"Tak peduli sesulit apapun, gadis itu akan menerjang dan memberontak. Karena orang itu adalah tujuan hidupnya yang baru—dan dia akan melindunginya."
Carpe Noctem
.::.
Fantasy AU
TMRHP/LVHP
I don't own Harry Potter series.
.::.
.
.
Chapter 12: Blistering Waves
"Tangkap mereka!"
Seperti tangan yang tertarik menjauh dari duri yang menggores kulit, Harry membiarkan tubuhnya bergerak impulsif. Dalam sepersekian detik, tangannya sudah jatuh di atas pedangnya, menggenggam erat, bersiap untuk menariknya keluar dan menghunus.
Di luar dugaannya, Hermione bergerak lebih cepat. Ketika keempat temannya yang lain sedang mempersiapkan senjata mereka, Hermione sudah berdiri di depan dengan buku sihirnya melayang dan terbuka, meneriakkan, "Zèklè Cham!"
Sambaran demi sambaran petir menghantam tepian pantai di mana prajurit Durmstrang berada. Mereka berteriak, berpencar melindungi diri. Dari kejauhan, mereka terlihat seperti sesendok gula yang ditumpahkan. Bertaburan ke mana-mana, berlarian tidak karuan. Harry tak punya waktu untuk tertawa. Mengumpulkan segenap keberaniannya, dia menarik pedangnya, menyerukan, "Lari, sekarang!"
Keempat temannya tak menunggu lebih lama. Memanfaatkan kelengahan prajurit Durmstrang yang baru saja dihantam oleh sihir petir Hermione, kelimanya segera melompat turun dari Cumi Raksasa—Neville jadi mendadak lincah karena adrenalin yang mencuat—dan bersama-sama, mereka bergegas melalui sela-sela jalan yang dikosongkan prajurit saat mereka lari.
Mereka semua harus selamat, Harry bertekad. Harus. Dia akan memastikan kalau mereka akan hidup, apapun yang terjadi.
Satu jeritan kaget di sampingnya membuat Harry berhenti. Tepat di belakangnya, seorang prajurit berpedang, yang berhasil menyelamatkan diri, memutuskan untuk menarget Ron. Pedangnya meleset hanya beberapa senti dari bahu Ron—Harry hampir panik di sini—tetapi pemuda berkepala merah itu dengan sigap memberikan serangan balik. Sebuah tendangan di perut yang membuat si prajurit terpelanting cukup jauh.
"Kalau begini caranya, kita tidak bisa keluar dari sini!" Ron mengumpat dengan panik. Sebuah pisau kecil yang tebal dipegangnya di depan dada. "Mereka terlalu banyak! Tidak mungkin bisa lewat tanpa melawan mereka!"
Harry menyadari dengan suram bahwa satu demi satu musuhnya telah pulih. Setiap beberapa detik sekali, akan ada orang baru yang menghadang mereka, dan jumlahnya akan terus bertambah. Semakin banyak orang kembali fokus, dan semakin banyak orang menyerang mereka. Serangan Hermione tidak memberikan cukup banyak waktu untuk menahan mereka.
Dan tahu-tahu, dari depan, muncul selusin prajurit yang menunggu mereka dengan senjata terangkat. Harry buru-buru mengerem langkah, berbalik.
Di belakangnya juga tidak lebih baik—ada lebih banyak prajurit menunggu. Begitu juga samping kanan dan kirinya.
"Oh, tidak," Harry mendengar Hermione berbisik parau, "Tidak."
Sial.
Mereka terkepung.
Sebuah ledakan di sebelah Harry membuatnya terperanjat. Kepalanya menoleh untuk mendapati Ginny yang tengah memegang erat-erat busurnya, sementara tangan lainnya terjulur, menciptakan pusaran angin kecil yang baru saja mengempaskan lima orang ke belakang.
Sihir angin—kekuatan spesial Ginny.
"Well?" tanya Ginny dengan menantang. "Kita tidak mungkin selamanya diam saja di sini, kan?"
Harry menelan ludah. Apa yang baru saja dikatakan Ginny membuatnya terpukul. Malu, karena seharusnya dia adalah pemberani. Dia adalah pemilik tanda Gryffindor.
Ayolah, Harry, apa yang kau lakukan? Kau pernah melawan Quirinus Quirrell dan menang, jadi kenapa harus panik sekarang?
Jangan takut. Kalian tidak sendiri.
Pasukan Durmstrang mulai mengepung mereka dari segala arah, melompat dan menyerang dan menembaki mereka dengan sihir.
Harry tidak takut.
Memusatkan sihir pada pedangnya, Harry membuat gerakan menebas yang lebar. Api melesat ke depan membentuk sebuah gelombang. Sejumlah besar prajurit melompat mundur, dan sebagian lagi tidak begitu beruntung—mereka harus mencicipi panas dari api Harry.
"Kita harus membuat kesempatan baru untuk membelah barisan mereka!" teriak Harry di sela-sela suara besi yang menghantam besi, suara sorakan perang dan inkantasi sihir.
"Ide bagus, tapi masalahnya—ugh!" Ron menangkis satu serangan dari prajurit bersenjata tombak, lalu berputar dan menendang belakang lututnya hingga dia terjembab ke depan. "Bagaimana caranya?"
"Mereka terlalu banyak!" Hermione menggerakkan tangannya dan membuat beberapa bola-bola energi yang berhasil mengenai banyak prajurit. Mereka tidak terluka, sekilas, tetapi hampir semuanya pingsan setelah terkena serangan itu. "Dan aku yakin, di luar sana, pasti masih ada gelombang yang akan menghadang kita!"
"Kalau begitu, apa lagi yang harus kita lakukan!?" Ron berteriak frustrasi. Muak dengan permainan fisik yang melelahkan, dia berkonsentrasi dan mengeluarkan kilatan-kilatan petir, lalu menumpahkannya pada gerombolan prajurit terdekat. Selanjutnya, seakan dia tidak baru saja menyetrum orang, Ron menoleh kepada Neville dengan khawatir. "Hei, kau tidak apa-apa?"
Neville, yang sedari tadi lebih sering meringkuk dan memegangi kedua kepalanya, segera saja menjadi sasaran empuk bagi musuh. Posisinya di tengah-tengah Ron, Ginny, Harry, dan Hermione membiarkannya untuk tetap aman, tetapi ketika pertarungan mereka semakin sulit dan semakin garang, Neville pada akhirnya terdesak ke pinggiran juga.
Salah satu prajurit Durmstrang menyeringai. Harry berani bertaruh bahwa dia sedang memikirkan, "Mangsa empuk!" ketika dia melihat bagaimana Neville menciut dan melihat ke sana kemari dengan takut.
Namun tentu saja, lagi-lagi, Neville melakukan hal yang tidak tertebak.
"Aku juga… Aku juga bisa bertarung!"
Neville menghirup udara banyak-banyak dengan aura serius yang menegangkan. Dari balik jubah, dia meraih sebua pena, yang mulai bercahaya dan membesar, berubah menjadi sebuah tongkat. Sihir mulai mengumpul di sekitar tubuhnya. Neville memejamkan mata, meneriakkan sebuah mantra di bawah napasnya, dan mengarahkannya pada prajurit yang mengincarnya.
Serpihan-serpihan batu, seukuran kepalan tangan orang dewasa, bermunculan untuk menghantam musuh. Hanya saja, bebatuan itu terpental begitu saja setelah dia mengenai musuh, tak membekaskan satu goresan pun.
