Yang pertama kali ia dengar sebelum ia sepenuhnya membuka mata adalah suara derap langkah kaki samar-samar disertai suara seruan para tentara—yang menandai jika mereka siap untuk menjalani latihan yang akan dihadapi. Ada suara di kejauhan yang terdengar seperti sedang memaki para pasukan tentara di luar sana, selalu melemparkan pertanyaan berulang dan berulang tentang keteguhan mental serta komitmen mereka dalam menjalani misi di medan pertempuran. Suara yang tidak lain dan tak bukan milik Heechul—seorang perwira berpangkat junjang yang juga mengemban tugas menjadi tenaga pendidik pelatihan militer Korea Selatan.
Sontak Taehyung mengerjapkan kedua mata, tubuhnya terpancang di atas tempat tidur dengan sikap siaga. Dilihatnya ke ranjang bunk bed di bawah—di sisi kanan dan kirinya sampai kemudian ia telah sepenuhnya paham dengan keadaan di sekeliling.
Oh sial, lagi-lagi aku terlambat bangun, gumamnya pada diri sendiri sembari mengenakan kembali pakaian bertugas yang telah semalam sebelumnya ia persiapkan di ujung tempat tidur. Ia bergegas mengambil pakaian dan beringsut menuju wastafel, mencuci wajah sekenanya dan menyikat gigi, lalu meluncur pergi ke barak latihan yang terletak hanya beberapa blok dari bangsal di mana ia tidur bersama sekumpulan teman-teman yang senasib dengannya—para Alpha dan dengan segala keegoisan mereka.
Baru sampai di mulut barak, Taehyung melihat satu peleton yang terdiri dari lima puluh personel lebih sedang melakukan latihan push up berulang dan berulang. Dengan mulus, Taehyung menyarukan diri bersama yang lain—ikut melakukan push up bersama yang lainnya. Temannya yang telah lebih dulu tiba dan berkebetulan berada di sebelah Taehyung, melirik ke arah Alpha itu dengan dongkol.
"Hei, brengsek. Kau terlambat lagi hari ini!"
Taehyung membalas dengan lebih jengkel akan seruan Wooshik—teman sekamarnya tersebut, "Kau sendiri tidak membangunkanku, sialan! Kau berjanji akan membangunkanku!"
"Salahkan dirimu yang malah kembali tidur, jika saja aku tidak pergi duluan, Heechul-junjangnim sudah pasti akan membunuhku!"
Suara mereka tampaknya mengundang perhatian yang lain karena tiba-tiba saja di belakang mereka sudah ada sesosok seorang Beta yang menegur dengan cara menjitak kedua Alpha tersebut dengan gemas.
"Minus poin untuk kalian berdua karena telah membuat kegaduhan," seru Heechul di belakang mereka dengan nada suara yang rendah dan sedikit mengancam. "Tapi khusus untukmu, Kim Taehyung," ia menarik kerah leher Taehyung dengan sentakkan kasar, "Kau kuberi waktu lebih untuk menyelesaikan latihan push up hari ini. Satu jam nonstop push up dan kemudian shuttle run sebanyak sepuluh kali."
Taehyung menyumpah dalam hati, mau tak mau menuruti keinginan instrukturnya tersebut, meninggalkan teman-temannya yang masih antusias melanjutkan latihan mereka ke sesi berikutnya sendirian.
Di peralihan hukumannya dari latihan push up ke shuttle run, matanya menangkap sekumpulan anak-anak muda yang berusia tidak lebih dari 16 tahun sedang digiring ke sisi lain barak. Kepala anak-anak tersebut dicukur bersih, persis seperti yang pernah dilewati oleh Taehyung pada tahun-tahun pertamanya sebagai tentara muda.
Jungsoo—alias Leeteuk, sedang memberi sambutan yang justru lebih banyak berisi kecaman yang dapat menjatuhkan mental siapapun, meneriaki mereka tanpa ampun. Ekspresi kumpulan personel muda tersebut justru semakin mengeras seiring bertambah menusuknya setiap perkataan Leeteuk, kecuali seorang anak muda yang sorot matanya tampak panik dan berusaha keras untuk tidak berjengit kaget acapkali Leeteuk meninggikan nada suaranya.
Taehyung mendengus melihat sosok tentara muda tersebut. Dalam hatinya, ia menebak dua atau tiga minggu lagi ia tidak akan melihat sosok anak itu, seperti halnya mereka yang tidak pernah siap untuk ditempa fisik dan mentalnya dalam menjalankan tes samapta dalam kurun waktu enam bulan.
Setidaknya kau bisa pulang kembali ke keluargamu—kalaupun mereka masih ada—daripada harus menghabiskan waktu dan nyawa dengan sia-sia di dalam medan perang seperti ini, dik.
Mungkin hanya kebetulan atau sebab lain, anak muda tersebut melirikkan matanya ke arah Taehyung.
Dan Taehyung hanya membeku.
Summary: 2045, Omega dan Beta perempuan mengalami degradasi populasi, angka kelahiran menurun, cuaca yang terus memburuk, perang dunia. Jeon Jungkook, wakil kapten dari Pasukan Brigade Khusus ke 13, harus terjun ke dalam kejamnya peperangan dan menemukan setitik harapan di dalam tahun-tahun yang mengerikan.
Warnings: Rape, forced pregnancy, ABO AU, mpreg, angst, character death
3 Desember 2045, Sariwon District, Hwanghae Province, North Korea
07.05 a.m
Yang pertama kali ia dengar sebelum ia sepenuhnya membuka mata adalah suara derap langkah kaki samar-samar disertai suara seruan para tentara—yang menandai jika mereka siap untuk menjalani latihan yang akan dihadapi. Lalu diikuti oleh dengkuran lembut sosok di sebelahnya. Damai dan penuh akan kepolosan.
Taehyung membuka mata, menyadari Jihoon masih sepenuhnya terlelap di dekapannya. Walaupun ia masih mengantuk, Taehyung memaksakan diri untuk menegakkan diri tanpa membangunkan putranya tersebut. Selama beberapa menit ia menikmati pemandangan wajah sang putra di pagi hari; mengelap bekas liur yang menuruni wajah sang putra dan menciumi putranya tersebut dengan penuh kasih sayang sebelum kemudian beralih ke pintu, melewati Jimin dan Baekhyun yang masih terlelap di ranjang masing-masing.
Pikirannya langsung melayang ke ruang kerja Jungkook pagi itu dan begitu ia mendapati Alpha itu tidak berada di sana, Taehyung mempercepat langkahnya ke barak latihan. Barak itu baru saja ditinggalkan oleh beberapa personel tentara yang bermandikan keringat, kecuali Jungkook yang masih berkutat dengan training dummy di tengah-tengah barak.
Tidak sedikitpun pukulan beserta tendangan yang dilayangkan oleh Alpha bersurai hitam tersebut melambat dari gerakan sebelumnya, semua hantaman yang ia berikan berpacu dalam gerakan yang konstan, mengalir dengan sendirinya. Jika ia tidak menyadari sosok Taehyung yang sedari tadi sibuk mengamatinya dari kejauhan, Jungkook tidak akan menghentikan sesi latihannya tersebut.
"Tidur nyenyak?"
Wajah Alpha itu sudah pulih dari luka-luka yang ia terima saat ia menjalani misi di Korea Utara, menyisakan sedikit baretan kecil di beberapa bagian wajahnya. Taehyung menelan ludah saat ia melihat bagian torso atas Jungkook mengkilap sempurna oleh sentuhan keringat. Otot perut Alpha tersebut tanpa sengaja membentuk barisan six pack ketika ia meregangkan persendian di tubuhnya. Dengan perasaan kecut, Taehyung menyayangkan keadaan dirinya sekarang.
Dulu aku pun pernah punya tubuh seperti itu. Pikirannya itu terhapus tidak lama menunggu selepas ia melihat luka bekas tembakan yang dialami Jungkook sebelum Yeonjuk menyelamatkan mereka. Bekas yang mengingatkan Taehyung kalau ia pernah hampir kehilangan Alpha yang kini telah mengklaim dirinya.
"Yah. Aku tidur cukup nyenyak semalam. Jihoon tidak serewel seperti malam-malam sebelumnya. Bagaimana denganmu? Jangan-jangan kau belum tidur sama sekali hari ini?"
Jungkook hanya menyeringai tanpa dosa, "Aku tidak bisa tidur. Jadi daripada aku hanya bergulir tidak jelas di atas tempat tidur dan mengganggu Yugyeom, lebih baik aku pergi latihan."
Jawaban Jungkook terdengar seperti jawaban yang berkesan apa adanya bagi mereka yang belum lama mengenal sosok Alpha itu, tapi Taehyung tahu betul Jungkook sulit tertidur akhir-akhir ini setelah fakta Hyung-sik yang masih hidup kembali dibawa ke permukaan beberapa minggu lalu.
Pada malam-malam sebelumnya; Taehyung, Jungkook, dan para orang-orang penting kelompok Minguk menggelar pertemuan penting membahas tentang kabar terbaru Hyung-sik beserta kekhawatiran mereka akan Korea Utara.
Beberapa di antara mereka meyakinkan yang lain jika kemungkinan besar Hyung-sik sangatlah kecil, mengingat markas mereka saat ini dikelilingi oleh deretan pegununga Hwanghae dan terpendam di antara gugusan pepohonan hutan pinus yang telah kehilangan kerindangannya. Aliran sungai yang deras dan kini telah terkontaminasi tidak memungkinkan adanya gerakan di sana dan justru akan mempersulit musuh. Ditambah lagi ada banyak sistem pengawas yang disembunyikan di beberapa medan berbahaya, membuat semua pleton tentara penjaga awas dengan keadaan sekitar mereka dan semakin memperkecil kemungkinan adanya penyusup.
Sedangkan yang lainnya berasumsi jika tidak lama lagi Hyung-sik akan dapat menemukan keberadaan mereka dengan mudah, mengingat satelit pengintai milik Korea Utara jauh lebih canggih daripada negara manapun—dan pemerintah mereka pun berhasil menyembunyikan satelit berbahaya tersebut dari dunia selama beberapa dekade lamanya hingga Seojoon membeberkan rahasia tersebut pada sebagian orang di Korea Selatan. Semua gerak gerik mereka terbatas selama Korea Utara masih memiliki satelit tersebut.
(Jungkook ingat sekali bagaimana para satuan tentara Korea Utara dapat dengan mudahnya melacak markas mereka dan berkali-kali ia harus kehilangan nyawa rekan-rekannya yang berharga.)
Di akhir rapat mereka, para tentara yang mengkhawatirkan persoalan Hyung-sik, membuat kesepakatan bersama untuk memperkuat sistem pertahanan mereka dengan memasang beberapa titik ranjau berupa senjata eksplosif, biologis dan radioaktif di medan-medan yang memungkinkan disusupi oleh tentara Korea Utara walaupun tidak akan berdampak besar. Satuan tentara yang berpatroli setiap harinya juga ditambah jumlah personelnya, mengingat lebih banyak waktu dan tenaga yang mereka keluarkan untuk mempertahankan diri dari serangan dadakan Korea Utara di bawah kendali Hyung-sik.
Taehyung tahu, walaupun Jungkook ikut ambil andil dalam memperkuat pertahanan mereka saat ini, Alpha itu diam-diam berusaha memendam kekhawatirannya akan keberlangsungan kelompok Minguk yang sekarang. Namjoon telah tiada, dan ia telah kehilangan sosok yang ia begitu mengayominya setelah sosok Taehyung di masa lalu. Terlebih lagi mengingat di markas mereka terdapat tiga orang Omega dan satu orang anak kecil yang kemungkinan besar memegang masa depan dunia—dan salah satu dari Omega tersebut adalah Omega pasangannya.
Bahkan ia juga tahu, setiap malamnya Jungkook menyisihkan istirahatnya yang berharga dengan memperkuat kemampuannya sendiri—menghabiskan waktu berjam-jam di barak latihan sendirian sekalipun tidak ada tentara yang sedang latihan di sana. Pernah sekali Taehyung mendengar kepanikan Baekhyun yang melaporkan tentang pundak sang Alpha yang mengalami dislokasi. Cedera di pundaknya yang disembunyikan dengan baik oleh Jungkook, sama sekali tidak diketahui oleh Taehyung maupun yang lain hingga Baekhyun yang membeberkan hal tersebut dengan sendirinya padanya.
Taehyung berusaha mengkonfrontasi sang Alpha sekali yang kemudian disahut oleh Jungkook dengan ekspresi heran yang berkesan pura-pura. Kesal, Taehyung mendiamkan sang Alpha itu selama seharian dan kemudian ia dilanda oleh perasaan bersalah setelah melihat kembali interaksi putranya dengan Jungkook.
"Jangan memaksakan diri, Kook-ah. Aku tidak ingin melihatmu terluka lagi," kata-kata itu meluncur tanpa terduga dari mulut Taehyung, membuat Jungkook membolakan matanya dengan keheranan.
"Apa?"
"Luka di dadamu ini," sang Omega menunjuk pada bekas luka di dada Jungkook yang sudah tertutupi oleh gumpalan daging yang berwarna lebih merah dibanding warna kulit Alpha itu sendiri, "Setiap kali aku melihat luka di dadamu ini, aku jadi ingat kalau kau pernah hampir mati sekali karena ingin menyelamatkanku dan yang lain. Jangan sampai kau membuka luka yang lebih besar karena kau sendiri sudah mengemban beban yang jauh lebih berat." Telapak tangannya kini sepenuhnya membujur di dada sang Alpha.
Jungkook menggenggam tangan Taehyung dengan lembut, "Apa ini masih soal cedera di pundakku, Hyung? Aku bisa meyakinkan kalau aku—" Tidak diduga-duga oleh siapapun, satu tangan Taehyung meremas pundak Jungkook begitu kuat. Jungkook terkejut menyaksikan apa yang diperbuat oleh Taehyung, ekspresinya sama sekali tidak berubah. "Sudah kukatakan kalau pundakku—" kedua bola mata Alpha itu membelalak tatkala Taehyung secara paksa menumbangkan Jungkook, menyentak kasar pundak Jungkook ke pusat gravitasi.
Ia bisa melihat bagaimana Jungkook berusaha mempertahankan keseimbangan dirinya—gertakan di gigi Alpha itu membuktikan kalau Jungkook mati-matian berusaha menahan rasa sakit di pundaknya sampai akhirnya ia merosot turun ke atas lantai beton.
"Hyung! Kau—apa yang kau lakukan—"
"Kalau pundakmu tidak cedera, seharusnya kau tahu bagaimana kau bisa mempertahankan keseimbangan dirimu walaupun aku meremas bahumu begini kuatnya. Bukankah kau yang sekarang jauh lebih tangguh dan tak tertumbangkan?" tanya Taehyung dengan sorot mata dingin, meskipun jantungnya sendiri berdebar-debar karena ia berhasil membuktikan kekhawatiran dirinya terhadap Jungkook. "Dengan cedera seperti ini, kau tidak akan bisa melanjutkan diri ke medan perang, Jungkook. Kau hanya akan mempersulit yang lain dengan keadaan begini, dan kau tidak akan bisa melindungiku maupun Jihoon."
Perkataan sang Omega membuat Jungkook tampak seperti seorang anak kecil yang tertangkap basah. Alpha itu mengangsurkan dirinya ke lantai beton dan menerawang wajah Taehyung lamat-lamat, "Sepertinya karena sekarang kita adalah pasangan Alpha-Omega, aku tidak dapat menyembunyikan apa-apa darimu lagi, Hyung."
Taehyung ikut berjongkok di hadapan sang Alpha, "Justru seharusnya sejak awal kau tidak boleh menyembunyikan apapun dariku, Kook-ah," jari-jari jenjangnya bergerak menyisir surai gelap milik Jungkook, "Aku tidak ingin kehilangan satu hal denganmu, seperti yang aku alami bersama Seojoon. Jika kau terluka, kau harus membagi luka itu denganku."
Ujung bibir Jungkook mengerucut seperti anak kecil yang sedang cemberut, "Yah, masalahnya kau akan menahanku untuk tidak berlatih. Bagaimanapun juga, aku harus menyiasati caraku bertarung di medan perang."
"Tapi rehat sejenak sama sekali tidak akan menyusahkanmu, kan?" Taehyung melembutkan nada bicaranya, "Heatku sebentar lagi akan tiba, dan kau sama sekali tidak mau berpikir untuk beristirahat selama beberapa hari untuk menemaniku saat heat?"
Ia tersenyum lebar melihat ekspresi Jungkook berubah senang, "Oh, ya? Heat! Aku lupa kalau sekarang kau selamanya akan menghabiskan heat bersamaku!"
"Apabila kau tidak mau rehat selama seminggu dan menghabiskan heat bersamaku, aku akan mempertimbangkan bagaimana aku akan menghabiskan heat selanjutnya denganmu."
Senyuman sumringah di wajah Jungkook meluruh, "Kau tahu, kan, aku melakukan ini karena aku tidak ingin ada orang lain merebutmu dariku," Alpha itu menyentuh wajah Taehyung, menyeka sehelai rambut yang menutupi netra sang Omega. "Juga Jihoon. Aku sudah tahu seperti apa itu Hyung-sik, dan aku bisa membayangkan apa yang hendak ia rencanakan selanjutnya."
"Dan dengan cedera seperti ini, kau tidak dapat melindungi kami secara maksimal," Taehyung merasakan dirinya melunak mendengar penuturan sang Alpha. Pelan-pelan, ia mendaratkan kecupan di hidung Jungkook, "Jadi, jangan pernah lagi memaksakan dirimu, oke?" saat ia melihat Jungkook terdiam lama, tangannya bergerak untuk mencubit hidung sang Alpha, "Berjanjilah padaku, Kook-ah."
"Sudah berapa banyak aku membuat janji denganmu—"
"Kook."
Jungkook mendengus jengkel dan mendesah sesudahnya, "Baiklah, baiklah! Aku mengerti, Hyungie."
"Aku benar-benar akan mempertimbangkan lagi tentang heatku yang selanjutnya denganmu, Kook-ah, kalau sampai kau mengingkari janjimu," Taehyung tersenyum tipis sebelum mendaratkan ciuman lainnya—kali ini tepat di bibir Jungkook.
Ciuman mereka tertunda selama beberapa saat sewaktu terdengar suara bersin seseorang—yang tak lain berasal dari Yugyeom. Merasa tertangkap basah, Taehyung buru-buru beranjak dari Jungkook dengan kedua pipi bersemu merah—diikuti oleh Jungkook yang mengerang kecewa melihat kedatangan sahabatnya tersebut.
Yugyeom yang tampaknya sudah menangkap apa yang sedang keduanya lakukan, melangkah gontai ke arah keduanya. Siapa yang menyangka di belakangnya juga sudah ada Won-sik dan Chanyeol. "Tenang saja, aku hanya bersin. Silahkan lanjutkan kalau kalian tidak merasa terganggu."
Won-sik tersenyum penuh arti ke arah keduanya diikuti oleh Chanyeol yang benar-benar tidak dapat menyembunyikan rasa gelinya.
"Uh—aku akan membangunkan Baekhyun dan Jimin untuk sarapan pagi," kata Taehyung pada Jungkook, yang dijawab dengan anggukan enggan sang Alpha.
Sementara Won-sik dan Chanyeol sudah bersiap-siap dengan latihan fisik masing-masing, Yugyeom terkekeh jahil di sebelah sosok Jungkook yang masih terkapar lunglai di atas lantai beton.
"Kenapa tidak dilanjutkan saja adegan ciuman kalian tadi?" tanya Yugyeom dengan raut wajah tanpa dosa.
"Ini semua gara-gara kalian, brengsek," tukas Jungkook jengkel. "Dan lagi, kenapa kau selalu muncul untuk menggagalkan momen kami berdua."
"Kalian saja yang sial selalu berbuat tidak senonoh saat aku sedang kebetulan lewat," sindir Yugyeom sambil terkekeh senang. "Ngomong-ngomong, aku setuju dengan ucapan Taehyungie-hyung. Janganlah terlalu memaksakan diri. Percuma saja kalau kau memperkuat dirimu sendiri sementara kemampuan orang-orang yang lainnya masih di level yang sama. Manusia punya batasannya masing-masing, termasuk kau, sehebat apapun dirimu."
Jungkook mengibaskan tangannya mendengar ucapan Yugyeom, "Aku tahu, aku tahu!"
"Apa sekarang kau juga akan kembali ke kamar dan beristirahat? Aku belum pernah melihatmu ke barak untuk tidur akhir-akhir ini."
"Ya, ya, sekarang aku mau pergi tidur."
Baru saja Jungkook pergi mengambil kaus atasan yang ia biarkan tergeletak di bench press, ia mendengar Yugyeom sekali lagi berucap, "Hei, Kook-ah. Kurasa aku perlu mengingatkanmu sekali lagi. Namjoon-hyung memang sudah tiada, tapi bukan berarti kau harus menanggung semuanya sendirian, apalagi sekarang Hoseok-hyung sudah menggantikan dirinya. Kapabilitas kalian berdua berbeda, dan aku tidak ingin kau memaksakan dirimu untuk melampaui kapabilitas yang dimiliki oleh Namjoon-hyung. Terlebih lagi, di medan perang ini—semua orang mati. Kau tidak bisa selamanya berpikir misi akan seratus persen berhasil dengan semua orang selamat di dalamnya."
Jungkook menggertakkan giginya, mengingat kematian Namjoon beberapa minggu yang lalu—juga kematian Seojoon. Tanpa kedua sosok tersebut, kelompok Minguk berada dalam situasi yang jauh lebih berbahaya karena sekarang mereka tidak memiliki ahli strategi yang memadai. Selama ini ia hanya belajar tentang konsep penting operasi militer dari jurnal-jurnal terdahulu milik Seojoon dan juga Namjoon. Objektif, ofensif, masa, kekuatan sumber daya, manuver, kesatuan komando, penjagaan, kejutan, dan juga tepat sasaran. Semuanya ia pelajari dari jurnal-jurnal milik kedua Alpha yang kini telah tiada itu. Tapi ia tidak tahu dari mana ia harus memulai semuanya.
"Aku tahu. Aku sedang memikirkan—bagaimana caranya aku bisa mengoptimalkan strategi kita untuk bertahan hidup selanjutnya," setelah berkata begitu pada Yugyeom, sosok Jungkook menghilang di balik gawangan pintu barak latihan.
