Aldnoah Zero © Project A/Z, Olympus Knights, A-1 Pictures, Gen Urobuchi, Katsuhiko Takayama.

Inaho x Slaine

BL alias Boys Love, shounen-ai , hvmv dsj

AU. OOC. Typo(s)

Buat garekinclong yang ultah dari jaman kapan

Don't Like Don't Read. I've warned you!


"Ini di mana sih?!"

Inaho terdiam mendengar celotehan teman perjalanannya. Senter ia arahkan ke sana ke mari, tapi ia masih juga belum mendapatkan hidayah tentang jalan keluar dari segala kegelapan ini.

"Inaho, jangan diam saja, dong!"

Inaho mengendurkan bahu, menghela napas. "Kita tidak boleh panik jika terse—"

"Kita tersesat selama tiga jam dan kau masih mau tenang?! Dan ini sudah malam!"

Tentu saja tidak. Inaho enggan mengakui tapi itu adalah fakta. Ia sendiri sudah lelah berjalan menyusuri hutan ini bersama dengan teman sepermainan—partner untuk perjalanan mendaki gunung. Apalagi dengan suasana mencekam begini.

Nama partner perjalanannya ini adalah Slaine. Asal usul belum diketahui, tapi dia juga adalah mahasiswa matrapala. Kebetulan saja Inaho tertinggal oleh teman kelasnya yang melakukan ekspedisi bersama (mungkin mereka lupa membawa Inaho), dan akhirnya mendapat partner secara random dari penjaga pos pertama. Katanya kalau sendirian bakal terjadi hal-hal gawat. Berduaan begini juga gawat bagi Inaho, omong-omong. Kakinya pegal linu. Punggungnya pun terancam kifosis karena terlalu lama memanggul tas berisi beban hidupnya. Air, makanan, pakaian. Huhu.

"Kita berhenti sebentar saja dulu, Slaine." usul Inaho kemudian.

"Kau tidak dengar kata penjaga pos pertama tadi, ya?! Di sini masih banyak hewan buas berkeliaran!"

Mereka mendaki bersama dari pos pertama, dan tersesat ketika dalam perjalanan menuju pos kedua karena peta mereka diambil oleh makhluk citarasa lokal bernama monyet di sekitar hutan. Malang nian nasib kalian. Penjaga pos pertama mengingatkan, malam hari adalah zona bahaya. Hewan-hewan buas masih berkeliaran bebas.

"Ya kan bisa diusir —"

"Aku tidak mau dengar itu dari orang yang bahkan tidak bisa menangkap monyet."

Iya, ini salah Inaho. Tadi peta direbut darinya dengan mudah oleh seekor monyet. Memalukan, mengingat ia tidak bisa refleks dengan cepat.

"Tapi sebaiknya kita berhenti dulu. Jika kita terus berjalan, mungkin penunggu sini akan terganggu."

Arogansi yang terpancar dari wajah Slaine meredup, berganti dengan raut pucat. "Penunggu?"

Inaho mengangguk. "Iya, penunggu." ia menekankan pada kata terakhir.

"Jangan bilang hal seperti itu, Inaho. Mereka itu tidak ada." Slaine tidak ingin percaya. Bisa saja Inaho hanya menghasutnya dengan omong kosongnya, 'kan?

"Kakakku pernah kesurupan juga waktu mendaki gunung."

Slaine kian memucat. "Hei, hentikan ceritamu, Inaho. Baiklah, kita istirahat saja. Er, dimana sebaiknya?" Slaine tidak ingin mendengar sambungan cerita horor Inaho soal kakaknya yang kerasukan.

"Menurutku sungai adalah pilihan bagus, tapi kita belum menemukannya dari tadi dan hanya berputar-putar."

"Di bawah pohon ini saja bagaimana?"

Slaine mengarahkan senter ke sebuah pohon beringin besar yang tak jauh dari mereka. Inaho memilih menurut, tidak ingin memperpanjang masalah. Ia sudah lelah. Mereka berdua lalu meletakkan tas di bawah pohon, dan keduanya bersandar pada bagian batang.

"Jam berapa ini, Inaho?" tanya Slaine.

"Jam ... sebelas malam." Inaho menunjukkan jam tangannya kepada Slaine. "Kita tidur saja dulu, besok kita jalan lagi."

"Baiklah. Tapi, ini banyak nyamuk, huh." Slaine berusaha menghindar dari pasukan nyamuk di sekelilingnya. Inaho ingat ia membawa lotion anti nyamuk di tasnya. Ia mencari dan menawarkannya kepada Slaine.

"Nih, pakai ini."

"Makasih, Inaho."

Slaine mengambilnya dari tangan Inaho dan segera mengoleskannya ke bagian tangan dan kaki, serta leher. Inaho merasa ada yang aneh saat Slaine mengoleskan lotion ke badannya. Apalagi ke bagian lehernya. Terlihat begitu ... seksi?

Inaho buru-buru istighfar. Astaga, kenapa otaknya mendadak sengklek begini?

"Nih, kukembalikan." Slaine mengembalikan botol berisi lotion kepada empunya. Inaho menerimanya, dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Hari ini ia harus cepat-cepat tidur sebelum pikirannya semakin aneh.

"Kau kenapa, Inaho? Wajahmu pucat begitu." Slaine mendekatkan diri untuk melihat Inaho lebih teliti, tapi Inaho tidak siap dengan semua ini, akhirnya ia agak terjungkal ke belakang.

"Kau kenapa sih?" Slaine mengernyit. Namun sedetik kemudian, wajahnya memucat.

"Ja-jangan-jangan ... kau melihat sesuatu, Inaho?" tanyanya dengan nada khawatir. Inaho belum sempat menjawab disaat Slaine justru menerjangnya.

