JUST FRIEND ?

.

McM

.

HAPPY READING

.

.

AUTHOR POV

.

.

Na Jaemin tampak terlalu serius saat ini. Bersandar kepada tumpukan bantal dengan bahu yang jatuh. Pencahayaan kamar yang temaram, seolah membiarkan dingin malam semakin memeluk dirinya. Jaemin kembali melihat pesannya yang telah berlalu beberapa menit lalu. Jaemin memejamkan matanya begitu erat.

Mata itu terbuka dan Jaemin melakukan sesuatu kepada ponseldi genggamannya. Jaemin sudah membuka aplikasi obrolan (Kakao). Obrolan terakhir dari sebuah grup yang tampaknya sudah sepi. Obrolan kedua ada nama Lucas Wong. Di bawahnya ada nama Mark Lee. Ibu jari Jaemin tertahan di sana, pada obrolan dengan nama Lee Jeno.

Jaemin membukanya. Jaemin ingin menutup mata melihat pesan terakhir yang hanya di baca Jeno.

Na Jaemin

Aku tidak tau bagaimana perasaanmu saat ini.

Mungkin kau menyalahkan dirimu.

Karena aku juga melakukan hal yang sama.

Na Jaemin

Aku percaya padamu untuk menceritakan semua ini.

Na Jaemin

Tapi aku tidak menyangka kau akan langsung mengatakan semuanya pada Renjun.

Lalu semua anggota Dream tau.

Na Jaemin

Terima kasih sudah ingin mendengar segala luapan emosi ku selama ini.

Jaemin menatap pada layar ponselnya. Menunggu detik berjalan sampai dia mendapat pesan balasan. Jaemin tidak pernah suka menunggu. Jaemin membutuhkan seseorang saat ini untuk mendengarnya. Jaemin keluar dari ruang obrolan Lee Jeno. Memilih kepada Mark Lee saat ini.

Na Jaemin

Mark, kau sudah tidur ?

Jaemin hanya kembali menelan kekecewaan saat tak ada tanggapan cepat dari Mark. Jaemin sempat memikirkan untuk mengubungi Haechan, tapi anak itu sudah lebih dulu keluar saat membaca awal keributan yang Renjun cetuskan. Ada kemungkinan Haechan sudah muak dengan pertikaian di dalam kelompok mereka.

Jaemin kembali pada ponselnya ketika nada pemberitahuan berdering.

Lee Jeno

Kau bertanya perasaanku ?

Aku lelah selalu tak kau haragai

Lee Jeno

Aku tau akan berakhir dibuang olehmu.

Aku salah tidak bisa menahan semua perasaanmu sendiri.

Selalu aku yang salah..

Jaemin terdiam sesaat, sebelum membalas pesan Jeno.

Na Jaemin

Aku berjanji tidak akan menyusahkanmu lagi

Aku berjanji tidak akan membuatmu lelah lagi.

Na Jaemin

Aku selalu minta maaf padamu

Tapi aku tidak pernah berubah

Lee Jeno

Semoga saja ada orang yang dapat kau percaya lagi.

Tolong perlakukan perasaan seseorang dengan benar.

Karena perasaan seseorang tidak bisa dibuang begitu saja.

Jaemin terdiam dengan balasan Jeno. Dia merasakan jika dirinya memang seburuk itu. Namun diri Jaemin yang lain membenarkan semua sikapnya malam ini. Menuntut pertanyaan sebenarnya seperti apa perteman di mata semua anggota Dream.

Mark Lee

Aku belum tidur.

Ada apa, Jaemin-a ?

Tengah malam ini Jaemin lewati dengan menjadikan Mark sebagai tempatnya mengadu. Jaemin dan Mark lebih dulu saling mengenal daripada Jaemin dan Jeno. Hanya saja, Mark terlalu aktif dalam kegiatan Universitas, jadi tidak sering bertemu.

Pada tempat yang berbeda, Jeno berada di balkon kamarnya masih setia dalam obrolan di ponselnya. Jika Jeno memiliki masalah dengan Jaemin, dia akan bercerita dengan Doyoung atau Jungwoo. Kakak tingkat mereka yang sudah Jeno anggap saudara. Tapi kali ini, masalahnya dan Jaemin diketahui anggota Dream yang lain. Lebih baik bercerita dengan sesama anggota. Jeno meluapkan semua emosinya yang dia pendam untuk Jaemin, kepada Renjun.

