Wanita berambut hijau itu menatap jendela dari tempat tidurnya. Titik-titik air hujan terpantul di kaca dan meninggalkan jejak berupa tetes air sebelum turun dan menghilang. Bersamaan dengan itu, ia juga mendengar suara guntur dan hantaman angin kencang sehingga si gadis mengerutkan dahi. Di luar sana hujan pasti turun sangat deras.

Namun ketika pintu kamarnya menggeser terbuka dan menampilkan sosok pria dengan manik dwiwarna yang berbeda, ia pun mengerutkan dahi. Pria itu mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan kemeja berwarna hitam di bagian dalam dan dasi berwarna merah. Izuku tidak ambil pusing soal itu, ini penampilannya yang biasa. Ia hanya bingung, kenapa tidak ada tetes-tetes air hujan di kepala dan baju pria itu. Padahal di luar sana hujan turun sangat deras.

Senyum pria itu menyambutnya terlebih dulu sebelum ia dapat berkata-kata. Mengambil tempat duduk di samping ranjangnya, pria itu meletakkan terlebih dulu bunga yang ia bawa. Kali ini ia tidak melihat warna merah seperti yang selalu menghiasi ruangannya. Alih-alih merah, pandangannya justru bertemu dengan warna putih dan hal ini membuatnya penasaran. Jauh lebih penasaran dibanding saat ia melihat tetes hujan yang luput menodai penampilan pria itu.

" Putih?" Ia bertanya saat pria itu selesai meletakkan bunga dan duduk di sampingnya.

Si pria menatapnya dan menyunggingkan senyum yang sedikit lain padanya, " Mengganti suasana."

Manik hijaunya menyipit sedikit sementara dahinya berkerut sekejap. Namun Izuku tak mau mempermasalahkan alasannya dan berkata, "Bunga apa ini?"

Tak langsung menjawab, pria bernama Todoroki Shouto itu mengalihkan perhatiannya pada bunga yang ia bawa dan berkata, "Kenapa? Kau tak suka?"

"Aku... hanya penasaran," jawabnya dengan pandangan tertuju pada bunga itu. Bila sebelumnya yang datang padanya adalah bunga mencolok berwarna merah, kali ini bunga yang dibawakan memberikan kesan yang jauh berbeda. Warna putihnya jauh lebih menenangkan dan lebih... lembut? Entahlah.

Pria di sampingnya bergumam sedikit, "Namanya Tsubaki."

Izuku mengangkat kepalanya dan ia menoleh, "Tsubaki?"

Pria itu mengangguk sementara Izuku kembali mengalihkan pandangan pada bunga berwarna putih di samping ranjangnya. Kepalanya disandarkan pada bantal sementara kedua manik hijaunya menatap bunga putih tersebut.

"Cantik."

Pria di sampingnya tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap bunga itu dan bergantian menatap wanita yang baru saja sadar sebulan lalu itu.

"Cantik, ya?"

.

.

.

TSUBAKI by Cyancosmic

Boku no Hero Academia not mine

Warning : Fem! Izuku, AU, OOC, OC, Typo everywhere

.

.

.

Chapter 1. A child's drawing

Manik hijau itu memandangi pemandangan di sekelilingnya. Di hadapannya terbentang taman yang cukup luas dengan bonsai di sekelilingnya. Di bagian tengah taman, terdapat kolam kecil dari batu-batuan dan jembatan kecil di atasnya. Beberapa menit sekali ia akan mendengar bunyi tuk pelan dari batang bambu yang berada di dekat kolam akan turun dan menumpahkan air yang nantinya bergabung dengan air di dalam kolam.

Ia bosan.

Ini sudah hari ke sembilan belas sejak ia keluar dari rumah sakit dan menetap di rumah bergaya Jepang milik pria itu. Namun tak ada yang dapat dilakukannya selain duduk di depan teras kamar dan menatap pemandangan. Para pelayan di sekitarnya pun tak membiarkannya membantu mereka sehingga ia hanya dapat duduk manis sembari menunggu kepulangan pria itu.

Aneh. Padahal dulu ia terbiasa menunggu di dalam ruangan yang terkunci dengan tidak melakukan apa pun selain menunggu kepulangan pria itu. Tapi anehnya, waktu cepat sekali bergulir dan tanpa terasa pria itu sudah mengunjunginya lagi dan lagi. Berbeda dengan sekarang, waktu sepertinya bergulir terlalu lambat padahal mereka melaju dengan kecepatan yang sama.

