"My brother is a sleeping beauty."

Brothers;

CHAPTER XI


Bagusnya Jaemin sudah sadar beberapa waktu lalu. Saat membuka mata, ia mendapati dirinya berada di dalam mobil, berbaring dengan kepala di atas pangkuan seseorang. Ia masih merasa lemas dan pusing, karena itu ia tidak begitu sadar keadaan sekitar.

Ten menyadari bahwa Jaemin mulai sadarkan diri, ia memberitahu Johnny dan Haechan yang duduk di kursi depan bahwa Jaemin sudah sadar.

Haechan menoleh ke kursi belakang, tempat Jaemin berbaring di atas pangkuan Ten. Ia ingin berbicara dengan Jaemin, tapi ia tahu Jaemin masih lemas. Karena itu, Haechan hanya bisa memandangi sang adik sambil mendengarkan Ten yang berusaha menenangkan Jaemin agar tidak kaget.

"Tenang ya Sayang, sebentar lagi kamu akan merasa nyaman," bisik Ten. "Nana baik-baik saja kan? Haus tidak? Mau minum?"

Jaemin memberikan sedikit reaksi dengan menggeleng kecil dan mengedipkan kedua matanya lambat. Ia ingin bilang bahwa ia merasa sangat mengantuk, tapi suaranya tidak keluar. Karena itu ia diam saja dan kembali memejamkan mata.

"Istirahat, Sayangku. Kamu akan baik-baik saja," Ten berkata seperti itu saat mobil mereka memasuki areal Rumah Sakit Universitas Seoul.


Haechan memandangi Jaemin yang tertidur dengan tenang di atas ranjang rumah sakit. Cairan infus mengalir melalui selang yang menusuk pergelangan tangan kiri Jaemin. Sudah dua jam Jaemin tertidur. Sekarang sudah hampir mendekati tengah malam, tapi Haechan tidak mau pulang walau dipaksa.

Sebelum mendengar ayahnya membahas soal sekolah, Haechan sudah mengatakannya terlebih dahulu.

"Aku bolos besok."

"Sayang, tidak perlu. Sekolah itu penting," Ten menasehati.

"Aku tidak mau pergi dari sini sebelum Nana sembuh," kekeuh Haechan.

"Sejujurnya, that's okay," timpal Johnny. "He needs rest too."

Ten agak heran Johnny mengizinkan Haechan untuk membolos. Ia kira, suaminya itu akan melarang.

"Anak-anak zaman sekarang terlalu sibuk, y'know. Hampir seperti orang dewasa, makanya mereka punya hak untuk membolos sekali-sekali," ujar Johnny.

Ten terbengong tak percaya. Ternyata begini Johnny kalau mengurus anak. Tipikal ayah yang santai, chill.

"Mmm, okay, Dear," sahut Ten. "Tapi setidaknya Haechan perlu tidur sekarang. Pulang ke rumah?"

"Tidak mau pulang," jawab Haechan. "Menginap di sini saja. Tidur di sofa juga tidak apa-apa."

"Jangan Sayang, nanti punggungmu sakit," larang Ten.

"Aku punya ide," timpal Johnny. "Sebentar," katanya sebelum keluar dari ruang inap Jaemin.


"Dad serius menyewa ruangan ini?!"

Haechan memekik saat tahu ayahnya memindahkan Jaemin dari ruangan rawat Kelas I ke ruangan VVIP yang besar dan berfasilitas khusus.

Ruangan tersebut memiliki satu ranjang besar, sebesar ranjang Haechan dan Jaemin di rumah. Di seberangnya ada televisi layar datar. Di dekat temboknya menempel sofa panjang berjejeran dengan sebuah meja kaca besar. Dan tentunya ruangan tersebut punya kamar mandi sendiri yang lebih mewah dibanding kamar mandi lain di rumah sakit itu.

Pastinya, biaya permalamnya pun mahal.

