Tiga bulan sudah lamanya, dan sampai hari ini Karamatsu masih harus menggunakan kursi roda untuk berpindah tempat. Untuk kedua kalinya, dokter yang berbeda berkata bahwa Karamatsu memiliki kemampuan pulih yang sangat bagus. Akan tetapi, tampaknya Tuhan tidak memberikannya pemulihan sehebat itu untuk menyembuhkan kedua matanya.

Orang yang selalu mendampinginya ke mana pun ia pergi adalah Choromatsu. Seminggu pascakecelakaan, sang ibu tak henti-hentinya menitikkan air mata. Beliau menyalahkan dirinya dan berpikir bahwa ia sudah tidak becus mengurus anak. Ia tak mampu mengawasinya, merasa kurang peduli pada anak lelaki biru keduanya. Jika saja ia mau bersedia lebih meluangkan waktunya untuk mendengarkan Karamatsu, ia merasa hal itu tidak akan terjadi. Bahkan, tak seorang pun yang dapat meyakinkannya bahwa itu bukan salahnya, terlebih jika itu adalah suaminya yang kala itu selalu berada di sampingnya, mengelus pundak wanita itu tanpa pernah mengerti perselisihan macam apa yang terjadi di antara anak-anaknya.

Osomatsu mengasingkan diri. Pergi pagi, pulang pagi, dan tentu bukan karena bekerja. Ia menggelandang entah ke mana, lalu malamnya berakhir di angkringan Chibita meminum bir dengan takaran yang melebihi biasanya—melebihi dari lebih yang biasanya. Chibita menyuruhnya untuk berhenti, tetapi Osomatsu tak mau mengerti sama sekali. Tak ada yang mau didengar maupun diterimanya. Ia selalu meracau tentang kecelakaan yang terjadi itu akibat kesalahannya. Andai saja ada orang yang berani bilang padanya bahwa ia tak salah sepenuhnya. Mungkin takkan ada lantaran Osomatsu adalah orang yang keras kepala.

Jadi, ketika dirinya yang sudah seperti tak berakal pada saat matahari belum menyingsing ambruk di depan rumah, maka anak ketigalah yang mengurusnya. Setiap saat, sendiri menunggunya pulang bertopang pipi pada meja bundar di depan televisi yang mati. Choromatsu tidak merasa jengkel karena ia tidak harus bangun pagi untuk bekerja, namun ia menegur kakaknya beberapa kali dan akhirnya menyerah karena Osomatsu sulit untuk diberi tahu.

Todomatsu adalah orang kedua yang selalu mendampingi kakak birunya. Ketika Choromatsu tak mampu menanggung sendiri, maka disanalah Todomatsu turut membantu. Mengangkatnya ke kursi roda, menaikkannya ke ranjang rumah sakit. Jyushimatsu juga lumayan sering menghabiskan waktunya di sekitar mereka, hanya saja ia bingung apa yang harus diperbuatnya. Ia selalu menutup mulutnya di balik lengan bajunya yang terlampau panjang. Ingin menghibur, tetapi keadaan yang tepat tidak pernah mampir.

Suatu saat, ketika Todomatsu sedang menyuapkan nasi ke Karamatsu, Jyushimatsu turut menemani mereka. Ia terus memandanginya. Awalnya Todomatsu tak acuh, tetapi kali ini pandangan kakak terakhirnya menyiratkan makna yang berbeda. Ia membiarkannya. Waktu lelaki itu ke kamar mandi untuk mencuci piring, Jyushimatsu mengikutinya dan akhirnya berkata, "Hei, kalau tak apa, aku yang membantu Karamatsu-niisan sesekali bagaimana?"

Todomatsu berbalik. Ia menunjukkan wajah masam yang selalu dipasangnya selama ini, hanya saja kini lebih kentara serta dalam.

"Kenapa? Aku kelihatan tidak ikhlas, ya?"