Prajurit di dekat Neville bengong sebentar, lantas tertawa terbahak-bahak. "Serius!? Cuma itu kekuatan yang kau miliki? Menyedihkan! Sudah kuduga, yang namanya bocah memang bocah!"
Masih tersenyum remeh, prajurit itu melemparkan sihir kepada Neville—sebuah kilatan cahaya berwarna kemerahan yang kelihatan mengerikan—dan Harry membuka mulutnya tanpa suara.
Neville!
Sihir itu bernasib sama seperti batu-batu Neville. Terpental, tapi kali ini, oleh sihir invisibel yang melindungi Neville.
Harry tak pernah merasa lebih lega dari ini. Dia menoleh kepada Hermione, sebab dugaannya, gadis itulah yang biasanya cekatan untuk melakukan sesuatu.
Rupanya, Hermione sama kagetnya dengan Harry. Tidak, bukan Hermione. Dia tidak melakukan apapun. Bukan juga Ron maupun Ginny.
Lalu, kalau bukan mereka—
Itu berarti, Neville sendiri yang…?
"Aku memang… terlihat lemah. Tapi aku juga bisa melakukan sihir!" Neville mengepalkan tangannya, mengangkat wajah, dan berteriak walau rasa takut terdengar jelas di dalam suaranya. Kemudian, kepada teman-temannya, dia berbisik, "Nenekku selalu melatihku dengan cara yang ekstrim… Makanya, mau tidak mau aku harus bisa sihir proteksi. Serahkan urusan pertahanan kepadaku!"
"Heh, ternyata kau tidak buruk juga, Neville!" Ron menepuk bahunya, sebelum fokusnya kembali kepada lawan-lawan di sekitarnya.
Segalanya kembali melebur menjadi ledakan sihir, teriakan penuh kekuatan, pukulan dan tendangan dan tebasan, serta adrenalin dan keinginan untuk keluar dari tempat itu hidup-hidup. Di tengah-tengah semua itu, Harry kembali diingatkan dengan kondisi mereka. Dia harus segera memikirkan cara untuk keluar dari sana. Mereka tidak akan bisa menahan semua prajurit ini dalam waktu yang terlalu lama…
"Hei." Ginny melangkah hati-hati mendekati Harry, melepas tiga anak panah sekaligus, dan melanjutkan perkataannya, "Kenapa kau tidak mengincar bos mereka saja?"
"Karkaroff?" Harry tersengal seraya menghindari lecutan sihir dari kanannya. "Kau yakin? Kau mau aku menghentikan seorang Judex?"
"Bukannya aku ingin membuatmu bunuh diri dengan menantang seorang Judex." Ginny memutar matanya. "Tapi aku tahu sedikit hal tentang Karkaroff dari orangtuaku, Harry. Mereka pernah melawannya bersama penyihir-penyihir lain… Dan ternyata, Karkaroff adalah seorang pecundang. Dia lebih mementingkan keselamatannya sendiri di atas apapun. Aku sendiri tidak tahu kenapa Voldemort memilih orang seburuk itu sebagai Judex… Yang jelas, kalau kau bisa melakukan sesuatu untuk mengancamnya, dan membuatnya takut, entahlah. Mungkin dia akan menarik kembali pasukannya."
"Mengancamnya?" Kedua mata Harry bergerak-gerak, mencari-cari keberadaan Judex yang bersangkutan di sela-sela pertarungan itu. Butuh waktu sedikit lama, tetapi akhirnya, Harry menemukan Karkaroff di sebuah tempat yang terhindar dari kericuhan. Pria berjenggot itu berdiri sambil menautkan kedua tangannya di belakang punggung. Santai. Seperti seseorang yang datang menonton acara sirkus sebagai tamu penting. "Dia… hanya berdiri di sana."
"Yeah, kalau aku berani menebak, dia pasti tidak mau ikut-ikutan terluka," sahut Ginny dongkol. Seorang prajurit menjerit merana ketika dia menerima tendangan kuat dari sang gadis. "Pria tua pemalas."
Harry menimbang-nimbang opsi itu di dalam kepalanya. Menghadapi salah satu Judex, jenderal pilihan Voldemort… bisakah Harry melakukannya? Kalaupun memang benar Karkaroff adalah manusia egois pemalas seperti yang Ginny katakan, dia pasti tetap memiliki kemampuan yang pantas sebagai seorang Judex. Tugas Harry untuk 'mengancamnya' tidak akan berjalan dengan mudah.
Namun, tidak ada cara lain yang bisa digunakannya, bukan? Jika mereka tidak cepat memikirkan sesuatu, melakukan sesuatu, mereka tidak akan bertahan lama…
Harry bukan orang paling optimis, tetapi dia berani bertindak nekat. Pemikiran bahwa teman-temannya akan tertangkap dan terluka di sini membuat darahnya mendidih—Harry benci itu di atas semua hal.
Maka, dengan sebuah anggukan, Harry menyetujui tawaran Ginny. "Oke. Oke, aku akan melakukannya."
"Oke," Ginny mengulang perkataan Harry. Wajahnya sedikit muram. Walau Ginny sendiri yang mengusulkannya, dia sebenarnya tidak mau membiarkan Harry pergi seorang diri. "Oke. Biarkan aku membukakan jalan untukmu, lalu—"
Ginny tidak perlu membukakan jalan. Ada jalan lain yang terbuka dari sisinya. Prajurit-prajurit bergerak minggir. Barisan membelah seperti tirai tipis. Dan, Harry menyadari dengan terlambat, ada sesuatu yang datang dari sana. Sebuah kekuatan yang sangat besar. Gerakan yang sangat cepat.
Dia datang—seseorang yang harus diwaspadainya.
"Harry!" Ginny menjerit darurat. "Awas—"
Secepat kilat, ujung dari senjata tombak melesat menuju Harry, membawa kejutan energi sihir dan kekuatan yang membuat pasir-pasir—bahkan manusia di sekitarnya—beterbangan.
Pada detik-detik terakhir, Harry berhasil tersadar dari kekagetannya dan melompat minggir. Tombak itu mendarat, meski gagal mengenai target aslinya, membuat debaman keras yang mengerikan. Bila bukan karena instingnya yang mulai terasah, Harry tidak bisa membayangkan nasibnya.
Asap debu menyebar dan menipis. Harry menaikkan penjagaannya dan mengacungkan pedangnya kepada siluet di balik asap. Menunggu saat-saat yang menegangkan, mengantisipasi pergerakan lawan…
Tirai asap terbuka. Viktor Krum berdiri dengan tombak andalannya, yang ujungnya berkilat-kilat mengancam.
Viktor Krum.
Harry mengumpat jadi-jadian di dalam benaknya.
Kenapa harus dia?
Ayolah, Harry tidak punya waktu untuk meladeninya!
Tentu saja, Komandan Durmstrang itu tidak dapat membaca pikiran Harry. Kalau dia memang bisa, dia tidak akan peduli. Karena di matanya, Harry adalah buronan yang diinginkan Lord Voldemort. Dia tidak akan membiarkan Harry pergi semudah itu.
Satu kedipan kemudian, Krum melesat dari tempatnya. Harry menangkis tusukan tombak yang mengincar torsonya dengan susah payah. Kedua lutut Harry tertekuk cukup dalam karena beban kekuatan yang diterimanya dari Krum.
"Viktor Krum…" bisik Harry, hanya untuk mengakui bahwa keberadaan sang pria memang pantas disebut. Namanya memang pantas disebut. "Aku tidak menyangka akan menghadapimu secepat ini."