08.28 a.m
Suara gaduh di area makan menyambut Taehyung tatkala Omega itu pergi memasuki ruangan tersebut di waktu lenggang. Ia menyadari, semenjak ia menjadi seorang Omega, mata para Alpha lajang tidak pernah lepas dari dirinya. Sesekali tiga atau empat orang menoleh ke arahnya—tertarik dengan bau mengundang yang menguar dari tubuhnya. Meskipun dulu ia pernah takut dengan pandangan yang diberikan oleh para Alpha selain Seojoon (dan sekarang Jungkook) dalam hidupnya, kini ia sudah sepenuhnya dapat melangkahkan kaki di antara barisan Alpha yang sedang duduk menikmati hidangan sarapan di meja.
Di sebuah meja panjang yang baru sebagian diduduki oleh orang, ia mendapati Baekhyun dan Jimin sedang berusaha membujuk Jihoon agar anak itu mau menghabiskan hidangan sarapan sementara keduanya sendiri meninggalkan sarapan mereka di piringan kotak tanpa tersentuh sama sekali. Jimin-lah yang pertama kali melihat Taehyung melenggang ke arah mereka dengan wajah sedikit kecut—yang sudah bisa Jimin tebak gara-gara melihat sang putra begitu berpaku mainannya ketimbang sarapan yang telah disediakan.
Taehyung mengambil mainan Iron Man dari tangan mungil Jihoon dan tanpa perasaan bersalah duduk di seberang sang putra, "Habiskan sarapanmu atau aku tidak akan mengembalikan mainanmu ini," titah Taehyung sembari merendahkan suaranya, ekspresinya terpatut serius.
Jihoon mengatupkan rahang dengan tidak senang, air matanya mengancam akan tumpah, tapi ia hanya mendengus dan menerima suapan pertama dari Baekhyun. Bocah itu tahu betul, kata-kata dari sang ibu adalah mutlak jika ia sedang serius.
"Aku sudah membawakanmu sarapan, Hyung," Baekhyun memberitahunya sambil mengendikkan kepala ke arah sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk tepat di sebelahnya.
Taehyung menggumamkan kata-kata berisi ucapan terima kasih dan membetulkan posisi duduk sewaktu Jimin melempari pertanyaan, "Apa Jin-hyung tidak ikut sarapan bersama kita?"
"Dia bilang dia ada urusan di unit medik dengan Junghwan-hyung," jawab Taehyung.
"Rasanya akhir-akhir ini dia jadi lebih sibuk dari biasanya. Anehnya ia sama sekali tidak terlihat sedih kalau kita bersama dengannya," ujar Jimin, menyuap suapan nasi terakhir, "Padahal Namjoon-hyung belum lama meninggal. Kalau aku berada di posisi yang sama dengannya—misalnya aku kehilangan Yoongi-hyung dengan cara yang sama, aku pasti akan meratap setiap hari."
"Tidak baik berlarut-larut lama dalam kesedihan," Teguran halus dikumandangkan oleh Taehyung, "Lagipula, dengan menyibukkan diri, ia akan semakin mudah melupakan Joon-hyung."
"Kedengarannya cukup munafik."
Kata-kata yang meluncur begitu saja dari mulut Jimin seharusnya membuat Taehyung tersinggung, tapi Omega itu hanya menatap Jimin dengan malas, "Tidak ada yang munafik dengan kata-kataku barusan. Aku pun juga akan bersedih kalau sampai—Jungkook pergi meninggalkanku dan Jihoon tiba-tiba. Mungkin aku akan menangis dan berduka selama beberapa hari. Aku pernah mengatakan pada Jungkook bila aku tidak ingin dia terluka apalagi sampai meninggalkanku sama seperti halnya yang dilakukan oleh Seojoon. Tapi—kalaupun hal itu sampai terjadi, aku harus tetap hidup karena Jihoon masih bergantung padaku. Ada orang-orang yang ikut kesulitan kalau kalian sendiri tidak mau berusaha untuk bangkit."
Giliran Jimin yang tercenung oleh kata-kata Taehyung, matanya menyorot ke piring yang sudah tandas ke dalam perutnya. Baekhyun menyelipkan beberapa kata-kata pada Taehyung dan Jimin, berusaha mencairkan suasana.
"Ngomong-ngomong, Hyung," panggil Baekhyun pada Taehyung. Sang Omega yang disebutkan namanya tersebut menoleh, "Rasanya ada yang perlu kami beritahukan padamu—soal Woojin."
Tidak sempat nasi yang tadinya telah ia suap masuk ke dalam mulutnya. Entah karena topik yang diangkat oleh Baekhyun tiba-tiba atau karena ia bisa mencium aroma menusuk tuna kalengan di piring jatah miliknya. "Ada apa dengan Woojin?"
Ada ekspresi enggan merayap di wajah Baekhyun, "Anak itu—sepertinya dia sedikit bermasalah. Pernah beberapa minggu yang lalu, saat kau dan yang lain masih menjalankan misi, dia mengucapkan kata-kata yang tidak baik pada Jihoon."
"Seburuk apa?" sebelah alis Taehyung terangkat naik, merasakan perutnya sedikit mulas tiba-tiba.
"Dia bilang pada Jihoon, kenapa anak itu begitu yakin kau akan kembali dengan selamat," sambung Baekhyun.
"Oh," mendengar perkataan Baekhyun, Taehyung semakin keheranan. "Kurasa, mungkin memang seharusnya dia tidak berkata seperti itu. Tapi kurasa itu masih dalam batas hal yang wajar dikatakan oleh seorang anak remaja yang baru pubertas, kan? Sekarang aku sudah kembali, dan—"
"Woojin sama sekali tidak merasa bersalah saat dia mengatakan hal itu. Aku juga mendengar laporan dari Mark-hyung, jika Woojin beberapa kali berusaha melukai Jihoon selama kau tidak ada—" air muka Taehyung yang berubah pucat membuat Baekhyun mulai panik, "—aku minta maaf bila Jihoon sempat lolos beberapa kali dari pengawasanku dan Jimin—juga aku menyesal baru menceritakan hal ini padamu sekarang, tapi kupikir bukan ide yang baik apabila kau membiarkan Jihoon berada di dekat Woojin. Ada sesuatu yang tidak beres dengan anak itu."
Tawa yang mengalir dari mulut Taehyung terdengar terlalu dipaksakan.
Sebelumnya, ia tidak hanya sekali berinteraksi dengan Woojin karena anak itu—yang kebetulan menjadi murid didikan Jungkook—sedang belajar untuk merakit pistol. Sisanya ia hanya berpapasan dengan Woojin di lorong, di mana Mark atau Bambam tampak sedang menemaninya entah ke mana. Sulit menilai sifat asli Woojin selain ia melihat sosok Woojin sebagai anak yang pendiam dan cenderung menarik diri dari keramaian. Mungkin sesekali Taehyung mendapati Woojin berusaha mendekati Jihoon, yang justru selalu memfokuskan perhatiannya pada Jungkook.
"Rasanya agak berlebihan saat kau menilai watak seseorang hanya dari penjelasan orang dan juga karena satu kejadian yang kebetulan sedang kau amati. Anak itu masih muda, dia akan melewati fase itu suatu saat nanti."
"Bagaimana jika tidak?" Jimin ikut menimbrung di percakapan mereka, "Mark-hyung dan Bambam-hyungbercerita kalau Woojin punya watak yang—temperamental. Selalu merusak barang-barang di sekitarnya jika ada sesuatu yang tidak menyenangkan baginya. Dia mudah sekali marah akan suatu hal, tapi sejak presiden kalian meninggal, dia mulai bisa menahan amarahnya. Dari cerita dua orang itu, seolah-olah aku bisa membayangkan sosok—"
Air wajah Taehyung kian mengeruh, "Jangan pernah samakan seorang anak yang baru tumbuh dengan keparat itu. Tidak akan ada manusia di dunia ini yang bisa menyamai—kebengisan pria itu. Tidak akan pernah."
Jihoon yang bisa merasakan gelombang perasaan sang ibu, sontak mengangkat pandangan dari mainan Iron Man di tangannya. "Eomma?"
Kali ini Baekhyun dirundung perasaan tidak nyaman menyaksikan raut di wajah Taehyung—menampakan emosi yang jarang ia perlihatkan pada siapapun.
Jimin angkat bicara setelahnya, membela Omega itu. "B-Baekhyun-hyung mengatakan ini karena dia mencemaskan Jihoon, aku pun juga begitu. Kami hanya tidak ingin—Jihoon terluka. Bagaimanapun juga, kami sudah menganggapnya seperti saudara kami sendiri."
"Cukup keterlaluan karena kalian menyamakan sosok Hyung-sik dengan anak seperti Woojin. Senakal apapun anak itu, kalian tidak bisa menyamakan kebengisan seorang Park Hyung-sik dengannya," Taehyung merapatkan rahangnya dengan tidak senang. Makanan di hadapannya jadi semakin tidak mengundang selera bersamaan dengan aroma tengik ikan tuna di hidungnya. Omega itu menggandeng tangan Jihoon, "Jihoon-ah, sekarang kau sudah boleh bermain ke ruangan Jungkook-hyung karena kau sudah menuruti Eomma hari ini."
Senyuman merekah di wajah polos Jihoon. Serta merta bocah itu membiarkan ibunya membawanya turun dari kursi, tidak mempedulikan dua orang Omega yang sedari tadi terus menemaninya.
"Hyung. Apa kau sama sekali tidak takut?" tanya Jimin padanya, sedikit berhati-hati untuk menjaga perasaan Omega yang lebih tua tersebut. "Hyung-sik masih hidup. Kau tahu apa yang akan dia lakukan selama dia masih diberi kesempatan untuk bernapas di dunia ini."
"Memangnya siapa yang memberitahukan pada kalian soal itu?" sahut Taehyung, berusaha mengontrol emosinya, "Tentu saja aku takut. Dan lihat sekarang, apa yang sedang semua orang berusaha lakukan untuk melindungi kita semua." Omega itu membalikkan badan ke arah Jimin dan Baekhyun. "Kita memang hanyalah Omega saat ini, tapi setidaknya kita jangan sampai menjadi lemah karena alasan itu. Kita harus—melakukan perlawanan dengan kaki tangan kita sendiri. Kita tidak bisa lagi… menyulitkan orang lain."
Ia hanya sempat menangkap sosok Jimin dan Baekhyun saling melirik ke arah satu sama lain, saling memberi isyarat, lalu bungkam.
Hanya melalui gerak gerik, mereka tahu Taehyung merasa gusar dengan ucapan mereka.
4 Desember 2045, North Korea Central Military Commision, Sadong-guyok District, Pyongyang
00.25 p.m
Cukup mendengar suara dentuman langkah berat yang berasal dari tapal sepatu boots beradu dengan permukaan lantai yang telah dilapisi oleh epoxy, semua orang yang berada di ruang kendali mendadak segera menegakkan tubuh mereka di kursi masing-masing. Suasana semula di dalam ruangan yang berlangsung santai, berubah seratus delapan puluh derajat menjadi pengap oleh rasa jeri yang luar biasa.
Permukaan lantai epoxy yang mengilap memantulkan bayangan sosok seorang panglima perwira tertinggi di Korea Utara—sosok yang kini menjadi orang paling ditakuti setelah kematian Choi bersaudara. Tidak ada satu orang pun yang berani menengok ke belakang, karena mereka tahu sekali ada sepasang mata yang akan balas menatap mereka di belakang.
"Sudah sampai mana pencarian kalian?" tanya Hyung-sik pada seisi ruangan.
Saat tidak ada yang menjawab, Alpha itu menembakkan pistol ke salah satu kru tamtama yang sedang berpura-pura mengetik jari-jarinya ke atas panel keyboard. Teriakan melengking milik Beta itu bergema ke seisi ruangan dan membuat semua orang semakin tidak tenang di kursi masing-masing. Aroma amis darah menguar tak lama kemudian.
"Aku bilang jawab sudah sampai mana pencarian kalian!" geram Hyung-sik pada seisi ruangan, "Aku sudah memberi kalian waktu berminggu-minggu lamanya, tapi aku belum pernah mendengar kabar apapun dari kalian! Belum sama sekali!"
Masih hening sampai Hyung-sik menembak satu kru lainnya. Kali ini beberapa orang bereaksi, menampakkan wajah cemas mereka.
"K-kami—" seorang Beta memberanikan diri untuk menjawab, "Kami sudah melakukan penyisiran ke daerah Sariwon seperti yang Anda minta, Dae-wonsu. Satelit pelacak yang kita miliki sudah menyusuri beberapa daerah di distrik tersebut, dan sekarang kami sedang menyelidiki satu persatu desa yang kemungkinan disinyalir ada memiliki manusia yang singgah di dalamnya."
Sumringah dengan titel barunya, Hyung-sik langsung merendahkan nada suaranya, "Lalu ada berapa desa yang kau telah ketahui ada aktivitas manusia di dalamnya?"
"Sejauh ini… ada enam belas desa yang masih dihuni, dan sisanya ada berada di antara pegunungan yang sama sekali sulit untuk dilacak secara jelas di dalamnya."
"Oh," ekspresi Hyung-sik berubah berseri-seri secara tiba-tiba, bahkan mengejutkan Seungwan yang sedari tadi menemaninya di dalam ruangan. "Sepertinya kalian telah menemukan letak harta karun yang sangat kita cari-cari selama ini." Alpha itu bergerak menuju ke salah satu layar monitor besar di mana tampak berpuluh-puluh gambar desa di provinsi Sariwon sedang diambil menggunakan satelit pengintai. Sambil mengamati dan mempelajari layar tersebut selama beberapa saat, Hyung-sik mengacungkan jari telunjuknya pada salah satu daerah yang dikelilingi oleh pegunungan dan sungai. Tempat yang paling sulit dijangkau di antara tempat-tempat lainnya.
Tidak perlu menoleh, ia bisa mendengar suara kelasak kelusuk yang sudah bisa dipastikan berasal dari Seungwan. Hyung-sik tidak mau mengintervensi kegiatan Alpha wanita itu menolong seorang kru ruang kontrol yang terluka akibat ulahnya. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal saat ini.
"Amati tempat ini. Aku ingin mendengar kabar baik setidaknya tiga hari dari sekarang, jika tidak, kepalamu itu akan kupasang di ruang konferensi sebagai hiasan."
7 Desember 2045, Sariwon District, Hwanghae Province, North Korea
03.02 p.m
"Apakah heatmu sudah tiba, Hyung?"
Sontak Taehyung membekap mulut Jungkook menyadari Alpha itu secara tiba-tiba bertanya padanya sewaktu ia sedang menemani Jihoon bermain di ruang kerja sang Alpha seperti biasanya.
Jihoon yang sama sekali tidak sadar dengan apa yang mereka bicarakan, membulatkan kedua matanya dan dengan polos menyeru, "Jungkookie-hyung! Lihat apa yang aku buat dengan lego-lego ini!"
Jungkook meringis begitu melihat atensi Jihoon langsung tertuju padanya. "Wah, keren sekali, Jihoon-ah. Itu kau sedang membuat miniatur anjing ya?"
"Ini pesawat tempur," dahi dari bocah di hadapannya tersebut berkenyit samar, "Kalau di buku-buku cerita yang aku lihat, anjing tidak seperti ini, Hyung."
"Oh, ne, ne. Mian, itu pesawat tempur, ya? Keren, keren,"Jungkook hanya menepuk bagian belakang kepalanya sendiri, seolah-olah sedang menegur dirinya. Ia berbisik pada Taehyung setelah perhatian Jihoon terpusat pada mainan lego di depannya, "Kau bilang kau mau memberitahuku kapan heatmu tiba, Hyung."
"Aku justru bilang aku mau mempertimbangkan lagi kapan aku mau menghabiskan heat denganmu, kan?"
"Jadi kau tidak mau melakukannya denganku?" Jungkook mematut wajah cemberut, dan Taehyung hanya memutar bola matanya dengan gemas. Sekarang, ia tahu betul Jungkook akan memasang wajah begitu untuk meluluhkan hatinya. "Kita, kan, belum melakukannya… selama beberapa minggu, Hyung. Aku sudah berhenti latihan selama beberapa hari ini bahkan. Kau tidak kangen dengan—"
"Jihoon-ah, kau main di sini sebentar, ya, Eomma ingin bicara sesuatu dengan Jungkook-hyung." Jihoon tidak menjawab dan mengacuhkan Taehyung yang menyeret sosok besar Jungkook keluar dari ruangan.
Di koridor, Taehyung refleks melipat kedua tangannya di dada, menggelengkan kepala. "Jungkook-ah. Kau ingat, kan, ada anak di dalam sana? Aku tidak ingin kau sembarangan menyebut—"
Senyuman jahil terulas di wajah Jungkook tatkala Alpha itu menunjuk ke antara kelangkangnya, "Menyebut kata yang ada di sini?" kedua alisnya terangkat secara sugestif.
Wajah Taehyung memerah mendengarnya, "Kau benar-benar—" Omega itu menghela napas, "Mungkin tidak untuk sekarang, untuk sementara, Jungkook. Heatku belum tiba dan aku rasa aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan Jihoon. Kau tahu, kan—aku tidak ingin membayangkan kalau saja Hyung-sik tiba-tiba menampakkan diri di sini dan—"
"Aku tahu. Aku sedang memikirkan jalan lain selain memperkuat sistem keamanan di sini," ungkap Jungkook. Tanpa ia sadari, matanya terarah pada Jihoon, tersenyum saat anak itu berteriak girang sendirian dengan mainan-mainan lego yang telah ia buat, "Aku dan Hoseok-hyung ada membicarakan tentang tempat yang disebutkan oleh Daetonglyeongnim di jurnalnya. Mungkin dalam beberapa minggu ini, kita bisa mengirim personel ke sana untuk mencaritahu apakah tempat itu memang benar ada."
"Lalu bagaimana mereka bisa mencapai tempat itu?" Taehyung melempar pertanyaan, raut mukanya berubah serius, "Kita tidak punya transportasi memadai untuk bisa mencapai tempat itu. Kita tidak punya pesawat, atau kereta yang punya jalur menuju ke sana. Akan butuh banyak waktu hanya untuk memastikan tempat itu memang benar-benar aman atau tidak."
Hyung-sik akan mencapai tempat ini sebelum kita bisa menemukan tempat itu.
"Ah, shibal." Jungkook mengetatkan rahangnya dengan tidak senang, "Aku dan Hoseok-hyung memang sudah memikirkan akan hal itu, tapi kami tidak sempat berpikir berapa lama kami bisa mencapai ke sana. Mau tidak mau, kita harus memperkuat pertahanan dan juga satuan personel di sini." Alpha itu kemudian mengambil salah satu tangan Taehyung, memainkan jari-jari jenjang sang Omega, "Kita akan menemukan cara, bagaimanapun juga, Hyung."
Taehyung menyelipkan senyuman di wajahnya, "Kau sudah mengklaimku secara sah, tapi kenapa kau tetap saja memanggilku dengan sebutan Hyung?"
"Soalnya aku suka dengan pelafalan Hyung dan juga namamu. Taehyung-hyung. Hyung-hyung," Jungkook mencoba berkelakar dan justru mendapat tamparan cukup keras di dadanya, membuatnya meringis kesakitan.
"Aku sedang tidak bercanda, Kook!" ucapan Taehyung justru bertolak belakang dengan senyuman yang merekah di wajahnya sendiri. "Kita sudah membicarakan hal ini sebelum-sebelumnya, kan? Kau mau memanggilku dengan nama panggilanku, tanpa embel-embel Hyung." Selanjutnya, Jungkook mendapati pasangannya tersebut menundukkan kepalanya dengan sikap malu-malu. "Bagaimana kau mau membiasakan diri untuk dipanggil Appa oleh Jihoon suatu saat nanti?"
Perkataan Taehyung tersebut lantas membuat Jungkook membuka rahangnya lebar-lebar, kelabakan. "Uh—yah, apa katamu?" alis Taehyung yang terangkat naik membuatnya semakin salah tingkah. "Oh, ya. Appa, ya? Uh, bagaimana kalau kau yang memanggilku begitu di ranjang—" Taehyung mencubit lengan Alpha itu karena gusar.
"Ayolah, kita membicarakan hal ini sejak beberapa minggu lalu, Kook!"
Jungkook memang teringat percakapannya dengan Taehyung beberapa bulan lalu, perihal statusnya sebagai Alpha dari Taehyung. Hampir semua orang di kelompok Yeokjuk tahu kalau sang Omega telah resmi diklaim oleh Jungkook sebagai pasangan miliknya. Kecuali Jihoon yang sama sekali belum paham akan apa yang terjadi pada sang ibu dengan Alpha yang cukup lama menjadi teman bermain barunya. Yang bocah itu ketahui, Taehyung selalu tercium seperti aroma Jungkook.
(Sang Alpha teringat akan kejadian tersebut tepat setelah kepulangan mereka dari misi di Korea Utara. Saat mereka berkumpul di ruang kerja Jungkook, dengan polosnya Jihoon mengerutkan hidungnya dan berceletuk,
"Eomma, baumu seperti Jungkookie-hyung. Aku tidak suka."
Tentu saja ucapan anak itu langsung membungkam Jungkook seharian, membuat sang Alpha kehilangan kepercayaan diri dengan aroma tubuhnya sendiri)
("Tapi aku tidak sebau itu, kan, Hyung? Kenapa dia tidak pernah berkomentar apa-apa soal bau tubuhku kalau aku bermain berduaan dengannya?")
"Masalahnya aku masih belum tahu caranya meyakinkan kalau sekarang aku adalah Appa darinya! Bagaimana cara memberitahukan berita ini pada Jihoon? Bagaimana kalau reaksi dia sama sekali tidak antusias begitu mendengar kalau aku telah mengklaimku? Dia sudah seposesif ini denganmu bahkan sebelum aku berusaha mengklaimmu!"
Kedua tangan Taehyung terulur untuk meremas pundak Jungkook, "Oke, oke. Tarik napas pelan-pelan, dan tenangkan dirimu." Omega itu berusaha menenangkan sang Alpha yang terlanjur panik dengan kecemasan yang melanda isi kepalanya. Baru setelah Jungkook mengikuti arahan darinya, Taehyung kembali melanjutkan, "Kita bicarakan dengan Jihoon bersama-sama. Kita memang perlu menjelaskan semua dari awal, bagaimana kau bisa mengklaimku dan menjadi Alphaku, juga menjadi Appa darinya. Setelah itu kau juga bisa mengklaim Jihoon sebagai anakmu sendiri. Mudah, kan?"
