"Ku mohon…" pintanya lirih, bibir tipisnya bergetar, ada rasa tak nyaman setiap kali ia merasakan sentuhan terlampau intim pada permukaan kulitnya, sesuatu yang lunak dan basah terasa jelas pada sepanjang leher jenjang putihnya. Matanya rapat ia pejamkan, menahan rasa yang sangat tidak nyaman.

"Aakh hmm…" pekiknya tertahan, begitu sesuatu yang tajam terasa menggores kulit lehernya, perih namun disusul dengan hisapan kuat seolah mengurangi rasa sakit akibat gigitan itu hingga bekasnya terlihat bertumbukkan antara titik titik bekas gigitan dan ruam merah keunguan akibat hisapan kuat yang terkadang diselingi beberapa jilatan basah.

Bibir peach-nya memucat, terdapat beberapa gores bekas gigitan dengan warna merah yang keluar dari sela goresannya, terlampau sering ia gigiti demi untuk menahan suara yang tak pernah ia inginkan lolos dari belah bibir tipisnya, ia menahannya sekuat yang ia bisa, meski pada akhirnya suara-suara itu dengan kurang ajarnya lolos sendiri setiap kali titik lemahnya disentuh, dipermainkan dengan begitu intim hingga kata menyerah beberapa kali terlintas dalam pikirannya.

Tetesan bening tak hentinya mengalir dari sudut matanya, seakan tak terputus seperti bagaimana ia terjebak dalam kenyataan menyakitkan yang tak pernah ia bayangkan, ini salah! Tetsuya sadar jika semua ini salah, haram! Tak boleh terjadi!

Tetsuya tak mampu lagi menahan gejolak perasaannya, hal ini terlalu rumit untuk bisa diproses oleh otaknya, hatinya kalut, pikirannya kacau, setiap kali kenyataan menyakitkan itu seakan tervisualisasi di hadapannya, dia bukan jalang yang bisa dicumbu seenaknya, dipakai hanya untuk memuaskan nafsu, tidak!

Ceruleannya menyendu, kelopak pucatnya perlahan membuka, setelah tadi teramat rapat ia tutup, namun sejurus kemudian menutup kembali. Bersamaan dengan terlepasnya penghubung dua tubuh polos dalam cahaya remang, Tetsuya memejamkan matanya memaksa diri untuk menghilang dari kenyataan saat ini, berharap esok ketika ia membuka mata semuanya hanya mimpi. Ya! ia berharap semuanya hanya mimpi belaka!

UNKNOWN

DISCLAIMER!

Kuroko No Basuke by Fujimaki Tadatoshi

Collab fic by Mel and Kizhuo

Warning!

Typo(s), BL, AU, OOC, Fault Story

Rate-M

DLDR! No Flame! Kami sudah Mengingatkan

Enjoy Read

Tatapan sinis menusuk dua bola mata yang masih mencoba menatapnya dengan seduktif.

"Sei, aku senang kau pulang ke rumah masih siang, aku rindu sekali padamu, setelah sekian lama kau luangkan waktu berhargamu untukku." Senyum termanis dipulas gincu lekat di bibir tipisnya. Kaori berdelusi. Berkhayal sosok yang ada dihadapannya adalah suami yang penuh cinta. Padahal ia tahu tak setitik pun rasa itu ada pada diri suaminya.

"Ganti bajumu dengan yang lebih sopan!" ujar suaminya acuh, tanpa menoleh pada wanita yang ia punggungi.

Kening putih berkerut, "Sayang, aku nyaman dengan yang aku pakai sekarang." Tubuh ramping itu malah menggeliat, niat hati menggoda iman lawan bicara.

Seijuurou membuang muka, muak dengan tubuh yang telah digerayangi tangan bertato berpuluh kali, atau ada tangan-tangan lainnya? Pria muda itu sudah tidak mau tahu lagi.

"Sei, apa arti aku buatmu?" ketika tidak ada respon dari tingkahnya yang menggoda. Seijuurou menghela nafas, "Tidak ada, sudah lah, kita sama-sama tahu, aku tidak tertarik padamu, dan kau pun sudah lakukan apa yang kau suka di luar sana, jadi tidak ada yang tersisa lagi!" diucapkan tanpa beban, tapi sungguh merobek hati yang terkurung dalam relung iganya.

