Lonceng kewarasan di kepala Annie berdenting bersamaan tanpa koordinasi. Ia paham, jika ia dan pria itu sama-sama paradoks, maka tidak seharusnya hatinya merasa ngilu."

...***...

...***...

Ad Infinitum

Mosaik 2 : Purgatorio

ditulis oleh:

emir

Disklaimer:

Tulisan ini hanyalah fiksi belaka. Saya tidak mengambil keuntungan materi sedikit pun dari fanfiksi ini.

Bila terdapat kesamaan tokoh, plot, atau seting, semua karena unsur ketidaksengajaan.

Catatan:

Underworld!AU. Sekuel dari Bintari.

...***...

...***...

Selamat membaca :3

..

...*...*...

..

Sejauh mata memandang tidak ada tempat yang ia kenali. Dataran itu gersang, hanya ada satu atau dua ilalang yang tumbuh, itu pun nyaris mati. Tempat itu adalah pilihan paling akhir jika Annie diberi kesempatan memilih.

Pikirannya kosong, bagaimana bisa ia datang ke dataran kering itu. Ia telah berjalan sendirian tanpa arah cukup lama, bahkan tanpa tahu seberapa lama. Tidak ada tanda-tanda waktu bergulir, langit di atasnya selalu kelam semenjak ia membuka mata. Satu-satunya sumber cahaya hanyalah semburat merah di arah yang tidak ia ketahui namanya. Ajaibnya, sinar yang seolah matahari terbenam yang sekarat itu mampu menyinari dataran itu, meski tidak bisa menjangkau area langit.

Arloji di pergelangan kirinya tak berfungsi, jarum kecil mendekati angka 12, dan jarum panjang berhenti di angka 11. Barangkali jam itu khatam riwayatnya saat mendekati tengah malam, ingatan terkahirnya adalah ia baru saja pulang kerja setelah satu shift berusaha mati-matian melakukan resusitasi. Bahkan ia lupa ingin menelepon ayahnya.

Entahlah, Annie tidak begitu ingat. Akhir-akhir ini, ia hanya bangun tidur, berangkat kerja, pulang langsung tidur lalu bangun lagi, seperti itu berulang-ulang.

Katakanlah Annie dipanggil sebagai perempuan anti sosial saat sekolah menengah. Ia tak ambil pusing dengan kegiatan sosialisasi, ia hanya perlu mengobrol dengan beberapa orang yang ia anggap dekat. Namun, kali ini ia benar-benar butuh kehadiran manusia lain, setidaknya untuk memastikan bagaimana bisa ia bangun tidur lalu terlempar ke tempat antah berantah.

Hal yang sedikit membuatnya bingung adalah, kenapa pula ia masih memakai celana panjang, kemeja, dan jas putihnya. Jika Annie sedang bermimpi, maka ia hanya ingin cepat-cepat bangun karena ia harus berangkat kerja lagi.

Di saku jas putihnya, ia menemukan cincin perak pemberian ayahnya dan beberapa koin berwarna emas mengkilat—barangkali emas betulan. Memangnya untuk apa koin segala?

Annie menegasi kehadiran koin emas itu lalu memakai cincin peraknya di telunjuk kiri.

...***...

...***...

Area sepi itu luasnya seakan tanpa akhir. Namun, pada akhirnya ia menemukan sungai dan kerumunan orang di tepiannya. Mereka mengantre entah untuk apa, beberapa anak kecil bermain dengan batu-batu yang mereka susun menjadi menara. Sesekali seseorang bertubuh besar dan bertudung hingga menutupi wajahnya mengayunkan gada ke arah menara yang dibangun bocah-bocah itu.

Dahi Annie berkernyit, batinnya mencelos; apa-apaan orang itu!

Saat ia menyusuri sungai untuk mendekat dan ingin menanyai seseorang, ia melihat pantulan wajahnya di air sungai itu. Cahaya jingga asing itu masih dapat memantulkan proyeksi wajahnya. Sejenak Annie melupakan tujuannya.

Ia tergugu, "Sejak kapan aku kembali ke 60 tahun yang lalu?"

Makin bingunglah ia. Pusat memorinya terhantam, wajah yang terpantul di sungai itu adalah wajah Annie saat masih berumur 20-an tahun.

"Astaga! Bagaimana aku bisa lupa umurku sendiri?"

Ia mendekap cincin perak dalam telunjuknya, mengingat wajah samar ayahnya, mengucap nama Tuhannya. Namun, ia tidak dapat menemukan potongan memori lain. Annie tenggelam sendirian dalam kebingungan.

...***...

...***...

