

Wikihow tidak berguna.

"Latihanmu sudah dikerjakan belum sih?" Perkataan Kagami yang ketus mengundang Aomine untuk mengangkat kepalanya dari layar ponsel. Halaman Wikihow yang belum sempurna ia tutup menjadi terabaikan. Ia kemudian menghela napas, persiapan untuk benar-benar mengutarakan perasaannya pada Kagami. Aomine akan melakukannya siang ini. Fix. Tidak tahu bagaimana caranya, tidak tahu harus bicara seperti apa, yang jelas Aomine memasrahkannya pada takdir. Jika nanti Aomine melihat adanya kesempatan, maka dia harus mengambil kesempatan itu dan mengatakan tanpa ragu.

Ketika Aomine menatap Kagami untuk meminta maaf karena lagi-lagi terdistraksi oleh ponselnya, dia melihat raut wajah Kagami yang sangat masam. Saking masamnya sampai membuat Aomine ingin menjilatnya, merasakan apa benar rasanya juga asam, sama seperti kelihatannya. Lalu leher itu, leher dengan kulit kuning langsat yang mengkilat karena keringat akibat AC ruang tamu Kagami yang tidak dinyalakan. Mengundang untuk dijilat juga, Aomine cuma ingin membuktikan apa benar keringat manusia itu rasanya asin.

"Kenapa bibirnya dijilat-jilat begitu?" tanya Kagami keheranan. Aomine terkejut dari buru-buru memasukkan lidahnya kembali ke mulutnya. Wow. Bahkan lidahnya saja bergerak sendiri tanpa berkoordinasi dengan otaknya lebih dulu. Lihat? Bahkan anggota tubuhnya sendiri tidak bisa Aomine percayai!

Apa di dunia ini benar-benar ada yang bisa dipercaya?

"Aomine?" tanya Kagami lagi, kali ini raut wajahnya menjadi sedikit khawatir.

"Hm?" Gumam Aomine.

"Latihan soal bahasa inggrismu?" untuk kesekian kalinya Kagami bertanya, kali ini sambil menunjuk buku tulis yang terbuka lebar di depan Aomine.

"Oh, iya. Interrogative Text. Uhh... jadi untuk past perfect tense..." Aomine kembali menatap bukunya, membiarkan tatapannya memandang kumpulan soal dan beberapa catatan tangan Kagami.

"Yang bagian ini salah," Kagami menunjuk satu soal, menggeser pantatnya untuk duduk lebih dekat dengan Aomine. Tubuhnya condong, membuat wajah Kagami berjarak kurang dari tiga senti di depan Aomine. Mereka tidak bertatapan karena mata Kagami yang terpancang pada buku tulisnya, sibuk menjelaskan sesuatu tentang hal yang menurut Aomine tak perlu ia tahu. Wangi aroma tubuh Kagami menguar, menyambangi indera penciuman Aomine.

Vanilla dan sedikit wangi bunga krisan.

"Paham nggak?" tanya Kagami.

Sejujurnya? Aomine bahkan tidak mendengar apa yang barusan dikatakan Kagami, tetapi demi harga dirinya, Aomine mengangguk sambil mengingat-ingat segala jenis sumpah serapah untuk memaki Kagami dalam hatinya karena dengan lancang telah membuatnya sangat tak berkonsentrasi.

Dasar Idiot. Alis cabang. Perut babi. Mulut vacuum cleaner. Lengan berotot. Dada bidang. Bibir seksi. Mata indah.

Dan sungguh Aomine semakin merutuki nasibnya. Sedalam itukah Aomine sudah jatuh ke dalam jurang sampai saat dirinya ingin mengolok Kagami yang muncul malah serangkai pujian?

"Paham kan? Nah sekarang coba kamu buat satu kalimat interrogative pakai past perfect tense. Nggak usah ditulis, dikatakan saja. Nanti aku yang jawab." Ujar Kagami lagi, masih saja berpikir kalau selama ini Aomine mendengarkannya.

Jadi, Kagami menyuruhnya membuat suatu kalimat interrogative past perfect tense. Masalah past perfect tense, Aomine tidak peduli. Karena dari awal dia memang tidak tahu apa maksudnya. Fokus Aomine di sini adalah kalimat interrogative-nya. Sebuah kalimat yang membutuhkan sebuah jawaban. Dengan kata lain, sebuah pertanyaan.

Dan ini adalah kesempatan Aomine.

Aomine menghela napasnya dalam-dalam, terlihat dramatis memang, tetapi Aomine butuh seluruh udara yang bisa dia hirup untuk mengisi paru-parunya agar nanti ketika dia lupa bernapas sesaat setelah mengutarakan perasaannya, setidaknya Aomine masih memiliki persediaan oksigen.