.

.

Pagi ini Jaemin sudah bersiap. Jaemin sudah mengunci pintu kamar asramanya. Mengambil ponsel di saku celannya, hanya sekedar ingin bertanya di mana posisi anggota Dream yang lain.

Jaemin mulai berjalan menuju halte bis dekat asramanya, sebagai titik pertemua mereka.

Sebelum keributan yang dibawa Renjun tadi malam, delapan pemuda yang tergabung dalam obrolan grup bernama 'DREAM' sedang membahas liburan. Mereka baru saja selesai mengakhiri masa perkuliahan yang membutuhkan waktu 4 tahun, sebut saja mereka baru lulus. Mencocokan jadwal sedikit sulit saat ini.

Lucas sudah bekerja, bahkan sebelum dia lulus. Mark seorang freelance sibuk. Haechan juga dapat dikatakan manusia sibuk. Jisung sedang mengembangkan bakatnya di bidang menari. Chenle yang terlihat begitu bebas tanpa pikiran. Renjun yang membantu ayahnya selagi menunggu panggilan kerja. Jeno juga si optimis yang pemilih. Lalu Jaemin, si pesimis yang negatif.

Jeno pihak paling bahagia dengan liburan ini. Dia sudah lama menantikan saat seperti ini. Jeno yakin, jika Jaemin juga merasakan hal yang sama. Jeno dan Jaemin, dua orang yang cukup sensitif terhadap perteman dalam kelompok ini.

Namun Jeno salah.

Jaemin tidak bahagia.

Jeno bertanya, namun Jaemin tidak ingin menjelaskan.

Jeno tidak lagi mendorong, tapi Jaemin membuka suara. Jaemin mengatakan sesuatu yang membuat Jeno berpikir tanpa henti.

"Liburan ini seharurnya hanya kau dan aku. Aku tidak membutuhkan mereka. Tapi karena kemauanmu, agar kau bahagia, aku mencoba mengajak mereka. Lalu mereka merubah rencanaku. Aku tak menyukainya. Aku tidak bahagia !"

Jika Jaemin tidak merasa bahagia, mengapa Jeno harus merasa bahagia. Jeno juga melakukan semua ini untuk Jaemin. Jeno pikir Jaemin akan bahagia jika mereka berlibur bersama.

Jaemin sudah tiba di halte. Menunggu beberapa belas menit di sana. Tak lama mobil yang dikenalnya datang. Berhenti sebelum di depan Halte. Jaemin masih bertahan di tempatnya, tidak ingin masuk ke dalam mobil itu.

5 menit.

"Jaemin-a !"

Jaemin berdiri tanpa harus menoleh siapa yang memanggilnya.

"Itu Jeno, mengapa tak masuk ?"

Jaemin menggeleng. Keduanya mendekati mobil Jeno. Tempat duduk di samping pengemudi biasanya untuk Jaemin atau Renjun. Jaemin tanpa alasan, tapi Renjun karena dia seperti peta dalam bentuk manusia. Jaemin membuka pintu di belakang pengemudi. Jeno memperhatikan dari spion.

Mark mengetuk jendela mobil bagian Jeno, tak lama jendela itu turun. "Aku membeli makanan dulu. Kau ingin menitip sesuatu ?"

"Tidak.."

"Jaemin ?"

Jaemin kembali menggeleng. Enggan mengeluarkan suara nya.

Mark mengangguk. Sedikit ragu untuk meninggalkan keduanya di dalam mobil. Mark tidak perlu khawatir, keduanya setia dengan kebisuaan. Jaemin memejamkan mata, memilih melanjutkan tidurnya atau mungkin menghindar dari Jeno.

15 menit.

Mark datang dan Jeno keluar. Keduanya memasukkan belanjaan Mark ke dalam bagasi.

"Jaemin-a, kau ingin menaruh barangmu di bagasi ?"

Jaemin menoleh ke belakang mendengar Jeno memanggilnya. Jaemin memberikan tas ranselnya pada Jeno.

Mark menghela napas dengan keterdiaman ini. Jika biasanya Jaemin akan selalu bermanja ria dengan Jeno, kali ini itu semua seakan mustahil.