Ada beberapa kemungkinan Annie berada di sini; pertama, ia baru saja mati, kedua, ia memang sudah mati, atau ketiga, tanpa perlu dikonfirmasi ia memang sudah tak memiliki ikatan dengan dunia fana lagi. Jadi, di sinilah ia, mengantre bersama dengan—entahlah mungkin bisa disebut dengan jiwa—orang-orang ini.

Seorang wanita renta yang memakai jubah kedodoran memberikan cap di atas punggung tangan kanannya. Saat Annie bertanya untuk apa, wanita tua itu hanya berujar datar,

"Stempel itu akan membawamu ke tempatmu yang seharusnya."

Ketika Annie bertanya ke mana, lawan bicaranya hanya tersenyum ganjil lalu menjawab, "Kau akan tahu nanti."

Annie tak memiliki petunjuk sama sekali, terlebih ketika wanita tua itu meneruskan kalimatnya, "Setidaknya hakim besar tak perlu repot-repot menimbangmu."

Semuanya menjadi jelas ketika ia mendengar wanita tua itu kembali berujar, "Inferno tidak cocok untukmu."

Dari kalimat terakhir itulah Annie mengambil kesimpulan bahwa ia tak lagi terdefinisi sebagai makhluk hidup. Tidak ada udara yang melewati lubang hidungnya dan tidak ada gerakan pada dadanya. Tentu saja, makhluk yang tidak hidup, tidak perlu repot-repot mengekspansi paru-paru, 'kan?

"Pergilah. Ini sudah waktumu untuk menyeberang."

Tatapan sepasang iris biru itu menjadi kosong, sejurus kemudian Annie membisu. Ia takkan pernah bisa menelepon ayahnya, ia tak perlu lagi bertemu dengan rutinitas monoton lagi. Ayahnya telah pergi, begitu pula dengan dirinya.

...***...

...***...

"Bayarannya?"

Annie berjengit kesal, "Bayaran apa?"

Pria bertudung itu berusaha berdiri dengan kepayahan di atas kapal kecilnya, "Kau tidak bisa menyeberangi Sungai Styx tanpa memberikan bayaran, Nona."

Pria itu menaiki dermaga kecil itu dengan menggunakan dayungnya untuk menahan bobot tubuhnya. Ia mendekati Annie yang masih berdiri waspada.

Awalnya suara pria itu sedikit bergetar, "Kau punya koin yang lebih dari cukup untuk menyeberang. Bahkan cukup untuk semua anak-anak yang berkeliaran itu."

Annie mengambil enam koin emas di saku jas putihnya, diamatinya lekat-lekat, "Ini?"

Siapa pun itu yang telah memberikan koin itu kepada Annie, ia sangat berutang budi kepadanya. Ia tahu tak ada jalan kembali. Ia percaya Tuhan selalu punya rencana untuknya. Keenam koin itu pada akhirnya diserahkan ke pria berperahu.

Ditatapnya lamat-lamat pria yang wajahnya tertutup tudung gelap itu, "Ke mana ujung sungai ini, Tuan?"

Si pria itu mempersilakan Annie menaiki perahu. Setelah Annie duduk, pria itu melepaskan tali penambat di tiang pancang, lalu menaiki perahunya. Perlahan, perahu itu menjauhi hulu sungai.

Pertanyaan Annie tak kunjung dijawab. Ia bungkam lalu memilih untuk duduk memeluk lutut di haluan.

...***...

...***...

"Ujung yang berwarna jingga itu adalah Inferno, tapi aku tidak akan mengantarmu ke sana."

Annie tetap menghadap depan, mengamati kaki langit jingga yang kata si pria adalah Inferno. Ia mengucap syukur berulang-ulang bahwa tempat itu bukan tujuannya.

"Sepertinya kita tidak bergerak. Aku bisa menggantikan Anda mendayung, mungkin?"

"Tentu saja kita bergerak. Tetaplah duduk, Nona. Ini tugasku."

"Anda sudah lama berada di sini?"

"Lama yang kau maksud mungkin berbeda dengan lama yang ada di pikiranku."

Annie membalasnya dengan kerutan dahi.

Si pria itu kembali berujar, "Anggap saja aku hanya pendayung pemula. Aku hanya menggantikan seorang pria besar yang seharusnya menjadi pemilik kapal reyot ini."

"Oh ya? Lalu ke mana pria itu?"

"Pergi menghilang karena aku bertengkar dengannya."

Annie berbasa-basi, "Kalau dia kawanmu, jangan lupa untuk berbaikan dengannya, oke?"

"Entahlah, aku tak yakin. Pertengkaran kami menyebabkan kakiku pincang. Ah, mungkin kita harus menghentikan pembicaraan ini."

Semilir angin dingin menerpa sebelum Annie mengucap maaf lirih.

"Tidak masalah, Nona."