Mata bening membulat, bibir sensual hanya mampu membuka, lalu terkatup. "Sei..." ucapnya lirih. "Sudahlah, dari awal ini hanya perkawinan bisnis, dan aku bodoh sekali mau mengikuti sandiwara ini." Ucap suaminya ringan.

Wajah cantik itu mengeras, "Sandiwara katamu? kalau begitu kau pelakon ulung, Sei !" Kecewa sangat kental pada nadanya.

"Haha, bukankah kau lebih ulung lagi Kaori? Jangan kira aku dan keluargaku tidak tahu seperti apa kau di luar sana, juga motif menjijikanmu itu!" Seijuurou hanya melirik dengan ekor matanya. "Hari ini aku akan membebaskanmu, bersiaplah, setengah jam lagi pengacara akan datang, juga orang tua kita." Sambungnya datar.

"Apaaa ?" tubuh kurus itu terlonjak, "kau keterlaluan Seijuurou!" racaunya. "Lihat saja akan aku bunuh Kuroko Tetsuya!" tiba-tiba lantang ia berteriak. Kalimat yang sudah lama ia ingin semburkan ke wajah tampan yang selalu dingin.

Tapi pria itu hanya melirik sinis. "Lakukan sesukamu, semaumu, aku tidak peduli!" Kakinya melangkah ke meja pendek, lalu membuka tas kerja lalu mengeluarkan berkas yang sudah ia siapkan dari lama.

Mata bening terbelalak menatap dokumen yang ditengah ditandatangani, emosinya tidak terkontrol, "Aku tidak mau bercerai, Seijuurou!" tangan kurus itu hendak merebut, melemparkan ke perapian yang tengah menyala, api merah menjilat-jilat kayu bakar, bunyi gemertak terdengar ketika kulit kayu regas dilalap api. Tapi sekelebat gunting melayang lalu menancap pada meja kayu. Hampir mengenai lengan kurusnya. Tatapan horor menusuk sepasang rubi.

"Sei, aku tidak mau cerai!" kini air matanya bercucuran. Jemari kurus terkepal di depan dada yang tampak penuh.

"Keluarga kita sudah sepakat untuk mengakhiri perkawinan ini. Dan dua hari lagi pengumuman perceraian akan ada di media massa." ucap pria muda itu tenang.

"Seijuurou, kau brengsek!" umpatnya diantara isaknya.

.

"Ini nyonya." Kaori merebut kardigan yang disodorkan maid. Seijuurou masih punya hati menyuruh pelayan mengambilkan pakaian untuk menutup tubuh minim kain, bahkan tanpa bra itu, sebelum pertemuan.

Ia hanya melirik wajah cantik tapi kosong di depannya. Kini wanita itu berlutut di depan meja.

.

Pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan. Cerai!

Cucuran air mata hanya sepihak, dua orang wanita sedarah, ibu anak. Sementara di pihak lain tiga orang Akashi perlahan menghela nafas lega, meski wajah aristrokat mereka tidak menunjukan emosi yang signifikan.

Rencana mediasi perkawinan yang ditawarkan keluarga Yamahara gagal, karena keluarga Akashi memang sudah tidak mau bertoleransi lagi.

"Akashi-san kumohon jangan memasang pengumuman di media massa, ini aib untuk kami, bahkan untuk keluargamu." Ujar ayah Kaori, terdengar sangat berat.

"Semua terserah Seijuurou, Yamahara-san." Sahut Akashi Masaomi, yang duduk bersandar pada sofa, tangannya bersedekap, sementara Akashi Shiori, memperhatikan dokumen-dokumen yang tengah dirapikan pengacara, dimasukkan ke dalam map. Beberapa dokumen akan di bawa ke kantor catatan sipil untuk pemberkasan.

"Lebih baik kau tidak mengundang banyak polemik, Seijuurou-sama, banyak yang akan terjadi bila kau membuat pengumuman di media massa, dan apa keuntungannya?" ujar pengacara yang hadir disana.