Mark mengambil tempat di samping Jeno. Mobil mulai melaju meninggalkan tempat itu.

"Renjun sudah siap ?" tanya Mark tapi melihat kepada ponselnya. "Dia sudah bersiap. Bekal dari ibu Renjun sepertinya cukup untuk kita.." dia menjawab pertanyaannya sendiri.

"Kita hanya menjemput Renjun ?" tanya Jeno.

"Chenle sepertinya menyusul.."

Ini kombinasi yang salah. Mark tidak banyak bicara jika tidak di pancing. Mark akan banyak membuka mulut jika ada Haechan ataupun Jaemin. Begitupula dengan Jeno. Hanya Jaemin yang mampu membuat Jeno bersuara. Namun Jaemins edang mengunci suaranya terlalu dalam hari ini.

Jaemin hanya diam di belakang. Jeno sesekali bersuara, tapi itu kepada Mark. Jaemin memilih tidur sampai tiba di rumah Renjun.

Jeno turun dari mobil dan berjalan menuju rumah Renjun.

"Nana-a ?"

Jaemin bergumam.

"Kau kenapa ?"

"Tidak.."

Mark tersenyum tipis mendengar suara itu. Setidaknya Jaemin sudah dapat mengeluarkan suaranya lagi.

Tak lama Jeno dan Renjun datang. Jeno tertawa ketika Renjun mengoceh tentang berapa banyak bekal yang ibunya berikan. Jaemin menunduk semakin dalam. Tanpa Jaemin tau, jika Jeno memperhatikannya dari belakang. Renjun yang melihat itu hanya menepuk pundak Jeno.

Renjun memasuki mobil dengan suasan hebohnya. Renjun tidak segila Haechan ataupun Jaemin, tapi cukup berisik dibanding Jeno dan Mark. Belum lagi jika ada Chenle.

"Mark, aku merindukanmu.." serunya memekuli habis pundak Mark.

"Kau merindukanku apa ingin menyiksaku ?!" kesal Mark.

"Anggap saja merindukanmu dibalik niat ingin menyiksamu.."

Mark ingin sekali berbalik dan memukul kepala pria cina ini, jika saja mobil Jeno belum bergerak lagi.

"Jaemin-a.."

Jaemin hanya tersenyum, lalu memunggungi Renjun. Bibir Renjun terkulum dan menghela napasnya pelan. Keadaan mobil mulai mencair dengan suara Renjun, tawa Mark, lelucon tak lucu Jeno.

Jaemin masih membungkam mulutnya. Jaemin merasakan kepalanya terlalu ramai saat ini. Bertanya, apa yang dibicarakan Jeno dan Renjun. Mengapa dia tidak mengerti. Jeno tidak pernah menceritakan itu kepadanya. Ibu Renjun menyuruh Jeno lebih sering bermain ke rumahnya. Sesering itukah Jeno berkunjung ke rumah Renjun.

Mereka sudah di tempat tujuan. Jeno menghentikan mobilnya di tempat parkir.

"Chenle bagaimana ?"

Jaemin yang ingin mengambil ponselnya tertangkap oleh Renjun. "Jaemin-a, kau ingin mengambil ponsel, kan ? Tanyakan posisi Chenle.."

Jaemin mengangguk. Segera menguhubungi Chenle.

"Sudah di balas ?"

"Tunggu.."

Renjun menarik senyum tipis. Jaemin sudah bersuara. Bagi mereka, satu kata Jaemin dari diamnya yang berjam-jam adalah kelegaan.

"Chenle sudah berada di bus menuju ke mari.."

"Gila !" seru Renjun.

"Jadi bagaimana ?" tanya Jeno. Pemuda itu mencuri lihat Jaemin dari spion.

"Ayo bekeliling lebih dulu. Jika masih lama, kita duluan saja.." usul Renjun.

"Tidak buruk.." komentar Mark.

"Kenapa tanganmu harus cidera !" gerutu Jeno menatap perban di tangan kiri Mark.

"Karena aku terjatuh, bodoh !"

"Jun-a, menyetir.." Jeno berharap Renjun akan menyetujuinya, jadi dia bisa bersampingan dengan Jaemin.

"Malas. Kau supirnya di sini.." singkat dan menyakitkan.

Jeno mendengus dan mulai menjalankan mobilnya mengelilingi tempat ini.

