Fluorescent

tryss (c) 2018

.

Starring by Park Woojin and Ahn Hyungseob as A GIRL!

.

.


Sejak setahun lebih sekelas dengan Hyungseob. Malam ini adalah pertama kalinya Woojin melihat tangan Hyungseob yang selalu dibalut jaket hitam oversize. Bukan cuma tangan, tapi juga sampai ke lengan atasnya. Jelas yang Woojin temui kali ini bukan Ahn Hyungseob yang biasanya duduk di kelas sambil memperhatikan guru.

Keduanya terdiam kikuk, menikmati minuman cup hangat yang baru dibeli Woojin di minimarket terdekat sambil duduk di pinggir jalan. Keadaan jalanan juga sudah lengang, menyisakan dua atau tiga mobil yang lewat sesekali.

Ada alasan kenapa malam ini adalah pertama kalinya Woojin melihat betapa kurus lengan itu.

Hyungseob, selalu memakai jaket di sekolah, bahkan saat cuaca panas. Walaupun bukan jaket yang tebal, tetap saja seluruh bagian tangan Hyungseob tidak akan terlihat. Kacamata dan rambutnya yang diikat kuda secara longgar menambah kesan membosankan pada Hyungseob. Namun setelah dipikir lagi, memang sebuah keputusan yang benar apabila Hyungseob harus selalu mengenakan jaket ke sekolah.

Jangan berpikir bahwa Hyungseob bertato, karena itu adalah asumsi yang salah.

Woojin hanya tidak mengerti, kenapa gadis sependiam Hyungseob bisa menyimpan misteri yang begitu besar.

Apa yang sudah gadis itu lakukan sampai punya banyak bekas luka sayatan di lengannya?

Hyungseob yang hanya mengenakan kaos hitam tanpa lengan dan hotpants tentu tidak punya cara lain untuk menutupi bekas luka yang dimilikinya. Jaketnya teronggok ditanah, sudah robek menjadi beberapa bagian. Suhu rendah kala malam hari menambah buruk segalanya. Woojin ingin membantu, tapi keadaannya juga tidak kalah buruk. Kaos putihnya kotor dan jaketnya penuh darah.

((Ya Tuhan, sebenarnya dua orang ini baru dari mana?))

"Tidak mau mengobati kepalamu dulu, Jin?" Hyungseob yang pertama memecah keheningan.

Woojin menyentuh pelipisnya pelan, takut bila ia menyentuhkan kasar akan terasa sangat perih,"Biarkan saja, darahnya juga sudah kering, kok."

Woojin jelas mendengar helaan berat dari nafas Hyungseob, gadis itu enggan menatapnya lagi,"Aku tidak peduli kalau kamu mau membocorkan ini pada anak-anak di sekolah. Sepertinya aku juga tidak kuat lagi menutup-nutupi."

"Aku akan diam saja."

"Bukan hal sulit untuk membocorkan ini," Hyungseob sibuk memainkan cup minuman kosong di tangannya,"lagian kita juga bukan teman baik."

"Tapi kamu sudah menolongku. Kupikir itu akan jadi awal kita berteman," Woojin menggaruk tengkuknya kikuk,"Aku juga ingin punya teman perempuan yang bisa bertarung sepertimu."

Hyungseob menanggapi kalimat Woojin dengan rangkaian tawa. Namun entah mengapa, tawa Hyungseob terdengar perih, mau tak mau Woojin mencoba melirik air wajah Hyungseob dan yang didapatinya hanya wajah tanpa emosi.

"Aku yakin kamu akan takut padaku setelah tahu kenyataannya," kali ini, keduanya memantapkan hati untuk menatap satu sama lain. Ada yang bilang, saat melihat mata seseorang, kau akan tahu seberapa tulus perasaan mereka untukmu. Dan Hyungseob ingin melihat, apakah Woojin menawarkan pertemanan tanpa ingin imbalan lain.

"Aku dijual ke seorang mafia saat kelas satu SMP untuk membayar hutang."

Well, bagi Woojin, itu adalah awal cerita yang cukup mengerikan.

"Awalnya nyaris dijadikan alat pemuas nafsu. Aku dibawa ke sebuah tempat prostitusi, dikurung dalam satu ruangan, menunggu para pria hidung belang masuk ke kamarku. Aku hanya bisa menangis sendirian karena merasa orang tuaku tidak menyesal sudah membuangku ke tempat berdosa itu, tapi kalau aku bisa keluar dengan selamat, mungkin aku bisa membalaskan dendam. Baik pada orang tuaku dan juga para mafia itu. Darisana aku bertekad untuk melindungi diri dan tidak pasrah pada keadaan. Setiap ada yang berusaha menyentuhku, aku berusaha menghajar mereka. Entah dengan tangan kosong ataupun benda tajam yang ada disana. Pernah sekali, ada seseorang yang berhasil menelanjangiku. Aku tidak bisa bergerak ataupun melawan karena terikat di ranjang setelah diberi obat tidur."

Dengar, Woojin adalah laki-laki normal dan mendapat asupan cerita kinky seperti itu membuatnya berpikiran macam-macam. Apalagi Hyungseob berpakaian cukup terbuka dan duduk di sebelahnya dengan bekas luka yang baginya cukup seksi saat melekat di tubuh Hyungseob. Woojin tentu panas dingin mendengar cerita Hyungseob. Antara merasa iba atas cerita pedihnya dan bergairah karena membayangkan seberapa seksi penampilan Hyungseob saat terikat seperti itu.