Ada jeda waktu agak lama sebelum si pendayung kembali berbicara, "Tahukah kau, Nona? Dulu aku sangat ingin pulang. Keinginanku membuatku membangkang. Pria pendayung itulah yang jadi korban. Karena itulah aku akan selamanya di sini. Tidak ke Inferno, tidak ke Purgatorio, dan tidak juga ke Paradiso. Yah, setidaknya untuk saat ini."

Annie melempar ucapan sarkatis, "Hei Tuan, kukira Anda tidak mau membicarakan hal ini lagi?"

Pria itu terus mendayung tak peduli dengan celotehan wanita berambut jagung itu, "Kau bisa memanggilku Jaeger. Lalu dengan siapa aku berbicara?"

"Annie."

"Hanya Annie?"

"Ya, aku hanya seorang Annie. Tidak lebih."

"Kau pasti banyak melakukan hal baik."

"Tidak juga."

"Begitukah? Tahukah kau Annie, koin emasmu adalah representasi kehidupan duniamu."

Perempuan yang duduk di haluan itu tetap terdiam, mencerna perkataan Jaeger dengan setengah tidak percaya.

Si pendayung melanjutkan, "Siapa pun yang tidak bisa membayar, dia tidak akan bisa menyeberangi Sungai Styx."

"Anak-anak kecil itu?"

"Ah, kau cepat tanggap juga," Jaeger terkekeh. "Tidak ada orang yang cukup baik hati untuk menanggung mereka, meskipun mereka pergi ke sini sebelum mereka lahir."

Emosi Annie meninggi, "Lalu kenapa? Bukankah mereka tidak sempat berbuat buruk karena bahkan mereka tidak pernah melihat dunia?!"

"Tahukah kau, mereka membuat orang tua mereka sedih. Mereka tak akan pernah bisa menuju langsung ke Paradiso, kecuali mereka bisa membangun menara tangga mereka sendiri."

Batin Annie serasa tertusuk, malang sekali mereka.

Ia masih terkagum-kagum. Memang apa yang sudah ia lakukan di dunia atas hingga bisa membawa koin yang cukup untuk menanggung anak-anak itu? Annie tak punya ide untuk itu.

Jaeger masih melanjutkan, "Aku tak tahu penjurian yang dilakukan hakim besar itu macam apa. Kau melakukan banyak kebaikan, tapi aku tak paham kenapa kau tidak dikirim langsung ke Paradiso."

"Kenapa?"

"Sudah kubilang aku tidak tahu."

"Lalu kenapa kau bisa tahu ke mana tujuanku nanti? Kalau aku pernah melakukan kesalahan, kenapa kau tidak mengantarku ke Inferno?"

"Sederhana saja, karena kau memang tak perlu ke sana. Cap di punggung tanganmu itu petunjuknya."

"Kenapa kau yakin sekali? Kau bukan Tuhan."

"Tuha—" pria itu terbatuk. "Maaf," ia berdeham sebelum melanjutkan. "Sudah lama aku tak mendengar nama kudus itu. Akhirnya aku bisa mendengarnya lagi, rasanya rindu sekali."

"Terima kasih, Nona," ucap pria itu seraya tersenyum getir. Meskipun kurva setengah parabola itu hanya dirasakannya sendiri.

"Aku tidak paham kau berterima kasih untuk apa? Aku hanya duduk saja dari tadi," ucap Annie menutupi hatinya yang ngilu.

Pria bertudung itu tidak menjawab, tetapi batinnya berucap, "Karena aku sudah tidak bisa menyebut nama itu."

Annie berhenti menanya, meskipun masih banyak yang ingin ia utarakan, meskipun satu pertanyaan membelah menjadi seribu.

...***...

...***...

Annie memeluk lututnya, satu per satu memorinya kembali ke ceruk otaknya. Umurnya 80-an ketika ia pergi, sementara ayahnya telah lama pergi meninggalkannya. Cincin perak itu adalah wasiat yang diberikan ayahnya sebelum pria penyayang itu putus hubungan dengan dunia fana.

Bodoh sekali, bagaimana bisa Annie melupakan hal sekrusial itu.

Barangkali hal yang menjauhkan dirinya dari api abadi Inferno adalah semua yang ia lakukan sepanjang hayat.

Kasih sayang yang diberikan ayahnya seperti pedang bermata dua. Satu sisi membentuk Annie menjadi dokter yang tangguh, satu sisi membuat mentalnya rapuh dengan tuntutan ini-itu. Setelah ayahnya mangkat, ia memilih membuang dirinya sendiri dengan mengabdikan sisa hidupnya untuk menjadi relawan. Tersesat dalam kebingungan mencari jati diri. Tanpa menikah, tanpa punya anak.