Seijuuro sebenarnya hanya ingin mengumumkan, mendeklarasikan bahwa ikatannya sudah berakhir, agar hidupnya tidak dikait-kaitkan lagi dengan perempuan itu. It's all over!

"Akashicchi sudah resmi bercerai ya ssu ?" mata madu menatap iris navy di depannya.

"Belum! Tapi aku rasa itu akan terjadi tidak lama lagi, hanya menunggu ketuk palu hakim." ia menuangkan cairan kuning beralkohol kadar menengah pada sebuah beer mugs, busa putih setebal satu inci tercipta, mendesis, melapisi cairan keemasan dibawahnya. Bir dingin itu direguk, lelehan menetes di dagu, hanya dilap dengan punggung tangannya.

Kise menatap sahabat yang mungkin sebentar lagi akan menjadi kekasihnya, menenggak minuman itu dengan nikmat. Sementara di hadapannya segelas punch vodka lemon dengan irisan lemon kuning masih belum tersentuh. Telunjuknya hanya menyentuh pinggiran gelas.

Sesekali meminum cairan beralkohol bersama tentu sangat menyenangkan, mereka mencoba untuk menghilangkan penat. Apalagi Kise yang sudah beberapa waktu lalu harus mengemudikan pesawat. Ia benar-benar ingin me-refresh tubuhnya.

"Aominecchi, menurutmu apa yang akan terjadi?" ia tatap gelas dengan kaki tinggi itu. Manik madunya menyiratkan kerisauan yang mungkin sama besar dengan teman navy-nya, bukan soal Akashi yang tengah berkutat dengan perceraiannya, karena mereka sama-sama tahu jika lelaki merah itu pasti dengan mudah bisa menyelesaikannya tanpa kesulitan yang berarti, tapi kerisauan itu lebih kepada sosok biru muda yang amat mereka sayangi.

"Entahlah-" bahu lebar terbalut jaket gelap itu terangkat, tak terlalu peduli dengan apa yang terjadi dalam rumah tangga mantan kaptennya itu.

"Tapi, sepertinya Akashi akan melakukan sesuatu, ia sudah berbulan-bulan bertahan dengan kondisi perkawinannya, ya walaupun ditutupi, kau tahu sendiri 'kan dia seperti apa ?!" ucapannya ditutup dengan helaan nafas berat yang dibalas anggukan oleh lelaki yang berprofesi sebagai pilot itu, lalu menyesap minuman yang cukup lama ia abaikan.

"Kapten kita ternyata nasibnya tidak absolut ya ssu." Ada sunggingan miring di bibir tipis pria bersurai pirang. Bayangan bagaimana sosok wanita yang menjadi teman hidup mantan kaptennya yang tengah bergelayut manja pada lengan pria bertato tempo hari lalu membuatnya spontan menelengkan kepala, ada rasa miris sepintas lewat di hatinya.

Aomine kembali meneguk birnya. Lalu mendesah, "Ahh, absolut sial ternyata!" nadanya terdengar malas dan sarkas.

"Aominecchi tega sekali ssu!" bibir tipis itu mengerucut. Lalu mereka terkekeh.

"Dia sial karena meninggalkan orang sebaik Kurokocchi yang imut. Apa kau pikir Akashicchi menyesal meninggalnya ssu?" Matanya menatap navy yang setengah tersembunyi kelopak tan. Aomine mengangkat bahu. "Kalau aku jadi dia, aku pasti sangat menyesal, atau aku takkan menerima perkawinan itu, akh Tetsu, andai saja ia bisa jadi milikku !" pikirannya yang sudah tercemar alkohol mengawang.

Bugh! Tiba-tiba saja kepalan tangan Kise memukul kepala bersurai navy. "Jangan berkhayal berlebihan, Aominecchi !" mata beriris biru membelalak, tangannya mengusap pucuk kepala yang baru saja menjadi korban pemukulan.

"Sakit, Kise!" ia melihat mata hazel didepannya menatap tajam. 'Apakah dia cemburu ?' batinnya, naah! Ia alihkan perhatiannya pada botol yang isinya telah habis setengah, lalu menuangkannya lagi pada mug, yang hanya berisi busa putih. Ketebalan buih di permukaan gelas semakin bertambah. Kembali mendesis.

