IV. Mars.

[ Yoongi/Jimin ]

Jamuan makan malam, alunan musik dansa, dan wajah-wajah yang asing ataupun familiar menggambarkan suatu malam yang tidak akan pernah dilupakan Min Yoongi.

Yoongi berdiri di pinggir lantai dansa, menyesap sampanye dari dalam gelas di tangannya. Menonton romansa-romansa pasangan tua maupun yang baru saja bertemu; dalam pertemuan-pertemuan yang klise, tentu saja. Pesta seperti ini memang selalu membawa banyak kisah baru bagi para pengunjungnya. Entah itu adegan-adegan drama seperti menumpahkan minuman atau tertabrak—tapi Yoongi sama sekali tidak peduli.

Mungkin ia satu-satunya lelaki di ruangan itu yang tidak mempercayai cinta. Lelaki yang menghabiskan waktunya dalam ruang yang rasional sampai-sampai terkadang ia lupa berimajinasi tentang hal yang indah sebab terlampau fokus akan kenyataan yang riil.

Kenapa? Sayang sekali memang. Padahal ia penulis lagu-lagu cinta terbaik di antero negeri. Sejak remaja mengabdikan dirinya membuat nada-nada yang mengalir indah untuk didengar, dikontrak orang-orang ternama untuk membuat sebait-dua bait lirik lagu yang manis. Yoongi, pastinya, handal dalam membuat sajak-sajak cinta. Tapi ia tidak pernah berminat mengalaminya sekali saja; tidak pernah.

Cinta hanya menghabiskan waktu, ia menjadikan hal itu prinsip dalam benaknya sejak kanak-kanak. Ia adalah bocah yang malang, menyaksikan ayah dan ibu berpisah memutus benang merah saat umurnya barulah sembilan tahun. Sejak saat itu Min Yoongi membenci segala perlakuan dengan embel-embel cinta. Untuk apa menjalin hubungan jika akhirnya berpisah? Untuk apa menjadi akrab jika pada akhirnya menjadi orang asing?

Tidak berguna, kesimpulan yang ditariknya.

Mungkin begitu yang akan terus dipikirkan Yoongi jika malam itu tidak mengubah takdirnya.

Yoongi masih dalam kesadaran penuh, padahal sebelumnya ia sudah menghabiskan beberapa gelas alkohol dalam kadar tinggi. Berdiri diam di pinggir lantai dansa dengan segelas sampanye di tangannya. Mencatat ide-ide untuk lagu baru.

"Min Yoongi? Benaran Yoongi, ya?"

Lelaki itu menoleh, agak terkejut. Kemudian ia mendapati wajah seseorang yang muda—mungkin berjarak satu windu darinya yang berumur di awal tigapuluhan, "Iya, ada apa?" Balasnya, agak bergumam.

"Keren sekali, Min Yoongi benaran datang! Boleh aku minta tanda tangan?" Pemuda itu mengeluarkan bolpoin dan secarik kertas dari saku celana bahannya, yang tampaknya memang sudah disiapkan dari rumah. "Oh—eh, a-aku tidak sopan ya ... ?"

"Tidak, tidak, kemarikan kertasnya." Yoongi mengulurkan tangan, menerima kertas yang tampaknya dari sobekan buku memo yang kecil. Ia menandatangani dengan cepat, tersenyum tipis melirik pemuda yang bersemu merah di depannya itu. "Ini."

"Terima kasih banyak! Aku akan menyimpan ini selamanya!"

Yoongi tersenyum lagi (senyum bisnis, jika dikira-kira). Ia kembali meminum sampanye yang tersisa sedikit di dalam gelasnya, menujukan tatapan kosongnya ke arah lantai dansa. Sedikit di sudut hatinya ia merasakan iri; bagaimana orang-orang di depan sana bergembira dan bersukacita, berpelukan, menarikan perasaan bahagia mereka dengan langkah-langkah yang menawan. Namun kebanyakan dari hatinya juga menolak; hal itu hanya euforia yang sementara. Aneh sekali, mungkin Yoongi mulai mabuk.