Johnny mengangkat bahu acuh. Masalah keuangan memang tidak pernah membebani keluarganya sejak dulu, tapi putra sulungnya itu pada dasarnya memang begitu, hemat. Makanya Haechan kadang kesal kepada ayahnya karena menurutnya Johnny terlalu boros.

"No problem, yang penting kamu bisa tidur di sebelahnya Jaemin," ujar Johnny.

"Oh, benar juga," gumam Haechan melihat ukuran ranjangnya yang besar. "Lalu Dad dan Mum tidur di mana?"

"We can take the couch," jawab Ten.

"No, no. Hanya aku yang di sofa. I'll rent one more extra bed for you," sahut Johnny.

Sementara kedua orangtuanya berdebat soal itu, Haechan memilih untuk mencuci kaki dan menggosok gigi ke kamar mandi. Setelah selesai, ia naik ke tempat tidur dan duduk bersandar di kepala ranjang, di sebelah Jaemin. Jaemin masih saja tidur, tidak tahu kapan bangun. Padahal Haechan ingin mengobrol.

Mengantuk, Haechan memutuskan untuk bergabung dengan Jaemin ke alam mimpi. Tak lama, ia pulas dengan berbaring miring menghadap Jaemin dengan kedua tangan memeluk perut Jaemin seperti memeluk boneka.


"Selamat pagi Nanaaaa."

Keluarganya menyapa Jaemin dengan riang begitu Jaemin bangun keesokan harinya. Ia merasakan sedikit disorientasi waktu, tapi ia menyadari bahwa saat ini sudah pagi, melihat cahaya terang yang masuk melalui kaca jendela.

"Morning Sweetheart," Ayahnya menangkup wajah Jaemin dan mengecup keningnya sayang. "Bagaimana tidurmu?"

Jaemin mengangguk sebagai tanda tidurnya nyenyak. Kepalanya menengok ke kanan-kiri melihat tempat ia berada saat ini.

Kenapa ia di sini?

"Di mana ini?" tanya Jaemin pelan.

"Di rumah sakit, Sayang," Ibunya menjawab. Ten mendekati ranjang Jaemin sambil membawa segelas air. "Ayo minum dulu," ujarnya sambil menyodorkan air putih kepada Jaemin.

Haechan yang baru selesai mandi barusan keluar dari kamar mandi sambil membawa handuk. Melihat Jaemin sudah bangun, ia ikut bergabung dengan keluarganya mengelilingi tempat tidur Jaemin.

"Sleeping beauty akhirnya bangun!" seru Haechan.

"Aku tidak beauty," protes Jaemin lucu.

"Tapi kau sleeping!" balas Haechan. "Lama, lagi."

"Oh," ucap Jaemin dengan polosnya. "Benar juga," lanjutnya.

Kedua orangtua mereka tertawa mendengar percakapan keduanya. Anak-anak memang kadang aneh-aneh saja.

"Jadi Nana mau melakukan apa hari ini?" tanya Ten.

"Makan yuk!" ajak Haechan, sebelum ia ingat bahwa "makan" adalah topik yang sensitif bagi Jaemin. "Ups," Haechan menutup mulutnya setelah sadar akan ucapannya.

Jaemin menunduk sedih. "Tapi aku tidak bisa makan.."

"Kenapa? Padahal makanan enak. Kau tidak lapar?" tanya Haechan.

Jaemin menatap Haechan. "Lapar.. Tapi, takut muntah-muntah seperti kemarin," katanya.

"Percaya deh, tidak akan muntah lagi, kalau minum obat dulu, ya kan Mum?" Pertanyaan Haechan diangguki Ten. "Tuh, benar kan. Jadi Nana mau makan kalau tidak mual?"

"Mau.. Tapi benar tidak akan mual?"

"Benar, Sayang," timpal Johnny. "Jadi sekarang, minum obatnya ya, lalu makan. Papa memperbolehkan kamu makan apa saja yang kamu mau."