Tidak tau percakapan apa yang memancing seorang Na Jaemin membuka suara. Renjun sesaat terlihat canggung dengan kembalinya Jaemin yang mereka kenal. Mark semakin mengembangkan senyumnya. Jeno bertahan dengan ekpresinya dan kini mengunci mulut.

Jaemin terlibat percakapan seru dengan Renjun. Mark sesekali menimpali dan membuat pemuda Kanada itu tertawa akibat kebodohannya sendiri.

Keterdiaman Jaemin kini beralih kepada Jeno.

.

.

Mereka berakhir meninggalkan Chenle. Mereka mencari tempat yang teduh dan tidak terlalu ramai. Ini bukan hari libur nasional atau akhir minggu, dapat dipastikan banyak posisi sepi. Renjun dan Mark tampak sibuk mengeluarkan semua makanan.

Jaemin seperti anak hilang yang melihat ke penjuru tempat.

"Jeno di mana ?" tanyanya tidak tertuju pada siapapun.

Saat mata itu bertemu dengan Renjun, maka pemuda cina itu yang menjawab. "Dia menerima telfon tadiā€¦" jawab Renjun.

"Chenle ada kabar ?" Mark sudah selesai dengan barangnya. Membuka satu persatu kotak bekal ibu Renjun. "Aku akan menikmati semua makanan ini.." matanya berbinar.

Jaemin yang baru saja melihat ponselnya menggeleng "Chenle belum membalas pesanku.." Jaemin menerima satu pesan dari Haechan. Dahinya sedikit mengerut. Jaemin fikir Haechan membencinya karena keluar dari obralan grup.

"Haechan menghubungiku.." ujar Jaemin.

Mark sudah menyuap satu kimbab. "Apa katanya ?"

Jaemin tidak segera menjawab. Jaemin memperhatikan Renjun yang mengeluarkan isi tas Jeno. Jaemin tidak pernah melakukan itu, karena dia fikir itu privasi Jeno. Tapi melihat Renjun melakukannya, Jaemin tak suka. Walaupun yang Renjun keluarkan itu snack, alat makan plastic, dan kompor portable yang Jeno bawa.

"Dia menyusul kemari setelah selesai mengurus urusannya.."

Mark mendorong bekal makan bewarna hijau itu ke arah Jaemin. "Makanlah.."

Jaemin mengambil satu potong dan mengunyahnya.

Renjun memeriksa sesuatu di tas kecilnya.

"Kau mencari apa ?" tanya Mark. Sedikit risih melihat Renjun yang tak berhenti bergerak. Dia ingin makan dengan tenang.

"Memastikan jika kunci mobil dan dompet Jeno bersamaku.."

Jaemin terdiam. Kunyahannya berhenti. Tangannya mengambil gelas plastik yang ada lalu mengisinya dengan air mineral.

"Kita tidak bisa pulang jika dua benda itu hilang karena kecerobohan Lee Jeno.."

Jaemin semakin kecil saat ini. Dia tidak bisa seperhatiian itu kepada benda Jeno. Dia seakan tidak berguna. Dia selau merepotkan Jeno. Lalu sekarang dia yang membuang Jeno.

Renjun duduk berhadapan dengan Jaemin. "Chenle bertanya padaku. Dia meminta penjelasan perihal semalam.."

"Lalu kau menjawab apa ?" tanya Jaemin. Pemuda manis ini begitu baik menyembunyikan pemikirannya.

"Aku tidak menjelaskan apapun. Aku mengatakan ada kesalahan pada aplikasinya.."

"Kau fikir dia bodoh dan akan percaya alasanmu ?" sahut Mark.

"Kalau aku memberi alasan itu padamu, kau pasti percaya.." balas Renjun tak kalah sengit

"Kau !"

Keduanya sudah kembali dalam pertengakran yang tak berguna. Jaemin menatap jauh kepada satu titik, Jeno berada di sana. Dia tidak bisa melihatnya.

Jeno terduduk di atas batu di dekat sungai. Benar, dia mendapatkan telfon dari Doyoung.

"Jeno-a, berikan CV mu padaku. Tempatku bekerja membutuhkan pegawai.."

Jeno bergumam. "Ya.."

"Ada apa dengan suaramu ?" Doyoung terlalu mengenal adik tingktanya ini.