Lelaki tersebut meletakkan gelasnya di atas sebuah meja, bersamaan dengan itu, pemuda tadi mengambil sepotong cake dengan sebuah stroberi di atasnya. Mengunyah camilan pesta itu dengan riang, memenuhi mulutnya dengan rasa manis.

Yoongi terlihat gamang, namun ia segera memutuskan sesuatu. "Hei,"

Pemuda itu tersentak, "Eh—iya? Ada apa?"

"Kau datang sendirian ke sini?"

Ia mengangguk.

"Benaran? Biasanya orang seumuranmu pasti membawa teman."

"Ini acara salah satu keluargaku. Aku ... kurang suka berada di antara keluarga besar."

Yoongi hanya menyuarakan suatu kemakluman. Ia kembali bertanya untuk sekedar basa-basi, "Namamu?"

"Jimin, Park Jimin."

"Senang bertemu denganmu, Jimin."

Jimin hanya mengangguk. Wajahnya sedikit memerah, yang benar saja, idolanya mengajak berkenalan? Mungkin ia sedang bermimpi indah. Buru-buru ia mengusap bibirnya yang mungkin ditempeli krim putih. Yoongi meliriknya sedikit, kemudian kembali berfokus pada lantai dansa.

"Yoongi-ssi ..."

"Yoongi saja."

"Y-Yoongi," Jimin berusaha teguh dan menatap Yoongi, mengabaikan jantungnya yang berdebar-debar tak karuan. "Tidak membawa teman?'

"Tidak. Temanku sedikit."

" ... begitu."

Lalu hening.

Suara-suara orang berbincang, dentingan gelas beradu, atau alunan musik tidak lagi menarik perhatiannya. Yoongi seperti patung, dengan kulit pucat dan jas hitam mahalnya itu ia hanya berdiri di pinggir lantai dansa. Seperti orang bodoh, tepatnya. Ia mulai bertanya kenapa dirinya masih ada di dalam pesta hanya untuk menjadi pajangan.

Lagipula, Yoongi juga tidak pandai berdansa.

"Yoongi tidak ingin dansa?"

Sebuah suara memecahkan lamunannya. Yoongi berkedip-kedip, kembali ke alam sadar. Ia menoleh pada Jimin yang menatapnya dengan penuh penasaran, "Aku? Oh, tidak. Aku tidak bisa, tidak ingin."

"Kenapa? Berdansa itu menyenangkan." Jimin memiringkan kepalanya sedikit, kemudian ia menatap pasangan-pasangan di depan sana, "Apalagi dengan orang yang dicintai."

Ah, topiknya kembali lagi.

Cinta.

"Tidak punya."

"... maaf?"

Jemarinya yang panjang mengambil gelas sampanye yang baru. Ia menyesap minuman tersebut sebelum menjelaskan. "Aku tidak mencintai siapapun dan apapun."

Jimin tampak sedikit terkejut, respons biasa yang selalu didapatkan Min Yoongi saat seseorang bertanya apakah ia memiliki hubungan yang sangat akrab—cinta, atau tidak. Apa salahnya tidak berminat pada hal itu? Mereka pasti akan menjawab;

"Kukira kau punya seseorang—e-eh, soalnya lirik lagumu ..."

"Romantis?" Yoongi menghabiskan isi gelasnya, "Jangan salah paham, hal seperti itu mudah dibuat bahkan tanpa menghayatinya."

Pemuda itu hanya menunduk. Ia merasa sedikit takut setelah mendengar nada bicara Yoongi yang mendatar kala menjawab pertanyaannya. Min Yoongi yang ia kira penuh romansa ternyata orang yang sangat kaku, sangat rasional. Orang yang mengabaikan konsep-konsep utama dalam pekerjaannya. Jimin merasa agak malu, ia terlalu berharap bisa menjadi seseorang di samping Yoongi bahkan saat lelaki tersebut masih tidak mengenalnya.

Ia terlalu berharap; delusinya terlalu tinggi.

Jimin merasa sangat bodoh. Imajinasinya perlahan runtuh.

"M-maaf ..."