"Kau yang selama ini mengikutiku," Krum menyatakan dengan suara datar dan tenang, tetapi dia tak terdengar sedang menyalahkan Harry. "Mungkin aku memberimu kebebasan selama ini, tapi tidak lagi. Atas perintah Lord Voldemort, aku akan menangkapmu."
"Sayang sekali," Harry memunculkan sebuah seringai yang terasa tegang, "tapi kau harus bilang kepada Voldemort: Harry menyampaikan salam manisnya, dan dia harus dengan sangat terpaksa menolak tawaran murah hati dari Voldemort untuk datang kepadanya. Selesai."
Krum memicingkan matanya. Harry tahu, segalanya baru akan dimulai setelah ini.
"Kau bisa mengatakannya secara langsung di depan Lord Voldemort... setelah aku menangkapmu, Harry Potter."
Sesaat setelah ucapannya selesai, Krum melompat lincah ke belakang, hanya untuk melesat lagi ke depan dengan tiga hujaman tombak yang cepat. Harry tidak akan berbohong soal ini—dia cukup kewalahan. Semua serangan Krum mengarah kepada titik-titik tubuhnya yang terbuka. Pada dadanya, pada kepala, pada kaki. Serangan Krum datang bertubi-tubi, seperti tak berniat untuk membiarkan Harry mengambil napas. Tak berniat untuk membiarkan Harry menyerang.
Dia kuat, desis Harry. Dia sangat kuat.
Bagaimanapun juga, pria yang sedang Harry hadapi adalah Komandan Durmstrang, yang biasa meladeni duel satu versus satu dengan prajurit yang diampunya tanpa meneteskan keringat.
Harry melihat sebuah kesempatan ketika bagian dada Krum terbuka lebar. Tanpa pikir panjang, dia buru-buru menghunuskan pedangnya ke bagian tubuh itu. Hanya saja, di saat-saat terakhir, ketika Harry berpikir dia mulai bisa melukai Krum, Komandan Durmstrang berkelit ke samping dengan mudah dan gesit, lalu mencoba menyerang Harry dengan gerakan mengayun dari bawah ke atas.
Bodohnya aku, umpat Harry. Tentu saja… itu tadi hanyalah tipuan!
Melalui mulut-mulut bersemangat penduduk yang menceritakan kehebatan Krum, Harry mengetahui sebuah nama teknik legendaris yang selalu dia gunakan. Wronski Feint. Krum akan berpura-pura sedang menjatuhkan pertahanannya, sebelum dia menyerang lawannya dari sudut yang tidak terduga.
Harry berhasil terhindar dari serangan fatal apapun, tetapi dagunya sedikit terluka.
"Jadi, itu adalah Wronski Feint-mu yang terkenal?" sengal Harry, memaksakan seringai getir. "Tidak buruk."
"Kau tahu itu?" Krum tampak kaget.
Aba-aba Harry adalah sebuah anggukan, dan sejurus kemudian, dia kembali melesat ke depan dengan pedang siap menyerang.
Krum dengan mudah memposisikan tombaknya secara horizontal untuk menangkis Harry. Kedua senjata beradu sengit, menyuarakan dentang keras yang menggema. Tak ada perubahan ekspresi pada wajah Krum, tak ada lutut yang tertekuk karena beban serangan. Teknik berpedang Harry tidak ada tandingannya dengan Krum.
Harry ingin mengumpat lebih banyak.
Sialnya, Krum menganggap serangan Harry sebagai perizinan untuk tidak bersungkan-sungkan. Pedang Harry dilemparkan ke samping dengan mudah—dengan ringan. Krum melesat ke depan dan memutar-mutar tombaknya, sesekali membuat gerakan menghujam ke depan, lalu dia memutar-mutar tombaknya lagi. Harry dibuat kesulitan untuk menangkis.
Satu gerakan menghujam yang tak terprediksi membuat Harry limbung. Sebelah kakinya tersangkut di dalam pasir. Harry kelabakan, tetapi berhasil mengayunkan pedangnya ke atas untuk memblokir serangan yang nyaris melukainya dengan fatal.
Sebuah garis merah tertoreh di atas pipinya. Goresan kecil. Tombak Krum berhasil memukul mundur Harry, dan jika mereka terus dipaksa untuk bertarung, Harry tidak begitu yakin dengan hasilnya.
Krum memiliki banyak pengalaman bertarung, sedangkan Harry adalah seorang amatir. Krum tidak sedang berada dalam kondisi hidup atau mati, tidak memiliki desakan tertentu, sedangkan Harry… dia sedang memegang tanggung jawab untuk melindungi teman-temannya sekarang.
Pertarungan ini memang dari awal berat sebelah. Fakta bahwa ini hanyalah kali ketiga Harry menghadapi pertarungan besar—dibandingkan Krum, yang pasti telah bertarung ratusan kali—tidak terlalu membuat Harry bertambah tenang. Dan, tambahkan juga fakta bahwa kemenangan Harry di pertarungan lalu banyak dibantu oleh faktor keberuntungan.
Masa bodoh! Harry menggertakkan giginya, dan mendorong balik tombak Krum. Kalau aku memang hanya menang karena beruntung, aku akan membuat keberuntungan memihak kepadaku lagi hari ini.
Sihir Harry merambat melalui pedangnya seperti ular yang melata malas, menjalar menuju tombak Krum dan kedua tangan yang memegangnya. Panas menyergap kulit sang komandan. Krum melebarkan matanya—hingga saat ini, itu adalah satu-satunya perubahan ekspresi yang pernah Harry lihat darinya—dan membawa dirinya mundur.
"Barusan itu… sihir api," Krum menggenggam tombaknya kuat-kuat, seperti sedang gemas. Dia meletakkan tombaknya di samping tubuh, menjejakkan ujung tumpul tombak ke atas pasir, lalu memejamkan mata. "Baiklah. Jika kau memang ingin bermain sihir, tidak masalah."
Harry tak bisa menebak sihir seperti apa yang akan Krum gunakan, tetapi yang jelas, pertarungan ini mengarah kepada alur yang kurang disukainya. Jika Krum tanpa sihir terasa sekuat itu, Harry tidak tahu bagaimana jadinya bila dia mengombinasikan serangannya dengan sihir.
"Aku tidak biasa melawan musuhku dengan sihir." Krum merentangkan sebelah tangannya ke samping. Bisikan-bisikan kekuatan mengambang di sekitarnya. Harry tanpa sadar mengambil langkah mundur, menyiagakan pedangnya dan menjaga fokus. "Tapi karena kau bukan orang biasa, Harry Potter, aku akan memberimu kehormatan untuk menyaksikan sihirku."
Harry merasakan sekitarnya bergetar. Pelan, pelan, pelan, semakin meningkat, semakin bertambah keras, hingga dia bisa mendengar suara gemuruh dari kejauhan. Satu demi satu prajurit merasakannya, dan seketika, mereka berhenti bertarung untuk melarikan diri dari tempat itu.
"Minggir, minggir! Minggir kalau tidak mau hanyut!" teriak salah satu dari mereka.
Sebulir keringat jatuh dari dagu Harry.
Apa yang sebenarnya sedang dilakukan Krum? Sihir macam apa yang dia punya?
Dari sebuah tempat, beberapa langkah dari tempat Harry berdiri, suara seorang perempuan—Ginny, pikir Harry—menjerit, "Apa yang—gempa!? Apa yang sedang terjadi!?"