"Hyeong.."

"Kau ada masalah ?"

"Aku dan Jaemin tidak saling bertegur sapa.."

"Itu buruk.."

Jeno mengangguk dan menghela napas. Sebelah tangannya sudah menutupi wajah. Mempertimbangkan, haruskah dia mengatakn pada Doyoung. "Aku merubah rencana liburan kami berdua menjadi bersama anggota Dream. Ternyata Jaemin tak suka. Dan dia megatakan tidak akan datang.."

"Hanya karena itu ?"

"Aku lelah mengikuti semua kemauannya, Hyeong. Aku mengatakan pada Renjun. Lalu.."

"Lalu Renjun membuka permasalahan ini pada semua anggota Dream ?"

Jeno mengangguk. Mengusap sudut matanya yang terasa berair. Dia menarik napas dalam dan perlahan di hembuskan. "Ya. Lalu Jaemin mengatakan semua di sana. Dia hanya ingin berlibur denganku. Dia tidak membutuhkan anggota Dream. Dia mengatakan jika tidak menyukai aku terlalu dekat dengan Renjun.."

"Na Jaemin ?"

"Ya.."

"Jeno-a, jangan pernah mengambil keputusan dengan kondisi emosi saat ini. Pikirkan semuanya lebih dulu. Hubungan pertemananmu dan Jaemin tidak sedangkal itu.."

"Aku tau.."

"Selamat bersenang-senang, Uri Jeno.."

"Gumawo, Hyeong.."

Panggilan terputus. Jeno menyimpan ponselnya di dalam saku. Matanya dipejamkan, dengan tubuh bertumpu kepada dua tangan. Jeno merasakan satu tetes air mata di atas pipinya. Dia tidak akan pernah sanggup untuk tidak peduli kepada Jaemin. Terlalu menyakitkan untuknya harus melepas Na Jaemin.

Pemuda itu beranjak dari duduknya dan menghampiri ketiga rekannya. Terkadang Jeno tidak mengerti dengan Jaemin. Dia mengatakan tak menyukai Renjun saat bersama Jeno, tetapi dia terlihat akrab dengan Renjun. Bahkan jika bertiga, karena Jeno tidak ingin membuat masalah dengan Jaemin, maka dia yang akan terbuang. Jaemin dan Renjun selalu memiliki bahasan yang baik. Jeno hanya akan menjadi pendengar.

"Jeno-a, Haechan menyusul.." lapor Renjun saat melihat Jeno mendekat.

Jeno mengambil tempat di samping Renjun, berhadapan dengan Mark. "Kau sudah mengeluarkan isi tasku ?" tanya Jeno tanpa menoleh pada Renjun.

"Sudah.."

"Dimana sarapanku ?"

Renjun menyerahkan kotak bewaran orange. "Ini.."

Mark melirik Jaemin di sampingnya yang sibuk mengatur speaker. Selesai, pemuda itu berdiri. "Mau ke mana ?" tanya Mark.

"Mencari inspiraisi. Aku meninggalkan ponselku, jika Chenle atau Haechan menghubungi.." setelah mengatakan kalimat itu, Jaemin langsung pergi.

Renjun menjatuhkan kepalanya di meja.

Mark meletakan sumpitnya kasar.

"Kenapa ?" tanya Jeno yang baru saja mengambil sumpit.

"Tanyakan kepada isi kepala kalian berdua !" Renjun merasa frustasi di tengah Jaemin dan Jeno.

"Jeno-a, kau tak ingin mengalah lagi ?"

Jeno menatap Mark cukup tajam. "Dia sudah membuangku.."

"AWUH..!" Mark melompat -lompat di tempatnya. Tangannya terkepal di depan wajah Jeno. "Aku ingin memukul wajahmu.."

.

.

.

To Be Countinue

.

.

a/n : The Triangle belum tamat tapi udah nge-up FF baru. The Triangle part Injun nya belum kelar. Dikit lagi, ntar langsung di Up kalau udah kelar. Kali ini aku bawa boyxboy. Sempet ragu mau bikin ini karena yah mereka masih minor. Tapi pas ditulis, aku masih bisa bertahan pada jalur. Khayalan aku masih bisa dikendalikan.

Semoga suka...

Salam, Mama nya Huang Renjun.