Buru-buru Jungkook menganggukkan kepala, membuat helai-helai hitam rambut miliknya ikut bergoyang seiring dengan gerakan di kepalanya. Tampang polos Alpha itu membuatnya tampak terlihat lebih muda beberapa tahun, Taehyung menyadari. Tapi Jungkook memanglah masih muda, juga telah mengemban begitu banyak tugas berat di pundaknya.
"Kau akan bisa melakukannya, percayalah padaku, Jungkook. Jihoon menyukaimu. Dia akan lebih mudah menerimamu sebagai Appa daripada ayah kandungnya sendiri. Terlebih lagi, sekarang kita ini keluarga, kan?"
Mulut Jungkook baru saja bereaksi untuk menjawab saat atensi mereka tersita oleh pekikan Jihoon. Kepala keduanya bergerak ke arah suara tersebut berasal dan mereka disambut oleh Jihoon yang setengah berlari menuju Taehyung. Bocah kecil bersurai coklat tersebut melontarkan tubuhnya ke tubuh Taehyung yang jauh lebih besar, kedua tangan mungilnya melingkar di sekeliling pinggang sang Omega, seolah-olah meminta perlindungan.
"Jihoon-ah, ada apa?"
Kali ini ada sosok lain yang berjalan ke arah mereka dan berhenti tepat di dekat Jungkook.
Woojin.
Ucapan Jimin dan Baekhyun terngiang-ngiang di kepala Taehyung, membuatnya merapatkan pegangan ke tubuh sang putra.
Woojin terlihat seperti anak yang akan mengalami puberitas dan mendapatkan status gender kedua pada umumnya. Terlihat seperti anak-anak, dengan tubuhnya yang hanya sepantaran setengah leher Jungkook. Hanya saja sorot matanya kosong, tidak seperti biasa. Taehyung tidak pernah bisa menebak isi pikiran dari orang-orang seperti anak itu.
Anak ini… dia memang sedikit berbeda… ada yang aneh dengannya.
Dan saat ini, anak yang belum belia tersebut menyorot matanya pada Jihoon, masih kosong. Begitu ia tersadar ada dua orang lain yang sedang mengawasinya, Woojin mengangkat kepala dan mengangkat suara;
"Hyung. Hari ini kau sudah janji mau mengajariku menembak."
Tentu saja Jungkook yang sama sekali tidak tahu apa-apa, menoleh sebentar ke arah Taehyung seraya menjulurkan lidah, "Ah. Aku lupa aku ada janji dengan anak ini supaya mengajarinya menembak."
Dahi Taehyung berkenyit, "Ini, kan, masih terlalu cepat untuk Woojin berlatih menembak? Bagaimana kalau dia—kalau dia menyakiti dirinya sendiri?" Omega itu bertanya dengan hati-hati.
"Kurasa perlu mengajarinya menembak sedini mungkin. Ini adalah hal yang krusial, Hyung. Penting untuk mengajari anak-anak untuk melindungi diri mereka sendiri." Jungkook melempar pandangan pada Jihoon yang menyuruk ke belakang tubuh Taehyung, menyembunyikan diri. "Jihoon-ah? Apa kau sedang berkelahi dengan Woojin? Kenapa kau menghindarinya begitu."
"Woojin-hyung jahat," jawab Jihoon dengan polos.
Taehyung sempat menangkap ekspresi di wajah Woojin. Mungkin ia akan menangkapnya sebagai reaksi jahil akan jawaban Jihoon. Nyatanya Woojin hanya memasang wajah datar, menangkap pandangan Taehyung dengan tatapan yang cenderung menyelusup, seperti sedang mempelajari dirinya. Entah kenapa, Woojin membuatnya semakin menaruh prasangka tidak enak pada pemuda itu.
"Tenang, Woojin pasti hanya jahil, Jihoon-ah," Jungkook masih belum menyadari apa-apa. "Woojin, sebaiknya kau minta maaf."
Woojin bergeming di tempatnya. "Kenapa aku harus minta maaf?"
"Karena kau salah, Woojin-ah."
"Memangnya apa yang kulakukan padanya?"
Respon yang diberikan oleh Woojin mendiamkan Jungkook. Alpha itu mengerutkan dahi ke arah Woojin, "Lalu… Kenapa dia menghindarimu begitu?"
"Aku tidak tahu."
Jawaban pasif milik Woojin membuat Taehyung semakin merasa tidak nyaman. Tak lama kemudian Jungkook menyahuti lagi, "Hmm, baiklah. Apa perlu kita ke ruang latihan sekarang?"
Woojin tidak menjawab dan berjalan meninggalkan Jungkook.
"Maafkan sikap Woojin tadi. Dia memang—sedikit sulit untuk diajak berteman. Mirip denganku dulu, hanya saja sikapnya lebih—menutup," kata Jungkook pada Taehyung. Ia pun tak ketinggalan mengusap kepala Jihoon dengan gemas, menggusaknya hingga bocah itu menggerutu jengkel. "Aku pergi dulu ke ruang latihan, ya. Lanjutkan permainan kalian. Jihoon, nanti tunjukkan lagi mainan pesawat buatanmu yang lain."
Sesudahnya Alpha itu pergi meninggalkan Taehyung dan Jihoon.
Barulah ketika suasana di koridor sedikit lengang, Jihoon melepaskan genggamannya dari Taehyung. "Woojin-hyung jahat. Dia pernah menjambakku dan juga sering mengambil mainan dari Seojoon-Appa. Katanya aku sudah tidak pantas bermain dengan mainan seperti ini," Jihoon mulai mengadukan semuanya tanpa perlu dipancing. "Sewaktu Eomma pergi bersama Jungkookie-hyung, dia bilang katanya seharusnya aku mati. Dia juga bilang Eomma juga seharusnya mati. Woojin-hyung jahat. Aku tidak suka dengannya."
Jantung Taehyung berdegup tidak karuan mendengar semua tumpah ruah yang dikeluarkan oleh Jihoon. Omega itu menggendong tubuh mungil Jihoon, dan mendekapnya erat-erat, berusaha menenangkan putra semata wayangnya dengan aroma tubuh miliknya. "Dia tidak bersungguh-sungguh mengatakannya, Jihoon. Dia hanya bermain-main."
"Dia tidak main-main, Eomma!" bantah Jihoon, "Pokoknya aku tidak mau bermain lagi dengan Woojin-Hyung!"
Taehyung hanya menimang putranya tersebut dalam dekapannya, sebelum putranya kembali menangis keras-keras.
Tidak, tidak. Woojin hanya main-main. Dia tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
04.58 p.m
Meski hanya beberapa kali Jungkook sempat mengajari Woojin merakit pistol tangan dan menembakkan amunisi ke arah target, anak yang lebih muda itu sudah mahir merancang senjatanya sendiri dan menembak setidaknya hampir tepat sasaran pada boneka target yang telah disediakan.
Memang masih belum semahir dirinya dan caranya menembak pun cenderung agresif dan tidak sabaran, tapi dengan begini Jungkook yakin Woojin akan bisa setidaknya melindungi dirinya sendiri apabila ada keadaan genting yang menyerang mereka tiba-tiba.
"Wow, bagus sekali, Jin-ah. Setidaknya kemampuan menembakmu sekarang ini sudah jauh lebih baik dari sebelumnya," ia membantu merilekskan pundak pemuda itu, "Kalau kau membiasakan dirimu menegangkan bahumu seperti ini, lama-lama kau sendiri akan kelelahan saat memegang pistol."
"Sampai kapan aku bisa membunuh orang dengan pistol?"
"Huh?" Jungkook terkesiap mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Woojin. Barusan apa yang ia tanyakan?
"Sampai kapan," Woojin mengulangi pertanyaan, "Sampai kapan aku bisa membunuh orang dengan benda ini?"
"Saat kau sudah benar-benar siap melakukannya, Woojin. Yang penting sekarang adalah kau bisa menggunakan pistol ini agar sewaktu-waktu kau—"
"Tapi kau memberiku pistol ini supaya aku bisa membantumu membunuh orang, kan? Membunuh tentara musuh kita?"
Jungkook dibuat kehilangan akal oleh ucapan Woojin. "Tunggu dulu, kenapa kau begitu bernafsu untuk membunuh orang?"
"Bukankah kalian semua begitu?" Woojin masih menyuarakan rasa penasarannya. "Para tentara yang terjun di medan perang pasti akan haus darah. Kalian semua membunuh satu sama lain. Soalnya kalau kalian saling membunuh, dengan begitu kalian akan semakin cepat menemukan siapa yang jadi pemenangnya, kan? Perang itu seperti permainan, ada yang kalah dan ada yang menang. Dengan membunuh lebih banyak orang di medan perang, maka kita yang akan keluar menjadi pemenangnya."
Mulut Jungkook ternganga menangkap semua penuturan Woojin. Apakah ada sesuatu yang menyusupi cara berpikir anak ini sehingga ia bisa berbicara tentang hal ini dengan ringannya? Apalagi anak yang masih belia seperti Woojin.
"Woojin. Kita punya tujuan di medan perang bukan untuk membunuh. Tujuan kita di medan perang adalah untuk memperjuangkan apa yang kita percaya dengan mempertahankan diri. Karena apabila kita tidak bisa bertahan hidup di dalam medan perang, pegangan kita di dalam hidup ini akan semakin rentan dengan serangan di sekitarnya."
"Memangnya apa yang kita perjuangkan saat ini?"
"Kita sebagai warga Korea Selatan wajib untuk memperjuangkan negara kita dari tangan orang-orang yang bermaksud untuk menyerang dan mengambil wilayah kita."
"Bukankah sekarang sudah percuma bagi kita memperjuangkan hal itu?" Woojin masih bersikeras, "Daetonglyeongnim pernah bilang padaku, sekarang Korea Selatan hanyalah tinggal nama dan para penghuninya yang disebut sebagai warga Korea Selatan. Sudah tidak ada peraturan tertulis yang berlaku sekarang ini karena saat ini Korea Selatan hanya sebatas lahan kering yang sudah tidak layak dihuni. Semua manusia sudah hampir punah, untuk apa mempertahankan negeri ini?"
Jungkook membasahi bibirnya yang terasa kering, lalu mengusap wajahnya dengan sebelah telapak tangan. Ucapan Woojin persis seperti apa yang ia sempat terbenak di kepalanya. "Karena kita akan terus hidup dalam ketakutan jika kita tidak bisa menang dalam perang ini, Woojin. Kita akan selamanya mencari perlindungan, berpindah-pindah. Bahkan markas ini, kita tidak akan pernah bisa tahu sampai kapan kita bisa tinggal di tempat ini."
"Apa kau tidak takut untuk mati di medan perang?"
"Ada rasa takut mati dalam diriku tentunya, dan hal itu karena… aku takut harus meninggalkan Omegaku dan juga… Jihoon. Anak itu adalah tanggung jawabku sekarang. Aku tidak bisa mempercayai orang lain untuk menjaga mereka jika sampai terjadi sesuatu padaku."
Woojin terpegun selama beberapa saat, matanya menerawang pistol di tangannya, "Aku tidak pernah tahu rasanya mati seperti apa. Ada beberapa tentara yang bilang mereka takut akan kematian, padahal mereka sendiri selalu mengeluh kenapa harus hidup di jaman seperti sekarang ini, saat bumi sekarat dan sudah tidak banyak lagi sesuatu yang dapat dinikmati di dalamnya. Dan kebanyakan dari mereka sendiri sudah tidak punya apa-apa untuk diperjuangkan, kecuali negara kita ini." Anak belia itu mengangkat kepalanya dan menatap Jungkook, dengan kedua mata yang kosong terus menyorot ke kedua mata sang Alpha tanpa berkedip sedikit pun. "Aku juga tidak punya orang tua ataupun saudara seperti mereka. Tidak ada orang yang bisa aku gantungi hidup ataupun bergantung padaku. Tidak akan ada satu orang pun yang akan bersedih kalau aku mati nanti."
Pertama kalinya Woojin memasang tampang terkejut sewaktu Jungkook mencubit pipinya dengan gemas, terkekeh pelan sembari berucap, "Kau masih terlalu muda tapi kau sudah bisa berpikir seberat itu. Woojin-ah, aku beritahu padamu, selama masih ada kawanan tentara Korea Selatan dan Yeokjuk di sini, jangan beranggapan kami tidak akan berjuang untuk melindungimu. Kaupun juga bagian dari kami, kau sudah kami anggap sebagai saudara sendiri."
"Tapi apa yang membedakan diriku dengan Jihoon? Kenapa kalian begitu bersikeras untuk melindunginya? Dia punya ibu yang masih hidup, yang masih mau melindunginya. Kenapa kau juga masih meminta bantuanku untuk melindunginya?"
"Kalau sesuatu sampai terjadi di antara aku dan juga ibu Jihoon, kaulah yang setidaknya bisa menggantikan kami untuk melindunginya. Memang pasti nanti akan ada personel lain yang berjaga di sekeliling kalian, tapi umurmu dan Jihoon saling berdekatan. Kalian seharusnya bisa menjadi teman, saudara bahkan. Dan karena Jihoon jauh lebih muda darimu, sudah menjadi tanggung jawabmu untuk melindunginya. Buat dia merasa nyaman di dekatmu, jangan justru membuatnya jadi membuat jarak denganmu. Bukankah dari awal kau tampak tertarik untuk bermain dengannya?"
"Tapi—tapi..." Woojin membuat ekspresi lainnya yang jarang dilihat oleh Jungkook. Biasanya anak itu hanya menampakkan wajah berseri jika memang ada hal yang membuatnya terpukau, atau merengut tidak senang jika ada sesuatu yang membuatnya gusar. "Dia sama sekali tidak mau berinteraksi denganku! Saat aku berusaha mendekatinya, dia malah banyak meminta ini dan itu, membuatku kesal. Bila aku bersikap manja sepertinya di hadapan Mark-hyung dan juga yang lain, pasti aku akan diomeli habis-habisan! Mereka bilang aku tidak boleh bersikap seperti anak kecil, dan Jihoon selalu bersikap manja tapi kalian malah begitu melindunginya!"
"Karena dia masih anak-anak, Woojin. Sejak dia lahir, dia sama sekali sepertimu yang sudah dikelilingi oleh orang-orang yang masih mau mengajarimu banyak hal. Dia—dia harus hidup di bawah kendali orang-orang yang punya niatan jahat padanya. Bisa kau bayangkan apa yang terjadi apabila kami tidak menyelamatkannya dari Korea Utara, kan?"
"Setidaknya Jihoon masih punya ibu. Aku sama sekali tidak punya ibu," lirih Woojin, mendadak air mukanya berubah keruh. "Dan sekarang pun—semua orang melindunginya. Semua orang menyukainya, melihatnya sebagai bocah yang sama sekali tidak punya salah apa-apa."
"Tidak ada gunanya untukmu mencemburui Jihoon seperti itu. Malahan, kau lebih keren. Bisa menggunakan pistol, bisa melindungi orang-orang yang sekiranya lebih lemah darimu."
"Menurutmu begitu, Hyung?" Anggukan pasti dari Jungkook, membuat senyuman mulai mengembang di wajah Woojin.
"Pokoknya—buatlah Jihoon merasa nyaman di dekatmu. Sudah banyak orang jahat yang saat ini akan membahayakan dirinya, dan kau sudah menjadi salah satu dari kami semua yang akan berjuang menjaga Jihoon. Begitu suasana sedikit tenang dan Jihoon sudah lebih besar, kami juga akan mengajarinya cara mempertahankan dirinya sendiri. Kau mengerti, kan, Woojin-ah?"
"Aku mengerti, Hyung," senyuman di wajah belia itu kian mengembang.
"Bagus, bagus. Sekarang kita bisa lanjut latihan ringan lainnya," Jungkook sendiri merasakan dirinya ikut puas selesai menjelaskan semuanya pada Woojin. "Jadi, kau mau mulai dari mana lagi?"
07.32 p.m
"Hei, Jin, aku memanggilmu dari tadi."
Seokjin menyentak dirinya hingga tersadar dari lamunannya. Matanya yang semula tertuju pada wastafel yang penuh dengan botol-botol kosong sudah dicuci bersih, kini beralih pada Junghwan yang berkecak pinggang di belakangnya.
"Aku butuh botol obat oval yang berwarna biru," Beta yang sudah beberapa lama ini menjadi temannya tersebut menjulurkan tangan yang terbalur sarung lateks pada Seokjin.
"Oh, maaf," gumam Seokjin, mengomeli dirinya dalam hati.
"Tidak perlu minta maaf. Memang sulit, itu sudah pasti."
"Tidak, tidak. Aku sama sekali tidak memikirkan soal Namjoon, sebagai informasi," Seokjin menyahuti balik. Ia tidak sepenuhnya bohong.
Seharian ini ia memikirkan stok obat-obatan yang kian menipis dan juga berita tentang rencana Korea Utara selanjutnya mengingat Hyung-sik sebagai dalang utama di baliknya masih sepenuhnya hidup. Sebagian kecil lagi, ia mengingat-ingat bagaimana ia tidak perlu repot-repot ke ruangan kerja yang dulunya digunakan oleh Namjoon karena ruangan tersebut telah beralih fungsi menjadi ruang kendali tambahan.
Juga pikirannya tidak pernah terlepas jauh dari ingatan samar akan aroma kuat kayu ek (aroma yang mengingatkan Seokjin akan masa kecilnya saat dunia masih sebagian terisi rerimbunan hutan dan wangi-wangian akan alam), rasa hangat di belakang tubuhnya setiap kali ia pergi tidur, dan juga suara berat milik Namjoon yang mengajaknya berbicara di ranjang. Hampir sebulan ia berusaha mengalihkan sosok Namjoon dengan berbagai kesibukan, tetap saja pikirannya kembali melayang ke Alpha itu. Walaupun sekarang ia sudah tidak lagi bisa menangisi Namjoon seperti dulu, setidaknya kenangan akan Namjoon selalu muncul di kepalanya di kala yang tak terduga.
"Kau tahu," Seokjin membuka mulutnya perlahan-lahan. Di belakangnya Junghwan menghentikan pekerjaannya, berusaha mendengarkan dengan seksama apa yang hendak diutarakan oleh Seokjin selanjutnya. "Sebelum Namjoon pergi meninggalkan kita semua, kami berdua selalu pergi ke luar dari barak dan menikmati pemandangan langit. Warnanya memang merah dan mengancam akan mencairkan kedua bola matamu kalau kau melihatnya di siang hari dengan dua mata telanjang, tapi begitu malam tiba, rasanya kau seperti sedang memandang ke lukisan berwarna ungu dengan satu bulan berwarna merah menggantung di antaranya. Pada saat-saat begitu, kami pasti akan membicarakan banyak hal, berandai-andai dengan begitu banyak kemungkinan, membayangkan bagaimana kalau situasi dunia saat ini berbeda. Kami membuat begitu banyak angan-angan, di mana hanya kami berdua yang mengetahuinya."
Junghwan berdehum mendengar semua tutur kisahnya.
"Biasanya juga, saat salah satu dari kami berulang tahun, kami berdua akan pergi diam-diam ke gudang persediaan senjata dan minum di sana tanpa sepengetahuan orang lain. Bagi kami, hari ulang tahun masihlah penting karena itu adalah momen di mana kami bisa secara intens menghabiskan waktu sepuas puasnya. Aku tentu saja akan minum sampai mabuk dan dialah yang terjaga di antara kami berdua, membiarkanku sampai lunglai di pangkuannya. Terkadang tanpa seks pun, aku sudah cukup merasa terpuaskan hanya dengan melihat senyumannya." Beta itu berhenti sejenak, lalu kembali meneruskan, "Aku berulang tahun dua hari yang lalu, dan pertama kalinya aku hanya tidur di ranjang tanpa melakukan apa-apa."
"Oke, pertama, selamat ulang tahun, bung," kata Junghwan terdengar panik, sedikit terlunta memikirkan tanggapan yang tepat atas ucapan Seokjin. "Yah, inilah yang terjadi jika kau sudah terikat dengan orang lain, akan ada saatnya kau berusaha melepaskan ikatan itu begitu mereka sudah tiada."
"Dan aku tidak akan pernah bisa menemukan seseorang seperti Namjoon. Tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan dia." Seokjin menghela napas, "Astaga. Aku jadi bicara banyak denganmu."
"Jangan khawatir. Kau perlu melimpahkan semuanya jika perlu. Tidak semua kesedihan bisa kau pikul sendiri." Junghwan mengibaskan tangannya dengan sikap acuh, "Kesalahanmu mungkin karena kau lupa aku ini masih lajang, tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Jadi aku sama sekali tidak mengerti posisimu sekarang. Setidaknya aku cuma bisa bilang, kau hebat bisa melanjutkan hidup tanpa Namjoon."
Seokjin mendengkus menahan tawanya, "Tapi kau terlihat tenang-tenang saja hidup melajang seperti itu, seperti tentara lainnya. Jangan pura-pura kau tidak pernah menonton video porno seperti mereka, Junghwan."
"Kita ini manusia, semua punya hasrat terdalam di dalam diri mereka, terutama aku," Junghwan balas menyeringai.
Mereka baru saja akan melanjutkan candaan di sela-sela obrolan begitu tiba-tiba seisi bangsal unit pelayanan kesehatan disongsong oleh vibrasi kecil yang berangsur menjadi vibrasi lebih besar—cukup membuat lemari aluminium di sekeliling mereka ikut berguncang. Seokjin menyerukan kata pada Junghwan, menyuruh Beta yang juga bertugas sebagai tenaga medis tersebut untuk menunduk dan meninggalkan bangsal kesehatan.
"Ini apa-apaan? Kenapa ada gempa lagi?!" pekik Junghwan panik, bersamaan dengan sirene tanda bahaya mulai berdering di sekeliling mereka.
Baru saja mereka mencapai pintu utama, beberapa personel infanteri medis lainnya menyongsor ke sekeliling mereka dengan tampang waswas, "Tadi ada ledakan, uisa-nim!" seru seorang Beta lain pada Junghwan. "Gempa ini disebabkan oleh ledakan di ruang kendali bawah tanah!"