"Datanglah kepadaku." Krum membuka kedua matanya perlahan, seperti tirai besar megah yang tersingkap di awal pertunjukkan, menyambut antisipasi penontonnya.
Gempa di atas pantai semakin besar. Dari belakang Krum, dari arah di mana lautan berada… Harry melihat ombak.
Gulungan demi gulungan ombak yang ganas, meluncur menuju dirinya dengan kecepatan penuh dan membawa serta suara gemuruh yang sangat mengerikan tadi. Ombak itu seperti… hidup. Dan di mata Harry, ombak yang dipanggil Krum terlihat seperti monster yang tak sabar memakannya.
Lakukan sesuatu, benaknya berteriak penuh peringatan. Lindungi dirimu!
Melindungi bagaimana? Harry tidak terlalu bagus dalam sihir proteksi—tidak semua orang memiliki bakat alamiah dalam melakukan sihir tertentu. Menghindar hampir tidak mungkin dilakukan. Satu-satunya pilihan adalah melakukan sebuah trik dengan apinya.
Tapi, bagaimana? Apinya tentu akan langsung padam terkena air sebanyak itu!
Tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, Harry mengangkat tangannya dan bersiap untuk membentuk tameng api sekuat mungkin. Dari sudut matanya, sesuatu bergerak. Kemudian, sebuah suara yang familier.
"Protego!"
Ombak menghantam tanah dengan kejam. Bergulung-gulung cepat, lalu memecah menjadi buih-buih kecil yang tak berbahaya. Apapun tameng ajaib yang tiba-tiba muncul di hadapan Harry menghilang. Sisa cipratan dari hantaman ombak membentuk pancuran kecil yang menghujani Harry, dan siapapun yang masih menginjakkan kaki di sana.
Tunggu. Siapa yang membuat tameng barusan?
Harry berkedip beberapa kali untuk mengusir disorientasi. Butuh waktu tambahan hingga konsentrasi Harry kembali, dan dia menyadari siapa sosok baru yang tiba-tiba muncul di depannya.
"Hermione!" Harry berseru dengan parau. Kecemasannya bercampur dengan kelegaan. Hermione ada di hadapannya, selamat dari serangan barusan.
Tidak.
Nyatanya, justru Hermione yang menyelamatkannya dari serangan Krum.
Harry teringat Quirinus Quirrell dan Troll. Teringat bagaimana Hermione, yang masih dirantai sebagai budak, berhasil menyelamatkan Harry dengan kecerdasan dan keberaniannya.
Harry hampir tertawa. Harus berapa kali lagi dia akan membiarkan Hermione menyelamatkannya?
(Menyedihkan. Sebuah suara, yang anehnya terdengar seperti Voldemort, berbisik tajam di dalam kepalanya. Inikah Anak-Yang-Bertahan-Hidup?
Menyedihkan.)
Diam, geram Harry, entah kepada siapa. Aku tahu itu, aku tahu!
"Hermione, kau—"
"Pergilah, Harry!" Hermione berbisik kepada Harry dengan nada yang tak memberi kesempatan berargumen. "Kejarlah Igor Karkaroff! Biar aku yang menangani prajurit di sini."
Sepasang mata Harry membola sebesar kelereng. Tidak lagi. Kenapa dia harus selalu dipaksa untuk memilih opsi untuk meninggalkan teman-temannya bertarung tanpanya?
Agaknya, Hermione telah memperkirakan tuaian protes dari mulut Harry, karena selanjutnya dia memotong balasan Harry dengan tatapan memperingatkan sambil menunjuk ke sebuah arah dengan dagunya.
Pada arah timur laut, Igor Karkaroff tengah berlari dan menghilang di balik sebuah dinding rumah kecil yang terbengkalai.
"Dia lari!" Harry mendesis kesal. Pedangnya dia kibaskan ke samping dengan lecutan cepat, membayangkan bahwa udara yang baru dia belah adalah tubuh Igor Karkaroff. "Dia melarikan diri!"
Setidaknya, satu asumsi Ginny berhasil terbukti. Igor Karkaroff adalah seorang pecundang, dan Harry tidak perlu menemuinya secara langsung untuk meyakini kebenaran fakta itu.
"Pergilah," suruh Hermione dengan lebih lembut.
"Yang benar saja!" Tatapan frantik Harry jatuh kepada Krum, yang perlahan berjalan mendekati mereka berdua, lalu kepada Hermione… yang terlihat sendu, tetapi penuh resolusi. "Tapi kau… Melawan dia…"
"Aku akan baik-baik saja," Hermione mencoba menenangkannya dengan suara kecil yang tidak biasa. Harry ingin menyanggah, kau tidak baik-baik saja. Dia pada akhirnya memilih bungkam, karena kedua mata Hermione bersinar. Penuh dengan harapan. Penuh dengan determinasi dan semangat. Harry tidak ingin menghancurkan itu dengan perkataan bodohnya. "Aku tahu dia adalah musuh," bisiknya. "Pergilah, Harry."
Pandangan Harry melekat cukup lama pada Hermione. Dan, dengan gerakan yang pelan sekali, seakan Harry tak mau melakukannya, dia mengangguk.
Senyuman Hermione tidak terlalu lebar, tetapi cukup untuk menenangkan Harry.
"Berjanjilah kepadaku," sambung Harry, "Kau akan selamat."
"Tentu." Hermione mengangguk mantap. "Aku janji."
Keduanya bertukar tatapan selama setengah menit, sebelum Harry memutar tubuh dan berlari secepat mungkin mengejar Karkaroff.
Baiklah. Saatnya mengejar seorang pecundang.
XOXO
Pasir di bawah kedua kakinya terasa lembab. Lengket seperti lumpur. Di sekitarnya, sedikit air masih menggenang dan menunggu diserap bumi. Sisa-sisa serangan Viktor Krum masih menampakkan bekasnya di sana.
Hermione berdiri dengan tubuh basah kuyup. Tameng sihir tidak sepenuhnya berhasil melindunginya dari cipratan air yang begitu banyak.
Tubuh Hermione menggigil bukan karena dingin.
Di seberangnya, Viktor melangkah perlahan-lahan, seperti tak yakin dengan apa yang harus dilakukannya. Berbeda dengan sebelumnya, Viktor tidak segera melesat dengan tombaknya. Viktor tidak segera menyerang, dan Hermione tahu kenapa.
Hermione tidak berani menatapnya, tetapi dia harus. Dia harus menghadapi musuhnya dengan berani. Dia tidak boleh ragu.
"Herm-own-ninny," Suara Viktor terdengar lebih serak dari biasanya. Ada berbagai emosi yang bercampur dan melekat di sana. Hermione sendiri tidak yakin kalau dirinya bisa mengeluarkan suara. "Kenapa kau melakukan ini?"
Pertanyaan itu dibisikkan dengan putus asa. Kenapa, kenapa, kenapa. Selama ini, Hermione juga memikirkan begitu banyak 'kenapa' di dalam kepalanya, hingga dia dibuat pusing.
Viktor membuatnya pusing.
Hermione menelan ludah, mengepalkan kedua tangannya, dan mendongak.
Viktor masih terlihat sama. Familier, bahkan. Dia masih memiliki bekas luka di dekat bibirnya. Kontur rahang dan tulang wajah yang tegas membuatnya terlihat galak, tetapi di saat itu, Hermione tak lagi merasakan kegalakan apapun dari Viktor. Hermione tahu penyebabnya, ketika dia berpindah untuk mengamati kedua mata Viktor.