Yoongi hanya terdiam. Ia menyadari perubahan pada air wajah Jimin yang menurun. Membuatnya mulai merasa bersalah karena mungkin kalimatnya terlalu tajam. Secepat mungkin ia memutar otak—mencari permintaan maaf yang tepat.

Benar juga.

"Jimin."

"Uh, iya?"

"Keberatan jika makan malam lagi?"


Jimin makin tidak mengerti.

Semuanya terjadi begitu saja. Dari saat ia meminta tanda tangan, berkenalan, berbincang sebentar, lalu setelah itu ia berakhir di atas kursi penumpang sebelah Yoongi di dalam mobilnya, dan kini duduk berhadap-hadapan di sebuah restoran daging. Yoongi hanya memanggang daging tanpa suara dan fokus pada hal itu, mengabaikan Jimin yang masih membawa tanda tanya besar di sekitar kepalanya.

Entahlah, apakah Jimin harus merasa berterima kasih atau biasa saja?

"Yoongi?"

"Ada apa?"

"Kenapa ... mendadak mengajakku makan malam?"

"Tidak ada, daripada di dalam pesta juga diam saja." Ia mengambil piring kecil serta sumpit di tangannya, mulai mengunyah, "Kau tidak suka daging?"

"Tidak—maksudku, suka sekali kok!" Jimin menelan ludah dengan gugup. "Hanya saja ... lupakan."

"Kalau begitu makanlah, jika kau tidak mau makan daging rasa arang."

"Maaf!"

Jimin membawa sepotong daging ke dalam mulutnya dengan penuh keraguan, sejurus setelah itu ia mengeluh lidahnya terbakar. Jimin melupakan fakta bahwa daging yang baru dibakar itu pastilah masih sangat panas, maka ia segera menenggak segelas air mineral dengan cepat. Yoongi terdiam sebelum syarafnya merasakan lucu.

"Pft—ya Tuhan, kau baik?"

"Uwah, panas!"

Yoongi benar-benar tergelak, "Hati-hati makanya."

Jimin menatap Yoongi yang sedang tertawa tanpa berkedip. Lelaki itu tampak sangat menawan, membuat Jimin terus terpukau selama beberapa saat. Gelaknya terdengar sangat manis. Bibirnya yang tersenyum itu menampakkan gusi; atau yang sering disebut orang-orang, gummy smile. Jimin bahkan tidak yakin apakah Yoongi tertawa seperti itu dalam hari-harinya yang biasa. Ia terlihat sangat senang.

Indah.

Untuk menit-menit selanjutnya, tidak ada obrolan lain selain kalimat-kalimat garing. Setidaknya mood Yoongi tampak lebih baik daripada saat berada di ruang pesta tadi. Ia banyak tersenyum dan tertawa untuk hal-hal lucu yang Jimin ucapkan. Waktu terbang begitu cepat.

Tapi sejujurnya, ada sesuatu yang mengganggu benak Jimin sedari tadi mereka berbincang.

Tiap nada yang dialunkan Yoongi di dalam kata-katanya terdengar sedikit kesepian.

Atau hanya perasaan bodohnya lagi?


"Terima kasih, dagingnya enak sekali!"

Keduanya melangkah keluar dari restoran. Jimin merenggangkan tubuhnya, tersenyum kepada Yoongi. "Ah, permisi ..."

Pemuda tersebut mengulurkan tangannya yang memegang sapu tangan ke sudut bibir Yoongi. Ia mengusap noda saus di sana dengan hati-hati, mungkin saja Yoongi bisa tersinggung, kan? Jimin menurunkan tangannya dan mendapati wajah Yoongi yang aneh.

Merah jambu, pipinya berwarna merah jambu.

Merasa tidak enak hati, ia segera berlari ke minimarket terdekat. Kemudian keluar membawa sekaleng kopi dan sekotak susu. "M-mungkin tidak seberapa, tapi ambillah."

Yoongi masih bengong. Ia baru sadar saat Jimin melambaikan tangan di depan wajahnya dua kali. "Ya, d-dari mana kau tahu aku suka yang ini?" Ada apa dengannya? Yoongi mendadak bodoh sekali.

"Di mobilmu. Aku lihat beberapa kaleng di kursi belakang."