"Nyonya," sapa salah seorang pelayannya, "masuklah ke dalam. Di luar angin sangat kencang hari ini, bisa-bisa Anda sakit."

Ia menatap si pelayan dan menggelengkan kepalanya pelan. "Terima kasih."

Walaupun sedikit tidak setuju, si pelayan tidak dapat berbuat apa pun. Ia tidak berani memaksa Nyonya rumahnya dan hanya dapat menundukkan kepala. Ditinggalkannya wanita itu sendirian di teras sementara para pelayan meninggalkan tempatnya.

Nyonya. Itulah sebutan yang para pelayan berikan padanya sejak sembilan belas hari yang lalu. Label itu melekat padanya sebelum ia sempat menanyakan apa maksudnya. Padahal ia tidak merasa memiliki rumah besar bergaya Jepang yang ia tinggali sekarang. Ia – Midoriya Izuku – hanyalah seorang gadis yatim piatu biasa dengan suami yang telah meninggalkannya. Ia tidak layak menerima sebutan itu hanya karena ia telah melahirkan seorang penerus bagi grup Endeavor.

Tidak. Izuku tidak pernah menikah dengan pemilik rumah. Dulu ia tawanan bagi si pemilik rumah karena pria itulah yang membiayai semua pengobatan suaminya. Selama itu ia diharuskan untuk tinggal di dalam ruangan dan menunggu pria itu. Ia memberikan pria itu semua yang diinginkannya namun tak pernah disangkanya bahwa ia akan dibiarkan mengandung dan melahirkan anak pria itu. Ia kira, pria itu hanya ingin menggunakannya sebagai pemuas nafsu sesaat dan bukan membiarkannya memiliki keturunan atau membawanya pulang ke rumah untuk dijadikan istri. Izuku benar-benar tidak mengerti.

Seharusnya setelah suaminya meninggal, ia tak punya kewajiban apa pun lagi pada pria itu. Ia tak mesti tinggal di rumah besar ini, juga tak mesti menunggu kepulangan pria itu. Ia bukan lagi tawanan, pria itu pun mengatakan demikian. Ia bisa saja pergi, namun sesuatu menahan kakinya di sini. Menambatnya dengan rantai tak terlihat sekalipun ia sadar bahwa ia tak ada gunanya lagi bagi pria itu.

"Mama!"

Panggilan diiringi derap langkah kaki mungil di koridor itu membuatnya menoleh. Dengan cepat, kedua manik hijaunya menemukan bocah laki-laki yang tengah berlari melintasi koridor dengan begitu bersemangat. Senyum bocah itu merekah saat melihatnya sementara rambut hijaunya yang halus berkibar tertiup angin saat ia berlari. Ketika si bocah sudah dekat, dihimpunnya seluruh tenaga dan menghambur ke pelukannya sembari menggelayut manja. Dengan nada cerianya bocah itu berkata, "Mama, Tadaima!"

Tangannya lebih dulu mengusap-usap rambut bocah itu sementara senyum turut menulari wajahnya saat melihat si bocah. Ia pun berkata, "Okaeri, Shizuku!"

Mendengar namanya dipanggil, Shizuku pun mengangkat kepalanya. Ia memperlihatkan deretan gigi bungsunya yang belum tumbuh sepenuhnya dan berkata, "Mama! Shizuku hari ini menggambar. Mama mau lihat? Shizuku pintar lho!"

Izuku mengangguk mendengar celotehan putranya itu dan seketika itu juga Shizuku merogoh tas bergambar pahlawan All Might miliknya untuk mencari sebuah buku. Dikeluarkannya dengan hati-hati buku tersebut dan ditunjukkan salah satu halamannya pada sang Ibu sementara ia menunggu penuh harap. Manik kelabunya berbinar sembari mengawasi kedua manik hijau yang tengah mengobservasi gambar di hadapannya.

Di atas kertas, Izuku dapat melihat gambar yang cukup sederhana. Seluruhnya ada tiga orang bila Izuku mengecualikan matahari berwarna kuning di atas kepalanya. Dua orang berukuran besar dan satu orang berukuran kecil. Satu yang besar sepertinya laki-laki dan satunya lagi wanita. Sementara yang kecil sepertinya laki-laki dengan rambut berwana hijau seperti si wanita. Tak sulit menebak siapa model dari ketiga tokoh yang digambar oleh putranya itu.