Mereka berpendar lemah, seperti bara api yang menolak dimatikan angin. Penuh kesedihan.
Kenapa. Kenapa. Kenapa.
Hermione tahu jawabannya. Dan dia tak akan lagi kehilangan resolusinya, tidak akan.
"Karena aku harus," jawab Hermione setenang mungkin. "Aku memiliki alasan untuk bertarung. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri, aku akan berada di samping orang itu—" Harry, "—untuk melindunginya. Untuk melihat dunia yang lebih baik."
Sorot mata Viktor sedikit bergetar, lalu mengeras.
Aku akan membunuhnya, katanya. Dia akan membunuh semua musuhnya.
"Jangan menahan diri, Viktor." Hermione menyentuh bukunya, membiarkannya membuka dan melayang di hadapannya. "Saat ini, di sini… aku dan kau adalah musuh."
Viktor tidak segera menjawab.
Hermione melihat kedua alisnya tertekuk lebih dalam.
Dengan satu gerakan mulus, Viktor kembali memegang tombaknya, kali ini mengarahkan ujungnya kepada Hermione.
"Baiklah, kalau kau berkata begitu."
Hermione bersiap. Berbagai mantra spontan telah menunggu di ujung lidah. Dia menunggu dengan napas tertahan, seperti menunggu harimau mengerikan untuk menerkam.
Satu, dua, tiga…
Kaki Viktor bergerak maju dengan cepat.
Kemudian, keduanya bertarung.
"Toubiyon!" Hermione berseru. Sihirnya mengarah kepada Viktor yang melompat ke atasnya dengan ujung tombak bersiap menusuk. Pada udara yang semula tenang, muncul pusaran-pusaran angin yang memblokir serangan Viktor.
Viktor menggertakkan gigi dan mendorong. Mendorong. Mendorong.
Hermione mendorong lebih keras. Sihir anginnya, entah karena keajaiban dari mana, berhasil membuat Viktor melompat mundur.
Namun Hermione tahu, dia tidak boleh membiarkan dirinya sendiri bernapas lega. Tentunya, Viktor akan memanfaatkan celah yang ada untuk memberikan lebih banyak serangan. Selama pertarungan singkat Viktor dengan Harry, Hermione sedikit menghafal gaya bertarungnya.
Hermione bertekad, bukan hanya Viktor yang tak berniat untuk memberi lawannya kesempatan bersantai. Dirinya juga.
"Flanm dife Vag!" Gulungan-gulungan api terlontar menuju Viktor. Pinggirannya bergerak-gerak liar, tidak sabar untuk menjilat pakaian dan kulit dan apapun yang bisa dirusaknya. Namun, Viktor kembali mengejutkan Hermione.
Dengan satu jentikan tangan, Viktor membisikkan sebuah mantra, dan genangan ombak yang belum terlalu meresap ke dalam pasir kembali naik untuk berkumpul di depan badan Viktor membentuk tameng. Sekejap, api Hermione padam, menyisakan asap yang tak melukai.
"Pengguna multi-element?" Viktor bertanya dengan nada terpukau—nada yang digunakannya saat bercerita tentang laut yang disukainya. "Hebat sekali. Tapi, sihirku tidak akan kalah."
Viktor mengangkat sebelah tangannya. Hermione segera tahu apa yang akan dilakukannya—dia memanggil ombaknya lagi. Secara impulsif, Hermione segera mendirikan tameng kokoh yang terdiri dari bebatuan, lalu mendirikan sebuah tameng sihir invisibel di sekitar tubuhnya.
Gulungan ombak datang lebih cepat kali ini. Menghantam lebih keras. Tameng batu Hermione roboh, tetapi setidaknya berhasil meredam sedikit kekuatan yang datang. Andai Hermione terlambat sebentar saja dalam mendirikan tamengnya, mungkin dia akan tergilas ombak itu.
Hermione menggertakkan gigi. Viktor kuat, terlalu kuat. Bahkan dalam menggunakan sihir—yang seharusnya merupakan titik ofensif terkuat Hermione—dia masih lebih kuat.
Tapi, masih belum. Hermione masih bisa berjuang.
Mengarahkan kedua tangannya ke depan, Hermione membisikkan, "Blizzard Douch."
Beberapa lusin pecahan es muncul di atas Hermione, melesat menuju Viktor seperti sebuah hujan. Akan tetapi, Viktor dengan cekatan memutar-mutar tombaknya di depan tubuh, menghalau dan memecahkan es manapun yang datang.
Memiliki kemampuan fisik dan sihir yang hebat, Viktor jelas lebih unggul dalam pertarungan ini. Dan dengan semakin lama berjalannya pertarungan itu, Hermione merasa bahwa kekuatan Viktor seperti terus bertambah.
Rasanya seolah… dia menahan diri, sejak awal.
"Datanglah!" Viktor meraung keras, dan sebuah gumpalan ombak terbentuk dari genangan-genangan yang tersisa di atas pantai, mengarah menuju Hermione.
Itu adalah serangan yang benar-benar tidak diduga. Hermione hampir tidak sempat membuat tamengnya—dia tidak sempat mendirikan tameng batunya lagi, dan hanya sempat mendirikan tameng sihir kecil. Tak kuat menahan air yang menukik dan menghantamnya berkali-kali, tameng itu pecah. Hermione terlempar ke belakang.
Gemuruh air mereda. Ombak Viktor kembali pecah, membentuk hujan kecil yang membasahi Hermione.
Dia kuat. Hermione tersenyum masam. Viktor memang hebat.
Meski sekujur tubuhnya terasa nyeri, Hermione memaksakan dirinya untuk duduk. Sedikit volume air dibatukkan dari mulutnya. Hermione mengusap hidungnya, menghirup napas dalam-dalam, dan menatap Viktor.
Jantung Hermione seperti teremas. Viktor masih berdiri tegak, tetapi—
Dia terlihat… bingung. Tersesat. Pegangannya pada tombak mengendur. Hermione yakin sekali, dirinya sempat melihat jari-jari Viktor berkedut aneh.
Viktor menatap Hermione seakan dia baru saja melakukan dosa terbesar. Mata cokelatnya melebar, hampa. Ketakutan.
Oh.
Kedua mata Hermione terasa panas.
Oh, Viktor…
Hermione tidak menyukai ide untuk melukai Viktor dengan cara apapun. Sepertinya, Viktor memikirkan hal yang sama terhadap Hermione.
Kenapa.
Kenapa harus mereka? Kenapa harus Hermione dan Viktor yang bertemu sebagai musuh?
Kenapa mereka harus bertarung dan saling menyakiti?
Hentikan, sebuah suara di dalam relung Hermione menegur. Kau tahu jawabannya. Kau tahu kenapa. Jangan membiarkan dirimu goyah lagi.
"V-Viktor…" Hermione mendorong dirinya bangkit di atas kedua kakinya yang gemetar. Dia terjatuh kembali pada percobaan pertama, lalu bangkit lagi. Memaksa kepada dirinya sendiri—ayo, Hermione Granger, bangun, bangun, bangun. "Jangan lupa siapa dirimu."
Viktor mengambil tarikan napas terkejut. Tangannya berkedut lagi, seakan dia sedang menahan keinginan hatinya untuk bergerak menolong sang gadis.