"Ne…ne…apa Midorimacchi tidak memberimu informasi apapun ssu?" Pertanyaan yang hanya dijawab dengan gelengan.

"Sepertinya ia juga menyimpan sesuatu sendiri, mengelak ketika aku tanya hal-hal yang berkaitan dengan Tetsu, dasar megane sialan!" Umpatnya kesal mengingat bagaimana Midorima selalu mengelak bahkan terkadang tak menghiraukannya jika sedang berdua dan membahas tentang Tetsuya seakan menyembunyikan sesuatu.

Informasi apa yang kau punya Midorima ? batinnya.

"Aominecchi, aku akan telpon Midorimacchi sekarang!" sebuah handphone digenggam disusul dengan jemari lentik yang menekan tombol hijau begitu nama teman berkacamatanya itu terpampang pada layar gawainya.

"Ada apa kau menghubungiku, Kise?" suara ketus terdengar dari seberang sana. Suara musik melatari, merambat di saluran telinga dokter muda. Ia tidak suka tempat yang terlalu bising.

"Midorimacchi, apakabar ssu? Aku sedang bersama Aominecchi, di Orient bar, mau bergabung?" suara ceria palsu Kise membuat alis hijau lumut berkerut.

"Aku tidak tertarik, nanodayo." Ucapannya pendek.

"Dasar! Midorimacchi selalu saja tidak asyik-ssu" rajuknya sambil mengerucutkan bibir, membuat teman di depannya gemas ingin sekali menarik bibir itu atau mungkin menyentuh dengan bibirnya – dasar Aomine dengan pikiran kotornya.

"Aku sibuk, akan ku tutup!" ponsel ia jauhkan dari telinga, bersamaan dengan suara nyaring yang nyaris saja membuat telinganya berdengung.

"Tunggu Midorimacchiiiii, jangan tutup dulu-ssu!" Teriak Kise yang sukses membuat mereka menjadi pusat perhatian, Aomine hanya memasang wajah malas, sudah terlampau biasa dengan teriakan manusia kuning yang sayangnya sudah berhasil merebut hatinya itu.

"Kami sedang membahas soal Kurokocchi, sebaiknya kau juga ikutan-ssu," sambung kise tanpa mempedulikan tatapan dari sekitarnya.

.

"Hey, lihat! Itu si megane!" tunjuk Aomine dengan kepalanya saat tatapannya tepat jatuh pada sosok tinggi bersurai hijau yang tengah berjalan menuju arah dimana ia dan kise tengah duduk, Kise menolehkan kepala ke arah yang ditunjukkan oleh Aomine.

"Waaah Midorimacchi!" pekik kise refleks yang membuat mereka kembali menjadi pusat perhatian, kali ini tangan kekar polisi tan itu refleks menepuk sayang kepala sang tambatan hati, meski tak seperti biasanya karena kali ini dibarengi dengan rasa penuh sayang namun tetap saja mendapat reaksi tak terima dari Kise yang malah membuat Aomine kian gemas meski tertutup dengan tampang malasnya.

Pemandangan yang mengotori mata emerald dibalik kacamata berframe hitam, menyebalkan sekali, rutuk Midorima ekor matanya melihat kemesraan teman kopi susunya.

"Aku sebenarnya malas, nanodayo kalian tahu kan a-"

"Iya-iya aku tahu, kau terlalu sibuk untuk datang ke tempat seperti ini bukan!" potong Aomine yang sukses membuat Midorima mendengus kesal walau samar, meski ucapan kawannya itu memang benar tapi tetap saja ia tak suka jika dipotong ketika berbicara.

"Sudah-ssu, Midorimacchi duduk-ssu" lerai kise, kemudian meminta Midorima untuk mengambil tempat duduk di dekatnya.

"Midorimacchi mau pesan sesuatu?" kise mencoba memecah keheningan, meski sebenarnya tempat itu tak hening juga karena alunan musik beat tetap menghentak walau tak terlalu kencang.

"Tidak! Aku masih harus jaga malam ini nodayo" tolak Midorima. "Bagaimana kalau segelas orange juice saja, ssu?" kembali Kise menawarkan minuman, rasanya tidak nyaman kalau hanya mereka berdua yang minum. Tapi surai hijau tegas menolak.