"Kirim beberapa orang personel ke sana untuk mengecek keadaan!" Junghwa memberi komando dan diikuti oleh empat tentara medis ke tempat yang ia minta.
"Ledakan?" Seokjin mengerutkan dahinya dengan heran, "Bagaimana mungkin bisa ada ledakan—"
Jantung Beta itu mulai berdegup tidak karuan. Sudah hampir sebulan sejak ia mendengar kabar Hyung-sik yang masih hidup dan tiba-tiba saja di markas mereka sekarang ada ledakan muncul entah dari mana.
Junghwan hanya bisa menatap matanya dengan ekspresi keruh, menelan ludah.
"Ada baiknya kita mengevakuasi para Omega dan juga Jihoon ke tempat yang lebih aman dengan situasi tak terduga seperti ini."
07.18 p.m
Yugyeom tidak mau menoleh saat ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Seharian itu dia berada di ruang pengawas, menggantikan tugas seorang tentara jaga yang sedang sakit hari itu. Sebelumnya ada Won-sik dan juga Jaebeom yang menemaninya, tapi tiba-tiba saja dua orang tentara itu dipanggil oleh Hoseok ke ruang pertemuan. Kesal karena dirinya tidak diajak serta ke pertemuan tersebut, Yugyeom berniat untuk mendiamkan mereka selama tugas pengawasan mereka berlangsung.
"Kami memanggilmu, brengsek," seru Won-sik tepat di telinga Yugyeom yang sudah mengacuhkan teriakannya selama beberapa kali.
"Kalian yang brengsek, meninggalkanku sendirian di ruangan ini!"
"Dasar bocah, protes sana pada Hoseok-daewi yang tidak mengajakmu serta ke pertemuan. Begitu saja kau kesal, eo?"
Beta berambut cepak tersebut dengan kilat menghindar dari tendangan yang dilayangkan oleh Yugyeom.
Jaebeom sengaja berdeham tiga kali untuk meredakan pertengkaran bodoh di antara keduanya, "Lebih baik kalian fokus lagi ke layar, babo. Jangan-jangan ada sesuatu tidak aman sedang terjadi sekarang."
Yugyeom menjulurkan lidah dan mengulangi ucapan Jaebeom—mengejek—sampai rasa penasaran mengalahkan kekesalannya terhadap dua orang tersebut, "Memangnya apa yang kalian rapatkan dengan Hobi-hyung?"
"Ya, seperti biasa… membicarakan tentang strategi pertahanan menghadapi serangan yang akan datang, soal si iblis Korea Utara yang ternyata masih hidup, soal stok makanan, dan juga—soal pulau Jeju."
Yugyeom merotasikan kursi putarnya menghadap Jaebeom, tertarik dengan topik yang dibawakan oleh sang Alpha. "Oh, ya? Memangnya kenapa dengan pulau Jeju? Apa sudah terbukti pulau itu masih aman untuk kita coba singgahi?"
"Kabarnya pulau itu masih memiliki lapisan atmosfer yang cukup baik dan masih ada vegetasi yang tumbuh di sana. Suhu termal di pulau itu juga dikabarkan berkali kali jauh lebih baik daripada semua tempat di muka bumi ini karena kadar oksigennya yang tinggi."
"Hmm, dari mana kalian tahu semua tentang itu?"
"Yah, presiden kalian yang membeberkan dan menulisnya di jurnal pribadinya. Jurnal yang semula dipegang oleh Namjoon sebelum berpindah tangan pada Jungkook-daewi."
Won-sik mendesis pelan, seolah-olah sedikit gusar dengan informasi yang diberikan Jaebeom, "Sudah pasti mendiang pria tua itu hanya membuat asumsi sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa tahu soal itu kalau tidak ada tim ahli klimatologi dan geofisika yang benar-benar menyelidikinya? Dan kenapa tidak sedari awal dia memberitahukan kita kalau ada pulau yang masih sepenuhnya aman dari kiamat ini?"
"Pasti ada alasan kenapa dia tidak mau memberitahu kita dari awal," Jaebeom berujar. "Sekarang fokus lagi ke layar pengawas. Aku tidak mau kita semua sampai kena omel Hoseok jika kita tidak bisa membuat laporan apa-apa padanya."
Baru saja Alpha itu berkata demikian, muncul gambar seorang manusia di salah satu layar monitor. Pria berusia kitaran usia 30 hingga 40 tahunan yang tidak diketahui gender keduanya tersebut berjalan terseok-seok di antara tanah yang sudah ditumpuki oleh serpihan salju. Pakaian yang ia kenakan compang-camping, tanpa penghangat dan jas yang melindungi tubuhnya dari kepingan abu yang seharusnya berbahaya bagi kesehatan manusia. Untung saja wajah pria itu masih ditutupi oleh masker oksigen yang memfilter udara masuk ke dalam paru-parunya.
"Tunggu, kenapa ada orang yang bisa menemukan markas kita?" selidik Won-sik waspada.
"Apa mungkin dia salah satu penduduk dari desa di sekitar daerah ini?" Yugyeom menerka-nerka, sama herannya dengan Won-sik.
"Mana mungkin. Orang-orang tidak berpengaman dan merupakan orang biasa seperti dia tidak mungkin bisa masuk ke wilayah kita. Beberapa hektar dari sini sudah kita tanami dengan ranjau dan juga sistem pertahanan lainnya, tidak mungkin orang sembarangan seperti dia bisa masuk ke sini," Jaebeom memberitahu. Ia mengambil sistem komunikasi langsung melalui monitor, menghubungkannya pada seorang tentara jaga yang bertugas dekat di pintu masuk bawah tanah. Terpampang wajah seorang Beta tentara Yeokjuk di monitor kecil. "Junhyuk, kau ada di sana? Apa kau bisa melihat ada orang dekat dengan pintu masuk kita? Jangan lupa bawa persenjataan kalian, aku tidak ingin ada terjadi sesuatu. Bisakah kau mengcopy ucapanku?"
"Wilco, aku dan yang lain sedang menuju ke sana untuk memastikan siapa orang asing ini."
Pesan terputus.
"Aku akan memberitahu Hoseok-daewi dan juga Jungkook tentang hal ini," ucap Yugyeom di sela-sela kecemasan mereka.
Perhatian mereka semuanya terpaku pada layar monitor di mana seorang tentara yang merupakan salah satu kawan mereka menghampiri pria asing tersebut sembari diikuti oleh dua tentara lain yang mengawasi sekeliling mereka dengan seksama, berjaga-jaga apabila pria asing ini diikuti oleh sesuatu yang tidak diinginkan.
"Jaebeom? Kurasa orang ini adalah warga sekitar. Dia bilang desa tempat ia tinggal tiba-tiba diserang oleh kawanan Korea Utara."
"Bawa dia masuk. Jungkook-daewi sudah mempersiapkan personel tambahan kalau-kalau terjadi sesuatu."
"Tunggu," Yugyeom memandang ke arah layar dengan mata terbeliak gelisah, "Kalau memang ada tentara Korea Utara yang menginvansi desanya, kenapa kita malah menyelamatkan dia? Bagaimana kalau ternyata dia diintai oleh tentara Korea Utara di sini?!"
"Kau malah mengkhawatirkan hal itu daripada nyawa seorang warga sipil yang tidak berdaya seperti dia?" Won-sik mendecakkan lidah.
"Tapi, tapi—"
Seperti menjawab jawaban Yugyeom, tiba-tiba saja entah dari mana layar monitor yang menayangkan video berisi pria asing dan tiga personel tentara, memunculkan radiasi aneh menyilaukan. Yugyeom, Won-sik, dan Jaebeom belum sempat memperingatkan tiga personel tentara tersebut sampai kemudian layar monitor dihiasi oleh cairan kental berwarna merah, disusul getaran yang berlangsung selama satu menit penuh.
Pria asing tersebut baru saja meledak, mencerai-beraikan seluruh isi tubuhnya beserta dua tubuh personel tentara yang sedang mengejang dikekang maut. Ledakan tersebut juga berhasil meluluhlantakkan pintu baja dekat yang berdekatan dengan kamera pengawas.
Terdengar teriakan memilukan dari monitor, berasal dari salah seorang personel yang berhasil hidup hingga akhirnya layar monitor yang diselimuti oleh garis-garis retak pecahan kaca beserta statis berwarna kelabu, menandakan kamera pengawas terganggu oleh ledakan.
Won-sik tidak tinggal diam dan mulai mengetikkan beberapa kata pada salah satu layar komputer, mengirimkan transmisi tanda bahaya.
"Mayday, mayday, mayday. Ada ledakan di dekat pintu masuk. Pintu baja lapisan pertahanan pertama sudah luluh lantak. Harap persiapkan tentara bantuan sekarang juga ke area carport. Over."
Sirene dan semua alarm di dalam markas tentara Yeokjuk kini semuanya dibunyikan, membuat seisi basis militer larut dalam kepanikan masal.
Kepanikan itu semakin tidak terkendali tatkala Yugyeom menangkap dua tank militer memberangus pintu baja dengan mudahnya dan menerobos masuk, diikuti oleh puluhan hingga ratusan personel tentara berseragam hitam-hitam telah memasuki area carport.
"Oh. Terkutuklah kita semua."
08.08 p.m
Taehyung sedang bersama Jihoon beserta Jimin dan Baekhyun ketika ledakan itu terjadi.
Peringatan pertama berupa alarm yang menyerupai sirene pemadam kebakaran dibunyikan, diikuti oleh kutipan suara Won-sik.
"Mayday, mayday, mayday. Ada ledakan di dekat pintu masuk. Pintu baja lapisan pertahanan pertama sudah luluh lantak. Harap persiapkan tentara bantuan sekarang juga ke area carport. Over."
Peringatan itu melumpuhkan semua indera di tubuh Taehyung selama sekian detik. Spontan ia menarik Jihoon ke dalam pelukannya dan dua Omega lain di sisinya ikut menyempilkan diri mereka di antara Taehyung.
"Apa mereka telah mencapai tempat ini, Hyung?" sergah Jimin dengan suara yang gemetar.
"Kau tahu jawabannya, Jimin-ah," Taehyung menghembuskan napas, mengontrol kepanikan yang berkecamuk di dalam dirinya agar mereda, "Sekarang kita kembali ke kamar dan tunggu instruksi selanjutnya."
Selama perjalanan mereka ke kamar tidur, Jihoon tidak berhenti bertanya-tanya padanya sampai Taehyung harus mendiamkannya berkali-kali, tidak ingin membuat sang putra ikut ketakutan.
Seokjin muncul di ambang pintu bersamaan dengan Junghwan sesampainya Taehyung dan lain baru saja tiba di kamar mereka. Kedua Beta yang bertugas sebagai ahli medik tersebut telah lengkap dengan perlengkapan mereka.
"Kemasi barang-barang kalian, bawa yang kalian perlukan," Taehyung seperti merasakan Déjà vu sewaktu Seokjin berkata demikian. Perutnya kini bergolak oleh rasa takut, membuatnya ingin memuntahkan makan malam yang baru saja singgah di dalam saluran pencernaannya.
"Itu mereka, kan?" Baekhyun menyuarakan rasa penasaran bercampur khawatirnya, "Mereka telah sampai di tempat kita?"
"Ya."
"Seberapa banyak?"
"Cukup untuk menghancurkan tempat ini," Seokjin menjawab sejujur-jujurnya, meski ia sendiri tidak bisa memastikan berapa jumlah mereka. Ia hanya ingat bagaimana koridor telah dipenuhi oleh tentara infanteri lengkap dengan persenjataan mereka, berbaris menyongsong ke area bawah tanah. "Karena itu bergegaslah, kita pergi ke arah selatan, ke kereta bawah tanah."
Taehyung ikut menoleh pada Seokjin. "Bagaimana dengan Jungkook dan yang lain?"
"Dia dan yang lain akan menyusul selesai membereskan masalah utama. Sekarang dia harus ikut maju di barisan pertahanan pertama."
Kecemasan kian melanda relung dada Taehyung.
Omega itu kini telah sepenuhnya siap dengan setelan seragam bertugasnya dan tak lupa ia memakaikan sebuah jas pelindung ke sekeliling tubuh putranya diakhiri oleh masker. Belum sempat ia menutup wajah sang putra dengan masker, Omega itu berlutut di hadapan Jihoon dan berkata, "Jihoon-ah. Sekarang Eomma akan menggendongmu sampai kita tiba di kereta bawah tanah. Apapun yang terjadi berpegangan kuat-kuat pada Eomma, oke?"
"Kenapa kita harus pergi dari sini, Eomma?"
"Ada orang-orang jahat yang mengejar kita, Jihoon. Kita tidak boleh sampai tertangkap oleh mereka. Kau paham sekarang?"
Kedua mata Jihoon membulat, dipenuhi oleh titik-titik air mata, tapi bocah itu hanya mengangguk. Taehyung serta merta menggendong putranya menangkap jawaban yang diberikan.
Ia bersama dua Omega lainnya berlari mengikuti Seokjin dan Junghwan menuju kereta bawah tanah. Di persimpangan jalan, mereka berpapasan dengan Chanyeol, Hoseok dan beberapa tentara lainnya.
"Ke arah sini!" teriak Chanyeol pada mereka. Baekhyun serta merta berlari ke arah sang Alpha dan dibalas oleh ciuman ke dahi oleh Chanyeol. "Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Aku tidak akan membiarkan mereka mendapatkanmu ataupun yang lain."
Suara langkah kaki berdentum-dentum di sepanjang perjalanan hingga akhirnya terdengar bunyi ledakan lain secara beruntun, membuat langit-langit di atas mereka ikut berguncang disertai puing-puing bangunan yang mulai runtuh bersama timbulnya bunyi ledakan tersebut.
Taehyung mengeratkan gendongannya ke sekeliling tubuh Jihoon, membiarkan putranya tersebut melingkar lebih dalam ke pelukannya. Ia tidak boleh panik sekarang atau jika tidak kepanikannya juga akan membuat putranya ikut panik.
Baru saja mereka tiba di sebuah belokan, terdengar suara tembakan jauh di belakang mereka disusul oleh pondasi bangunan bawah tanah yang luruh tepat di depan mata. Beruntung saja mereka tidak melangkah jauh lebih depan atau jika tidak reruntuhan beton dan serpihan coran akan mengenai kepala setiap orang yang lewat di atasnya. Runtuhan tersebut menyebabkan seisi lorong bergetar dalam ritme yang cukup lama.
Belum lama semua orang berusaha memroses apa yang terjadi, tembakan kembali membahana di seisi bangunan.
"Menunduk! Semuanya menunduk! Mereka sudah tiba!" teriak Hoseok pada yang lain, mengibaskan tangannya untuk memberikan sinyal pada yang lain sembari menegapkan tubuhnya ke belakang tembok, agar para tentara lain dapat lewat. Beta itu berteriak sewaktu dua orang tentara ambruk terkena rentetan timah panas disertai semburan darah. Semburat di wajahnya menyiratkan perasaan tidak tega melihat satu persatu kawannya tumbang oleh timah panas dan mau tak mau mereka harus meninggalkan semua yang tumbang di belakang. "Tidak ada waktu lagi! Cepat, cepat!"
"Tapi bagaimana dengan yang terjatuh—"
"Kau masih mau hidup atau tidak?" Hoseok nyaris berteriak pada Jimin jika saja ia tidak melihat ekspresi ketakutan di wajah sang Omega, "Kalau iya, ikuti saja perkataanku! Kita harus segera meninggalkan tempat ini!"
Jauh di lubuk hatinya, Taehyung tidak henti-hentinya memanjatkan doa agar Jungkook selamat dari serbuan dadakan para tentara Korea Utara.
"Bagaimana dengan Jungkook-hyung, Eomma?" ia mendengar bisikan kecil Jihoon.
"Dia akan menyusul kita nanti, Jihoon," jawab Taehyung di sela napasnya yang terengah-engah.
Semoga, kumohon.
Setelah tentara terakhir berhasil berbelok ke persimpangan, Hoseok segera menutup pintu barikade dan mengeluarkan pistol tangan semi otomatis dari sarung pistol di bahunya, terus menunjuk ke arah belakang pintu barikade menggunakan moncong pistol bersama lima tentara lainnya, sementara yang lain berlari terlebih dahulu.
Beberapa ratus meter dari pintu barikade, tiga rentetan ledakan besar berhasil menghancurkan pintu barikade yang hanya terbuat dari baja. Langsung saja dari lubang menganga akibat ledakan berpuluh-puluh tentara Korea Utara berbondong-bondong keluar seperti sepasukan semut yang baru sajan mencuat dari pemukaan tanah.
Taehyung sama sekali tidak berani menoleh, takut melihat apa yang menyergap di belakang mereka.
Letupan senjata api pertama diluncurkan begitu mereka tiba di belokan lain, belokan menuju ke arah bawah tanah. Penerangan secara otomatis menyala begitu langkah kaki tentara di barisan paling depan mencapai anak tangga pertama. Di belakang mereka, irama derap kaki para tentara Korea Utara kian mendekat dan mendekat bersamaan dengan letupan senjata yang lain. Setidaknya terowongan bawah tanah yang berbentuk seperti labirin sedikit menghambat langkah para tentara Korea Utara, membuat mereka berhenti menembak secara membabi buta.
Hingga akhirnya sesudah mereka berlari di dalam labirin selama beberapa menit, tentara Korea Utara telah berhasil menyusul di belakang sembari meluncurkan tembakan.
"Tembaki semuanya kecuali Omega yang ada di antara mereka!" teriak salah seorang dari mereka pada yang lain. "Ingat apa yang dikatakan oleh Wonsu-nim!"
Di antara kebisingan bunyi tembakan, para tentara Korea Selatan berkerumun mengelilingi para Omega sebagai barisan pertahanan sekalipun mereka tahu para tentara Korea Utara tidak akan bisa menyakiti mereka. Hoseok memerintahkan sepuluh orang tentara membalas tembakan sementara ia berlari ke barisan depan, menjadi pengawal sekaligus pengarah jalan ke tempat tujuan mereka.
Melihat keadaan semakin tidak menguntungkan—melihat dua tiga orang kawannya sudah tumbang—Chanyeol akhirnya mundur ke belakang walaupun Baekhyun menahannya.
"Tidak, kau tidak boleh pergi!"
Seolah-olah tuli akan ucapan Baekhyun padanya, Chanyeol tetap menembus kerumunan para tentara Korea Selatan dan membantu tentara di belakang untuk balas menyerang. Setidaknya tanpa pertahanan lebih banyak, Alpha itu berhasil membantu kawan-kawannya menumbangkan tiga orang tentara.
Jumlah tentara Korea Utara yang seharusnya semakin berkurang, justru semakin bertambah setelah menyadari ada buruan yang mereka cari di antara kerumunan tentara Korea Selatan.
Taehyung menoleh ke belakang pundaknya, mendapati para tentara Korea Selatan kian kewalahan menghadapi gelombang rumun tentara Korea Utara yang terus berdatangan. Pada saat seorang tentara Korea Selatan melemparkan bom asap ke antara tentara Korea Utara yang hendak menyerbu, Omega itu berlari bersama dengan yang lain hingga tiba di persimpangan dan kemudian ia menghentikan langkah untuk menyerahkan putranya pada Seokjin dan berucap, "Lindungi putraku, sementara aku harus pergi menghabisi mereka."
Ucapannya tersebut sontak membuat Seokjin dan yang lain membelalakkan matanya.
"Kau bicara apa?! Kau harus tetap bersama kami!" sergah Jimin dengan kedua mata nanar.
"Mereka tidak akan berani menyentuhku, kau dengar ucapan salah satu dari mereka barusan," ujar Taehyung dengan nada penuh keyakinan. Ia menguatkan hati tatkala tangan mungil Jihoon menyergap lengan bajunya, hendak menangis. "Eomma akan kembali, Jihoon." Hoseok baru saja akan mengatakan sesuatu sampai sang Omega memotongnya, "Percayakan hal ini padaku, Hyung. Aku bisa melakukannya."
Hoseok membuka mulutnya lebar-lebar dan terpegun, lalu menganggukkan kepalanya dengan ragu-ragu. "Sekali gagal, aku sendiri yang akan menyeretmu kembali bersama kami."
Taehyung membalas ucapan sang Beta dengan senyuman kecil.
Sewaktu membalikkan tubuh, Taehyung berusaha tidak memedulikan tangisan putranya dan segera berlari ke belakang untuk menghadang barisan tentara Korea Utara bersama ketujuh rekannya yang masih hidup, termasuk Chanyeol. Ia bersembunyi di balik tembok tepat dekat persimpangan bersama ketujuh tentara lainnya dan hanya dengan saling bersitatap mata, mereka langsung tau apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
Derap langkah kaki tentara Korea Utara kian mendekat dan begitu kepala mereka mencuat keluar dari persimpangan, Taehyung melancarkan tembakan bertubi-tubi. Tiga orang tentara tumbang tepat di depan mata kepalanya. Menyadari ada tentara Korea Selatan yang sedang berjaga di dekat persimpangan, para pasukan Korea Utara perlahan-lahan berbalik mundur seraya balas menembak, sementara beberapa orang tentara lainnya memberanikan diri untuk memberikan perlawanan langsung pada tentara Korea Selatan yang berjaga.
Taehyung membantu seorang tentara menumbangkan tentara Korea Utara dengan tembakan tepat ke dahi, sebelum tembakan lain dilepaskan oleh tiga orang tentara yang hendak menjadikannya sasaran.
Ia hanya punya waktu beberapa detik untuk memutar keadaan sampai tentara Korea Utara berhasil menyeruak keluar pertahanan menggunakan tubuh rekan mereka yang mati sebagai tameng dan menyerang kembali tentara Korea Selatan. Chanyeol menyuruh mereka untuk mundur sampai seorang tentara menyergapnya ke atas tanah dengan moncong pistol tepat di antara dahinya. Taehyung baru saja hendak menyelamatkan Chanyeol sewaktu luncuran timah panas hampir mengenai wajahnya.
"Apa yang kau lakukan! Dia itu Omega yang kita cari-cari!"
Taehyung merasakan perutnya mendadak mual ketika dua orang tentara ikut menyergapnya ke atas tanah, memuntir tangannya ke belakang. Ia bisa mendengar suara teriakan kawannya di ujung lorong bawah tanah, bermaksud pula untuk menyelamatkannya juga yang lain.
"Jangan ke sini!" ia berseru panik.
