I. Mercury.

[Yoongi/Jimin, sedikit disarankan membaca sambil mendengarkan lagu Suisei – DAOKO]


Langit kian menjingga, bersamaan juga mengelam hingga gelap. Memajang bintang sampai fajar pulang. Indah; harap saja punya kekasih. Bisa menikmati lanskap malam bersama pasti menyenangkan.

Bagi semua orang, ini indah. Tapi bagi Park Jimin; ini cobaan.

Kalau malam, berarti tak lama lagi pagi. Begitu pikirnya, sebagai seorang siswa kelas dua belas. Kalau pagi, bertemu sekolah lagi.

Jemarinya menggeser-geser rambut yang jatuh berantakan di dahi. Sepasang netra tekun bergulir pada paragraf materi. Satu menit, dan ia hela napas kelelahan. Menjatuhkan kepala di atas meja.

Kertas yang isinya deretan rumus menempel pada wajah, lalu ia berdesis tak senang, berikut mengumpati segala hal. Lama-lama ia seperti orang sinting. Bahkan Jimin serta-merta menggebrak meja (dan pintunya langsung digedor oleh Ibu yang bersangkutan).

Ulangan dan segala pekerjaan rumah—siksa. Siapa pula yang suka berkutat di antara rentetan huruf dan angka tiap hari. Jimin melakukannya. Tapi bukan berarti ia suka.

Dilepas kacamata berbingkai hitamnya. Menguap dua kali berturut sembari melangkah, lalu membuka jendela lebar-lebar. Oh, terjun dari sini tampaknya tidak buruk. Tapi jangan, setidaknya ia ingin sukses dulu, dan syukur-syukur punya kekasih. Baru sudi mati.

Lamat-lamat ada senandung pelan dari jendela seberang, ia melihat seorang lelaki duduk bersandar menyamping pada bingkai jendela. Suaranya berat, dan barulah ia sadar bahwa itu bukan senandung biasa, melainkan rap.

Terlukis senyum di bibirnya yang belakangan hanya mengeluh. Tidak tahu; ia ingin saja.

"Hei."

Jimin mengerjap kaget. Lelaki itu memandanginya tak paham. Suaranya berat—serak pula.

"Sedang apa?"

Ketahuan. Tengkuknya tidak gatal tapi minta diusap, memang nyeri, sih. Sejujurnya.

"Uh ... entahlah. Tadinya aku hanya ingin menengok langit."

"Kau suka langit?"

Agak ngeri melihat lelaki itu. Tergelincir sedikit habislah ia, jatuh patah-mematah mengikuti gravitasi, ini lantai dua, kawan. Tidak ada yang tampak darinya, yang melekat di tubuhnya warna hitam semua. Kontras dengan kulitnya yang tampak bersinar sedikit terkena sinar rembulan.

"Apa harus menyukai langit?" Jimin balik bertanya.

Lelaki itu menaikkan alis, masih tak paham. "Kenapa?"

Ada jeda sarat keraguan setelahnya. Jimin berdeham pelan. Mengatur jawaban di sela otaknya yang padat oleh materi sekolah.

"Tidak ada, hanya saja akhir-akhir ini aku banyak mengutuk."

Lelaki itu tertawa ringan dengan suaranya yang berat. Terdengar gemerisik lembar kertas darinya. Ia tampak juga tengah merenungi sesuatu. Usai hening itu, Jimin mencoba bertanya.

"Kau orang yang pindah minggu lalu?"

Jimin menyipitkan matanya. Sejujurnya sulit melihat wajah satu sama lain. Remang, ia hanya menghidupkan lampu yang kecil dari tadi. Lelaki itu malahan tidak pakai lampu; tapi tampak cahaya kecil dari dalam kamarnya, mungkin lampu meja.

"Ya, dengan adik sepupuku." Jawabnya, tidak menoleh. "Kenapa?"

"Kukira—" Jimin memanjangkan huruf terakhir, "Adik sepupumu tinggal sendiri ... kau tidak pernah kelihatan."

Mungkin tiap kalimat dari Jimin terdengar seperti gurauan—dengar, lelaki itu tertawa lagi. Apa bakatnya adalah pelawak dan bukannya penyanyi, entahlah.

Tapi lama-lama suaranya jadi candu.

"Aku tidak suka keluar rumah. Dan aku lebih suka begadang."

"Seram. Jangan-jangan kau vampire?"

Dan lelaki itu tertawa lagi. Seolah tidak pernah mendengar lelucon sekali pun dalam seumur hidup. Mungkin karena ia merasa hidupnya ialah lelucon terhebat. Ia terlampau sering menganggap hidupnya menyedihkan.

Jimin mulai jengkel, "Kenapa terus tertawa?"

Jeda lagi. Satu dengusan sebal terlontar. Dipotong sebuah penyataan yang membuatnya bersemu malu.

pernyataan selanjutnya menjadi awal dari perubahan hidup Park Jimin.

"Aku suka suaramu. Manis sekali."