Aomine menatap mata Kagami lurus tepat di manik mata coklatnya. Lalu bertanyalah ia satu kalimat yang selama ini ingin ia tanyakan pada pria berambut merah itu.

.


.

"Are you like me?"

Jawabannya hanyalah sunyi.

Kagami yang mendengar pertanyaan Aomine hanya bisa bertanya-tanya apa maksudnya. Pertama, itu sama sekali bukan past perfect tense. Kedua, are you like me? Apa kamu sepertiku? Pertanyaan macam apa itu. Aomine serius tidak, sih, belajarnya?

Kagami sudah mencoba menahan kesalnya sesiangan ini. Dia sudah berbaik hati mau membuka pintu rumahnya sebagai tempat untuknya mengajari Aomine bahasa inggris. Jadi tidak bisakah Aomine menghargainya dengan setidaknya memperhatikan Kagami? Bukan malah sedikit-sedikit melihat ponselnya atau mata yang menerawang tanpa konsentrasi.

Aomine ini... niat tidak, sih?

"Kamu nggak mendengar penjelasanku, ya?" Kagami mengangkat alisnya, kekesalannya sudah di puncak ubun-ubun.

"Kalau kamu memang nggak niat belajar siang ini, tinggal bilang padaku. Yang butuh belajar juga siapa. Kalau memang kamu lebih fokus sama siapalah itu temanmu, ya sudah, sana ke dia saja!" Suara Kagami meninggi sambil membuang muka. Di sadar dia merajuk dan dia tidak peduli. Lewat sudut matanya dia melihat Aomine melebarkan mata.

"Aku serius, kok." ujar Aomine setelah tiga detik terdiam penuh kebingungan.

"Serius apanya?"

"Serius nanya." Ujar Aomine lagi, nadanya memelan. Seperti takut melihat apa reaksi Kagami setelahnya. Kagami mengangkat satu alisnya.

"Kamu nanya apa sih? Are you like me? Apa kamu sepertiku?"

.


.

Huh.

Jadi arti dari Are you like me adalah apa kamu sepertiku? Seriusan? Aomine ingin tertawa karena menyadari bahwa dirinya lebih bodoh dari yang ia pikirkan. Pantas Kagami kesal padanya. Pertanyaannya ini benar-benar tidak masuk akal.

"Maksudku tadi itu... aku tanya apa kamu suka aku, gitu. Bahasa inggrisnya apaan?" Tanya Aomine, lupa sejenak akan kegugupannya berkat terlalu terkagum-kagum dengan kebodohannya sendiri. Kagami mendengus.

"Kok, kamu goblok banget, sih?" tanya Kagami, menatap Aomine dengan tatapan yang sama sekali tidak terkesan.

Ouch.

Menusuk tetapi tidak membuat Aomine sakit hati. Karena pertanyaan Aomine adalah pertanyaan yang tidak berhenti ia tanyakan pada dirinya sendiri selama belasan tahun ia hidup di dunia.

"Gini, ya, Aomine," Kagami mencondongkan tubuhya kembali, mencoret-coret di selembar kertas. "Like itu artinya ada dua, bisa 'suka' bisa juga 'seperti'. Kalau kamu pakai 'are' seperti itu... artinya jadi seperti. Nah, kalau kamu mau tanya 'Apa kamu suka aku'.. berarti yang benar adalah..."

Kagami mengangkat wajahnya untuk memandang Aomine.

"Yeah?" tanya Aomine, berhenti bernapas.

"Do you like me?"

Kagami mengucapnya seolah tidak mengerti tentang arti sesungguhnya dari pertanyaan itu. Dia menatap mata Aomine dengan tatapan inosennya dan itu membuat Aomine mematung. Dada Aomine berdetak kencang. Dia ingin—Aomine tidak tahu apa yang dia inginkan. Tetapi dia ingin.

"Yeah, I like you." ucap Aomine pada akhirnya. Lirih. Tanpa mengijinkan matanya untuk menatap ke arah lain. Hanya lurus menancap ke pupil mata Kagami yang berangsur melebar begitu mencerna apa yang Aomine katakan. Aomine mengira Kagami akan terkejut, bingung, atau hal yang lainnya. Aomine sudah memikirkan jutaan reaksi yang akan Kagami lemparkan padanya setelah Aomine mengatakannya. Tetapi tertawa... bukanlah salah satunya.

"Smooth, Aomine." Kagami berkata di sela-sela tawanya. "Apa kamu segombal ini ke semua orang? Hell, mimpi apa aku semalam."

Lidah Aomine kelu.