Seperti yang ia khawatirkan, tentara Korea Utara berhamburan keluar dari balik persimpangan dan membedil habis-habisan tentara Korea Selatan yang bermaksud menyelamatkannya dan juga yang lain. Ia masih menyaksikan rekan-rekannnya memuncratkan darah dari tubuh mereka bersamaan dengan peluru yang bersemayam di tubuh dan kepala mereka sewaktu suara yang begitu ia kenal berkata padanya, "Kau—V, kan?"
Ia mendecih saat kepalanya tertarik ke belakang, "Apa Hyung-sik—yang menyuruh kalian ke sini? Bagaimana kalian bisa tahu—"
Minho menjambak rambutnya semakin kuat, "Kami punya sumber informan dan juga pelacak paling hebat di dunia ini, tidak sulit bagi kami untuk menemukan tempat ini." Ia menembak seorang tentara Korea Selatan yang berupaya mendekat. "Sistem penjagaan kalian di tempat ini masih lemah. Sangat lemah. Kami langsung tahu apa kelemahan di markas kalian." Alpha itu sekali lagi membuat tembakan yang memekakkan telinga. "Tenang. Aku tidak akan membunuhmu atas permintaan Wonsu-nim."
Kini tentara Korea Selatan yang semula berupaya menyelamatkan Taehyung dan yang lain, mulai kalang kabut menyelamatkan diri. Para tentara Korea Utara tidak menyia-nyiakan waktu untuk menghabisi mereka dan Taehyung meronta berusaha melepaskan diri. Chanyeol yang ada di sebelahnya pun tidak bisa berbuat banyak karena kini Alpha itu telah babak belur dihajar oleh tentara musuh tanpa ampun.
Setidaknya biarkan mereka selamat, biarkan mereka selamat—
Matanya pun menangkap tentara berpakaian seragam Korea Selatan yang perlahan-lahan memunculkan diri dari ujung lorong yang gelap—diiringi oleh tentara Korea Utara di belakang mereka—dengan moncong senjata api tepat tertuju ke arah mereka. Taehyung mengeluarkan erangan putus asa, menyaksikan putranya berada di antara kerumunan tentara Korea Selatan tersebut—masih dalam gendongan Seokjin.
"Giring mereka keluar dari sini," perintah Minho pada barisan tentara yang berhasil menyergap tentara Korea Selatan yang lain beserta para Omega buruan mereka.
Taehyung mulai ikut menangis begitu ia mendengar suara tangisan putranya. Ia berusaha membebaskan diri dari jeratan Minho setelah mendengar Alpha itu angkat bicara, "Bawa putra Hyung-sik wonsu-nim ke sini."
Seokjin memberikan perlawanan saat Jihoon direbut paksa oleh seorang tentara, mengeluarkan pistol dari balik tubuhnya sampai seorang tentara yang lain memukul wajahnya dengan siku. Beta itu tersungkur dan Junghwan beringsut membantunya. Para Omega yang lain masing-masing ditahan oleh dua orang tentara dan para tentara Korea Selatan yang tersisa termasuk Hoseok disergap hingga wajah mereka menyentuh permukaan lorong bawah tanah yang basah. Semuanya tidak berdaya, tak mampu menyelamatkan Jihoon yang telah berada di tangan para pasukan Korea Utara.
Taehyung merasakan sekujur tubuhnya seperti kehilangan kendali, ia menangis sejadi-jadinya melihat putranya pelan-pelan dibawa menuju Minho. Wajah Jihoon sudah memerah sepenuhnya, berusaha melepaskan diri dari dekaman tentara Korea Utara, yang berakhir sia-sia.
Baru saja ia berhasil menyelamatkan putranya dan kini ia harus kembali ke tangan Hyung-sik.
Ia akan kehilangan Jihoon untuk kedua kalinya. Selama ini, Taehyung terus menunggu bertahun-tahun supaya bisa dipertemukan kembali dengan sang putra, menunggu agar bisa memeluk sosok kecil itu dalam dekapannya dan bersumpah akan memperlakukan putranya tersebut sebagaimana orang tua mengasihi anak-anak mereka. Bertahun-tahun ia menunggu hingga akhirnya bisa melihat sosok Jihoon yang sulit terbenak di dalam kepalanya.
Jungkook, kau di mana Jungkook—
Laksana membaca isi kepalanya, kali ini tentara Korea Utara yang mengerubungi sepasukan tentara Korea Selatan, satu persatu jatuh diiringi bunyi dentuman laras panas. Belum sempat memberikan perlawanan, para tentara Korea Utara yang sedang bersiaga menahan serangan dadakan justru disapu habis oleh Jungkook beserta personel tentara bawahannya yang lain, tentara Yeokjuk dan juga tentara Korea Selatan.
Minho memberikan Jihoon kepada seorang tentara bawahannya, membuat Taehyung terkesiap, "Bawa anak ini ke atas," kata sang Alpha sembari menarik kerah baju Taehyung, "Kita pergi sekarang, Omega."
"Jungkook!" teriak Taehyung mewanti-wanti Jungkook yang berdiri beratus-ratus meter jauh darinya. "Jungkook! Mereka membawa Jihoon—" ucapannya terpotong karena Minho mengikatkan kain ke mulutnya lalu menyuruh bawahannya yang lain membawa Chanyeol beserta tentara Korea Selatan yang berhasil disergap ikut bersama mereka.
Jungkook menangkap ucapan Taehyung. Rasa amarah merudung wajah sang Alpha, "Brengsek—" ia menggerung sewaktu timah panas mengenai sisi tubuhnya, mengoyak seragam yang ia kenakan. "TAE!"
Percuma karena Alpha itu tidak bisa mendekat. Peluru terus ditembakkan ke seisi lorong, membuat para tentara Korea Selatan tidak bisa mengejar tanpa siasat dan rencana yang tepat. Terpaksa mereka berlindung di balik dinding, menunggu hingga tembakan mereda atau menunggu hingga para pasukan Korea Utara kehabisan amunisi—dan hal yang terakhir adalah hal yang paling mustahil terjadi.
Taehyung meratapi nasibnya. Seberapa keras ia berusaha berontak, akan ada lebih banyak usaha yang dilakukan untuk menghentikan perlawanannya. Terlebih lagi perhatiannya tidak berhenti pada Jihoon yang masih terus menangis. Ia tahu para tentara Korea Utara tidak akan menyakiti putranya tersebut, tapi ia masih waswas mengingat apa yang sudah mereka lakukan pada bocah itu selama tujuh tahun. Ia pun juga tidak mampu membayangkan kengerian yang akan muncul sesudahnya begitu mereka menyerahkan Jihoon pada sosok Hyung-sik.
Hyung-sik sudah bangun dari komanya. Siapa lagi yang bisa menitahkan mereka untuk melakukan penyerangan dadakan ke markas Yeokjuk?
"Berhenti menggeliat begitu, karena percuma saja. Kau tidak akan bisa lepas dengan mudah kali ini," bentak Minho padanya sembari menyeretnya paksa. Taehyung tak mampu membalas ucapan sang Alpha karena mulutnya tersumpal kuat-kuat oleh ikatan kain. Ia hanya menggerung sebagai jawaban. "Setelah ini, kau akan dibiakkan lagi laiknya hewan ternak dan putramu itu akan kami jadikan lagi sebagai—"
Ucapan Alpha jangkung tersebut terpotong oleh gema tembakan di area koridor diikuti oleh teriakan seorang tentara yang tersungkur ke atas lantai. Di ujung koridor, tiga orang tentara menembakkan mesin mitraliur ke arah sepasukan tentara Korea Utara, menyebabkan bunyi desingan peluru melontar ke segala penjuru.
Belum sempat Minho memberi aba-aba pada bawahannya untuk mencari tempat berlindung, dua orang tentara berseragam Korea Selatan menyergap dan berhasil merebut Taehyung darinya. Pada saat yang sama, sudut mata sang Omega masih tertuju pada sang putra yang semakin intens berjuang melepaskan diri. Kali ini Jihoon tidak tanggung-tanggung menggigit tangan Beta yang menggendongnya, membuat pria itu berteriak kesakitan sementara seorang temannya berniat membantu dengan berusaha mengambil Jihoon.
Melalui instingnya, Taehyung berlari ke arah Jihoon, membeliakkan mata begitu menangkap seorang tentara hendak menembakkan pistol di belakang kepala putranya. Ia hanya bisa berteriak—
Dan terdengar bunyi tembakan.
Bunyi letupan senjata api itu membuat sekujur tubuhnya dari atas kepala hingga ujung kaki terasa seperti aliran air yang hendak menggenang di atas lantai. Muncratan darah mengenai wajahnya dan Taehyung membentangkan kedua tangan, menangkap tubuh Jihoon yang terlepas dari gendongan tentara musuh yang sebelumnya membawa tubuh sang bocah.
"Jihoon? Jihoon-yah?" ia mengguncangkan tubuh putranya yang mendadak jatuh lemas di dalam dekapannya. Hatinya berdegup kencang karena ia hanya mendengar rintihan kecil dari mulut Jihoon di antara bising deru timah panas.
Ia meraba-raba seluruh tubuh Jihoon, berusaha mencari sumber luka yang timbul di tubuh putranya tapi tidak menemukan apapun sampai kemudian dua tubuh tentara yang melarikan Jihoon ambruk di depan mukanya sendiri, bergenangan darah.
"Dia baik-baik saja?"
Kini berdiri sosok Woojin di depannya, sama-sama bermandikan darah. Ekspresi anak itu tampak tenang, tidak menyiratkan sedikit kepanikan pun setelah ia menembak mati dua orang manusia sekaligus.
Taehyung menelan ludahnya dan menggelengkan kepala. "Gamsahamnida," ia berucap lirih.
Di pelukannya, Jihoon jatuh pingsan. Ia tahu putranya masih hidup lewat helaan napas di cerukan lehernya, membuatnya merasa lega berjuta-juta kali lipat. Tidak seharusnya ia meragukan segala tindak tanduk Woojin setelah anak itu berhasil menyelamatkan putranya di depan mata kepalanya sendiri.
Mark datang menghampirinya dan mengawalnya kembali pada kawanannya yang lain, meninggalkan barisan personel tentara lainnya berhadapan dengan kawanan tentara musuh yang kian berdatangan, berniat memukul mundur. Chanyeol yang sebelumnya juga ikut tertangkap bersama yang lain, sekarang ikut bersama mereka. Dua orang rekan mereka yang baru saja berusaha membantu mereka menahan tentara Korea Utara, terkapar tak berdaya setelah tanpa sengaja ikut tertembak bersama tentara Korea Utara lainnya.
"Kami tahu ide yang buruk untuk menembak secara membabi buta seperti tadi, tapi tanpa pengorbanan maka tidak akan ada yang bisa kami selamatkan," kata Mark menjelaskan situasi.
Butuh waktu tiga menit untuk sampai di lorong bawah tanah yang berisikan gelimangan jasad para prajurit musuh maupun kawan, serta kumpulan rekan-rekannya yang masih hidup. Jungkook berlari menyambut Taehyung, memeluk Omega itu erat-erat sampai Taehyung mengingatkannya kalau ia sendiri sedang menggendong Jihoon yang tak sadarkan diri.
"Aku kira terjadi sesuatu pada kalian di sana—" air mata tumpah ruah di wajah Jungkook. Ibu jarinya bergerak untuk mengusap kepala mungil Jihoon di pundak Taehyung, "—maafkan aku tidak bisa menyelamatkan kalian. Aku masih lemah—"
"Jungkook, kami baik-baik saja. Jihoon pun hanya pingsan, sepertinya karena ia kaget mendengar suara tembakan dekat di telinganya. Jangan menangis begitu, babo." Taehyung mengusap wajah sang Alpha yang beruraian airmata, "Sekarang hentikan air matamu itu, karena kita masih harus melarikan diri dari tempat ini."
Jungkook mengusap air matanya sendiri menggunakan punggung tangan, "Kalau sekali lagi sampai sesuatu terjadi padamu—"
"Tidak akan," Taehyung berusaha menenangkannya, "Sekarang rencana kita adalah keluar dari sini dengan selamat, kan?"
Mendengar ucapan sang Omega, Jungkook kembali memasang tampang serius dan memanggil Hoseok ke sisinya. "Ada tiga jalur menuju ke lintasan kereta bawah tanah di tempat ini. Kita akan mengambil jalur paling aman dan sisanya akan membuat jebakan kalau-kalau ada tentara Korea Utara yang mengambil jalur tersebut. Aku akan membagi kita menjadi lima kloter karena akan berbahaya jika kita pergi ke sana beramai-ramai. Hobi-hyung akan ikut bersama kloter pertama yang berisikan Omega dan empat puluh orang tentara, termasuk dua tentara medis utama. Masing-masing kloter berikutnya terdiri dari kurang lebih enam puluh tentara dan dua sampai tiga tenaga medis bantuan. Paham?"
Tanpa perlu banyak pertanyaan, mereka saling menentukan kloter masing-masing. Taehyung menyayangkan Jungkook yang harus berpisah dengannya dengan tujuan hendak membuat jebakan di lorong lain sehingga menghambat gerakan para tentara musuh. Meski demikian, ia sama sekali tidak memprotes keputusan sang Alpha dan bergegas bersama kawanannya di kloter pertama menuju tempat tujuan akhir mereka.
Terakhir sebelum Taehyung bersama yang lain berpisah jarak, Jungkook mencium kening sang Omega dan mencium wajah Jihoon. "Tunggu aku, Tae."
Taehyung terkesiap. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun mengenal Jungkook dan juga setelah beberapa minggu menerima hadiah klaim dari sang Alpha, Jungkook memanggilnya tanpa embel-embel apapun. Ada perasaan berat harus melepaskan sosok Jungkook darinya walau hanya sebentar yang sempat singgah di dalam dadanya. Mau tak mau, Taehyung balas mencium di hidung sang Alpha, "Aku akan menunggumu di sana."
Matanya tidak sempat melihat Jungkook untuk terakhir kalinya karena Alpha itu sendiri segera bergegas pergi diikuti oleh barisan tentara yang lain.
8 Desember 2045, Sariwon District, Hwanghae Province, North Korea
04.43 a.m
Jungkook memimpin tentara bawahannya ke tempat yang sekiranya akan dilewati oleh tentara Korea Utara. Pasukan militer negara komunis tersebut kini telah bertebaran di seluruh penjuru markas Yeokjuk, mengepung bangunan yang telah bertahun-tahun dijadikan tempat bernaung para kelompok pemberontak akan pemerintahan Korea Utara yang cenderung bersifat diktator. Gema langkah kaki yang jelas-jelas bukan milik langkah kaki tentara Korea Selatan maupun tentara Yeokjuk masih terus bertambah banyak dan kemudian keheningan yang cukup lama membuat mereka semakin waspada.
"Kita akan memasang bom di sini," kata Jungkook. Ia menunjuk pada Jaebeom, "Hyung, kau tahu tentang cara membuat jebakan seperti Chanyeol-hyung, kan?" ia melihat Alpha itu mengangguk. "Bagus, sekarang aku juga butuh tenaga bantuan untuk membantunya memasang jebakan. Lalu sisanya, aku butuh setidaknya sepuluh orang untuk bersiaga di sekitar sini dan memastikan tidak ada musuh yang masuk ke ruang lingkup kita."
Selesai memaparkan rencananya, Jungkook mengawasi para personel tentaranya mengikuti arahan yang telah ia buat. Mereka bergerak menyebar, mulai memasang jebakan yang terdiri dari kawat, bubuk mesiu, kabel listrik, dan lain sebagainya sebagai lapisan pertahanan. Kloter lain yang dipimpin oleh Yoongi mulai menyebar di belakangnya, ikut membantu memberi tenaga bantuan. Butuh waktu setidaknya hampir satu jam untuk mempersiapkan semua jebakan dan juga sudah ada setidaknya sepuluh tentara musuh yang telah masuk ke dalam area mereka.
Selama Jungkook masih sibuk mengawasi para tentara Minguk bekerja, Yoongi mengotak atik frekuensi sinyal di smartwatch miliknya, bermaksud menghubungi Hoseok. Jungkook pun mengalihkan atensinya pada Yoongi dan ikut menunggu balasan sinyal transmisi. Tak lama kemudian smartwatch milik Yoongi mulai berpendar dan menampakkan cuplikan hologram yang menampilkan wajah Hoseok.
"Hobi, kalian sudah sampai?"
"Hyung, kami sudah sampai di stasiun bawah tanah sejak kurang lebih empat belas menit lalu," Hoseok menerangkan.
"Bagaimana keadaan di sana?"
"Sejauh ini kami sudah memeriksa gerbong mana saja yang bisa digunakan dan lok yang masih berfungsi. Semuanya cukup untuk membawa kita ke tempat yang aman."
Jungkook ikut ambil andil dalam percakapan mereka, "Bagus. Sekarang kalian persiapkan gerbong dan juga lok yang kondisinya paling baik dan tunggu di dalam sana."
"Roger."
Komunikasi terhenti bertepatan dengan bunyi benda terjatuh tidak jauh dari daerah jangkauan mereka disusul bunyi lenguhan manusia. Jungkook menoleh dan menemukan tiga orang tentaranya luruh ke atas lantai diikuti darah menggenang di sekitar mereka.
"Brengsek, mereka sudah sampai di sini!" bisik Yugyeom panik di sebelahnya.
Jungkook memberi komando agar seluruh pasukannya mengangkat senjata dan baru saja bibirnya hendak berucap kata 'tembak', ia mendengar suara tembakan merungsing di sekelilingnya.
"Menyebar! Semuanya menyebar!"
Satu tangannya bergerak ke sarung bandolier yang ia kenakan, mengambil salah satu tabung berisi bom asap di dalamnya dan melontarkannya ke arah kawanan berseragam coklat khaki khas militer Korea Utara. Beberapa orang tentara Minguk mengikutinya dan melemparkan bom asap beserta gas air mata, membuat seisi lorong dipenuhi oleh kabut asap berwarna putih yang kian menyesaki seisi ruangan.
Tembakan berkali-kali dilepaskan dan Jungkook memerintahkan pasukannya mencari tempat berlindung dan menunggu.
Kali ini hanya bisa bergantung pada jebakan yang telah mereka buat.
Sesuai yang ia harapkan, terdengar teriakan diikuti oleh suara letupan senjata api. Para tentara Korea Utara yang semula percaya diri hendak menghabisi tentara Minguk yang tersisa, kelabakan menghadapi serangan kejutan yang terus berdatangan. Sebagian dari mereka tersetrum oleh jebakan listrik tegangan tinggi, sebagian salah menginjak jebakan yang membuat mereka harus menerima tembakan bertubi-tubi dari mesin mitraliur, dan sebagian lagi harus menerima impas dari ledakan granat yang ditanam di sepanjang lantai.
"Sekarang mundur!" teriak Jungkook memberi instruksi di sela-sela kepanikan para tentara musuh, "Kloter yang baru datang langsung mundur ke belakang! Berkumpul di titik tujuan!"
Para tentara Korea Utara yang selamat dari jebakan membawa lebih banyak pasukan berlari mengejar kelompok Minguk, barisan tentara paling belakang membantu melepaskan tembakan. Setidaknya lemparan bom asap dan gas air mata membantu menghalangi penglihatan tentara musuh dan menyulitkan mereka membidik secara tepat sasaran. Begitu semua pasukan berhasil menghilang dari sudut pandang tentara Korea Utara, Jungkook membawa mereka kembali ke stasiun bawah tanah.
Awalnya mereka mengira Korea Utara akan lama menyusul mereka karena bantuan bom asap dan gas air mata, dan karena kenaifan mereka tersebut mereka lupa kalau pasukan Korea Utara selalu jauh lebih sigap dan lebih handal dalam menghadapi hal tidak pelik seperti ini. Pada waktu Jungkook melempar pandangan ke belakang, ia melihat pasukan Korea Utara telah siaga mengenakan masker gas mereka.
Para pasukan Korea Utara yang paling depan tiba-tiba berhenti mengejar dan mengeluarkan senjata dari balik punggung, bersiap menembak. Lajur koridor yang lurus membuat satuan tentara Minguk sulit melarikan diri mereka. Kali ini tembakan yang dilancarkan mengenai tubuh para tentara yang berlari di barisan belakang, membuat efek domino bertimbulan di antara pasukan tentara Minguk yang masih berusaha melarikan diri dan memperlambat ruang gerak dia antara semua orang.
Jarak yang semakin pendek tersebut kemudian dimanfaatkan oleh tentara Korea Utara untuk menyerbu para tentara Minguk. Baku hantam pun tak terelakkan. Selisih jumlah yang begitu besar, membuat Jungkook dan rekan-rekannya yang masih hidup kewalahan. Jungkook masih bersikeras membawa mereka ke stasiun bawah tanah, tapi di lain sisi ia tahu justru hal itu akan membuat keselamatan para Omega dan yang semua rekan-rekannya jadi terancam.
Pikiran Jungkook mulai kalut, berterbangan entah ke mana, saling campur aduk.
Kalau ia terus melarikan diri, hal itu sama saja seperti mengawal musuh ke sarang mereka, dan Jungkook tidak ingin para pasukan Korea Utara mencapai tempat itu.
Mereka hanya berjarak beberapa ratus meter di mulut stasiun bawah tanah.
Seolah-olah menyongsong kedatangan Jungkook, Taehyung bersama tentara lainnya yang sudah menunggui mereka tepat di mulut stasiun.
Kenyaman rasa takut mulai menjalar di sekujur tubuh Jungkook. Ia ingat persis bagaimana ia menyuruh para tentara yang telah tiba di stasiun bawah tanah agar segera menaiki gerbong dan menunggu sampai tentara lain yang masih berada di luar tiba di sana, "Apa yang kalian lakukan?! Segera naik ke gerbong—"
Matanya sempat mengambil cuplikan sebuah bom dinamit berukuran sekepalan orang tangan dewasa terbang tepat di atas kepala semua orang sebelum terperosok tepat di dekat mulut stasiun—dekat dengan tangga eskalator yang sudah tidak dijalankan selama bertahun-tahun.
Biasanya ledakan yang disebabkan oleh dinamit tidak akan berimbas besar terhadap target yang berada jauh dari jangkauan ledakan, tapi mengingat dinamit yang baru saja dilemparkan oleh tentara Korea Utara tersebut memiliki desain yang aneh—berwarna putih, berukuran kecil, dan terdapat sebuah timer digital yang melekat di tubuh peledak itu—menunjuk pada waktu 3 detik sewaktu menyentuh permukaan lantai.