Ia menahan napas. Lelaki itu tampaknya memang berbakat memikat hati. Dan lagi, ini pertama kalinya ia dipuji begitu tulus. Oleh seorang yang bahkan tidak ia ketahui namanya.

Oh iya, nama.

"Ngomong-ngomong, siapa namamu? Aku Park Jimin."

"Min Yoongi. Salam kenal, Park Jimin."

Yoongi mengulurkan tangan kirinya yang berada di luar, dinaik-turunkan layaknya tengah berjabat tangan. Jimin terkekeh, ikut mengulurkan tangan. Ia tersenyum sampai matanya tenggelam seperti sabit.

Duh, jangan buat Yoongi makin jatuh hati, dong.

"Orang bilang aku sinting karena kalimatku kadang tak jelas. Jadi aku lebih suka sendiri."

Jimin bergidik ngeri. Rasa-rasanya Yoongi seperti mau bunuh diri. Tinggal merosot dan—halo alam baka.

"Itu alasanmu berhenti bersosialisasi?" Jimin mengedipkan kedua matanya beberapa kali. "Dari tadi kalimatmu cukup jelas menurutku."

"Benarkah?" Yoongi tersenyum tipis di seberang sana. "Mungkin karena kita sama-sama sinting."

Jimin tersenyum lagi, jenaka. Pasti Yoongi mendengarnya menjerit pada tengah malam dua hari lepas. Pasalnya, ia benar-benar muak dengan segala tugas sekolah. Tiada hari lengkap tanpa pekerjaan rumah. Jimin benaran stres pada hari itu—dan setelah itu, ibunya marah-marah dan mengomel sepanjang malam.

"Kuharap kita bisa pergi dari sini. Membangun dunia baru."

Yoongi memejam mata. Mendongak menghadap langit. Kulit pucatnya bersinar lagi karena rembulan. Jimin memandangi bintang-bintang.

Tetangganya ini, mungkin kiriman dari langit, karena segala hal hambar yang mereka bicarakan jadi manis dikecap. Intonasi nada bicaranya nyaris datar, tapi ia menyukainya.

Sebentar—Jimin suka?

"Besok kita pergi jalan-jalan, mau? Tapi malam hari. Tenang saja, aku tidak akan berlaku macam-macam."

Jimin langsung mengangguk antusias. Senyumnya lebar sekali. Ini kesempatan bagus mengenal Yoongi lebih dekat.

"Mau! Kemana?"

Ada hening yang membingungkan.

Jawaban Yoongi selanjutnya kembali membuatnya menahan napas. Pipinya lebih merah. Matanya tak berkedip. Tubuhnya mematung.

Ia memang berbakat memikat hati. Dan ia memang sinting.

Jimin ialah orang pertama yang terpikat kalimat sinting Min Yoongi. Tetangganya yang misterius tapi bicara manis. Bagi orang kalimatnya memang sinting. Tapi sekali lagi; Jimin bukan orang normal di sini.

"Ke mana saja. Asal denganmu, bahkan Merkurius. Membangun dunia."

Benar-benar, Jimin merasakan dirinya meleleh.

"Ke mana saja, bahkan Merkurius." Yoongi mengulang beberapa kata. Ia tolehkan wajahnya pada Jimin, tersenyum.

Salahkan Jimin yang membuatnya jatuh cinta duluan. Sakit, tahu.

Lidahnya tak kuasa membalas bahkan seujung kata pun. Jimin mengangguk cepat lalu berbalik badan. Menutup jendela hingga sosok Yoongi tak tampak. Samar ada suaranya yang tertawa lagi.

Detik selanjutnya, Yoongi dan Jimin bersama-sama berseru. Tanpa menghiraukan kemungkinan orang lain terganggu.

"Kita ke Merkurius!"

Langit menaburkan bintang di antara mereka. Menjatuhkan bulan yang makin bersinar terang seperti rasa-rasa yang tengah bersemi itu. Meluncurkan gemerlap malam di kanvasnya. Terpaku menatap dua orang sinting yang tertawa-tawa penuh bahagia.

Jimin merebahkan diri di atas ranjang. Mendengarkan lantunan lirik penuh kata-kata manis dari seberang jendela. Sayup sebelum ia jatuh tertidur, suaranya terdengar berbisik di telinga.

Jimin senang bertemu Min Yoongi, dan sebaliknya yang di luar sana juga merasa begitu.

Berharap jikalau benar mereka mengobservasi luar angkasa. Membangun dunia untuk berdua. Melepas gelar 'orang sinting' dan menjadi orang-orang paling bahagia

Di akhir lirik, Yoongi bacakan kalimat favoritnya. Ia merekah sebuah kurva yang manis pada bibirnya. Jimin turut pula berbisik. Bersemu malu-malu di balik bantal seperti seorang gadis muda.

"Ke mana saja. Bahkan Merkurius."

end.


[A/N :

Fanfik ini ditulis dengan kecepatan kilat jadi mungkin ada banyak salah ketik—ditulis sebagai tanda absensi di situs ini. Tiap chapter judulnya sesuai urutan tata surya dan nggak berhubungan satu sama lain (karena ini drabble, pasti). Semoga suka! ]