"Jangan lupa… kalau kau sedang berdiri sebagai Komandan Durmstrang." Hermione berlutut, dan dari sana, dia perlahan berdiri dengan gerakan patah-patah. Kaki kanannya tergelincir. Dia hampir terjatuh lagi, tetapi berhasil menemukan keseimbangan pada akhirnya. "Tak peduli apakah kita adalah kenalan baik, kenyataannya tetap sama. Kau Komandan Durmstrang. Aku pemberontak. Kau dan aku adalah musuh. Karena itu…" Hermione tersenyum meski bibirnya terasa kaku. Meski segalanya terasa berat. "Jangan. Jangan berbelas kasihan kepadaku. Bertarunglah demi tugas dan tanggung jawabmu, dan aku juga akan bertarung untuk tujuanku sendiri."
Otot-otot wajah Viktor melemas, menampakkan kelembutan dalam ekspresi terkesima. "Kau kuat sekali," bisiknya takjub. "Kau adalah perempuan. Kenapa kau kuat sekali?"
"Laki-laki atau perempuan bukanlah indikasi yang bagus untuk mengukur kemampuan seseorang, bukan?" Hermione tertawa kecil. "Kau juga. Kau lebih kuat, Viktor."
Ujung bibir Viktor tertarik ke atas. "Dan kau… Kau sangat mengagumkan, Hermione."
Bola mata Hermione membesar. "Kau…" Sebuah helaan napas mengembus cepat dari mulut Hermione. "Namaku. Kau mengucapkannya dengan…"
Dengan benar. Dengan indah.
"Kau benar." Viktor mengencangkan pegangannya pada tombak. Tatapannya kembali jernih. Fokus. "Kau benar. Aku tidak seharusnya ragu. Aku adalah Komandan Durmstrang, dan aku memiliki sebuah misi yang harus kulakukan… Aku tidak akan menahan diri lagi." Tangan Viktor terulur ke depan. Dalam sekejap, gulungan besar ombak telah naik dan muncul di balik punggungnya. "Keluarkan sihir terkuatmu. Mari kita mencari tahu—ombakku, atau sihir elemenmu… manakah yang lebih kuat."
"Siapa takut." Hermione menyeringai.
Gumpalan bebatuan mulai bermunculan di sekitarnya. Kali ini, Hermione berniat untuk sedikit kreatif. Dia melapisi bebatuan itu dengan kobaran elemen apinya, membuatnya seperti meteor tiruan. Untuk melindungi api itu agar tak padam, Hermione menambahkan lagi satu lapis elemen angin yang berputar-putar seperti bor.
"Majulah, Viktor!"
Kemudian, dua sihir hebat saling beradu.
XOXO
Igor Karkaroff berhenti berlari di tepian pantai, tepat ketika ujung sepatunya yang mengilap menyentuh jilatan ombak kecil.
Harry, yang masih berada cukup jauh dari sang Judex, merasakan kemenangan besar di dalam dirinya, dan bersorak, ini adalah akhir pelarianmu, Igor Karkaroff!
Namun Karkaroff bukan berhenti karena terpojok. Dia tidak berhenti karena tak punya tujuan lain untuk berlari.
Di hadapan Karkaroff, permukaan laut bergetar hebat. Harry mengira bahwa Krum sedang melakukan sesuatu dengan sihir ombaknya.
Namun, yang datang bukan gulungan ombak, seperti yang Harry perkirakan. Krum rupanya tidak bertanggung jawab atas kejadian ini. Sebab, sebentar kemudian, perairan di depan Karkaroff membelah. Memberi jalan untuk sesuatu yang menyembul.
Puing-puing, reruntuhan, dan sisa bangunan yang hancur. Mereka bermunculan dari bawah laut, satu demi satu. Menjalar dan bermekaran seperti karpet yang tergelar untuk membentuk sebuah jalan. Pada ujung jalan itu, sebuah bangunan kecil muncul dengan satu semburan air yang kuat.
Harry terlalu terpukau dengan apa yang dilihatnya hingga dia hampir tak menyadari bahwa Karkaroff telah berlari di atas puing-puing aneh itu, menuju bangunan berbentuk setengah lingkaran di seberang sana. Sebelum seorang prajurit sadar dan menghalanginya, Harry lekas menyusul.
Entah kenapa, perasaan Harry tidak begitu enak. Bangunan di seberang sana seperti meneriakkan kejanggalan kepada Harry. Dan setelah dirinya sampai setengah jalan di atas deretan puing itu, barulah Harry tersadar.
Sihir. Yang membuat segalanya ganjil di sekitar tempat itu adalah hawa dari sebuah sihir aneh. Sihir itu berbeda dengan milik Hermione, yang terasa terang, atau milik Ron, yang menghentak-hentak.
Sihir di sekitar bangunan itu… mencekam.
Gelap. Mengerikan.
Karkaroff telah menghilang di balik pintu berdaun dua dari bangunan itu. Harry mempercepat langkahnya, memegangi pedangnya lebih erat, dan bergegas.
Perkiraannya, pintu itu tidak akan membiarkan siapapun masuk. Karkaroff tentunya ingin menyelamatkan dan melindungi dirinya sendiri di dalam sana.
Rupanya tidak. Ketika Harry sampai di depan bangunan, tepat di hadapan pintu yang sama-sama berlumutnya dengan puing lain, dia mendorong. Dan pintu terbuka dengan mudah. Terlampau mudah.
Tidak ada jebakan. Tidak ada kunci. Tidak ada… apapun. Harry merasa semakin tidak nyaman.
Di belakang pintu, segalanya tampak gelap. Harry mengambil satu langkah ke dalam. Belum terjadi apa-apa.
Lalu—
Cahaya keunguan datang begitu saja dari atas Harry. Kedua matanya refleks memejam.
"Well, well, well." Sebuah suara rendah menyambangi pendengaran Harry. "Lihat siapa yang punya nyali untuk mengikutiku kemari."
Karkaroff!?
Harry membuka matanya dengan cepat dan menghunuskan senjatanya ke depan.
Sosok Igor Karkaroff berdiri di seberang ruangan. Pria itu mengenakan jaket yang terbuat dari bulu hewan licin, dengan sebuah topi beaver di atas kepalanya. Wajah berjenggotnya menunjukkan sebuah seringai arogan. "Anak-yang-Bertahan-Hidup, Harry Potter…" Karkaroff membungkuk dalam-dalam. Hanya saja, bukan karena hormat. Segala gestur yang dilakukannya terkesan angkuh dan meremehkan. "Terima kasih, karena kau mempermudah tugasku untuk menangkapmu."
Di belakang Harry, pintu ruangan tertutup dengan suara keras. Dia tak perlu pergi ke sana untuk tahu bahwa jalan keluar manapun sekarang terkunci.
Yah. Harry sudah menduga hal ini akan terjadi.
"Kau tidak melarikan diri lagi?" tantang Harry. "Aku harus berterima kasih juga, kalau begitu. Aku tidak perlu repot-repot mengejar pantat tuamu lagi."
"Kurang ajar," Karkaroff menggeram. "Kau akan belajar untuk menjaga mulutmu setelah ini, Bocah."
Karkaroff mengeluarkan sebuah tongkat berukuran sedang dari dalam jubah hitamnya. Bagian atas tongkat itu, Harry mencatat, adalah sebuah ornamen berbentuk tengkorak kecil… yang entah kenapa terlihat seperti tengkorak betulan.
"Mengerikan," komentar Harry. Pada titik ini, dia tak lagi tahu kenapa dia terus memanas-manasi musuhnya.
"Teruslah berbicara selama kau bisa." Karkaroff memandanginya penuh benci. "Karena setelah ini, aku tidak akan mengampunimu."