Tetapi Aomine serius. Aomine serius dan Kagami menertawakannya. Kagami mengabaikannya, seolah apa yang Aomine katakan sama sekali tidak berarti. Hanya sebuah guyonan di tengah break belajar bahasa inggris.

"Kok, ketawa?" tanya Aomine, bingung harus berucap apa lagi.

"Ya, karena kamu aneh."

Aomine aneh.

Aomine mengulang ajektif itu di kepalanya sendiri. Bagi Kagami, Aomine aneh. Bagi Kagami, perasaan Aomine adalah sesuatu yang aneh dan Aomine tidak tahu harus bagaimana ia mencerna fakta itu.

Satu yang jelas sekali Aomine ketahui... Dia telah gagal, bukan? Artikel wikihow itu sama sekali tidak berhasil, bukan? Walau Aomine sudah melakukan kesepuluh langkah yang diinstruksikan di artikel itu, pada akhirnya semuanya berakhir tidak seperti yang ia inginkan, bukan?

Kejadian setelah itu menjadi kabur. Begitu Aomine sadar, kakinya sudah berjalan dan tubuhnya sudah berada di luar apartemen Kagami. Aomine terus berjalan dan berjalan tanpa menoleh ke belakang sekalipun. Walau sayup ia mendengar suara Kagami meneriakkan namanya.

.


.

Aomine bodoh. Kagami tahu Aomine itu adalah orang yang bodoh sejak zaman dahulu kala, tetapi ada seseorang lagi yang lebih bodoh dari Aomine. Seseorang yang terus-menerus menepis pikiran-pikiran anehnya tentang Aomine yang akhir-akhir ini selalu menyambangi, seseorang yang terus-menerus mengabaikan rasa pahit yang muncul saat Aomine sibuk dengan ponselnya—menyangka bahwa itu adalah gebetan Aomine yang sama sekali tidak dia kenal, seseorang yang terus-menerus menolak berharap saat Aomine bahkan mengatakan dengan gamblang bahwa pria berambut navy itu menyukainya.

Seseorang itu adalah Kagami.

Tadi, setelah Aomine pergi dari apartemennya tanpa mengindahkan teriakan Kagami yang memanggilnya, Kagami benar-benar bingung luar biasa. Dia berakhir mondar-mandir di sekeliling ruang tamu apartemennya untuk kemudian menyadari bahwa Aomine meninggalkan tas dan bahkan ponselnya. Tidak tahu harus bagaimana selain menyusul Aomine entah ke mana ia pergi untuk mengembalikan semua barang-barang yang ia tinggal sambil meminta maaf, Kagami buru-buru menyampirkan tas Aomine di bahunya dan membawa ponsel itu di tangannya. Tidak tahu harus kemana, dia segera membuka ponsel Aomine yang tidak dikunci, bermaksud mencari kontak rumahnya atau kontak teman Aomine yang ia kenal.

Tetapi sungguh, Kagami sama sekali tidak bermaksud untuk melihat itu semua.

Sebuah laman artikel wikihow terpampang jelas. Sebuah artikel berjudul Cara Mengungkapkan Rasa Suka Pada Seorang Cowok yang berisi sepuluh langkah yang harus dilakukan sebelum menyatakan rasa sukanya. Sepuluh langkah yang semakin Kagami baca semakin terasa familiar di otaknya. Aomine melakukan itu semua padanya. Sikap Aomine yang aneh itu, meminta bantuan untuk pelajaran bahasa inggris itu, kontak fisik yang sering dilakukan oleh Aomine itu, kencan itu... dan entah apalagi hal yang Aomine lakukan namun luput Kagami sadari.

Holyshit.

Holyshit. Aomine menyukainya. Dan sialnya lagi, Kagami sama sekali tidak keberatan soal itu. Malahan, segala bantahan tentang perasaannya sendiri menguap, menyisakan sebongkah rasa yang sudah tidak bisa lagi Kagami sangkal.

Lutut Kagami melemas.

"Lalu bagaimana?" tanya Kagami entah pada siapa. Angin sama sekali tidak menjawabnya, begitu juga jam dinding di ruang tamunya. Semuanya sunyi, hanya tersisa suara detak jantung Kagami yang sama sekali tidak berkeinginan untuk memelan.

"Ah, Fuck it." Kagami menyumpah sambil menendang benda imajiner yang ada di lantainya, lalu berlari ke luar apartemennya. Berlari dan berlari terus tanpa tujuan. Sempat ia ingin berhenti dan menelepon seseorang, Momoi mungkin, bertanya di mana Aomine sekarang. Kagami butuh bertemu dengannya. Kagami butuh menendang tulang rusuknya dan mengatainya bodoh. Bodoh karena mengapa memilih mengikuti langkah wikihow tidak masuk akal itu dan bukannya menjadi dirinya sendiri. Dirinya sendiri yang Kagami sukai apa adanya.