"Oke, oke ssu, hm Midorimacchi, apa kau tahu jika Akashicchi bercerai ssu?" Kise langsung mengarahkan pembahasan pada masalah sang kapten.

"Ya, itu pasti akan terjadi karena kalian tahu sendiri bagaimana Akashi kan?!" ia menaikkan kacamatanya sembari memejamkan mata, seolah tengah memikirkan sesuatu begitu nama Akashi keluar menjadi topik pembahasan dan Aomine cukup jeli menangkap perubahan dari teman berkacamatanya itu.

"Apa yang kau pikirkan Midorima?" ucapnya frontal, Aomine tak ingin berbasa-basi karena sudah sejak beberapa minggu yang lalu ia menyadari kejanggalan sikap temannya itu setiap mereka memutuskan untuk bertemu.

"Apa maksudmu?" Midorima terlihat tenang, cukup apik untuk menyembunyikan kegusarannya.

"Jangan pura-pura, aku tahu kau sedang memikirkan sesuatu!" Aomine menyesap cairan dalam gelasnya dengan amat santai, sementara Kise hanya bisa terheran-heran, otaknya yang ternyata lebih buruk dari Aomine cukup sulit untuk mengartikan apa yang tengah diperbincangkan oleh rekan-rekannya.

"Kalian bicara apa sih ssu, aku bingung tahu!" protesnya, namun tak mendapat respon berarti melihat bagaimana Aomine yang masih memasang tampang santai. Wajah malasnya malah terlihat lebih kepada acuh, sementara Midorima terlihat kembali memejamkan kelopak matanya.

"Hmmmm…" dokter muda itu menarik nafas panjang, mungkin ia memang harus membagi kerisauan pikirannya kali ini pada teman-temannya.

Ia merogoh saku mantelnya lalu mengeluarkan sebuah benda berkilau dari dalam sana yang membuat kedua temannya itu cukup terkejut.

"I itu-"

"Bukankah itu kalungnya Kurokocchi?!" Kise memotong ucapan Aomine yang dibalas anggukan setuju oleh lelaki navy itu.

"Iya, ini kalung yang kuberikan sesaat sebelum ia pergi." iris emerald itu menyendu, sebuah kalung dengan bandul sepasang lumba-lumba terlihat bergoyang-goyang, masih dalam genggaman sang dokter muda. Pikiran Aomine langsung kemana-mana, berbagai macam pertanyaan langsung terlintas dalam otaknya.

"Bagaimana itu bisa ada padamu?" spontan ia menyerukan pertanyaan yang terlintas dalam otaknya.

"Aku menemukannya di parkiran kafe Murasakibara." jawab Midorima, lalu meletakkan kalung itu di atas meja.

Dua pasang iris beda warna itu saling pandang, seolah melempar tanya satu sama lain, terlihat dari sepasang manik madu Kise maupun light blue milik Aomine, potongan puzzle itu bertambah membuat polisi tan itu mengerutkan keningnya, ia terlihat sedang memikirkan sesuatu, merangkai setiap potongan bukti yang ia temukan saat penyelidikan di tambah informasi yang baru saja diuraikan oleh teman hijaunya.

"Aku menemukannya tepat dimana mobil-" suara musik beat mengencang setelah seorang DJ cantik berpakaian serba merah berdiri di depan DJ equipment, ia menggesekan jemari lincahnya pada turnable, membuat musik techno yang makin lama makin menghentak.

Membuat Midorima ingin segera hengkang dari sana.

Tubuh polos itu hanya terbalut selimut, gemerincing suara rantai sesekali terdengar tiap kali ia mencoba bergerak meski itu hanya pergerakan kecil, rasa sakit pada bagian selatan tubuhnya masih jelas terasa, peluh dan sisa cairan khas bercinta terasa membaur pada beberapa permukaan kulitnya. Lengket tak nyaman.

Tatapan matanya yang mengarah pada langit-langit plafon teralih pada sosok yang tengah berbaring tepat disisinya, sepasang tangan kekar memerangkap pinggang rampingnya, merengkuh tubuh itu amat erat seolah tak membiarkan ia bebas walau hanya sedikit saja.

