THE PERVERTS! Daily Life

© riryzha

Characters

© Fujimaki Tadatoshi

© Yuusei Matsui

-cerita ini penuh dengan ke-OOC-an dan hal tidak lazim lainnya-

Sequel The Perverts!


Ch. 1

Daiki turun dari lantai dua dengan langkah gontai. Sesekali keluar gerutuan tidak jelas dari mulutnya sementara tangannya dengan tidak tahu malu menggaruk perut sixpac-nya yang terekspos jelas. Mengabaikan pelototan sang ibu dan dengusan kasar dari ayahnya.

"Ohayou, Tou-san, Kaa-san." ujarnya yang segera duduk di samping sang ayah.

"Hm."

"Ohayou, Daiki."

Tak berselang lama, si kembar Tetsuya dan Nagisa turun dengan muka berseri. Menimbulkan tanda tanya di benak kedua orang tua mereka yang jarang sekali melihat ekspresi tersebut menghiasi wajah mereka. Terutama Tetsuya yang selalu bertampang datar.

"Ohayou~ Tou-san, Kaa-san~" ujar keduanya bersamaan.

"Ohayou, Tetsuya, Nagisa. Semalam kalian tidur nyenyak?" pertanyaan sang ibu hanya berbuah anggukan.

Setelah keduanya duduk di kursi dekat sang ibu, sarapan di kediaman Aomine pun dimulai.

"Daiki, apa masakan Ibu kurang enak? Mengapa kau hanya memandanginya?" Daiki menggeleng. Dengan berat hati ia memasukkan sesuap nasi tanpa lauk kemudian mengunyahnya tanpa minat.

"Daiki… kalau kau tidak enak badan, kau boleh tidak masuk kantor hari ini." ujar Daisuke yang baru saja menghabiskan kopi buatan istrinya.

"JANGAN AYAH!" teriak Tetsuya dan Nagisa bersamaan. Sementara itu ekspresi Daiki berubah 180 Wajahnya mendadak lebih muda lima tahun dari umurnya yang sebenarnya.

Daisuke mengangkat sebelah alisnya heran.

"Ada apa dengan kalian? Kakak kalian sedang kurang enak badan. Harusnya kalian khawatir dan membiarkannya beristirahat." tanya Natsumi.

"Iya. Apa-apaan kalian? Harusnya kalian membiarkanku mendapatkan hari libur." sungut Daiki.

"Kurang enak badan?" Tetsuya mendengus.

"Kau itu tidak bersemangat karena tidak berhasil menodai Taiga-san, Daiki-nii." sambung Nagisa.

Wajah Daiki memucat. Diliriknya sang ayah dan ibu yang terdiam dengan wajah menggelap.

"Kalian berdua tidak bisa jaga mulut apa?!" desis Daiki.

Tetsuya dan Nagisa hanya bisa tersenyum mengejek dari seberang meja.

Sebelum Daiki sempat mengatai kedua adiknya, ia langsung ditarik sang ayah ke ruang kerja diikuti ibunya.

"A-ampun, Otou-sama! Okaa-sama!" jeritan Daiki menggema di lorong kediaman Aomine.

..

Sementara di kediaman Akashi…

Taiga bersemangat sejak pagi. Mulutnya tak henti melantunkan melodi-melodi indah dan penuh semangat ketika ia sibuk menyiapkan sarapan bersama sang ibu. Membuat sang ibu menatapnya aneh dan penuh selidik.

"Ada apa denganmu, Taiga-dear? Semangat sekali pagi ini…." tanya sang ibu.

"Ah, aku hanya senang bisa kembali bertemu dengan anak didikku, Mom." jawab sang anak sulung keluarga Akashi.

"Ah, iya. Tahun ajaran baru dan suasana serta murid baru. Kau pasti sangat ingin mencari bibit-bibit berbakat lainnya, bukan?" Taiga mengangguk.

"Aku sangat penasaran apakah di antara mereka ada yang memenuhi standarku atau tidak…." ujarnya penuh ambisi.

"Tetapi ingat, Nak. Jangan pernah membedakan siapapun karena kemampuan fisik mereka, oke?" Rieko mengingatkan.

"Tentu, Mom. Aku tidak akan membedakan perhatianku hanya karena itu. Fisik tiap orang itu tidaklah sama. Aku akan memberikan mereka latihan sesuai porsi yang tepat bagi tiap anak didikku." jelas Taiga.

"Mommy bangga padamu, Dear." Rieko menatap Taiga penuh kebanggaan. Anak sulungnya yang dulu sedikit temperamental, kini berubah menjadi sosok yang sangat diidolakan anak didiknya, keluarganya bahkan seluruh masyarakat Jepang.

Bagaimana tidak?