"S-sebaiknya kita lari, Inaho!"

Suara Slaine terdengar amat ketakutan. Ia memeluk Inaho begitu erat. Sementara yang dipeluk hanya memasang tablo. Rejeki emang gak akan kemana.

"Tenang saja, Slaine. Kan ada aku."

Pede. Yakin. Atau sebenernya udah gak tahu diri.

Maaf para pemuja Kaizuka Inaho dimanapun kalian berada, Inaho sekarang mendeklarasikan diri di dalam hati, bahwa ia akan mendapatkan Slaine meski harus menghalalkan segala cara.

Istighfar, Inaho. Istighfar.

"I-Inaho, aku takut nih."

Setelah membenahi posisi duduk mereka berdua, Slaine makin mepet-mepet ke arah Inaho. Yang dipepetin sih tidak menolak. Kesempatan tidak akan datang dua kali. Inaho merangkul pundak Slaine dengan tangan kirinya. Saatnya jadi penyelamat, kemudian Slaine mungkin akan jatuh hati padanya HAHAHAHAHA—

Ehem. Maaf. Inaho terlalu bahagia.

"Kita hanya harus diam sementara ini. Katamu tadi banyak hewan di malam hari, 'kan? Salah bertindak, kita yang akan jadi korban."

Nyasar sambil modus asik juga btw.

Inaho melihat Slaine kian merapat. Jantung Inaho sudah dag dig dug der gak karuan. Mukanya Slaine manis sekali ternyata kalau dilihat dari dekat. Wajah ketakutannya menambah daya tarik tersendiri bagi Inaho. Uhm, gimana kalau Inaho mencium dulu bibirnya yang terlihat penuh dan seksi itu?

Istighfar, Inaho. Istighfar. (2)

"Dingin, Inaho."

Memang, semakin larut suhunya semakin dingin. Slaine berusaha memejamkan matanya (dan itu terlihat sangat lucu bagi Inaho), tapi tak kunjung bisa. Apalagi Inaho. Ia tidak bisa tidur karena harus mengawasi sekitar. Ia juga takut jika ada hewan buas yang muncul.

"Ugh, rasanya susah sekali mau tidur." ujar Slaine. Apalagi abang, dek —Kaizuka Inaho.

"Yah, mau gimana lagi." imbuh Inaho. Keduanya terdiam selama beberapa saat. Hingga akhirnya mereka mendengar suara dari kejauhan, beserta sorot lampu senter.

"Kaizuka!"

Ternyata itu adalah teman-teman Inaho yang meninggalkannya tadi. Inaho senang mereka bisa bertemu, tapi ...

"Kalian tahu kami di sini, Calm?"

"Kami menunggumu di pos kedua tapi gak muncul juga. Makanya kami mencarimu. Kita turun saja, ya. Kakakmu nanti nyeramahin aku. Lah, siapa itu di sebelahmu?"

Bidadari surgaku—maunya jawab gitu tapi Inaho masih sadar diri.

"Ini Slaine. Slaine, ayo kita turun." ajak Inaho. Slaine mengangguk pelan. Mereka semua kemudian kembali ke pos pertama dengan selamat sentosa. Mereka tiba sekitar pukul empat pagi di sana. Penjaga pos pertama bernapas lega melihat mereka.

"Syukurlah kalian kembali. Aku benar-benar khawatir karena penjaga pos kedua bilang jumlah pendakinya ada yang hilang."

"Kami sekarang baik-baik saja. Jadi, tidak masalah. Kami akan segera turun, terima kasih bantuannya, pak."


"Nomor ponsel dan mailku? Buat apa?" Slaine mengernyit heran. Sebelum pulang bersama rombongannya, Inaho meminta nomor dan mail Slaine. Masa udah sejauh ini ga dapet apa-apa?

"Ya, siapa tahu kita bertemu dalam acara mendaki gunung yang lain?" sungguh alasan yang sangat tidak realistis sebenarnya. Prosentasinya bahkan nyaris mendekati nol. Gunung di Jepang itu banyak, dan belum tentu mereka pergi dalam waktu yang sama.

"Oh, baiklah." tanpa rasa curiga sedikitpun, Slaine bertukar nomor dan mail dengan Inaho. Menurutnya, tidak masalah sama sekali. Benar kata Inaho, mungkin mereka bisa saling memberi kabar bila ingin mendaki gunung lagi.


Inaho tidak bisa berhenti tersenyum saat ia pulang. Yuki tidak pernah melihat Inaho tersenyum selebar itu seumur hidupnya. Paling banter cuma mesem kecil. Itu pun tipis sekali. Tapi, tidak kali ini.

"Nao-kun, kamu kenapa?" tanyanya khawatir. "Sepulang dari gunung, kamu senyum terus. Ketemu cewek cantik di sana?" goda kakaknya.

Cowok cantik, sih—batin Inaho.

"Mendaki gunung seru juga ya, kak." ujar Inaho setengah jujur. Er, seperempat, mungkin?

"Ya, kan? Apa kakak bilang. Pilihan tepat kamu gabung sama Matrapala." Yuki mengacungkan jempol. Dia ini dulunya adalah sesepuh di kegiatan Matrapala. Awalnya Inaho ogah-ogahan ikut karena dia adalah tipe orang yang suka beraktivitas di indoor. Untung saja acara mendaki pertamanya membawa dampak positif.

Inaho tidak sabar untuk pendakian selanjutnya. Karena saat ini ada sebuah pesan masuk dari Slaine di ponselnya.

'Bulan depan klubku mau ke Gunung Hakone. Mau sekalian ikut?'


Tamat.


A/N : maaf ngebut wkwkwk yang penting fluffy2 sori lama ngedit daritadi ga sreg mulu wkwkw

Thanks for read

siluman panda