Banyak nyawa yang telah Annie selamatkan, tetapi kesalahan fatalnya adalah ia menyia-nyiakan hidupnya sendiri dengan bersikap acuh tak acuh pada setiap orang yang mengasihinya. Meskipun bukan itu maksud Annie yang sebenarnya.

Ia sangat menyayangi ayahnya, meski ayahnya bertingkah seperti diktator. Agaknya Annie perlu berterima kasih, karena tanpa ayahnya ia takkan bisa apa-apa.

Kedua matanya terasa panas, ia bisa meledakkannya kapan saja.

...***...

...***...

"Apa kau menyesali kehidupanmu?" tanya Jaeger.

"Tidak, tidak pernah, tapi aku bukan orang yang baik."

Pria itu mendayung sambil menjawab sekenanya, "Siapa yang bilang?"

"Aku."

"Tentu saja kau orang yang baik."

"Kenapa kau masih berpikir seperti itu?"

"Karena kau pernah menyatukan lenganku, dan kau tak punya pamrih dengan semua itu. Aku melihat matamu waktu itu, mereka tidak bisa berbohong."

Mata Annie memicing, "Aku tidak ingat."

"Tentu saja kau tidak mungkin ingat. Itu sudah lama sekali. Terima kasih untuk itu."

"Definisi lama menurut aku dan kau mungkin berbeda, dan kembali kasih tapi aku masih tidak ingat."

"Harusnya itu kata-kataku."

"Aku hanya melakukan hal yang biasa."

Annie mengedikkan bahunya, ada seulas senyum di bibirnya. Ia ingin tertawa geli. Tuhan benar-benar membuat skenario yang apik untuknya, meski ia menganggapnya agak konyol juga.

Annie dan sepanjang umurnya adalah sebuah paradoks.

Jaeger mengarahkan perahunya ke tepian, ada gerbang besar di depan mereka.

"Sudah sampai, aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Selanjutnya kau harus meneruskannya sendiri," ucap pria itu sambil membuka tudungnya. Rambut gondrong pria itu terlihat acak-acakan. "Kau sudah menjalani kehidupanmu dengan sangat baik. Kerja bagus."

Seulas senyum tulus menghiasi wajah kumal pria itu. Sebuah senyuman tulus tanpa ada beban tertinggal.

Annie mengangguk, "Tentu, terima kasih sudah mengantarkanku."

Saat Annie sudah melompat ke darat, ia teringat sesuatu, "Jaeger?"

"Ya?"

"Apakah aku pernah mengenalmu?"

"Entahlah, aku hanya seorang tukang perahu."

Barangkali pria ini pun adalah paradoks, paradoks yang ditemukan Annie puluhan tahun lalu di IGD Rumah Sakit Stohess. Lagi pula tukang perahu mana yang bisa mengetahui detil kehidupannya? Dahi Annie berkerut seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kalimat yang keluar tidak sinkron dengan isi pikirannya, "Bolehkah aku tahu nama tempat apa ini?"

Pria itu menjawab tanpa kurang satu pun silabel, "Purgatorio."

Ia dan pria itu sama-sama paradoks, jadi tidak seharusnya hati Annie merasa ngilu.

...***...

...***...

Mosaik 2 : Selesai

...***...

Ad Infinitum : Complete

..

...*...*...

..

'Emir is typing' corner :

Fanfiksi ini menggabungkan mitologi underworld-nya Yunani sama versi Jepang. Judul chapternya juga terinspirisisapi(?) dari puisinya Dante Alighieri yang Divine Comedy. Intinya, semua ini saya campur dengan bumbu ini-itu untuk kepentingan cerita. Oke bos! *ditendang*

Terima kasih banyak ya sudah sempat mampir di fanfiksi ini, terima kasih juga bagi siapa aja yang bersedia maso untuk nunggu fic ini apdet. Di mosaik 2 ini saya berusaha buat menjawab semua ketidakjelasan di mosaik 1. Mungkin akan saya edit sedikit nanti. Namanya juga mosaik, baru jelas kalau udah disusun jadi satu *ditendang lagi*

Fanfiksi ini hanya ada dua bagian. Akhir kata, sampai jumpa di kesempatan lain .… :D

Wkwkwk-land, 26 Agustus 2018.

...***...

Epilog

...***...

Eren Jaeger telah menunaikan janjinya; mengucap terima kasih pada seorang wanita beriris biru cemerlang. Mata wanita itu masih sama cemerlangnya dengan saat pertama kali Annie menyatukan lengannya, biru seperti warna si raksasa Rigel di rasi Orion.

Sesuai janjinya; ia akan menyerah. Wanita yang ia antarkan telah menghilang di balik gerbang Purgatorio.

Eren berbalik, "Setidaknya sekarang aku punya tujuan untuk diriku sendiri."

Lalu ia mendayung perahunya kembali dalam diam, menuju Inferno.

...***...

...***...