Di usianya yang baru saja lulus Sekolah Menengah Atas, ia sudah mendapat tawaran dari UCLA ( Universitas California, Los Angeles) bersama Aomine Daiki. Namun sayangnya, keluarga Aomine tengah mengalami krisis pada perusahaan mereka saat itu. Sehingga sang sulung harus turun tangan membantu perusahaan keluarga untuk memulihkan keadaan. Katakanlah, meski Daiki tidaklah terlalu pintar, namun ide dan bagaimana ia bisa membuat para investor mau menanamkan modal di perusahaan keluarga Aomine membuat perusahaan yang dinamai Black itu kembali bangkit dan mampu bersaing dengan perusahaan yang sudah lama menguasai pangsa pasar.

Dan saat Taiga merintis karir basketnya itulah, saat terdamai yang dimiliki Rieko. Karena anak sulungnya akhirnya bisa tenang tanpa takut diterkam panther buas setelah 12 tahun dikejar mati-matian oleh sang sulung Aomine itu. Tentunya anak kembar keluarga Akashi turut serta menjaga kakak mereka agar kesuciannya tetap terjaga dari kecil.

"Mom, aku panggilkan Daddy dan kedua adikku dulu ya." ucapan Taiga membuyarkan lamunan Rieko.

"Ah, iya. Jangan lupa bilang pada Sei jangan membawa gunting saat rapat nanti." Taiga hanya bisa tertawa masam mendengar ucapan ibunya.

"Mommy tahu sendiri kan? Terlalu mustahil memisahkan Sei dari gunting-guntingnya." Rieko pun hanya bisa tertawa hambar.

..

Sarapan di keluarga Akashi pagi itu sedikit suram.

Hem…yah cukup suram sebenarnya.

Pasalnya kegiatan rutin itu tak diisi sedikitpun percakapan atau sedikit senda gurau dari anggota keluarga sama sekali seperti biasanya. Mungkin Taiga bisa memahami perubahan suasana ini karena apa. Tapi tidak dengan Masaomi dan Rieko.

"Ada apa, Nak? Kenapa kalian hanya bermain dengan makanan kalian?" tanya Rieko.

"Seijuurou, Karma. Jangan mengadu sendok dengan mangkuk terus menerus jika kalian bahkan tidak makan sedikitpun." ujar Masaomi sedikit kesal karena bunyi yang dihasilkan dari peraduan dua alat makan tersebut.

"Baik, Ayah." ujar keduanya bersamaan.

Seijuurou memasukkan sesendok sup tofu ke dalam mulutnya dan mengunyahnya dengan pelan. Pelan… dan sangat pelan hingga Rieko gemas melihatnya.

"Sup tofu itu tidak perlu terlalu lama dikunyah, Sei." ujar Rieko.

"Hm, cara makan yang benar itu ialah mengunyah makanan sebanyak tiga puluh kali, Mom." jelas Seijuuoru.

'CTAK'

"Itu untuk daging dan sayur, Anak pintar. Makanan lembut hanya perlu lima sampai sepuluh kali kunyahan." sela Taiga sebelum ibunya meledak karena menahan kesal.

"Ah, kau benar, Taiga-nii." Seijuurou pun kembali memasukkan sup tofu ke dalam mulutnya. Namun masih dalam ritme yang sama.

Taiga hanya bisa mendesah lelah.

Sementara itu Karma tengah memasukkan wasabi ke dalam mangkuknya. Tidak ada yang aneh bagi mereka yang tahu bahwa Karma maniak wasabi. Tapi bagi siapapun yang melihatnya saat ini pasti akan bergidik ngeri. Lihat saja bagaimana Karma dengan sadar (atau tidak?) memasukkan wasabi ke dalam mangkuk nasinya hingga menggunung. Dan setelah itu ia akan memasukkan segunung wasabi dengan lauk nasi itu ke dalam mulutnya dan mengunyahnya tanpa jeda sama sekali.

"Karma, kau bisa sakit jika makan wasabi sebanyak itu." Masaomi mengingatkan.

"Tidak apa, Ayah. Aku kuat (lahir batin) kok." jawab Karma sekenanya.

Taiga hanya bisa sweatdrop memahami arti kata kuat yang dimaksud sang adik.

"Taiga, ada apa dengan adik-adikmu? Padahal dua hari yang lalu mereka tidak seperti ini." tanya Masaomi. Pasalnya sebelum ia pergi untuk urusan kantor di Kyoto, kedua anak kembarnya masih baik-baik saja.

"Mengapa kau bertanya pada Taiga, Anata? Taiga saja baru pulang kemarin." tanya Rieko heran.

"Ahaha, sebenarnya aku juga tidak ingin tahu masalah ini kalau aku tidak terlibat, Mom, Dad." Taiga tertawa hambar.

"Maksudmu?" Masaomi dan Rieko menatap anak sulung mereka untuk menjelaskan semuanya.

Dan mau tak mau Taiga menjelaskan bagaimana hari pertamanya ketika kembali menginjakkan kaki di negeri sakura setelah seminggu pergi ke California untuk menolak perpanjangan kontrak dua musim ke depannya.

.

.

.

TBC