Fuck.

Baru pertama kali itu Kagami mengakuinya dengan keras di dalam kepalanya, Kagami benar-benar suka pada pria berkulit sawo matang itu, huh?

Mungkin Kagami sudah gila, karena alih-alih menelepon Momoi lewat ponsel Aomine untuk setidaknya bertaya di mana alamat pria berkulit sawo matang itu, langkah kaki Kagami malah berderap di jalan menuju ke lapangan tempat ia biasa bermain basket berdua dengan Aomine. Ada sebuah firasat yang mengatakan jika Aomine ada di sana.

Untungnya, firasat Kagami benar.

Jadi ketika Kagami sudah berada kurang dari satu meter di hadapan Aomine, mengabaikan raut wajah terkejut Aomine, Kagami segera menendang tulang keringnya dengan keras.

"Aduh, Kagami. Sialan!" Aomine mengumpat, tetapi Kagami tidak peduli.

"Kamu idiot." ucap Kagami, tidak memberikan kesempatan Aomine untuk berkata apa-apa. Aomine membuka mulutnya dan kemudian menutupnya lagi, sepertinya juga tidak tahu harus berkata apa.

"Bisa nggak sih kamu bilang sesuatu yang aku belum tahu?" setelah lima detik penuh sunyi, Aomine bertanya dengan lirih. Kagami menggeleng. Apa yang kini sebenarnya terjadi, Kagami sama sekali sudah kehilangan kemampuannya untuk mencerna. Kagami tidak membiarkan otaknya untuk berpikir jernih, karena jika ia mencobanya, maka seluruh keberanian yang diciptakan oleh adrenalinnya akan menguar tak bersisa. Sementara Kagami butuh bicara dengan Aomine. Pembicaraan yang membutuhkan keberanian.

Aomine berdiri di depannya dengan raut wajah yang penuh kebingungan, bercampur dengan antisipasi dan sedikit rasa takut.

"Jadi," ujar Kagami.

"Jadi." Aomine membeo. Baru setelah Kagami mengangkat ponsel Aomine dan melemparnya pada pria di depannya, yang tentu saja berhasil ia tangkap, mata Aomine menjadi lebih lebar dari yang sebelumnya.

"Kamu... baca artikel wikihownya?" tanya Aomine, ekspresinya menyiratkan bahwa ia ingin bumi untuk menelannya bulat-bulat.

"Menurutmu?" Selangkah mendekat.

Pertanyaan Kagami hanya dijawab Aomine dengan hembusan napas lelah.

"Aku bodoh kan?" tanya Aomine akhirnya.

"Dari dulu." Jawab Kagami, selangkah lagi mendekat.

Lalu mereka terdiam, sampai akhirnya Kagami membuka mulutnya lagi.

"Tapi kamu tahu siapa yang lebih bodoh?" tanyanya, pertanyaan yang membuat pompa jantungnya makin berpacu cepat. Kakinya membawanya selangkah lagi lebih dekat dengan Aomine.

"Uh... penulis artikel wikihow-nya?" tanya Aomine balik, membuat Kagami terkekeh. Kakinya melangkah lebih dekat ke arah Aomine, menyisakan jarak puluhan sentimeter saja di antara mereka. Kagami melihat Aomine refleks ingin melangkah mundur, namun mengurungkannya.

"Bukan, Aho. Tapi aku."

"Huh."

Sesaat setelah itu, angin berhenti berembus, bersamaan dengan Kagami yang mengecup bibir Aomine lembut.

.


.

Tidak perlu kalian bertanya apa yang kemudian terjadi setelah itu kepada Aomine. Karena Aomine sudah lupa. Otaknya konslet akibat kecupan Kagami dan dirinya merasa itu semua seperti mimpi. Begitu Aomine bisa memakai otaknya kembali, yang dia sadari pertama kali adalah Kagami yang tersenyum ke arahnya.

"Masih ingat apa bahasa inggrisnya apa kamu suka aku?" tanya Kagami.

"Do you like me?" jawab Aomine.

Kagami mengangguk.

"I like you. Aho."

"I-I like you too." jawab Aomine terbata.

"I know."

Dan Aomine belajar satu hal di sore itu. Bahwa ternyata, Kagami menyukainya apa adanya. Bahwa ternyata, dirinya tidak perlu bergantung pada sebuah artikel bodoh untuk mendapatkan hati Kagami. Karena ternyata, sejak awal hati Kagami telah menjadi miliknya.

.

.

FIN

.