Kemudian seisi bangunan mendadak berguncang hebat, jauh lebih kuat daripada guncangan akibat ledakan sebelum-belumnya. Jungkook melihat sosok Taehyung berteriak ke arahnya tapi telinganya terus berdenging dan asap berwarna putih mulai menyelimuti semua pemandangan—termasuk membungkus wajah Taehyung—hingga akhirnya asap putih tersebut digantikan oleh runtuhan puing yang berasal dari struktur langit-langit bangunan.
Jungkook ikut terpental dari tempat ia berpijak bersama dengan rekan-rekannya yang lain. Para tentara yang berdiri paling dekat sumber ledakan, hancur lebur menjadi potongan-potongan tubuh yang separuhnya berwarna hitam akibat suhu yang tiba-tiba meningkat dan sebagian lagi berwarna merah akibat noda darah.
Langit-langit di atas kepala mereka masih belum berhenti dihujani dengan lebih banyak puing-puingan batu, plat, dan segala jenis runtuhan lainnya, termasuk ikut melukai para tentara Korea Utara.
Tubuh Jungkook terasa remuk redam tatkala tubuhnya tertimpa oleh jasad teman-temannya yang kehilangan nyawa akibat dari ledakan sekaligus terpental ke atas lantai beton. Sebagian penglihatannya terhalang oleh genangan darah kawannya sendiri dan sebagian lagi menangkap suasana remang bawah tanah. Kala itu pikirannya masih melayang pada Taehyung yang berdiri tidak jauh dari sumber ledakan. Ia merasakan sesuatu dalam dirinya bergolak oleh rasa amarah. Ia tidak mampu membayangkan apa yang terjadi pada sang Omega setelah ledakan itu terjadi.
Semua tentara Korea Utara kini mulai merajalela di antara timbunan mayat-mayat tentara Minguk, menembaki tubuh-tubuh mereka yang sudah tidak bernyawa. Serta merta, Jungkook mengambil senapan panjang yang teronggok tepat di sisi tubuhnya dan mengangkat diri, mengejutkan kawanan tentara Korea Utara yang sedang memeriksa keadaan sekitar. Ia mulai menembak dan berteriak keras-keras, memberitahukan keberadaannya pada musuh.
Rentetan tembakan diarahkan pada Alpha itu, tapi Jungkook terlalu lihai dan cekatan bagi mereka. Alpha itu menggunakan jasad kawannya sebagai perlindungan sementara satu tangannya bergerak menembaki musuh tepat di leher dan masker gas mereka. Tanpa ia sadari, satu persatu rekannya mulai menampakkan diri mereka dan ikut menembak sebagai perlawanan.
Suntikan adrenalin kini melebur di sekujur tubuh Jungkook, memberinya energi baru. Ia menembak seperti kesetanan, menembak semua tentara musuh yang dapat ia lihat. Tangannya selalu cekatan dalam mengisi amunisi dan mengganti jenis pistol, sudah hapal akan segala jenis persenjataan yang pernah ia gunakan sebelumnya. Tentara Korea Utara yang semula tampak pongah mengira telah bersambut dengan kemenangan, kini mulai menampakkan gestur ragu-ragu menghadapi Jungkook. Jungkook memanfaatkan kesempatan dengan menembak wajah mereka. Ia seperti dilindungi oleh sesuatu yang tak kasat mata, bahkan peluru yang sempat menoreh pipi dan juga lengannya sama sekali tidak terasa sakit. Ia terus bergerak maju, bermaksud menuntas habis semua tentara musuh yang berada satu ruangan dengannya.
Cedera di pundaknya yang berdenyut ngilu bahkan tidak cukup menyadarkan Jungkook dari amukannya.
Lalu tiba-tiba sekelompok Alpha menyerang, menyergap Jungkook dari segala arah dan menahannya ke atas tumpukan bangkai kawan-kawannya. Jungkook memberontak sekuat tenaga, merasa amarahnya masih meluap-luap. Ia menarik kepala seorang Alpha, memberangusnya kuat-kuat dalam satu puntiran, lalu menembak satu kepala Alpha lain. Dua Alpha yang masih tersisa menembakinya, mengenai bahunya, tapi Jungkook berhasil melucuti pistol Alpha itu dengan satu tendangan kuat di bawah siku, lalu menembak leher sang Alpha. Alpha terakhir yang menyerangnya berusaha untuk kabur, tapi Jungkook menahan Alpha itu dengan mencekik lehernya—mengadu punggung sang Alpha yang telah tidak berdaya dengan permukaan bata yang sudah hancur akibat ledakan.
Jungkook bisa melihat bayangannya sendiri terpantul di dua kaca film yang menutupi mata sang Alpha, memberikan gambaran bagaimana penampilannya saat ini. Ia bermandikan darah, dan sorot matanya terpancar bengis, sama sekali bukan seorang Jungkook yang selama ini sering ia lihat di balik cermin.
Taehyung akan ketakutan kalau melihat sosokku yang seperti ini—
"Kalian akan membayarnya," desis Jungkook marah, mengencangkan cengkeramannya di leher sang Alpha, "Kalian sudah membunuh Omegaku, brengsek. Kalian akan membayarnya—" ia mendengar bunyi tembakan tepat di belakangnya sampai Jungkook membalikkan diri dan menjadikan tubuh sang Alpha sebagai tameng yang melindungi dirinya.
Ia melempar tubuh Alpha yang kini sudah tak bernyawa tersebut ke hamparan jasad rekannya dan berlari menerjang tentara Korea Utara yang jumlahnya hanya mampu dihitung jari. Ia masih merasa marah, ingin membalas dendam.
Dengan ledakan sedahsyat itu, tidak mungkin Taehyung selamat.
Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Taehyung berdiri di dekat mulut stasiun, dan bagaimana Omega itu mulai terbungkus oleh asap putih sebelum runtuhan besar fiberglass dan batu pondasi memisahkan mereka.
Hatinya tidak terus berdebar-debar oleh rasa takut menerima kenyataan ia tidak akan pernah bisa lagi melihat sosok Taehyung dalam hidupnya. Bagaimana kalau Taehyung benar-benar mati dan meninggalkannya? Juga meninggalkan Jihoon? Padahal Jungkook telah berjanji akan melindungi keduanya, berjanji kalau setelah ini mereka akan hidup sebagai sebuah keluarga.
Bualan. Semuanya hanya bualan.
Padahal baru tadi pagi ia bertatap muka dengan sang Omega, terlibat dalam percakapan singkat, dan, dan—
Sekarang bukan darah yang jatuh membasahi wajahnya, melainkan air matanya sendiri. Jungkook jatuh berlutut di hadapan orang terakhir yang telah ia bunuh, menangis sejadi-jadinya.
Ia telah gagal, telah gagal melindungi orang terpenting dalam hidupnya.
Orang yang paling ia cintai di seluruh dunia.
Baru saja ia mendapatkan orang paling berharga itu, yang menjadi bagian dalam hidupnya, menjadi harta karun paling mahal di dalam hatinya, dan semudah itu Jungkook melepaskannya.
"Aku akan menunggumu di sana."
Hampir saja Jungkook memuntir tangan orang yang memegang pundaknya jika ia tidak mengenali suara tersebut sebagai milik Yoongi. Ia menghentakkan kepalanya pada sang Alpha bersurai perak tersebut, menggertak penuh amarah.
Yoongi balas menggertak dan meninju wajah Jungkook keras-keras, "Sadarkan dirimu, sialan!" pekik Yoongi tepat di telinganya. "Kau sudah menghabiskan lebih dari separuh tentara Korea Utara sendirian dan sekarang kau hampir saja membunuh rekanmu sendiri!"
"Bagaimana kalau aku juga ikut mati bersama mereka?!" balas Jungkook tak kalah sengit, "Tae—mereka membunuh Tae—"
Beberapa orang tentara berusaha melerai mereka, tetapi tampak ragu-ragu untuk ikut campur tangan— termasuk Yugyeom. Beta itu menatap ke arah Yoongi dan Jungkook satu persatu, gelagapan, "Hei, hyung—"
Merasa tidak senang dengan sikap yang ditunjukkan oleh Jungkook, Yoongi menarik kerah baju Alpha itu dan mendekatkan wajahnya ke muka Jungkook, "Dengarkan aku baik-baik, Kook-ah. Ini adalah medan perang, semuanya sudah pasti akan ada yang mati—"
"Kita harus kembali ke sana! Kita harus membongkar semua reruntuhan itu dan menyelamatkan mereka—"
"Kau gila?! Bagaimana kita bisa membongkar semua bebatuan itu di saat-saat lebih dari lima kompi sedang mengepung markas kita?!"
Yoongi tidak menghindar sewaktu Jungkook berbalik meninju wajahnya. Ia sempat mengaduh keras, memegangi wajahnya yang sebagian berlumuran darah dan kini berhiaskan bekas luka tinju milik Jungkook.
"—Jangan egois, brengsek! Kau ini adalah pemimpin kita saat ini! Kalau kau tetap seperti ini dan memilih untuk mati, apa kau tidak mau memikirkan apa yang akan terjadi pada kami semua? Kami ini masihlah rekan-rekan yang berjuang di jalan yang sama denganmu, kami ini juga anggota keluargamu!"
Begitu ia mendengar kata keluarga, Jungkook kembali membeliakkan mata seolah-olah sesuatu telah menamparnya keras-keras. Ia melempar pandangan ke arah Yoongi, kali ini telah sepenuhnya sadar dengan apa yang barusan ia perbuat. Hatinya masihlah terpusat pada Taehyung dan juga Jihoon, tapi sewaktu ia menyadari Yoongi masih tersungkur di atas lantai bersama Yugyeom dan Won-sik yang berusaha membantunya bangkit, Jungkook langsung dilanda perasaan bersalah.
Ia mengulurkan tangannya pada Yoongi dan ditolak mentah-mentah oleh Alpha berpostur lebih pendek itu, "Astaga, hyung, aku—aku—aku tidak bermaksud—"
"Kau memang sudah memukulku dan hampir membunuh seorang rekan kita, Kook-ah. Hal itu sudah terjadi tadi," Yoongi meringis memegangi wajahnya yang sedikit lebam akibat pukulan kuat Jungkook, "Itu adalah kesalahan terbesar yang pernah kau lakukan sebagai seorang pemimpin. Seharusnya kau bisa sepenuhnya mengendalikan diri dan bertanggung jawab atas segala tindak tandukmu."
Di kala rasa bersalah kian menyergapnya, Jungkook kembali awas dengan keadaan di sekelilingnya tatkala ia mendengar suara seruan seorang tentara yang jelas-jelas bukan anggota tentara Minguk.
Membuang pikiran jauh-jauh tentang Taehyung dari benaknya, Jungkook pun memberi aba-aba pada para prajurit yang tersisa untuk mengikutinya melalui lorong yang masih melompong dari serbuan pada tentara Korea Utara dan membawa mereka naik ke permukaan.
Menjauh dari mulut pintu masuk menuju jalur kereta bawah tanah.
Ada lima orang tentara musuh yang kebetulan berpapasan dengan mereka dan begitu saja Jungkook beserta dua orang tentara yang membantunya berhasil mengabisi mereka, menyembunyikan jasad mereka di sudut lorong yang sulit dijamah.
Sebersit pikiran yang mengingatkan kalau Taehyung mungkin saja telah mati masih terus berkelebatan di kepala Jungkook dan Alpha itu terus berusaha menghalangi pikiran tersebut untuk terus bermunculan.
Di antara ketegangan yang masih belum padam, Jungkook memanjatkan doa pada sang pencipta yang dulu selalu ia tolak mentah-mentah keberadaannya—meminta.
Buatlah malaikat pelindung Jihoon baik-baik saja, buatlah dia terbebaskan dari segala kesulitan, Yesu-nim.
Entah dari mana, berulang kali ia memanjatkan isi doa yang sama, Jungkook perlahan-lahan merasakan dirinya mulai tenteram.
Sedikit keyakinan kalau Taehyung masih hidup mulai timbul di dalam benaknya.
Taehyung masih hidup. Taehyung masih hidup.
Mereka baru sampai di area basemen di mana terdapat hangar dan carport bawah tanah yang berfungsi memuat beberapa kendaraan militer—yang hanya digunakan dalam keadaan darurat.
Untuk mengantisipasi adanya tentara musuh yang melihat pergerakan mereka, Jungkook memberi perintah agar mereka bergerak dalam satu regu setiap kali berpindah tempat, persis yang dilakukan sebelumnya.
Sudah ada setidaknya satu peleton yang berjaga di bawah sana, berjaga-jaga melihat keadaan sekitar. Beberapa di antara mereka juga sibuk memeriksa isi kendaraan satu persatu, mewanti-wanti apabila mereka melihat ada tentara musuh yang kebetulan mengendap di dalam sana.
Pandangan Jungkook terpaku pada satu buah LUV, dua buah panzer dan tiga buah truk militer AFV. Hatinya mencelos menyadari ia tidak akan bisa membawa semua pasukan batalion yang tersisa menaiki kendaraan militer tersebut.
Jaebeom yang sepertinya sudah tahu dengan apa yang ia pikirkan, langsung angkat bicara, "Kita tidak bisa semuanya muat di semua kendaraan itu."
Jungkook menelan ludahnya dengan susah payah, "Kita pikirkan cara lain. Atau mungkin kita bisa ke hangar yang lain—"
Won-sik kali ini menyahut, "Kita tidak punya waktu, daewi. Kau sudah lihat bagaimana setidaknya ada satu resimen sudah berada di tempat ini, mengepung kita. Bahkan mereka juga memasang bom di setiap struktur markas. Mereka punya rencana untuk menghancurkan basis kita."
Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, sama kencangnya seperti ketika ia harus membayangkan kenyataan kemungkinan Taehyung mati akibat ledakan di bawah tanah sangatlah besar. Ia menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya, "Sekarang, berapa jumlah kita?"
Semua mata saling tertuju pada satu sama lain, menghitung keberadaan masing-masing dan berembuk menentukan hasil akhir.
"Seratus dua puluh tujuh orang," Jinyoung menjawab pertanyaannya.
"Berapa jumlah prajurit yang memungkinkan untuk diangkut?"
"Kurang lebih hanya delapan puluh orang."
"Itu artinya harus ada yang tinggal di sini," kata Yoongi menyimpulkan. Ia terdengar mengatakannya tanpa beban, kecuali ekspresinya mengatakan yang sebaliknya. Alpha itu terlihat ikut sama putus asanya seperti Jungkook.
Tidak sedikit dari mereka yang mulai menyuarakan kepanikan, tidak ingin ditinggalkan di bangunan yang sekarang sudah menjadi sarang tentara Korea Utara. Siapapun yang ditinggalkan di tempat ini, akan dihadapkan pada pilihan harus melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan ataukah mereka harus rela ditangkap dan dijadikan tahanan serta bahan percobaan di Pyongyang. Tidak akan ada siapapun di antara mereka yang rela begitu saja mengajukan diri sebagai orang-orang yang ditinggalkan begitu saja sementara yang lainnya bisa merasa tenang karena diri mereka bisa kabur dengan mudah.
Dan ia pun mau tidak mau tidak akan mungkin menetap di basis Yeokjuk. Bagaimanapun juga ia adalah kepala dari kumpulan satuan prajurit Yeokjuk dan Korea Selatan yang kini melebur menjadi satu nama; resimen Minguk. Kalau sampai terjadi sesuatu pada Jungkook, maka sama saja seperti melumpuhkan pergerakan para tentara Minguk.
Jungkook menjatuhkan dirinya ke atas lantai dan mengusap wajahnya berulang-ulang, menyumpah-nyumpah pelan, frustasi atas pilihan yang harus ia hadapi. Belum cukup ia berdilema dengan kenyataan ia baru saja meninggalkan pasangannya tanpa tahu apakah Omega itu masih hidup atau tidak, Jungkook kembali dihadapkan pilihan harus meninggalkan beberapa tentara yang telah membahunya terjun ke medan perang.
"Bagaimana kalau kita mengambil undian?" kata Won-sik menyarankan. Wajah Beta itu sama pucatnya dengan yang lain, sama-sama berputus asa. Setidaknya otaknya masih dapat mencerna situasi dengan tenang. "Yang beruntung akan keluar dari tempat ini dan yang gagal harus tetap tinggal, mau tidak mau. Kecuali kita menjemput kembali mereka yang masih di sini."
Jungkook menggeleng keras-keras, "Tidak, tidak. Kita tidak bisa meninggalkan siapapun di sini. Jika kita semua berjumlah seratus dua puluh tujuh orang, maka seratus dua puluh tujuh orang itu juga harus keluar dari tempat ini. Kita sudah kehilangan banyak pion dalam perperangan ini, dan semakin kita kekurangan orang, kemungkinan kita bertahan hidup dari serangan musuh di luar juga akan semakin sulit."
"Lalu pilihan lain apa yang kau tawarkan?" tanya Yugyeom, menatap Jungkook dengan tatapan menelisik.
Jungkook hanya bergeming.
"Tidak apa-apa," semua kepala tertuju pada Jinyoung yang serta merta menegakkan diri di antara kumpulan tentara. "Kalau di antara kita tidak ada yang bersedia untuk ikut, aku akan mengajukan diri sebagai yang tetap tinggal di sini." Beta itu mengedarkan pandangan pada sekelilingnya. Perhatian mereka terpotong sesaat sewaktu terdengar suara langkah kaki mendekat dan kemudian menjauh di sekitar area hangar yang mereka singgahi.
Semua kepala di sana memandangi Jinyoung, menerka-nerka jika Beta itu sudah kehilangan kewarasannya karena tidak ada satu orang pun selain dia yang rela ditinggalkan mati di bekas markas mereka yang kini telah berubah fungsi menjadi sarang kematian.
"Kau?" Jungkook ikut menegakkan dirinya, bertatap muka dengan Jinyoung. "Tapi—kau—kau tidak gila menawarkan dirimu sebagai tumbal di tempat ini?"
"Siapa bilang aku mau dijadikan tumbal?" Jinyoung berbalik tanya, "Aku hanya ingin mengajukan diri untuk berjuang lebih lama di sini. Tempat ini adalah rumah lamaku sejak Seojoon-daewi membawaku ke sini. Aku sudah tahu seluk beluk di tempat ini yang tidak diketahui semuanya oleh tentara Korea Utara, aku bisa bertahan hidup di tempat ini dengan memanfaatkan pengetahuan yang kumiliki di sini."
"Tetap saja—Jinyoung-hyung, tempat ini sekarang menjadi tempat berbahaya bagi kita semua—"
"Kau masihlah anak-anak, daewi. Masih belum sematang Seojoon-daewi, masih belum bisa memberi keputusan tanpa ragu sedikitpun." Jinyoung tersenyum kecut. Sudut senyumannya mengesankan jika ia sedang merendahkan Jungkook. Bukannya merasa tersinggung, Jungkook tetap diam di posisi ia berdiri, mendengarkan dan menunggu penuturan Jinyoung selanjutnya. Bahkan ia memberi sinyal pada seorang prajurit yang hendak membuka mulut untuk berdebat dengannya agar segera mengurungkan niat dan tetap mendengarkan perkataan Jinyoung selanjutnya. "Jika Seojoon-daewi ada di sini, sudah pasti dia akan meninggalkan setidaknya satu peleton di sini jika memang hanya pilihan itu yang bisa menyelamatkan keadaan."
"Lalu apa yang akan kau lakukan di sini?" cecar Yoongi, ia juga tampak tidak menyenangi pilihan yang telah dihadapkan ke muka mereka. "Menunggu sampai ada yang menyelamatkanmu di tempat ini? Atau mau berjuang seperti orang bodoh dan menyesal begitu mati?"
"Aku tidak akan mati tanpa perlawanan, sudah kubilang," Jinyoung mengucapkan perkataannya dengan lebih mantap dan tegas sembari mengisi amunisi senapan di tangannya, "Ada banyak tempat di sini yang tidak diketahui oleh tentara Korea Utara mengenai tempat ini. Sekalipun mereka berusaha menghancurkannya, bangunan ini akan tetap berdiri pada tempatnya. Itulah alasan Seojoon-daewi membangun markas Yeokjuk di sini dan melengkapinya dengan perlengkapan khusus. Juga, aku adalah prajurit terlatih. Aku tidak boleh sampai takut mati demi kepentinganku sendiri."
Ucapan Jinyoung seperti menyadarkan sebagian tentara Yeokjuk. Ekspresi ketakutan dan panik di wajah mereka tergantikan oleh kepercayaan diri yang sebelumnya pernah Jungkook lihat setiap kali mereka akan menghadapi sebuah misi kecil-kecilan.
"Aku akan menemani Jinyoung," seorang tentara dari Yeokjuk yang Jungkook kenali sebagai Changmin dan dua orang temannya ikut di belakangnya, mengangkat senjata.
Jungkook masih merasa rela menerima pilihan meninggalkan satu peleton orang-orang yang telah berjasa meluangkan waktu dan tenaga mereka selama ia menjabat sebagai pemimpin Yeokjuk di sini. Berseberangan dengan ekspetasinya, sepuluh orang kembali mengajukan diri mereka agar tetap tinggal mengikuti Jinyoung dan yang lain. "Apa kalian benar-benar akan benar tinggal? Aku tidak ingin ada satupun dari kalian merasa terpaksa berada di sini—"
"Apalagi yang kau cemaskan, daewi? Bahkan setelah berbulan-bulan melanjutkan darma Seojoon-daewi memimpin kami semua, kau masih meragukan kemampuan kami semua?"
Helaan napas yang ia tarik begitu sulit untuk dikeluarkan kembali bagi Jungkook. Alpha itu mengepalkan kedua tangannya dan setelah berkontemplasi melawan isi kepalanya sendiri, Jungkook membuka mulutnya dan menarik keputusan.
"Baiklah. Para tentara yang tinggal di sini, aku harap kalian bisa menjaga diri kalian. Aku memang tidak pernah berbicara dua mata dengan satu persatu dari kalian, aku tidak pernah mengenal kalian begitu dekat. Tapi hari ini, kalian akan menjadi sosok yang tidak terlupakan," Jungkook menggertakkan giginya, berusaha menekan egonya yang kian meluap-luap. Ia tidak boleh seterusnya plin plan, ia haruslah segera membuat keputusan ketika begitu banyak nyawa bergantung padanya.