Judex itu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Gumaman mantra yang tak Harry kenali terucap dari mulutnya, mendengung seperti suara lebah.
"O ou pouri
Fe ke m'kontan
O ou rele byen fo
Obyei lod mwen yo!"
Lambat laun, Harry merasakan seisi bangunan itu berguncang. Setiap jengkal dinding mendadak bersinar dengan warna ungu yang aneh. Harry menolehkan kepalanya ke segala arah, dan dia baru menyadari bahwa dinding ruangan itu dipenuhi dengan banyak sekali batu-batu dan tulisan aneh, yang sekarang mulai bercahaya satu demi satu.
Trik aneh macam apa yang akan dilakukan Karkaroff?
Tetap tenang, Harry.
Rapalan mantra Karkaroff berhenti dengan tiba-tiba. Kemudian, dengan sebuah senyuman gila, Karkaroff merentangkan kedua tangannya lebih lebar, dan dia berseru, "Datanglah, pelayan-pelayanku!"
Sesuatu mulai termanifestasi dari atas lantai yang dipijak Harry. Semula, mereka berwarna transparan, bertekstur seperti tanah liat, dan bergerak-gerak seperti likuid. Harry menyaksikan dengan ngeri ketika tubuh mereka kembali melebur dan bercampur berulang kali. Mereka mengingatkan Harry akan tanah liat yang sedang dibentuk menjadi kerajinan indah.
Setiap dari bentuk itu mulai menjelma menjadi tubuh-tubuh manusia. Harry membelalak horor.
Tidak. Tunggu, bukankah mereka…
Harry hampir merutuki kebodohannya. Kenapa dia tak menyadarinya dari awal?
Kulit keabuan, mata yang hanya diisi kekosongan berwarna putih, tubuh tanpa daging, dan suara-suara mengerikan yang tak mungkin manusiawi…
Inferi. Karkaroff baru saja memanggil pasukan Inferi.
"Menakjubkan, bukan?" Karkaroff terkekeh selagi dia mengelus tengkorak di atas tongkatnya. "Mereka adalah pelayan yang lebih kompeten dari manusia biasa… Lord Voldemort telah bermurah hati mengajariku untuk mengendalikan mereka. Dan aku akan memastikan kalau kau, Harry Potter, tidak akan bisa keluar dari tempat ini."
"Apa-apaan?" Harry mendesis ngeri. Inferius terdekat menggeram dan mencaplokkan gigi-giginya pada udara kosong, seperti tak sabar sekali ingin memakan Harry. Jika mereka tak berada dalam kendali penuh Karkaroff, mungkin pada detik ini, Harry sudah diserbu habis.
"Kau tahu orang-orang yang termakan rumor dan berdatangan ke gua laut itu?" Seringai Karkaroff terlihat kejam.
Menyebalkan, tambah Harry. Dia ingin menanamkan tinjunya pada hidung bengkok Karkaroff.
"Mereka tak tahu apa yang mereka hadapi, orang-orang bodoh itu. Entah mereka terbunuh di tengah laut, atau terserang oleh Inferi di dalam gua…" Karkaroff mendengus. "Kau tahu apa yang terjadi pada manusia yang diserang Inferi? Ya… Mereka akan menjadi salah satu dari Inferi juga. Tidak buruk, sebab pasukanku bertambah. Dan bagaimana dengan mereka yang mati sebelum sampai di gua, yang memohon-mohon agar diberi keselamatan? Aku sedang memikirkan untuk menambah pelayanku sebanyak mungkin, kau tahu. Jadi aku mengabulkan permintaan terakhir mereka. Aku memberi mereka kesempatan untuk hidup… sebagai Inferius-ku."
"Brengsek." Harry menggenggam pedangnya dengan erat sekali sampai lengannya bergetar. "Kau mengubah orang-orang itu menjadi… Inferi!?"
"Kalau itu benar, apa yang akan kau lakukan, Potter?" tantang Karkaroff dengan dagu runcing terangkat. "Mereka yang telah menjadi Inferi tidak akan lagi bisa menjadi manusia semula… sebab tubuh asli mereka tak lagi bernyawa."
"Setidaknya, aku bisa menyingkirkan mereka dari tangan kotormu," kata Harry lambat-lambat. "Kau yakin dengan ini, Karkaroff? Kupikir Inferi takut terhadap api. Kalau begitu, kau memilih lawan yang salah."
Seringai pada wajah Karkaroff perlahan-lahan surut. "Kau tidak tahu kapan kau harus menutup mulut, hm?" Detik berikutnya, nada Karkaroff naik—sebuah perubahan yang tiba-tiba dan mengagetkan—dan telunjuknya mengarah kepada Harry dengan penuh ancaman. "Cobalah membuka mulut kecilmu itu ketika mereka semua menyerangmu!"
Hentakan tongkat Karkaroff pada dinding di sebelahnya adalah sebuah aba-aba. Inferi yang sedari tadi diam di tempatnya bergerak maju dengan cepat dan serentak. Harry nyaris gagal menghindari cakaran dari dua Inferi pertama. Dia bergeser ke samping, menggerakkan pedangnya membentuk dua tebasan lebar. Dua kepala Inferi terjatuh di dekat kakinya.
Inferi lain tak menunggu lama. Satu di kanan Harry mencoba untuk menggigit lengannya. Harry mendorongnya pergi dengan semburan api dari tangan kirinya—cukup efektif, karena segerombol besar Inferi melangkah mundur. Dia cepat-cepat menyalurkan sihir pada pedangnya, membuatnya terselubung dalam api, dan menggunakannya untuk menebas satu Inferius yang mencoba menyerangnya dari belakang.
Baiklah. Mungkin Harry bisa menangani pertarungan ini. Musuhnya berjumlah besar, tetapi mereka takut terhadap api. Dia bisa melakukan ini, dia bisa…
Harry didorong semangat baru. Tak ada lagi yang perlu ditakutkan. Karena bertambah percaya diri, gerakan Harry semakin energetik. Dia menebas, berputar, menebas, menebas, lebih banyak menebas, dan sesekali membakar…
Satu tebasan terbaru mendarat pada Inferius di hadapannya. Harry menyeringai, bersiap untuk menyerang Inferi lain—
Dan dia mendadak berhenti, menyadari ketika sesuatu yang tidak wajar terjadi.
Dada Inferius itu, yang semula memiliki luka menganga akibat pedang Harry, perlahan bergerak-gerak. Permukaan kulitnya mengingatkan Harry kepada lilin hidup. Harry hanya bisa menganga ketika dua ujung kulit yang terpisah pada Inferius itu bergerak mendekat, menyatu, merekat.
Dan, dalam sekejap mata, luka Inferius itu sirna. Seakan baru saja ada waktu yang dibalikkan.
Harry mengumpat.
"Kau baru tersadar?" Karkaroff mengeluarkan tawa rendah meledek. "Percuma saja, Potter. Tak peduli berapa banyak yang kau bunuh, mereka akan terus kembali. Mereka akan terus hidup. Ruangan ini telah didesain untuk mendukung sihir necromancy. Kau lihat batu-batu dan tulisan itu? Ya, ya… Berkat semua itu, Inferi-ku bisa jadi sekuat ini."
Gigi gerigi saling beradu di dalam mulut Harry. Ini lebih merepotkan dari yang kuduga…
Harry menyisir pandangannya pada sekeliling. Bebatuan aneh itu masih berkilau dengan menyebalkan. Dahi Harry terlipat. Kalau dia menghancurkan seisi ruangan ini, bisakah dia melemahkan sihir Karkaroff…?