"Sushi?" tanya Jaemin.

"Sushi, ya. Sushi. Tentu saja boleh, Dear. Makan yang banyak, oke? Papa belikan dulu," ujar Johnny, lalu mencium pipi Jaemin dan berpamitan untuk keluar sebentar membeli sushi.

"Yay, makan!" seru Haechan girang. "Ayo makan banyaaaak."

"Iya," balas Jaemin.

"Mama siapkan obatnya dulu ya. Nana main dulu sama Haechan," ucap Ten.

"Hyung, kenapa aku di rumah sakit?" Jaemin bertanya setelah Ten pergi bertanya soal dosis obat ke suster di sana.

"Supaya sehat," jawab Haechan. "Kemarin Nana pingsan tuh, soalnya kurang makan. Nana juga anemia, jadi tidak baik kalau masih begitu. Jadinya dirawat di sini deh, supaya lebih cepat sembuh, kan kalau di sini ada dokter dan suster yang lebih tahu soal pengobatanmu," jelasnya.

"Oh, begitu," ujar Jaemin.

Tiba-tiba, ponsel Haechan berbunyi. Ternyata ada pesan masuk dari Mark yang menanyakan soal keadaan Jaemin.

"Ditanya Mark-Hyung nih. Nana sudah merasa lebih baik kan?" kata Haechan.

"Iya, sepertinya," jawab Jaemin. Kemudian ia melihat Haechan dan Mark berbalas pesan sambil bersandar di bahu sang kakak.

"Hyuckie-Hyung pacaran dengan Mark-Hyung ya?"

"Hah, tidak!" sahut Haechan malu. "Kok Nana berpikir begitu?"

"Itu, kan, Hyung dekat banget sama Mark-Hyung. Mirip orang pacaran."

"Tidak, kami hanya berteman kok," kata Haechan.

"Oh."

Haechan melirik Jaemin yang diam setelah bertanya. Serius Jaemin tidak mengusiknya lebih jauh lagi? Baguslah kalau begitu, Haechan kira Jaemin akan terus mencecarnya dengan pertanyaan soal Mark.

"Berarti belum pacaran?"

"Eh?"

Perkiraan Haechan salah, ternyata Jaemin masih terus bertanya kepadanya.

"Memangnya Hyung harus pacaran sama Mark-Hyung?" tanya Haechan balik.

"Iya, kan Hyung menyukainya."

"Ti— Tidak! Siapa yang suka," sanggah Haechan.

"Kalau tidak suka, kenapa di samping nama kontak Mark-Hyung ada emoji hati?"

Oh, ya ampun. Haechan lupa soal itu, pantas Jaemin tahu!

"Ish, Nana jangan bilang siapa-siapa ya! Pokoknya ini rahasia kita," ujar Haechan.

"Memang kenapa?" tanya Jaemin.

"Apanya yang kenapa?" gerutu Haechan. "Hyung malu dong, kalau ketahuan."

"Oh. Ya sudah.." lirih Jaemin.

Loh, kenapa ini? Jaemin kenapa jadi sedih? Jangan-jangan dia ngambek? Apa Haechan terlalu kasar?

"Jangan sedih, Hyung tidak marah," hibur Haechan.

"Aku tidak sedih," jawab Jaemin. "Hanya capek."

"Kok bisa? Nana kan baru bangun tidur?" Haechan bertanya bingung.

Jaemin menggelengkan kepalanya. Ia juga tidak tahu. Haechan mengerutkan kening, lalu merangkul Jaemin dari samping dan mencubiti pipinya pelan-pelan.

"Pasti karena belum makan," kata Haechan. "Makanya makan yang banyak."

"Hyung," Jaemin memanggil.

"Apa?"

"Aku ingin ketemu Jisung.." rengek Jaemin.

.

.

.

.

Hah?!

.

.

.

.

.

.

END OF CHAPTER XI