Dipandangnya wajah yang tengah terpejam itu, hatinya berdesir, berbagai rasa tiba-tiba menyeruak dalam dadanya, namun yang paling mendominasi adalah rasa sesak karena rasa bersalah yang terus memenuhi dadanya, seakan meremat paru-parunya hingga ia merasa begitu sulit untuk bernafas, seolah ribuan partikel gas racun tengah terperangkap didalam sana hingga tak terasa cairan bening itu menetes, entah sudah berapa kali sudut matanya mengeluarkan cairan hangat, meski tanpa isak namun terasa berkali lipat menyakitkan.

"Apa yang aku lakukan?" lirihnya sembari mengigit kembali bibir peachnya, ia menyesal, ia merasa bersalah namun ia pun dalam kondisi yang tak mampu berbuat apa-apa, entah sudah berapa kali tubuhnya dijamah, entah sudah berapa banyak tanda merah hingga ruam keunguan terpoles di kulit putihnya, dan entah berapa banyak ucapan memohon untuk dikasihani yang keluar dari belah bibirnya,namun semuanya tak berarti apa-apa.

Ia tak pernah pasrah dari awal meski harga diri yang tinggi itu jatuh karena terus mengucap kata permohonan, ia bahkan melawan, menolak sekuat tenaga namun tetap saja perlawanan itu berakhir sia-sia, ia selalu kalah hingga berakhir dengan tubuhnya yang dijamah dengan beringas, ia tak bisa berbuat apa-apa, seperti seekor buruan yang pasrah karena tak menemukan jalan, terperangkap oleh pemangsa yang bisa melakukan apa saja padanya.

Kilatan bagaimana peristiwa mengerikan itu berputar setiap ia selesai dicumbu.

[Past Story]

"Ku mohon jangan" tubuhnya refleks mundur hingga membentur kepala ranjang, ia tak bisa mundur lagi, sementara lelaki itu terus mendekat, menatapnya tajam dengan tatapan yang sulit diartikan, kilatan emosi terlihat mendominasi pada kedua maniknya karena penolakan keras dari si biru muda.

Tetsuya menggeleng, wajahnya terlihat kian pucat, keringat dan airmata telah membasahi hampir seluruh wajah dan tubuhnya, ia takut, sosok di depannya adalah orang asing yang sama sekali tak ia kenal. Ya, sangat asing karena sosok yang ia kenal bukanlah orang yang seperti itu, orang yang terlihat lebih mirip pembunuh berdarah dingin yang bisa saja melenyapkan dirinya detik itu juga. Tetsuya ketakutan, amat ketakutan.

"Percuma kau menghindariku" ucapnya berat dengan raut wajah yang terlihat dingin, entah darimana emosinya berkobar setiap kali gerakan menolak itu tertangkap oleh retinanya.

"Kau tahu tidak bisa menolakku bukan!" ucapnya dengan nada yang tak berubah lalu menarik rantai yang terhubung pada pergelangan kaki Tetsuya dengan amat kuat, tanpa belas kasih hingga membuat tubuh kecil Tetsuya tertarik sampai terlentang.

Di tatapnya untaian rantai besi itu dari genggaman tangannya hingga pada rantai terakhir yang melingkar pada kaki putih itu, lingkaran kemerehan jelas telihat disana ditambah tarikan kuat barusan menimbulkan tanda baru yang kian membuat lingkaran merah itu kian jelas.

Tubuh Tetsuya gemetar terlebih ketika sosok yang amat ia takuti itu kian mengikis jarak, semakin mendekat hingga ia merasakan beban berat di bagian atasnya, tubuhnya ditindih, diperangkap oleh sepasang lengan pada sisi kiri dan kanannya lalu tiba-tiba ia merasakan lumatan kasar pada bibirnya, benda kenyal yang terus menyesap bibirnya tanpa ampun, mengigiti tak peduli jika bibir itu tambah terluka meneteskan cairan beraroma besi, karena sebelumnya digigiti sendiri oleh pemiliknya.