Patut dicoba, sepertinya.
Dengan hati-hati, Harry melompat menuju tempat yang cukup kosong, menunggu dengan pedang teracung tinggi. Seperti menganggap itu sebagai sebuah invitasi, beberapa Inferi meluncurkan dirinya kepada Harry dengan tangan-tangan membusuk yang siap merobek.
Kena kau.
"Kau bosan dengan api?" Harry menunjukkan sebuah cengiran hambar. "Kalau begitu, kuberi kau sesuatu yang lain!"
Pedang Harry diangkatnya tinggi-tinggi, lalu dibawanya ke atas tanah kuat-kuat dengan hantaman keras. Serpihan-serpihan batu, besar dan kecil, melompat dan terlempar dari retakan lantai. Dengan sedikit sihir levitasi yang Harry pelajari dari Hermione, dia mengarahkan bebongkahan batu ke arah sekelompok Inferi di sekitarnya, mengenai tubuh-tubuh pucat mereka dengan menyakitkan dan melempar mereka menjauh.
Seperti tidak mengenal jera, tiga Inferi di antara mereka segera pulih. Mereka meringis dan meraung, menunjukkan taring mereka pada Harry. Namun, Harry tak takut. Tidak terlalu. Inferi tidak punya cukup intelijensi untuk belajar dari kesalahan terdahulu. Maka, ketika mereka menyerang lagi, Harry sempat memutar bola matanya dengan lelah, sebelum dia melakukan trik yang sama. Menghantam lantai dan mengirim bongkahan batu-batu besar dari lantai yang hancur kepada mereka.
Masalahnya bukan pada kecerdasan mereka. Yang lebih merepotkan adalah regenerasi mereka, dan fakta bahwa mereka bisa terus menerus hidup…
Tetap tak ada salahnya mencoba.
Harry memegang pedangnya dengan kedua tangan, menekuk lututnya, dan memancangkan pandangannya ke depan seakan dia akan berlomba lari betulan.
Satu, dua, tiga.
Tepat ketika satu Inferius hampir menangkap Harry, pemuda itu telah melesat pergi. Dia mendarat—tidak, menabrakkan diri pada dinding—dan seperti sebelumnya, dia mengirimkan bongkahan batu dari dinding hancur itu kepada sejumlah besar Inferi.
Harry tidak berhenti di situ. Detik-detik berikutnya, dia bertingkah seperti orang gila—berlari ke sana kemari, menabrak semuanya, menghancurkan dinding dan lantai dan apapun menjadi bagian-bagian kecil. Memporakporandakan segalanya.
Karkaroff, sayangnya, telah memahami apa yang Harry incar. "Kau gila, Potter!? Kalau kau menghancurkan semuanya, satu bangunan ini akan tenggelam!"
"Baguslah, kalau begitu!" seru Harry. Tanpa menatap sekitarnya, Harry memunculkan badai api kecil untuk menghanguskan segelintir Inferi yang mulai mengganggu. Regenerasi mereka mulai melambat, pikir Harry. Bagus sekali. "Kalau seisi bangunan ini tenggelam, setidaknya kau ikut bersamaku."
"Tenggelam? Aku?" Sekujur tubuh Karkaroff bergetar karena amarah. "Konyol, Potter! Konyol sekali! Jika kau pikir aku akan membiarkanmu begitu saja, kau salah!"
Karkaroff memegang tongkatnya dengan kedua tangan. "Leve!" Satu ayunan tongkat kemudian, bola-bola besar berbentuk biru bermunculan dan terbang menuju Harry secepat kedipan mata. Harry segera melompat dari sana untuk menghindar. Pada tempatnya semula berada, bola-bola aneh itu meledak ketika mereka menghantam lantai.
"Kupikir kau tidak mau membuat bangunan ini tenggelam, Karkaroff!" seru Harry. "Kenapa kau malah mempercepat prosesnya?"
"Diam!" desis Karkaroff. Harry dapat merasakan desperasinya dari jauh. "Kau, Potter, lebih baik duduk manis di sana untuk menerima sedikit pelajaran dariku!"
"Kau yakin soal itu?" Harry tersenyum mengejek. "Voldemort tidak suka berbagi. Dia jelas tidak suka kalau mangsanya dilukai lebih dulu—"
"Aku tidak peduli!" Karkaroff membentak. "Pangeran Kegelapan tidak memberitahuku apapun, kecuali untuk menangkapmu hidup-hidup! Jangan mencoba mengelak… Jangan coba-coba…"
Bola-bola itu meluncur menuju Harry. Mereka mengelilingi tubuh Harry, mengitarinya seperti komidi putar. Sejujurnya, yang membuat Harry takut bukanlah ledakan yang mereka munculkan, melainkan suara-suara aneh yang bisa dia dengar.
Mereka mengeluarkan suara seperti… tangisan… jeritan… isakan.
Harry merinding. Refleks, dia menggerakkan pedangnya dengan cepat untuk membelah bola pertama sebelum dia sempat meledak. "Tadi Inferi, sekarang ini!? Hal aneh apa lagi yang bisa kau lakukan!?"
"Menarik, bukan?" Karkaroff tertawa-tawa sambil mengayunkan tongkatnya ke segala arah. "Mereka adalah jiwa-jiwa yang kuambil dari manusia yang jatuh ke dalam kegelapan, ke dalam emosi gelap mereka… Kesedihan, amarah, dendam, keputusasaan."
Bola-bola itu bergerak semakin dekat. Harry mengeluarkan lingkaran api yang mampu mendorong mereka mundur, barang untuk sementara. Selagi ada celah, Harry dengan cepat menebas bola-bola itu. Suara tangisan anak kecil. Tebas. Suara jeritan pria. Tebas. Suara jeritan lagi. Tebas, tebas, tebas.
Karkaroff menjentikkan jarinya. Lebih banyak bola-bola biru aneh muncul. Harry menggertakkan gigi dan menahan umpatannya. Dia tidak akan memberi Karkaroff kepuasan dengan membiarkan dirinya terlihat frustrasi. Tidak akan. Karena itu, Harry memilih untuk menyerang dan menyerang, memotong. Membakar.
Sayangnya, Harry tidak menyadari satu kesalahannya saat itu.
"Mereka sepertinya cukup membuatmu tertarik, hm? Tapi bukankah kau melupakan sesuatu, Potter?" Karkaroff menyeringai. "Jangan pernah membiarkan punggungmu terbuka lebar."
Dari belakang Harry, sesuatu menempelkan diri pada punggungnya.
Inferius, benak Harry menyuplai dengan panik.
Dia tak sempat melakukan apapun, karena selanjutnya, tubuhnya terdorong ke dinding.
Sial—
Lalu, segalanya meledak. Inferius itu meledak.
Tidaktidaktidak—
Bersama reruntuhan dinding, Harry terlempar keluar bangunan dan terjatuh ke dalam laut.
To Be Continued
Spell yang Hermione gunakan di sini ditulis dalam bahasa Haitian Creole.
Spell Karkaroff ditulis dalam bahasa yang sama dengan mengandalkan Google Translate ahaha. Artinya: Wahai kau yang membusuk, ikuti kegelapanku. Wahai kau yang berteriak, patuhi perintahku. Wkwkwk emang kedengaran songong, sih.
Terima kasih sudah membaca dan sampai jumpa! ^_^