Matanya bergerak satu persatu mengamati para prajurit yang secara sukarela bersedia ditinggalkan di pangkalan militer Yeokjuk. Sekalipun mereka adalah tentara Minguk, tetap saja mereka sepenuhnya mengabdi di bawah nama Yeokjuk yang telah bertahun-tahun mempersatukan mereka.
Mereka mengadakan rapat singkat yang berisikan rencana pengalihan perhatian kompi yang sedang berjaga di hangar supaya delapan puluh tentara lainnya dapat mengendarai kendaraan militer dan melarikan diri dari kepungan Korea Utara.
"Dangyeol." Di akhir rapat, Jungkook memberi salam hormat pada empat puluh prajurit yang bersedia tinggal di markas lama Yeokjuk.
"Dangyeol. Naui gwageowa oneuldo milaedo."
Dan untuk yang di masa lalu, di hari ini, dan di masa depan.
Jungkook hanya beberapa kali mendengar kata itu meluncur dari personel tentara Yeokjuk, kata yang telah menjadi semboyan hidup para prajurit yang bertahun-tahun berperang di antara kubu Korea Utara dan Korea Selatan. Sekarang, setelah Jungkook meneguhkan hatinya atas semua pilihan yang telah ia perbuat, kalimat itu seperti tertanam di dalam benaknya.
Jinyoung memimpin salam penghormatan terakhir pada kawan-kawan mereka yang akan berangkat meninggalkan pangkalan militer Yeokjuk.
Setelahnya, Beta itu memimpin lima orang temannya menjadi umpan Korea Utara, mengulur waktu dan perhatian musuh sementara Jungkook dan yang lain memastikan kendaraan yang akan mereka tumpangi aman dari susupan musuh. Setidaknya ada satu regu tentara musuh yang segera mendapati Jinyoung dan yang lain, mengejar mereka sambil melepaskan tembakan, sedangkan satu orang mengabari rekan sesama tentara lainnya sebelum lebih banyak tentara Korea Utara menyusul dan menampakkan diri.
Jungkook duduk di dalam LUV bersama Yoongi, Jaebeom, beserta tiga tentara lainnya. Kaca film yang gelap membantu mereka menyembunyikan diri di saat kumpulan tentara mengejar Jinyoung dan yang lain, terlibat dalam baku tembak tak lama kemudian.
"Kita berangkat," Jungkook memberi order.
Jaebeom tanpa ragu menarik gigi, membawa mobil LUV menuju pintu keluar. Perhatian para tentara yang awalnya tertuju pada Jinyoung dan rekannya yang telah mengumpankan diri—kontan bergerak ke arah enam kendaraan militer yang tanpa diduga-duga menyala dan melintas begitu saja di belakang mereka.
Letupan senjatan diarahkan ke arah kendaraan yang mereka tumpangi secara berentetan.
Jaebeom memperingatkan mereka untuk berpergangan ketika mereka berhadapan dengan sepasukan serdadu Korea Utara dan dua pasang mesin mitraliur otomatis, menerobos ke arah kerumunan pasukan yang tidak sempat menyebar pada waktunya untuk menyelamatkan diri saat mobil LUV yang ia kendalikan menggencet tubuh para tentara Korea Utara tanpa ampun. Jungkook mengetatkan rahang di antara hujan darah yang kini menutupi sebagian kaca mobil, merasakan aliran adrenalin terus menyapu deras tubuhnya. Sebagian timah panas mengenai kaca jendela anti peluru, membuat retakan besar di sepanjang bodi kendaraan yang mereka tumpangi, tapi tidak cukup untuk menghentikan usaha melarikan diri satuan tentara Minguk.
Di belakang, suara rentetan senjata digantikan oleh suara decitan ban mobil menindih dan meremukkan tubuh-tubuh pasukan Korea Utara yang terlambat menyelamatkan diri mereka. Lengkingan kesakitan menyambut sesudahnya.
Pintu gerbang terbuka begitu Jaebeom kembali menarik gas, terbuka lebar-lebar—lalu menutup begitu saja setelah truk militer terakhir meluncur keluar dari basemen pangkalan militer Yeokjuk, memisahkan mereka selama-lamanya dari bangunan yang sebagian strukturnya mengendap di dalam tanah.
Kini langit berwarna merah dan hamparan luas salju berwarna kelabu menyambut mereka, mengingatkan semua orang akan petaka yang terus menyambangi mereka selama beberapa dekade terakhir. Jungkook menolehkan kepalanya ke belakang, seperti yang dilakukan oleh Yoongi dan penumpang di dalam LUV lainnya, menunggu kalau-kalau bangunan tersebut akan lebur dalam satu ledakan besar.
Tapi markas besar Yeokjuk tetap berdiri kokoh di belakang mereka.
Jungkook tidak akan pernah bisa menebak apa yang terjadi pada Jinyoung dan yang lain setelah itu.
Sekarang pikirannya kembali bergelut tentang Taehyung.
Apakah Taehyung benar-benar mati? Tapi kenapa ia masih bisa merasakan jalinan di antara dirinya dengan sang Omega? Kalau memang Taehyung masih hidup, apa yang dia lakukan sekarang? Apakah dia masih bisa keluar dari pangkalan militer Yeokjuk hidup-hidup bersama yang lain? Bagaimana dia bisa melindungi Jihoon tanpa dirinya di luar sana?
Dan terlebih lagi, ke mana mereka harus menuju?
Di ingatannya, ia hanya memberitahu Hoseok untuk membawa yang lain keluar dari pangkalan militer Yeokjuk dan sesudahnya ia tidak memberitahu lebih detail ke mana tujuan mereka selanjutnya.
Di belakangnya, terdengar suara Yoongi mengutak-atik smartwatch yang ia kenakan—meraba kode untuk mendapatkan data transmisi yang tepat. Butuh waktu lima menit penuh untuk Yoongi menerima data yang diinginkan dan mengirimkan sebuah sandi morse, sampai tak lama sesudahnya sebuah suara menyahut:
"Yoongi-hyung, kau di sana?"
"Hoseok?! Kalian baik-baik saja? Apa ada yang terluka setelah ledakan beberapa saat yang lalu?"
Jungkook nyaris berjengit kaget di kursi depan mendengar jawaban Hoseok.
"Tidak ada yang mati, kalau itu yang kau tanyakan, Hyung."
Perasaan mengganjal di dada Jungkook perlahan-lahan lenyap. Ia mendengar Yoongi kembali melempar pertanyaan, "Bagaimana—bagaimana dengan Jimin?"
"Omegamu juga baik-baik saja."
"Bagaimana dengan Taehyung-hyungie?"
Yoongi sempat meliriknya dengan ekspresi terperangah begitu sang Alpha yang lebih muda melongokkan kepalanya ke kursi belakang.
"Taehyung—dia memang sempat terkena ledakan, tapi dia baik-baik saja, seperti yang lain. Tidak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan. Hanya sedikit mengalami gegar otak ringan yang tidak memerlukan penanganan serius, kalau yang kudengar dari Jin-hyung."
Tawa yang mengalir di mulut Jungkook adalah simbol kelegaan yang bergelayut menggantikan kecemasan di dalam dirinya. Alpha itu buru-buru menghapus airmatanya dan kembali berucap, "Apa kalian masih berada di sana? Masih berada di stasiun kereta bawah tanah?"
"Ya, kami masih berada di sini. Tapi jalur menuju ke sini, semuanya sudah tertutup puing-puing. Kalian sendiri—kalian semua juga selamat, kan? Kapan kalian akan ke sini? Para Omega tidak bisa berhenti mencemaskan kalian dan kita tidak punya banyak waktu untuk pergi dari tempat ini—"
Tiba-tiba Jaebeom membuat tukikan tajam, menimbulkan awan kabut berwarna putih akibat gesekan antara ban mobil dengan permukaan tanah. Semua orang hendak melemparinya pertanyaan sampai kemudian terdengar bunyi sinyal darurat yang dikirimkan oleh Yugyeom melalui sinyal radio.
"Mayday, mayday. Ada empat mobil Humvee yang mengejar kita di belakang. Cepat berikan komando selanjutnya, apa yang harus kita lakukan sekarang?" di kejauhan terdengar bunyi tembakan menyusul.
Tepat seperti yang dikatakan oleh Yugyeom, di belakang mereka—di antara kepulan debu berwarna abu pucat—tampak empat mobil Humvee hampir mencapai jarak yang telah mereka tempuh. Dalam hitungan beberapa menit, sudah pasti mobil-mobil berperangkat tersebut akan menyalip mereka dan kemudian baku hantam tidak akan bisa dihindari.
"Sial, kita tidak mungkin bisa pergi menyusul yang lain kalau begini!" kelesah seorang tentara yang dulunya merupakan bawahan Seojoon—Hoe-taek—sembari melemparkan pandangan ke belakang.
"Aku sedang usahakan membuat mobil ini melaju lebih cepat, brengsek!" Jaebeom menyahutinya sambil menarik tuas gigi.
Jungkook memutar kepalanya lebih cepat. Matanya beralih di antara empat mobil Humvee yang tidak kunjung menjauh dari mobil yang mereka kendarai serta Yoongi yang masih mengajak berbicara Hoseok melalui smartwatch. Ia membuat begitu banyak pertimbangan di kepalanya dan selama beberapa detik pikirannya melayang pada Namjoon dan Seojoon.
Ia mengerti kenapa ia begitu mengagumi sosok Namjoon dan juga kenapa ia begitu iri dengan sosok kepemimpinan Seojoon. Dua orang itu adalah dua orang yang mampu mengesampingkan ego dari tugas dan wewenang yang mereka pikul, mampu menarik jauh-jauh semua hal yang melibatkan kehidupan pribadi mereka dengan titel pemimpin yang mereka emban. Dan selama ini, sekalipun Jungkook adalah seorang yang begitu tangguh di medan perang, menjadi sosok yang sangat diwaspadai oleh musuh yang mengetahui kemampuan yang ia miliki, Jungkook tidak akan pernah melampaui Namjoon maupun Seojoon dalam hal memelopori satu brigade.
Matanya beralih pada Yoongi yang kini melemparinya dengan tatapan menunggu—seperti yang dilakukan oleh yang lainnya, menantikan komando Jungkook selanjutnya.
Alpha itu pun juga sama seperti Jungkook, memiliki Omega yang menunggunya jauh di sana. Dari kata-kata yang Yoongi berikan pada Hoseok, meminta Beta itu meyakinkan Jimin kalau ia baik-baik saja dan meminta agar Hoseok berjanji untuk melindungi Jimin, Jungkook tahu sekali betapa Yoongi tidak pernah berhenti memikirkan Jimin dari kepalanya. Sekalipun begitu, Yoongi juga tidak akan ragu-ragu jika ia memilih harus berpisah dari Jimin atau memilih melanjutkan tugas yang ia emban.
Pada akhirnya, Jungkook memberi isyarat pada Yoongi untuk memberikan tangannya supaya ia bisa berbicara jelas pada Hoseok, memberi keputusan untuk yang kedua kalinya pada hari ini.
Ini adalah medan perang, semuanya dapat terjadi tanpa diduga-duga. Pertemuannya dengan Taehyung adalah hal yang tak terduga. Status baru Omega itu juga adalah hal yang tak terduga. Pun juga, jatuh cinta pada Taehyung—hingga bisa mengklaim Omega itu sebagai miliknya. Waktu yang dihabiskannya bersama sang Omega terlampau singkat, bahkan jauh lebih singkat daripada saat-saat ia bisa menghabiskan waktu bersama keluarganya sebelum mereka satu persatu meninggalkan dirinya.
Mungkin Taehyungie akan membenciku karena sudah meninggalkannya—karena aku sudah mengingkari janji yang pernah aku buat padanya, tapi pada akhirnya… dia akan mengerti, kan?
"Hei, Hyung," kata Jungkook di sela-sela suara letusan tembakan yang kian mendera di belakang mereka, "Kami tidak akan bisa kembali ke stasiun bawah tanah lagi dan menyusul kalian di sana. Situasi kami cukup genting saat ini." Jaebeom kembali membuat tukikan tajam sewaktu salah satu mobil Humvee mendekat ke arah mereka dan salah satu tentara musuh mencuat dari balik jendela, hendak mengarahkan mesin mitraliur ke arah mereka.
Di belakang, seorang tentara bernama Woo-young, melemparkan bom ke arah atas kap mobil. Tidak lama kemudian mobil Humvee yang mengikuti mereka menikung tajam sebelum akhirnya meledak dengan frekuensi detonasi yang mengerikan. Rasa menegangkan yang melingkupi mereka belum sepenuhnya reda karena mobil Humvee lain tidak menghentikan pengejaran dan hanya tertinggal beberapa jarak dari mereka.
"—Jungkook-ah? Kalian baik-baik saja? Suara ledakan apa barusan?! Hei, jawab—!"
"Kami baik-baik saja, Hyung," Jungkook kembali mengulangi ucapannya. "Ada musuh yang nyaris menembaki kami tadi. Pokoknya, sekarang kalian harus pergi dengan kereta tanpa kami."
"Kau gila?! Lalu bagaimana dengan kalian?! Apa tidak lebih baik—"
"Dengarkan aku, Hyung," sekarang Jungkook memelankan suaranya, membuat dirinya terdengar semakin serius, "Kami tidak bisa menemui kalian di sana karena mereka bisa saja membututi kami dan menangkap kita semua sesampainya di stasiun bawah tanah. Sekarang kami sedang menyiasati cara melarikan diri dari mereka dan juga memancing mereka ke tempat lain."
"Tapi kami harus ke mana? Kita tidak punya tujuan yang pasti, tempat yang pasti bisa kita jadikan markas sementara. Dan juga kita terpisah menjadi dua kubu seperti ini, bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu?"
Tanpa sengaja, Jungkook merogoh ke dalam salah satu saku bandolier yang ia kenakan dan tangannya meraih ujung jurnal yang pribadi telah ditulis oleh presiden Korea Selatan.
Pikirannya tertuju pada sebuah tempat. Ia tidak pernah tahu tempat itu memang benar-benar ada atau tidak, tapi setidaknya punya harapan masih lebih baik daripada tidak punya harapan sama sekali.
"Kalau begitu, pergilah ke selatan Jeonnam—pergi ke pulau Jeju. kita pernah membahas tentang ini sebelumnya, kau ingat, Hyung? Ada sebuah tempat yang masih aman di dekat pulau Jeju, seperti yang tertulis di jurnal Daetonglyeongnim."
Hoseok mendecakkan lidah dengan gusar dan juga berputus asa, "Kau gila?! Tempat sejauh itu?! Dan bagaimana mungkin kalau ternyata tidak ada sesuatu di sana? Dan bagaimana kalau seandainya ada banyak bahaya dan jebakan dari Korea Utara sewaktu kami menempuh perjalanan ke sana?!"
"Aku tahu, aku tahu. Itu mustahil untuk dibuktikan. Dan kita tidak ada pilihan lain, Hyung—" Jungkook menyumpah begitu sebuah timah panas yang menghantam kaca samping mobil mengejutkannya, "—Kita tidak punya lagi tempat tinggal, tapi setidaknya kita masih memiliki pegangan yang akan menuntun kita untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi. Dan pulau Jeju itu adalah salah satu di antaranya. Setelah situasi benar-benar aman, kami akan pergi menyusul kalian ke sana—"
"Jungkook-ah?"
Jantung Jungkook langsung berdesir terbawa rindu tatkala ia mendengar suara berat Taehyung di penghujung alat komunikasi. Alpha itu menahan napasnya, berusaha memendam egonya agar tidak berteriak dan memaksa Jungkook untuk kembali ke pelukan sang Omega. "Hei, Hyungie." lalu buru-buru ia mengoreksi ucapannya, "Bukan, Tae. Kau pasti sudah mendengar semuanya, kan? Aku minta maaf tidak akan bisa pergi bersama dengan kalian untuk saat ini, dan—"
"Jadi, kita akan benar-benar berpisah? Aku sudah lelah menunggu, Jungkook-ah. Aku sudah lelah kehilangan Seojoon, dan sekarang kau."
"Aku tahu ini adalah pilihan yang sulit, tapi aku tidak ingin kalian juga jadi ikut terlibat bahaya. Setidaknya sekarang kami sedang memancing para tentara Korea Utara yang sedang mengejar menjauh dari kalian sekaligus mencari saat yang tepat untuk melarikan diri. Begitu semuanya kembali aman, kami semua akan pergi menuju pulau Jeju. Apapun yang terjadi, aku berjanji aku akan kembali. Apa kau percaya padaku, Hyung?"
Taehyung memberinya jeda cukup lama sementara Humvee yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi di belakang mereka kini berbaku hantam dengan kendaraan panzer di belakang mereka. Panzer yang dikemudi oleh tentara Minguk sempat terhenti ketika seorang tentara Korea Utara melempar granat ke sela-sela gigi metal dan meledakkannya seketika itu juga.
Seisi mobil LUV terperangah dan tidak sempat berduka menangisi rekan-rekan mereka yang telah terpanggang di dalam panzer, tidak lagi memiliki waktu untuk menyelamatkan mereka.
Jungkook mempersingkat pembicaraan di antara dirinya dengan Taehyung. "Taehyung. Sekarang kau harus percaya padaku. Kami dikejar oleh banyak mobil Humvee di belakang dan tampaknya mereka akan segera memanggil lebih banyak kavaleri tempur. Waktu kami semakin menipis jika kami tidak segera membuat keputusan dan—dan… sial, Tae. Aku begitu mencintaimu—" Jungkook mengetatkan rahangnya, "Dan aku begitu menyayangi, Jihoon. Sejujurnya, aku sangat takut kehilangan kalian berdua karena kalian adalah harta paling berharga yang pernah kumiliki saat ini. Tapi aku juga tidak bisa menebus rasa cintaku pada kalian berdua dengan mengorbankan nyawa banyak orang." Taehyung sama sekali tidak memotongnya dan ia bisa mendengar suara isakan mengalir dari diri sang Omega. "Aku akan hidup, Tae. Aku akan hidup sampai aku bisa membawa kita semua ke tempat yang aman, tempat yang jauh dari peperangan, tempat di mana kita bisa saling berkasih-kasihan tanpa ada satupun yang mengganggu. Aku akan menjadi ayah paling hebat untuk Jihoon dan juga pasangan terbaik untukmu." Ia tahu yang ia lakukan sekarang ini bukanlah hal yang pantas dilakukan di tengah-tengah bahaya yang mengintai mereka, tapi setidaknya hanya dengan ini ia bisa meyakinkan Taehyung sebagai pasangannya. "Aku akan kembali pada kalian. Aku bersumpah pada dunia akan mengutukku selamanya kalau sampai aku mengingkari perkataanku ini."
Nada suara Taehyung bergetar hebat ketika ia memberi balasan, "Kau sudah berjanji, Jungkook-ah. Kembalilah dengan jasad dan yang utuh, dan kalau bisa, jangan mati sebelum kau bisa bertemu dengan kami, brengsek. Tidak, kau harus hidup selamanya." Kata-kata terakhir Taehyung membuat Jungkook ikut tertawa dan tersedan oleh perasaannya sendiri. "Aku mencintaimu, jauh daripada aku pernah mencintai Seojoon. Aku akan menunggumu, Jungkook-ah. Selalu."
"Tunggu aku, Tae. Aku pasti akan kembali." Ia tidak menunggu berlama-lama untuk memutus saluran komunikasi dan mengusap wajahnya yang sudah dibasahi oleh dua tetes air mata. Jika ia berlama-lama mendengar suara Taehyung, bukan hanya ia akan membahayakan dirinya dan yang lain, tapi juga akan membuatnya semakin merindukan sang Omega.
Rasa rindu yang semula memerangkap raganya kini tergantikan lagi oleh rasa mencekam yang didahului oleh penampakan lebih banyak mobil militer yang mengikuti mereka di belakang—dua kendaraan reconnaissance AX dan mobil jeep berlapis baja yang masing-masing telah dipasangi persenjataan siap tempur.
"Yoongi-hyung, sekarang kau bisa pastikan area yang dikelilingi pegunungan ataupun dialiri sungai?"
"Ada sungai di daerah Songnim sana dan tidak berjauhan dari laut," ucap Yoongi mengonfirmasi pencarian singkatnya, "Apa yang kau rencanakan setelah ini, Jungkook-ah?"
"Kita harus melaju lebih cepat lagi ke sana," Jungkook berujar. Satu tangannya memegangi cedera di pundaknya yang lagi-lagi berdenyut oleh rasa sakit. Rahangnya mengencang menahan erangan yang hendak meluncur dari mulutnya. "Kita harus menggiring mereka ke Songnim lalu kita habisi mereka di sana. Tidak mungkin kita tidak melakukan perlawanan di tempat yang lapang seperti ini dengan jumlah kita yang hanya segini banyaknya." Tunggu aku, Tae. "Aku sudah memiliki satu siasat sekarang, dan aku tidak ingin ada salah seorang dari kita yang membuat kesalahan."
8 Desember 2045, Sariwon District, Hwanghae Province, North Korea
06.22 a.m
Pada waktu ledakan itu terjadi, Taehyung tidak akan pernah merasakan kehadirannya lagi di dunia jika Jackson tidak menariknya mundur dari reruntuhan yang nyaris menguburnya hidup-hidup. Pikirannya langsung kalut sewaktu ledakan itu terjadi, kalut karena ia melihat sosok Jungkook yang semula hanya berjarak beberapa meter darinya tiba-tiba tertutup oleh puing-puing bebatuan yang mengubur ruang di antara mereka, memisahkan keduanya.
Ia meneriakkan nama Jungkook berulang kali, tapi suaranya telah sepenuhnya kelu terpendam oleh lapisan asbes, bata, dan puing reruntuhan lainnya.
Sontak perutnya terasa mual dan kepalanya mendadak pening, membayangkan kemungkinan apabila Jungkook tertimpa reruntuhan dan terkubur di dalam puing-puing bangunan. Bahkan dengingan di telinganya tidak kunjung berhenti.
"Hei, Tae! Tae, tenanglah!" ia akan seterusnya menatap kosong ke arah tumpukan reruntuhan yang menyelubungi pemandangan di hadapannya karena pupus harapan seandainya Seokjin tidak menyadarkan Omega itu. Genggaman kuat Seokjin di pundaknyalah yang kemudian menyadarkan Taehyung.