Tetsuya meronta, kakinya menendang namun gerakannya terkunci oleh orang di atasnya dihimpit oleh kedua paha itu dengan amat kuat kedua tangannya pun dikunci, ditekan kuat menghimpit ranjang di bagian atas kepalanya lalu Tetsuya merasakan sebuah benda melilit pergelangan tangannya kuat, tangannya diikat pada kepala ranjang hingga sempurna pergerakannya terbatas, ia hanya bisa menggeliat, meliukkan tubuhnya pada satu posisi tanpa bisa bergeser yang malangnya membuat sosok itu kian bernafsu untuk menikmati tubuhnya.

"Sst, tenanglah sayang…" wajah tampan yang terlihat dingin itu memulas seringai berbahaya.

"Bukankah setiap malam kita selalu melakukannya, love…" diusapnya pipi putih lembut yang becek karena air mata itu dengan amat seduktif lalu disusul dengan jilatan memanjang yang ditutup kecupan basah pada sudut mata kiri Tetsuya, disesapnya cairan asin itu dengan begitu nikmatnya membuat Tetsuya kian ketakutan namun ia masih bungkam, tak ingin membuka belah bibirnya, tak ingin memberikan celah untuk lelaki itu yang kapan saja bisa melumat dan menobrak-abrik isi mulutnya.

"Akhhh!" pekiknya tak tertahan begitu telapak tangan yang sedari tadi mengerayangi permukaan kulitnya mendarat pada bongkahan kenyalnya, meremas kuat berkali-kali hingga membuat Tetsuya menggeleng kanan kiri ditambah bibir yang tak hentinya ikut menjelajahi setiap inci tubuhnya.

Tetsuya hanya bisa menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, bagaimanapun ia masih normal, masih bisa merasakan sentuhan yang jelas akan membuatnya mengeluarkan respon erotis setiap bagian sensitifnya disentuh meski ia masih tetap bertahan dengan mulut yang kembali bungkam, mengigiti bibirnya sendiri demi menahan keluarnya kembali pekikan laknat itu.

"Jangan gigiti bibirmu sayang, biar aku yang melakukannya." Tetsuya ingin menulikan telinganya, ia tidak mau mendengar ucapan-ucapan yang menurutnya tak pantas.

"Hmppp." bibir cerry itu di raup, disesap rakus dan kasar lalu kembali digigiti sementara tangannya masih terus menjelajahi setiap bagian tubuh mulus itu, meremat dan meremas ketika menemukan apa yang menjadi candunya meski setiap bagian tubuh mulus itu memang sudah jadi candunya.

"Arghhhh" Tetsuya tak tahan untuk mengeluarkan suara itu begitu bongkahan kenyalnya kembali diremas kasar, sesekali diuleni dengan begitu lembut, begitu merangsangnya hingga berkali-kali suara itu keluar, tak sadar jika bibirnya telah memberi celah pada sesuatu yang lunak untuk masuk, mengobrak abrik mulutnya, meliuk lincah ke setiap sudut gua hangat itu, menyesap rasa manis yang telah membuat nafsunya kian terdorong ke puncak.

"Hmmm ahh" Tetsuya kembali melenguh, akalnya sudah terkikis pada titik terendah hingga ia tak bisa berbuat apa-apa lagi, pasrah meski titik bening itu tak hentinya keluar dari sudut matanya.

Matanya membulat begitu merasakan benda asing mendesak bagian selatan tubuhnya mencoba menerobos masuk, tubuhnya melengkung begitu benda itu masuk sempurna, rasa perih yang terasa begitu mendominasi, ingin sekali ia berteriak namun masih ditahannya dengan mengigiti bibirnya.

"Aarghh" tubuh kecil Tetsuya terlonjak, ikut terdorong setiap kali lelaki diatasnya mengayunkan pinggangnya, bergerak keluar masuk, memaksa miliknya untuk tenggelam dalam lubang kecil Tetsuya, ia begitu menikmati sensai rematan dari lubang surga itu hingga berkali memejamkan matanya sembari terus mengayunkan pinggangnya.

"Hikss" isaknya tertahan, membuat sosok diatasnya mau tak mau membuka kelopak matanya, lalu menatap wajah kesakitan itu teduh.