"Pintar sekali," puji Izuku ketika melihat gambar tersebut dan tersenyum padanya. "Shizuku pintar!"

Cengiran lebar menghiasi wajah bocah berusia lima tahun itu dan ia pun berkata, "Fumi- sensei juga memuji gambar Shizuku, katanya gambar Shizuku sangat realistis."

"Realistis?"

Shizuku mengangguk sementara ibunya membalik-balik halaman lain. Satu persatu dibukanya halaman tersebut dan mempelajarinya, namun tangannya berhenti ketika melihat gambar yang sama dari satu halaman ke halaman lain. Izuku terdiam sejenak yang membuat perhatian putranya tertuju padanya.

"Ah," ucap putranya ketika melihat gambar yang tengah diperhatikan oleh sang Ibu, "gambar ini waktu hari Ibu. Fumi-sensei minta kami menggambar potret Mama."

Izuku terdiam. Gambar itu hanya gambar anak kecil, dilukis dengan krayon warna-warni. Tidak ada yang istimewa dari gambar tersebut, hanya ada sebuah ranjang dengan seseorang berambut hijau di atasnya. Di samping ranjang ada pot bunga berwarna merah sementara orang yang berbaring terhubung dengan selang. Tak jauh darinya ada dua orang, satu besar dan satu kecil berdiri di sampingnya.

"Shizuku...," panggilnya saat melihat gambar itu dan membandingkan dengan gambar lain selain yang terakhir, "gambarnya... sama?"

Kedua manik kelabu putranya mengerjap sedikit sebelum menjelaskan dengan sok dewasa, "Beda, Mama. Ini waktu hari Ibu dan ini waktu seminggu sebelumnya. Lihat! Ini beda 'kan?"

Izuku tidak mengerti, baginya gambar ini sama. Gambar berulang perihal dirinya yang terbaring di rumah sakit sementara pria itu dan putranya berdiri di sampingnya. Selain gambar tiga orang berdiri berdampingan, seluruh isi buku gambar putranya hanya gambar ini.

"Apa... Shizuku tidak ingin menggambar yang lain?" Izuku bertanya sambil menatap putranya. "Bunga, hewan, atau apa pun?"

Shizuku kembali menggerakkan kepala dan ia berkata, "Tapi Sensei tidak minta Shizuku menggambar binatang. Sensei minta Shizuku menggambar hal yang paling Shizuku suka."

"Dan...," Izuku berhati-hati sebelum melanjutkan, "ini hal yang paling Shizuku suka?"

Sang putra kembali mengangguk dengan bersemangat. "Iya."

Mendengarnya Izuku terdiam sedikit. Ia menatap gambar di tangannya dan seketika tenggorokannya tercekat. Ia mengingatkan dirinya sendiri, ini bukan salah putranya. Sedari lahir, putranya hanya tahu bahwa dirinya terus terbaring di tempat tidur. Bagi putranya, kenangan itulah yang membekas dan akan terus membekas bila ia tidak membuka matanya.

"Mama," panggil putranya dengan sedikit khawatir, "apa... gambar Shizuku jelek?"

Perkataan putranya membuat Izuku sedikit gelagapan. Ia menggelengkan kepala dan kembali tersenyum, "Tidak. Gambar Shizuku bagus, sangat bagus."

"Tapi," kata putranya sambil menundukkan kepala dengan sedih, "Mama... tidak tersenyum melihatnya."

Bodohnya ia bila mengira bahwa ia dapat mengelabui bocah berusia lima tahun ini. Ia tidak mengira bahwa dirinya akan diamati seperti itu oleh sang putra dan ia lupa bahwa dirinya merupakan obyek observasi bagi sang anak. Tentu saja putranya akan mengamatinya dengan intens dan mempelajari semua gerak-geriknya. Satu gerakan salah dan putranya akan menggembungkan pipi, dahi berkerut dan kepala tertunduk. Manis namun mematikan.

"Maaf, maaf," ucap Izuku sambil memeluk putranya, "Mama terkejut karena melihat gambar yang sama. Maaf ya, Shizuku!"

Kepala putranya dimiringkan sedikit, "Memangnya kenapa Mama? Apa itu jelek? Apa tidak bagus?"