"Benar—iya benar." Yoongi mengusap tengkuk bagian belakangnya. "Jadi kita jalan pakai kaki?"

Jimin menatapnya dengan bingung, "Ngelawak ya?"

"Maksudku, mungkin kau mau naik mobil."

"Oh, jalan kaki saja." Pemuda itu tersenyum, berjalan beberapa langkah mendahului Yoongi. Malam semakin larut. Lampu-lampu toko meredup dan bintang-bintang semakin terang. Atmosfir yang berada di antara mereka sangat menyenangkan. Jimin bersenandung pelan sembari menghabiskan susu kotaknya dengan sedotan, berjalan-jalan di atas trotoar dengan Yoongi yang mengekor di belakang.

Sekedar info, Yoongi tidak pernah keluar selarut ini, makanya ia merasa asing. Biasanya pada jam-jam seperti sekarang ia masih berkutat dengan alat-alat pembuat musik atau mengejar deadline. Hal ini sangat baru baginya, Yoongi tidak tahu kalau bintang bisa bersinar secerah ini jika lampu-lampu kota meredup. Cantik sekali.

Perasaannya aneh, daritadi Jimin terus membuka pintu kepada dunia baru untuk Yoongi. Padahal mereka hanya berkenalan sebentar dan sekarang sudah seakrab ini.

Bagaimana seharusnya?

"Sirius pasti sangat cantik." Jimin bergumam dengan sedotan di antara kedua belah bibirnya, tahu-tahu mereka berdua sudah berada di atas jembatan penyebrangan. "Aku ingin lihat ..."

Yoongi, yang baru menyadari bahwa ia belum meminum kopi pemberian Jimin sedikit pun, segera membuka penutup kalengnya dan minum dengan cepat. Ia meremat kaleng kopi itu di dalam tangannya yang besar, "Jangankan sirius, langit seperti ini saja sudah cantik. Seperti kau."

"... Yoongi bilang apa?"

"Tidak, lupakan. Aku salah bicara."

Kenapa bakat menggombalnya muncul di saat seperti ini?

Jimin hanya mengangguk-angguk. Kemudian ia mengingat sesuatu, "Pukul berapa ini, Yoongi?"

"Entahlah, setengah satu?"

"Wah!" Jimin mulai terlihat panik, "Aku belum bilang akan pulang larut!"

"Bukannya tadi sudah minta izin?

"Kukira tidak akan selama ini, ayo pulang!"

Yoongi hanya menurut. Ia mengikuti Jimin yang berlari-lari kecil di depannya seolah-olah sedang bergegas. Hatinya merasa janggal.

Ia tidak ingin ini berakhir.


You say love is messed up,

You say that it don't work,

You don't wanna try, no, no.

And baby; i'm a stranger,

to heartbreak and the pain, of—

"Oh, lagu ini!" Jimin memekik pelan, "Kolaborasimu dengan artis barat itu kan?"

"... rasanya aneh mendengar laguku terus yang diputar radio."

"Bagus sekali kok."

Jimin ikut bernyanyi sepanjang perjalanan pulang. Radio malam memutarkan lagu-lagu dan beberapa di antaranya memiliki lirik dan musik yang diciptakan oleh Yoongi, membuat lelaki itu tersipu dan sedikit menutup wajahnya karena malu. Jimin tersenyum lebar.

"Hentikan, duh. Aku malu."

"Tidak mau, lagumu bagus-bagus semua."

Jimin tergelak menatap Yoongi yang sedikit memajukan bibirnya sembari menyetir. Ia tetap bernyanyi.

But we both found each other tonight, tonight

So if love is nothing more

Than just a waste of your time;

Mobil berhenti di depan pagar sebuah rumah yang tampak nyaman; Jimin keluar dari mobil dan melambaikan tangannya, "Terima kasih jamuannya."

Yoongi hanya diam. Jimin mengira mungkin saja Yoongi masih mengambek sebab ia tidak mengindahkan permintaan Yoongi untuk berhenti bernyanyi tadi. Jadi pemuda itu hanya tersenyum seakan-akan menghadapi seorang bocah yang tengah merasa sebal, "Sampai bertemu lagi."