Pikirannya pun beredar ke sekelilingnya, mencerna situasi yang terjadi. Seharusnya ia bersyukur tidak ada satupun yang terluka setelah menerima ledakan barusan, hanya saja kepalanya cuma bisa berotasi seputar Jungkook.
Bagaimana kalau Jungkook ternyata memang meninggalkannya seperti yang sudah dilakukan Seojoon terhadapnya?
"Hyung, bagaimana dengan Jungkook? Bagaimana kalau dia terkubur di sana?" lirih Taehyung, sedikit gelagapan.
Seokjin dan Jackson membantunya berdiri, "Berhenti mengkhawatirkan Alphamu dan perhatikan kondisimu sendiri, babo," gertak Seokjin, sedikit menegurnya. Beta itu menyeka dahi Taehyung dan kemudian memperhatikan kondisi secara seksama, "Pelipismu terluka dan—"
Sekonyong-konyong Taehyung memuntahkan isi perutnya di hadapan Seokjin dan Jackson, memuntahkan cairan bening dan sedikit makanan yang disantapnya semalam. Seokjin bergegas meminta bantuan dari seorang tentara agar membawakannya air minum dan menyuruh Taehyung duduk di tempat yang sekiranya nyaman untuk ditempati.
Ia tidak sadar sewaktu Jimin dan Baekhyun sama-sama menghampirinya, mengecek keadaan Omega itu.
"Dia mengalami gegar otak ringan," Seokjin menjelaskan kondisi Taehyung pada keduanya. "Kalian bantu aku mengawasi keadaannya sekarang."
"Lalu bagaimana dengan Yoongi-hyung?" tanya Jimin tiba-tiba, membuat semua perhatian tertuju padanya.
"Kita terpisahkan oleh reruntuhan ini," Hoseok segera menjawabnya. Beta itu berdiri tidak jauh dari mulut lorong yang menjadi tempat pertemuan antara stasiun bawah tanah dengan lorong menuju markas utama Yeokjuk. Ia memberi instruksi pada beberapa orang tentara untuk mengangkat satu persatu bebatuan. Hampir satu jam mereka mengerahkan tenaga dan waktu mengeruk puing-puing yang telah menutupi pintu masuk stasiun bawah tanah. Mark yang sedari tadi berupaya menjalin komunikasi dengan Yoongi, sama sekali tidak mendapatkan jawaban balasan.
"Percuma saja, kita tidak akan bisa mengeruk semua reruntuhan ini," Hoseok menyerukan kekecewaannya mendapati upaya mereka berakhir sia-sia. Setiap kali mereka berusaha memindahkan sisa reruntuhan yang menutupi mulut lorong, akan muncul reruntuhan lain yang baru. "Puing-puing yang menutupi lorong pertemuan terlalu banyak. Kita tidak akan sanggup memindahkan ini semua."
"Tapi tentara Korea Utara masih ada di sana, kan?" cecar Jimin, masih belum berhenti menyuarakan kekhawatirannya. Kedua mata Omega itu berlinang air mata, menangisi keadaan Alphanya yang sama sekali belum ia ketahui keadaannya hingga saat ini. "Bagaimana kalau mereka terbunuh oleh pasukan Korea Utara?"
"Kita tidak bisa memastikan hal itu, Jimin-ah." Junghwan ikut berbicara. "Lagipula, kau masih bisa merasakan ikatanmu dengan Yoongi, kan?" ia melihat ekspresi terkejut terpampang di wajah sang Omega sebelum keterkejutannya tersebut digantikan oleh sebuah anggukan kecil. "Bersyukurlah, itu artinya Yoongi baik-baik saja. Semoga mereka masih bisa bertahan hidup di luar sana."
Taehyung yang kini bergeming di atas sandaran kursi, menatap kosong ke arah pintu masuk jalur kereta bawah tanah.
"Apa Jungkookie-hyung pergi dibawa Hyungsik-Appa, Eomma?" ia menyentakkan kepalanya dan sesaat perasaan sedih menyelimuti dirinya. Ia tidak tahu kapan putranya tersebut tersadar dari tidurnya karena ia terlalu berlarut-larut memikirkan keadaan Jungkook.
Jungkook baik-baik saja. Aku masih bisa merasakannya melalui ikatan kami.
Taehyung mengulurkan tangannya ke sekeliling tubuh Jihoon dan memeluk putranya erat-erat. "Jungkook-hyung tidak akan tertangkap olehnya, tidak akan pernah, Jihoon. Dia adalah orang yang hebat, kan?" pertanyaannya itu terdengar seperti sedang meyakinkan dirinya sendiri.
"Ne," Jihoon mengiyakan pertanyaan Taehyung. Sebersit perasaan lega menyelusup masuk ke dalam dirinya. "Kalau begitu, dia akan kembali bersama kita lagi, kan?"
Taehyung tidak punya pilihan kecuali menganggukkan kepalanya.
"Sekarang, apa yang akan kita lakukan setelah ini? Menunggu sampai mereka membalas sinyal kita? Kita tidak mungkin menunggu selamanya di sini, Seok-ah," Mark memperingatkan Hoseok.
Beta yang dimaksud tersebut mengerang tertahan, "Aku tahu. Tapi kita tidak mungkin pergi dari sini tanpa mereka. Kita juga tidak punya tujuan pasti ke mana kita harus pergi saat ini."
"Kau adalah pemimpin kami saat ini, Hoseok. Kau yang memegang kendali semuanya atas kami. Setidaknya buatlah keputusan sebelum kau membuat kami mati di sini," Mark mulai mendesaknya.
Ucapannya tersebut membuat Hoseok panik dan Seokjin membantunya menjawab, "Bagaimana kalau kita menunggu di sini lebih lama? Setidaknya selama satu jam berikutnya?" ia menawarkan ide. "Kalau satu jam kita tidak mendapatkan kabar dari mereka, mau tak mau kita harus segera angkat kaki dari tempat ini."
Mereka menerima penawaran Seokjin dan menunggu selama satu jam berikutnya. Selama penantian mereka berlangsung, Taehyung tidak dapat berhenti mengusap-usap kepala mungil Jihoon. Ia membuat begitu banyak skenario di dalam kepalanya, membuat begitu banyak kemungkinan menyangkut tentang Jungkook. Dan ia tak lepas memanjatkan permohonan pada Seojoon, berharap Alphanya yang belum lama tiada itu akan mendengarnya.
Aku mohon, Seojoon, lindungilah Jungkook. Jangan buat dia pergi seperti kau meninggalkanku.
Tak lama kemudian saluran komunikasi mereka berdering pelan, menandakan ada balasan yang mereka terima. Taehyung tentu mengenali suara itu sebagai suara milik Yoongi—yang langsung dijawab oleh Hoseok sendiri. Jimin berlari ke arah sang Beta, tangannya terulur hendak mengambil smartwatch milik Hoseok dengan harapan ia bisa mendengar suara Yoongi lebih dekat. Seokjin mencegahnya.
"Yoongi-hyung, kau di sana?"
Suara Yoongi sedikit kabur sewaktu ia menjawab karena sinyal yang kurang memadai, tapi semua orang bisa menangkap jelas apa yang dikatakan oleh Alpha itu. Yoongi menanyakan keadaan mereka, memastikan Jimin baik-baik saja, hingga suara Jungkook menggantikan Yoongi.
Taehyung menahan napasnya, merasakan luapan emosi selepas mendengar suara sang Alpha. Mereka baru saja bertemu beberapa jam lalu dan ia sudah merasa serindu ini. Air mata menetes dari kedua pelupuk matanya dan Jihoon-lah yang menghapusnya. Taehyung berusaha tersenyum melihat reaksi sang putra walaupun derai airmatanya terus menetes.
Rasa leganya berubah menjadi rasa cemas pada saat Jungkook menjelaskan situasi terkini mereka, memaparkan bahaya yang mereka harus hadapi dan juga mengarahkan Hoseok agar membawa para tentara yang tersisa beserta para Omega menuju ke arah selatan, menuju ke pulau Jeju. Tidak sedikit yang mempertanyakan keputusan Alpha itu, mempertanyakan keabsahan akan pulau Jeju yang masih jauh terlindung daripada daerah lainnya di Korea yang sudah tidak dapat dijamin lagi keamanannya.
Situasi darurat yang tengah dihadapi oleh Jungkook dan yang lain kembali diperjelas oleh sang Alpha sendiri, meminta agar Hoseok dan yang lain segera pergi menuju pulau Jeju tanpa memikirkan keadaan Jungkook dan tentara yang tersisa.
Bunyi tembakan dan juga bunyi ledakan di kejauhan yang tertangkap oleh saluran komunikasi tidak surut mengurangi kegelisahan Taehyung. Ia mulai tidak bisa duduk diam dan pada akhirnya ia pun menitipkan Jihoon pada Baekhyun, bergegas menuju tempat Hoseok berdiri.
Seokjin baru saja mempertanyakan niatan Taehyung sampai Omega itu mengambil menarik pergelangan tangan Hoseok dan berbicara melalui smartwatch. "Jungkook-ah?" perasaannya tumpah ruah begitu ia memanggil nama itu. Nama yang sudah melekat di mulutnya selama beberapa bulan belakangan.
Semenjak Seojoon meninggalkannya di bawah kungkungan Korea Utara, Taehyung telah bersumpah dan menetapkan hati untuk tidak pernah jatuh cinta pada sosok Alpha manapun kecuali Seojoon. Walaupun Seojoon telah pergi meninggalkannya karena satu alasan, walaupun kepalanya menyuruhnya membenci sang Alpha yang telah meninggalkannya tanpa sepatah kata pun, Taehyung tetap saja akan kembali tertambat pada Seojoon. Seojoon-lah sosok pertama yang sudah memberikannya warna baru di kehidupan baru Taehyung sebagai seorang Omega, pelan-pelan melunakkan hatinya agar ia bisa melihat jati dirinya yang baru sebagai Omega dari sudut pandang yang lain.
Lalu datang Jungkook, yang sejak awal memang sudah menyimpan hati terhadapnya. Taehyung ingat betul bagaimana sorot mata Jungkook pertama kali mereka saling mengenal satu sama lain—saat Alpha itu masih berstatus sebagai prajurit muda dengan potongan rambut cepaknya. Taehyung selalu tahu ada rasa lain yang disimpan oleh Alpha muda itu setiap kali dengan sukarela ia memberikan waktu dan tenaganya untuk mengajari Jungkook trik-trik bertahan hidup di pertempuran. Mengingat statusnya sebagai Alpha seperti halnya Jungkook dan peranan penting yang ia pegang di medan perang, Taehyung tidak pernah menganggap serius perasaan Alpha muda itu. Mereka hanyalah sebatas senior dan junior, kakak dan adik.
Bertahun-tahun kemudian setelah ia dipertemukan kembali dengan Jungkook, Taehyung semakin tidak bisa mengontrol perasaannya sendiri sebagai orang Omega dan juga memungkiri kalau ia semakin lama semakin jatuh hati pada Jungkook.
Ketakutan-ketakutannya selalu bertambah setiap hari, kalau-kalau ia jatuh hati pada seseorang di medan perang, maka tak lama kemudian ia harus merelakan sosok itu pergi darinya. Seperti yang ia alami dengan Seojoon. Dan sekarang ketakutannya bertambah nyata, Jungkook pun juga akan pergi meninggalkannya.
"Jadi, kita akan benar-benar berpisah? Aku sudah lelah menunggu, Jungkook-ah. Aku sudah lelah kehilangan Seojoon, dan sekarang kau."
Jungkook terdengar pasrah di saluran komunikasi, berusaha menjelaskan sekaligus meyakinkan Taehyung akan kemungkinan-kemungkinan yang mencegah mereka untuk kembali bertemu di satu tempat. Ia tahu betul Jungkook tidak akan mengambil resiko memancing pasukan Korea Utara ke tempat mereka saat ini dan sudah pasti pilihan menggiring Korea Utara ke arah yang berlawanan adalah keputusan terbaik yang bisa mereka ambil. Bising letupan senjata api dan ledakan yang bersahut-sahutan di telinganya tidak surut menghilangkan kecemasan di dalam susupan lubuk hati sang Omega.
Apa yang harus kulakukan? Apa?
Kedua bahunya bergetar hebat karena dirudung putus asa menangkap kenyataan Jungkook memilih meninggalkannya dirinya. Rasa putus asa dan kecewanya tersebut sejenak pupus tatkala Jungkook meyakinkan dirinya sembari memanggil Taehyung tanpa embel-embel apapun. Hanya dengan nama pertamanya.
"Taehyung."
Mendengar namanya dilantunkan oleh sang Alpha, ada keinginan di dalam diri Taehyung untuk mendesak Jungkook memunculkan diri di hadapannya dan mengucapkan namanya itu sekali lagi. Tanpa gelar nama yang menyertainya, nama itu terdengar begitu intim. Tidak ada yang membatasi nama panggilan di antara keduanya. Sayang sekali, Jungkook hanya sempat mengucapnya melalui saluran komunikasi.
Walau begitu, kali ini suara Alpha itu diselingi oleh seutas harapan.
"Aku akan hidup, Tae. Aku akan hidup sampai aku bisa membawa kita semua ke tempat yang aman, tempat yang jauh dari peperangan, tempat di mana kita bisa saling berkasih-kasihan tanpa ada satupun yang mengganggu. Aku akan menjadi ayah paling hebat untuk Jihoon dan juga pasangan terbaik untukmu."
Terdengar seperti omong kosong menilik mereka berada di situasi yang paling sulit. Jungkook yang sedang terkepung oleh barisan tentara musuh dan Taehyung yang harus pergi meninggalkan Alphanya ke tempat yang sama sekali belum bisa teridentifikasi secara pasti.
Posisi baru yang diemban oleh Jungkook-lah yang memaksa Alpha itu untuk membuat keputusan ini, dan Taehyung yakin Seojoon pun akan melakukan hal yang sama. Kedua Alpha itu akan memilih tanggung jawab di atas perasaan dan ego mereka sendiri, sesuatu yang sepatutnya adalah hal yang Taehyung kagumi. Jungkook meyakinkan dirinya bukan atas dasar ia telah kehabisan semangat ataupun janji kosong semata, melainkan karena ia masih bisa melihat kalau harapan itu memang ada.
"Aku akan kembali pada kalian. Aku bersumpah pada dunia akan mengutukku selamanya kalau sampai aku mengingkari perkataanku ini."
Taehyung menghapus airmatanya dan di dalam hatinya, ia pun menetapkan satu janji pada dirinya sendiri: Aku juga harus hidup. Demi Jungkook dan Jihoon.
"Kau sudah berjanji, Jungkook-ah. Kembalilah dengan jasad dan yang utuh, dan kalau bisa, jangan mati sebelum kau bisa bertemu dengan kami, brengsek. Tidak, kau harus tetap hidup lama." Dan kata-kata terakhir yang ia sampaikan pada Jungkook adalah kata-kata yang berasal dari sanubari—dari lubuk hatinya sendiri. "Aku mencintaimu, jauh daripada aku pernah mencintai Seojoon. Aku akan menunggumu, Jungkook-ah. Selalu."
"Tunggu aku, Tae. Aku pasti akan kembali."
Taehyung tidak berlarut-larut lama dalam kesedihannya selepas Jungkook memutuskan hubungan komunikasi.
Omega itu balas menatap Hoseok yang tercengang di hadapannya, yang sedari tadi juga telah ikut menguping pembicaraannya dengan Jungkook.
"Kita akan pergi ke pulau Jeju," Taehyung menyimpulkan. "Tetapkan arah ke selatan, ke arah provinsi Jeonnam. Lalu kita akan menyeberang ke sana menggunakan kapal yang ada."
"Mudah mengatakannya, tapi bagaimana kalau tidak ada apa-apa di pulau Jeju, Tae?" cecar Hoseok dengan ekspresi muram. "Dan bagaimana kalau ternyata ada pasukan tentara Korea Utara menunggu kita di sana? Atau Chugyeokja yang tanpa kita ketahui sudah menguasai wilayah selatan?"
Taehyung meremas kedua sisi tubuh Hoseok, "Selama masih ada harapan, jangan pernah kita menyia-nyiakannya, Hobi. Cukup kita mencoba ke sana sekali, atau tidak sama sekali."
Ia tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Hoseok karena Beta itu menatapnya seolah-olah ia telah kehilangan akal sehatnya begitu mengalami cedera otak ringan di kepalanya. Tapi tanpa banyak bicara, Hoseok menyuruh pasukan tentara tersisa bergegas mencari gerbong yang masih dalam kondisi prima dan yang lain mencari gerbong lokomotif sebagai pengendali kereta api lapis baja yang akan membawa mereka ke Jeonnam.
Melihat Jimin yang barusan saja menangisi perpisahannya dengan Yoongi kini beralih dari perasaannya untuk berjaga di sisi Jihoon dan melihat Baekhyun yang sedang berupaya menutupi luka pada tubuh Chanyeol dan tentara lain, Taehyung menetapkan diri untuk membantu tentara yang tersisa menyambungkan antara satu gerbong ke gerbong lain dengan cara menubrukkan keduanya pada satu sama lain dan mengaitkannya melalui janney coupler. Kereta yang justru telah terpasang Scharfenberg coupler—pengait otomatis—tidak dapat mereka gunakan dikarenakan jenis kereta tersebut tidak dilengkapi oleh lapisan baja sebagai pertahanan terluar untuk mengantisipasi serangan mendadak di luar.
"Tae, kau tidak bisa memaksakan dirimu dengan cedera di kepalamu itu, sialan," teriak Seokjin memperingatkan Taehyung yang sedang mendorong satu gerbong kereta ke kereta lain bersama belasan tentara lain. Beta itu sendiri juga masih sibuk mengobati tentara yang terluka sambil terus memonitor Taehyung menggunakan sudut pandangannya.
"Kereta tidak akan cepat pergi kalau aku tidak membantu yang lain menyatukan gerbong-gerbong ini, Hyung!" Taehyung menyahutinya tak lama kemudian. Ia berusaha tidak terdistraksi saat melihat Chanyeol, Baekhyun dan Jimin ikut membantunya mendorong gerbong-gerbong kereta yang masih belum bergabung dengan gerbong utama. Mulutnya baru terbuka hendak menanyakan Jihoon hingga ia melihat putranya tersebut berdiri di sebelahnya, bermaksud ikut membantunya menggabungkan gerbong-gerbong kereta tersebut.
Ia tidak memarahi putranya tersebut dan cuma menyembunyikan senyuman melihat Jihoon memasang raut serius sampai mukanya tampak kusut karena bocah tersebut mengerahkan semua tenaganya untuk mendorong berton-ton gerbong kereta ke gerbong kereta lain.
Mereka berhasil melebur sepuluh gerbong kereta menjadi satu satu setengah jam kemudian. Di menit-menit berikutnya, Hoseok menginstruksikan mereka semua agar menaiki kereta dan kereta pun meluncur di atas jalur rel—menyusuri kegelapan lorong bawah tanah yang sengaja dibangun oleh tentara Yeokjuk terdahulu sebagai lapisan persembunyian dari musuh.
Pencahayaan bawah tanah menyala secara otomatis seiring dengan deru pertemuan antar rel dengan bogie kereta, membantu memberi para penumpang kereta sedikit bantuan pencahayaan.
"Eomma, kenapa kita harus pergi ke Jeju?"
Pertanyaan sederhana Jihoon menyadarkan Taehyung dari lamunannya.
"Karena ada harapan di sana, Jihoon-ah," jawab Taehyung samar, tidak memberi jawaban sepenuhnya pada anak laki-laki itu.
Awalnya ia mengira Jihoon akan melemparinya pertanyaan lain, ingin meminta penjelasan lebih detail terkait jawabannya, tapi anak itu hanya melipir lebih erat ke dada Taehyung dan berbisik lirih, "Aku ingin Jungkook-hyung ikut bersama kita."
"Eomma pun juga menginginkan hal yang sama," ucap Taehyung, meremas kepala putranya tersebut dan mendekapnya lebih dekat.
Selama manusia memiliki harapan, maka di situ ada kehidupan.
Bisikan hatinya tersebut hanya terdengar oleh dirinya sendiri dan semakin teredam oleh bunyi kereta yang terus membawa mereka ke arah selatan.
Dan entah kenapa, saat ia terlelap, ia kembali memimpikan pertemuan pertamanya dengan Jungkook.
TBC
Karakter di dalam bagian cerita ini adalah sebagai berikut:
Kelompok Minguk:
Jeon Jungkook aka JK (25), Kim Taehyung (27), Kim Seokjin aka Jin (29), Jung Hoseok aka Hobi (27), Min Yoongi aka Suga (28), Park Chanyeol aka Yeol (26), Kim Yugyeom aka Brown (25), Kim Won-sik aka Ravi (28), Park Jinyoung (27), Lim Jaebeom (27), Wang Jackson aka Jackson (27), Byun Baekhyun (26), Park Jimin (18), Lee Junghwan aka Sandeul (29), Jang Wooyoung (32), Shim Changmin (33), Mark Tuan aka Mark (29), Kunpimook Bhuwakul aka BamBam (25), Park Woojin (14), Park Jihoon (8)
Pasukan Korea Utara:
Park Hyung-sik (31), Choi Minho (31), Son Seungwan (27)
Sebenernya chapter ini sudah dibuat sejak bulan September lalu cuma lagi-lagi karena kemampuan menulis yang kian menurun, semakin terditraksi dengan hal-hal lain dan juga pekerjaan, jadi semakin molor penyelesaian cerita ini. Tapi cerita ini akhirnya saya simpulkan lebih baik tamat dalam 3 chapter lagi yang sudah disertai 1 epilog, biar makin cepat tamat makin baik haha (ini fic terpanjang yang pernah saya buat sih).
Chapter ini cuma sekilas sih saya baca ulang, jadi kalau ada kesalahan mohon dimaklumi, ya. Kalau ada kesempatan saya revisi, sih :")
Dan lagi, selamat berlibur di bulan Desember semuanya! Dan juga semoga tahun baru 2020 akan jadi tahun-tahun baik buat kalian! Sampai jumpa di chapter berikutnya!
Terima kasih yang sudah mereview di chapter sebelumnya: kevin lost in galaxy, bxbblegumt, titip salam