Rona wajah Jyushimatsu berubah menjadi tak enak tanpa menghilangkan mulutnya yang terbuka lebar. Todomatsu mengerti akan reaksi kakak termudanya. Ia kembali melihat piring yang ia pegang dan mencucinya dengan air bak. Kala ia hendak keluar untuk menaruh benda itu pada laci di samping ranjang, ia melewati Jyushimatsu dan mengucap, "Setidaknya ini untuk membayar yang sudah-sudah." Lalu, ia pergi, meninggalkan si kuning cerah yang kini remang-remang.

Ichimatsu mendekam di kamar setiap waktu, lupa akan perhatiannya pada kucing-kucing liar di ujung gang yang perlu dirawat. Ia sudah biasa diam, dan perilaku yang selalu dilakukannya ini takkan membawa pengaruh apa-apa. Sedikit diam dan semakin diam hanya menunjukkan bahwa ia benar-benar tidak berguna. Ia sadar akan hal itu, tetapi depresi mengalahkannya. Jika saja Karamatsu mampu untuk melihat sikap adik ungunya ini dengan mata kepalanya sendiri, ia pasti akan memarahinya. Sorotan matanya tak pernah berubah. Bola mata terbuka lebar kemerahan dan tak pernah melirik ke lain arah selain lurus ke depan. Saudara yang lain lebih tak berani untuk sekadar mendekatinya.

Selama masa pemulihan pun Karamatsu banyak diamnya. Terlepas dari tidak tahu persis kondisi saudara-saudaranya, ia menyikapi keadaan seakan tak menghakimi siapa pun. Untuk menyalahkan seseorang secara langsung bukanlah Karamatsu.

Sebulan lagi berlalu, Karamatsu tidak membutuhkan kursi roda lagi dan ia sudah pulang ke rumah. Kakinya masih terasa nyeri jika digunakan untuk berjalan cepat, pun kedua tangannya masih diperban dan belum bisa bergerak secara leluasa. Namun, ia tak ingin memanjakan dirinya. Justru ia takut kalau masa penyembuhannya akan lebih lama jika ia masih mengandalkan kursi roda yang membuat badannya kurang gerak. Lagipula, ia bukannya tak rindu rumah. Karamatsu mengusahakan diri untuk jadi baik-baik saja.

Firasat Karamatsu sendiri tak sebagus itu untuk menyadari keberadaan adiknya yang kerap duduk memeluk lutut di sudut kamar. Ia dan saudara-saudara, terutama Choromatsu dan Todomatsu yang kini sering berada di sekitarnya juga hampir tak pernah membicarakan apa pun. Terkadang Choromatsu mengobrol ringan dengan Todomatsu untuk menghilangkan sepi, tetapi Karamatsu hanya menjadi pendengar. Meski begitu, tak ada yang merasa beban atau mempermasalahkan keadaan sama sekali.

Sebagian besar waktu yang Karamatsu miliki, ia gunakan untuk duduk bersila di dekat meja bundar ruang tengah membelakangi pintu. Cuma diam, mengosongkan pikiran. Tak ada lagi pikiran acak yang memasuki benak Karamatsu lantaran kebutaannya membuat lelaki itu menyimpulkan bahwa semuanya sudah selesai, atau kalaupun kelihatannya justru hal ini menimbulkan persoalan lain, ia tak ingin memikirkannya lagi. Pokoknya semua sudah usai. Ia ingin menikmati hari yang tersiksa tanpa pengharapan berlebih saja.

Di samping itu, Karamatsu selalu merasa bahwa setiap ia duduk di ruang tengah ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Ia tidak menghiraukannya. Dirinya maupun sosok itu juga tidak saling memanggil. Akan tetapi, suatu ketika Karamatsu merasa bahwa sudah cukup untuk tidak menghiraukan, ia menolehkan kepalanya ke belakang meski tak bisa melihat. Sosok itu diam alih-alih pergi dari tempatnya.

Karamatsu pun menebak, "Osomatsu?"

Orang yang dipanggil berjingkat. Muncul keringat yang mengalir membasahi tubuhnya. Ia cemas. Ia waswas.