Jimin berjalan menuju rumahnya, baru saja ia akan membuka pagar rumah sebelum Yoongi berteriak 'tunggu' dengan volume sedang, menghentikan pergerakannya dalam kedipan mata. Yoongi berlari keluar dari mobilnya, menyusul Jimin selagi sempat. Selagi mereka masih dalam lingkup yang sama.

Malam itu, yoongi belajar banyak hal. Tentang bagaimana caranya menikmati hidup dengan layak, mengajaknya jalan-jalan, dan juga,

"Ada apa Yoon—"

... waste it on me.

Jimin melebarkan kedua matanya dalam keterkejutan yang masif.

Lelaki itu membawanya ke dalam ciuman yang lembut. Tanpa menyatakan nafsu, penuh perasaan yang berkabut. Pikiran-pikiran yang cenderung kekanakan dan naif.

Ia tidak ingin kehilangan Jimin.

Karena Jimin mengajarkannya suatu hal, mengajarkan 'cinta' yang selalu ia benci dengan cara yang sederhana.

Ciuman itu tidak berlangsung lama, hanya sekedar lima detik. Tetapi sukses membuat wajah Jimin memerah dengan sangat. Yoongi membuka matanya dan menatap Jimin dengan bersungguh-sungguh, "Aku tidak ingin ini berakhir."

"Ap—apa ... ?" Pemuda itu tergagap, jantungnya berdebar semakin kencang, "K-kau mabuk, Yoongi?"

"Kumohon,"

Jimin menelan ludahnya untuk kesekian kali malam ini. Ia sangat gugup, Yoongi terlalu blak-blakan dan hal itu membuat Jimin merasa aneh sekaligus senang.

"Aku tidak suka suatu hubungan yang akan berakhir, jadi bagaimana kalau kita tidak akan pernah mengakhiri ini?"

Tidak ada yang bisa menggambarkan perasaan Jimin malam itu—canggung, bahagia, atau apapun itu. Tentu ia bahagia karena mengetahui jika sang idola merasakan hal yang sama dengannya, tapi bukannya agak terdengar seperti sebuah ...

"... kau baru saja melamarku?"

"Menurutmu?"

Yoongi itu aneh.

Mereka baru beberapa jam yang lalu menjadi dua orang asing, kemudian menjadi teman baru. Dan sekarang Min Yoongi berdiri di hadapannya, menyatakan cinta hanya karena afeksi-afeksi menyenangkan yang Jimin beri dengan sederhana dan alami.

Sama sekali tidak terasa nyata.

Jimin tidak ingin bangun.

"Uh, itu ..."

"Jangan dijawab." Yoongi menatapnya dengan tegas, "Aku tahu ini mendadak sekali, tapi—"

Jimin menarik kerah baju Yoongi sebelum lelaki itu melanjutkan kalimatnya, mengecup bibirnya dengan cepat dan segera mundur beberapa langkah. Ia mengusap bibirnya sendiri dengan malu-malu.

"Aku tidak tahan untuk tidak bilang 'ya'."

"... bagaimana?"

"Aku menerimamu, Min Yoongi." Ia tersenyum senang, nyaris saja ada airmata yang mengalir. "Kuharap ayah dan ibu juga menerimamu, datanglah minggu depan untuk menemui mereka."

Yoongi melebarkan kurva senyumnya. "Kau yakin?"

"Yakin sekali. Selamat malam dan mimpi indah."

Jimin memberikan sebuah kecupan ringan di pipi Yoongi, membuat wajah lelaki itu memerah lagi. Ia masuk ke dalam rumah setelah melambaikan tangan dan terkekeh mendapati raut wajah Yoongi yang sangat di luar karakternya; merah padam dengan wajah yang canggung. Yoongi menatap pintu rumah Jimin yang perlahan menutup dengan senyum yang masih terpatri di bibirnya.

Bahkan Yoongi tidak perlu tertidur untuk mendapat sebuah mimpi yang indah.

-end.


[ A/N : 2k+ words hanya untuk sampah keju ini (dan nggak diedit). Semoga suka! ]