"Hhusss" diusap pipi pucat yang telah berair itu lembut, amat lembut dan hati-hati.

"Jangan sakiti dirimu sayang, buka matamu dan berhentilah menangis." ia masih mengusap pipi itu lembut, berulang kali namun tak menghentikan pergerakannya di bawah sana.

"hikss hiksss" isak tangis Tetsuya kian bertambah, terlebih ketika kedua manic mereka bertemu pandang, Tetsuya tak sanggup memandangnya, ia tak bisa hingga berkali ia memalingkan wajah namun selalu di tahan oleh lelaki itu hingga keduanya tetap bersitatap. Ia menutup matanya erat, sampai serabut dikelopak matanya memerah.

"Hmmmppp" diraupnya kembali bibir tipis itu, disesap lembut disertai dengan lumatan lumatan kecil, tak menuntut seperti sebelum-sebelumnya hingga memaksa Tetsuya ikut terkungkung dalam percikan nafsu.

"Menurutlah! Aku tidak akan menyakitimu, sayang." bisiknya tepat pada daun teling yang telah ia kulum berkali-kali lantas kembali melanjutkan kegiatan tubuh bagian bawahnya. Membuat tubuh kecil dibawahnya kian terlonjak keras, Tetsuya menggelengkan kepalanya kanan-kiri, melampiaskan segala rasa sakit bercampur nikmat itu, melampiaskan perasaannya yang campur aduk.

"Arghhh arghh arghhh" ia mendesah tak tertahan begitu bagian nikmatnya disentuh berkali-kali membuat sosok di atasnya menyeringai puas, ia berhasil menemukan titik lemah Tetsuya yang membuatnya kian menumbuk lebih keras, lebih bersemangat hingga sahut-sahutan desahan pun terjadi hingga keduanya mencapai puncak.

Cukup lama keduanya terdiam setelah mendapatkan kepuasannya, sosok diatas itu ambruk, menjatuhkan dirinya kesamping tak ingin menggencet tubuh kecil Tetsuya. Ia selalu merasakan kepuasan yang sama setiap kali bercinta dengan sosok biru muda itu, ah bahkan selalu berkali lipat nikmatnya, rasa puas yang ia dapatkan sungguh luar biasa hingga ia tak bisa berhenti untuk tak menikmati tubuh mulus itu.

[Past story end]

Grepp! Tetsuya merasakan pelukan sepasang lengan pada pinggangnya kian mengerat hingga membuatnya refleks mengalihkan padangan pada sosok yang masih terpejam disisinya, sosok yang sama polosnya dengan dirinya.

"Apa yang kau pikirkan?" suara berat serak terdengar seiring dengan terbuka kelopak matanya, kini memandang sosok mungil itu penuh tanya dengan kerutan samar pada dahinya, ia cukup ingin tahu dengan apa yang tengah berputar dalam kepala sosok manis yang kini dalam rengkuhannya.

"Hmm, tidak ada." balas Tetsuya berbisik, ragu disertai dengan gelengan kepala yang amat pelan.

"Kau tidak bisa membohongiku, sayang!" ucapnya lembut sambil terus menatap pada manic biru muda yang menjadi favoritnya.

"Hey, katakanlah!" pintanya sambil meraih tangan yang lebih kecil, mengenggamnya untuk kemudian ia bawa pada bibirnya untuk dihadiahi kecupan berkali-kali. Hatinya teriris sebenarnya, bilur keunguan membekas dipergelangan tangan putih itu, akibat perbuatannya mengikat dengan dasinya tadi.

"Ini-" Tetsuya menarik tangannya pelan, berganti memegang tangan yang tadi mengenggam tangannya. Sebelah tangannya naik ke pipi lelaki itu lalu mengelusnya pelan.

"Ini salah, Akashi-kun! Ini salah!" ucapnya penuh penekanan yang membuat ekspresi wajah sosok disampingnya itu mengeras, kembali dingin dengan aura mengerikan.

.

.

TBC

.

.


Note :

Dear readers...

Mohon maaf karena sesuatu hal publish chapter ini terlambat lama.

Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca, follow dan favoritkan cerita kami.

See U next chap

.

Luv

Kizhuo n' Mel