Tolehan Karamatsu masih pada posisinya. Lelaki itu tak mendapat balasan, maka beberapa detik kemudian ia pun kembali menghadapkan kepalanya ke depan. Osomatsu nyaris membuat napasnya keluar karena ketakutan.

Ia selalu mengamatinya, dikiranya untuk menyadarkan diri bahwa kondisi yang sekarang dialami lelaki itu adalah salahnya. Menyakiti diri pada sebuah asumsi yang tak sepenuhnya pasti. Ia malu untuk bertemu dengannya. Ia malu dengan dirinya yang selama ini mengira bisa mengatasinya. Ia malu tak bisa berbuat apa-apa. Ia malu, dan ia benci karenanya.

Hal yang dilakukan Osomatsu selain ini mungkin adalah merutuk dirinya, dan kembali mabuk-mabukan di angkringan Chibita disertai racauan penyesalannya. Ia mengandalkan insting untuk beralih pada setiap tindakan yang merusak diri semakin terlewatinya waktu. Tatkala hendak dilangkahkannya kaki untuk pergi, Karamatsu menolehkan kepalanya sekali lagi. Anggota bawah si sulung itu belum sempat bergerak, jadi ia spontan mengurungkan niatnya.

"Osomatsu, jangan terus-menerus menyalahkan dirimu," katanya biasa. Air muka Osomatsu berubah. Ia tak tahu lagi akan keterkejutan serta kengerian yang dirasakan di sekujur tubuhnya.

Karamatsu melanjutkan, "Kalau kau tetap seperti ini ..."

Ia menjeda. Osomatsu terlampau ingin tahu kata yang ingin diucapkan adiknya lagi.

"Aku yang akan menyalahkan diriku lagi."

Detak jantung Osomatsu rasanya berhenti sepersekian detik. Kedua bola matanya langsung melebar. Ia tercekam. Tangan kirinya mulai bergemetar, diikuti tangan satunya. Lelaki itu berusaha mengendalikannya. Ia tak bisa menahan lagi. Ia harus menghampiri Karamatsu.

Karamatsu dapat merasakan Osomatsu berjalan mendekat, kemudian bersimpuh di sampingnya. Ia sekadar menebak untuk beralih menghadapnya. Tak lama, Osomatsu membungkukkan badan dengan dahi menempel lantai beserta kedua tangan yang memegangi kepalanya. Terasa berat, penuh seolah mau meledak. Gemetar badannya semakin menjadi.

Osomatsu tak mampu menahannya lagi. Ia mulai meraung tertahan, menitikkan air mata yang tak sederas hujan, tetapi terus mengalir tanpa henti. Beberapa waktu kemudian barulah raungannya mulai terdengar keras. Inilah kali pertama Osomatsu mengeluarkan tangis demikian. Bukan rengekan ketika permintaannya tidak dituruti, tetapi suara serak menjadi berat ditahan-tahan yang tak ingin ia keluarkan sepenuhnya. Ia tak mampu berkata-kata lagi untuk memperjelas kondisi sekarang ini.

Itu tak perlu. Karamatsu memang tidak dapat melihat. Namun, ia semakin bisa mendengar dan merasakan. Dirinya tersenyum tipis. Ia segera menepuk bahu Osomatsu pelan, mencoba menenangkannya, atau lebih tepatnya memberi ungkapan terima kasih yang diikuti oleh ucapan nyata.

"Terima kasih, Osomatsu." Suaranya lembut. Ia tak menyesal menjadi buta jika itu bisa membuat saudaranya sadar.

Terima kasih kini sudah mau mengerti.


Halo! Hehe aku update chapter extra nih. Nggak bilang-bilang ya haha. Maaf kalo nggak nyaman(?). Cerita ini sudah benar-benar tamat (kecuali ada yang minta sekuelnya /halah). Sampai jumpa di lain cerita! Kalo mau bernostalgia dan ngerusuh gila, silakan mampir ke wattpad dengan judul yang sama, ya!