"Selama hampir dua hari aku dicambuk dan disayat. Setiap lima jam sekali, ia memaksaku meminum obat perangsang dan itu semua jelas menyiksaku. Beruntungnya dia bukan salah satu dari pria-pria hidung belang yang ingin memperkosaku. Dia hanyalah psikopat yang haus melihat seorang gadis telanjang yang terikat depan matanya. Baginya, menyenangkan melihatku dipenuhi luka sayatan dan memar bekas cambukan sambil menggeliat," Hyungseob menyentuh bekas luka yang berada di salah satu lengannya,"Itulah asal bekas luka ini."

Rasa iba Woojin mengalahkan segalanya,"Seob...,"

Hyungseob tergelak lirih,"Kenapa? Kamu merasa kasihan?" Ujarnya jenaka,"atau malah bergairah?"

Woojin membeku. Tidak enak hati juga mau mengaku kalau dia sedikit melirik lekuk tubuh Hyungseob sedari tadi. Tapi yang paling menarik dari Hyungseob adalah rambutnya. Woojin ingin sekali memegang rambut hitam sepunggung itu.

"Tidak apa-apa. Toh, kamu juga laki-laki. Malah tidak normal kalau tidak berpikir macam-macam saat mendengar cerita seperti itu."

Woojin menyengir bersalah,"Tapi bagaimana keadaanmu setelah itu?"

Hyungseob mengendikkan bahunya, bibirnya menyunggingkan senyum pedih,"Aku berhasil lepas dari dunia prostitusi. Si Mafia merasa rugi dengan menjadikanku alat pemuas nafsu karena pelanggannya terus berkurang. Aku berani bersumpah kalau belum ada yang menyentuh bagian dalam tubuhku. Mereka selalu berakhir dengan patah tulang atau paling ringan ya hidung bengkok. Kecuali yang satu tadi."

"Syukurlah kalau kau bisa menjaga—" Woojin terdiam begitu melihat ekspresi penuh tanya dari Hyungseob,"ya pokoknya itulah. Hak semua perempuan untuk memberikannya kepada orang yang disayang."

"Tidak berhenti disitu saja ceritaku. Aku memang tidak bisa melepaskan diri dari si Mafia. Alih-alih memaksaku terus bekerja sebagai pelacur, aku malah diberi pekerjaan sebagai salah seorang kepercayaannya, kau tidak perlu tahu yang bagian ini. Dia menyekolahkanku sampai aku bisa berada di SMA elit seperti sekarang dengan nilai yang baik. Begitu aku merasa dia cukup berharga dihidupku, aku berniat mencari orang tuaku untuk balas dendam. Dia melarangnya, bahkan begitu marah ketika tahu niatku mencari kedua orang tuaku. Kemudian salah satu orang suruhannya datang padaku, memberikanku alamat. Tempat dimana kedua orangtuaku bersemayam selamanya."

"Pasti ada alasan dia melarangmu mencari orang tuamu, kan?"

Hyungseob mengangguk kecil, namun kini ada senyum yan tersemat di wajahnya,"Dia bilang, aku mengingatkannya pada mendiang anaknya. Kita seumuran dan punya wajah yang sedikit mirip. Lagipula orang tuaku sudah meninggal karena minum racun. Tidak ada gunanya 'kan aku mencari mereka? Yang perlu kulakukan adalah hidup dengan lebih baik tanpa menyesal di kemudian hari."

Rasa penasaran Woojin meningkat,"Tidak merasa benci dengan orang tuamu?"

"Tidak. Sudah luntur seiring waktu," kemudian disambung dengan kekehan konyol.

"Tidak ada niatan melepas jaket di sekolah?"

"Ada. Tunggu saja." Hyungseob kembali tertawa.

"Senang mendengarmu tertawa. Kamu cuma diam di sekolah, aku jadi bingung kalau berhadapan denganmu."

Tidak ada rona yang muncul di wajah Hyungseob. Baginya godaan kecil seperti itu bukan apa-apa.

"Lain kali aku akan sering tertawa untukmu."

"Nah, bagus. Kalau begitu kita sekarang sudah berteman, kan?" Woojin mengulurkan tangannya, mengajak Hyungseob berjabat tangan sebagai peresmian hubungan pertemanan mereka.

Tidak perlu memutuskan terlalu lama, Hyungseob segera membalas uluran tangan Woojin,"Senang menjadi temanmu."

Woojin rasa, memiliki teman seperti Hyungseob akan memberinya pelajaran tentang bagaimana caranya menghargai hidup. Dari Hyungseob, ia akan mulai belajar untuk menjadi orang yang lebih baik dan terus berkembang. Dibandingkan dengan kisah hidup Hyungseob, Woojin tidak ada apa-apanya. Pekerjaannya adalah menghabiskan uang orang tua dan malas-malasan. Bahkan nyaris seperti tidak punya pandangan ke depan.

Woojin bersyukur karena hari ini Woojin dikeroyok anak sekolah sebelah di sebuah gang. Kalau tidak seperti itu, mungkin Hyungseob tidak akan menolongnya dan mereka tidak akan berteman.

.

.

.

END/SEQUEL?