"Bukan tidak bagus, hanya...," Izuku memutar otak, mencari alasan untuk diucapkan pada putranya, "hanya Mama kira Shizuku dihukum menggambar yang sama oleh Sensei."

Shizuku menggeleng, " Shizuku tidak dihukum. Fumi-sensei sangat baik."

Sebagai balasannya Izuku hanya mengucapkan 'Syukurlah kalau begitu,' dan kembali membalik-balik halaman yang sama. Ia terus menatap gambar tersebut sebelum akhirnya ia berhenti dan menatap putranya. Sebuah ide terlintas di benaknya dan ia tertarik untuk membaginya dengan putra mungilnya.

"Ngomong-ngomong, apakah di sekolah Shizuku selalu ada pelajaran menggambar?"

Manik kelabu yang polos itu memandanginya dan ia berkata, "Tidak, besok Shizuku berenang. Menggambar masih besok dan besoknya lagi, Mama."

"Kalau begitu, mau keluar bersama Mama?"

Shizuku mengerjapkan mata. "Keluar?"

Izuku mengangguk, "Supaya gambar Shizuku beragam. Mau?"

Hampir tanpa dipikir, bocah polos itu menatapnya dengan mata berbinar dan menganggukkan kepala. Si bocah berseru dengan bersemangat sementara sang Ibu tertawa mendengarnya. Begitu senangnya hingga mereka lupa bahwa keduanya tidak diperbolehkan keluar dari rumah tanpa pria itu. Pulang nanti, mereka harus menghadapi konsekuensi dari perbuatan keduanya.

.

.

.

"Apa eskrimnya enak?"

Shizuku mengangguk kuat-kuat sebelum memberikan tanda ok dengan jemarinya. Ia menjilati eskrim yang dibelikan oleh sang Ibu sementara keduanya berjalan di pedestian dengan toko-toko berjejer menjajakan berbagai macam hal yang menarik pandangan seorang bocah berusia lima tahun. Matanya menjelajah sekitarnya dengan antusias sementara salah satu tangannya digandeng sang ibu.

Pandangannya berhenti di hadapan sebuah toko bertuliskan 'Pet shop'. Dengan segera, ditariknya sang Ibu agar mengikutinya dan bersama-sama mereka berhenti di hadapan kaca besar dengan berbagai mata yang tertuju pada mereka. Bukannya takut, bocah kecil satu itu malah menatapnya dengan manik kelabu yang berbinar lebar.

"Mama! Mama! Mau ini! Mau ini!'

Izuku mengikuti pandangan matanya dan turut memandangi seekor anjing berbulu cokelat yang balas memandangi mereka. Kakinya putih seperti mengenakan kaus kaki, kupingnya lebar dan matanya hitam bulat sempurna, sangat manis. Namun baru saja ia hendak berkomentar, putranya sudah menunjuk yang lain dan berkata, "Mau ini juga. Mau yang ini juga. Belikan, Mama! Belikan!"

"Shizuku..."

"Kita beli ya, Mama?" Putranya memeluknya dan merajuk. "Ayo kita beli semuanya!"

Dahi wanita berambut hijau itu berkerut mendengar perkataan sang putra. Ia tidak membawa banyak uang dan tidak yakin bahwa rekeningnya masih aktif. Ia ingin sekali mengabulkan keinginan putranya, terlebih ketika melihat manik kelabu yang berbinar penuh semangat itu dan senyum manis penawan hatinya. Namun ia tak yakin pria pemilik rumah akan setuju dengan keputusannya.

"Nanti kita tanya Papa dulu, ya?" Izuku berkata sambil berjongkok di samping putranya, "Apabila Papa setuju, nanti Mama belikan!"

"Papa pasti setuju," balas putranya sambil menepuk tangannya. "Ayo Mama, belikan! Belikan!"

"Iya, kita tanyakan dulu malam ini, ya?" bujuk Izuku sambil merapikan rambut putranya, "kalau Papa setuju kita akan beli besok. Oke?"

Walaupun sedikit kecewa, putranya rupanya mengerti. Bibirnya mengerucut sedikit mendengar perkataan sang Ibu, namun sikapnya cukup dewasa untuk anak seusianya. Dengan penuh pengertian bocah satu itu mengangkat jari kelingkingnya dan berkata, "Baiklah. Mama janji?"

"Janji," balas sang Ibu sambil mengaitkan jari kelingking di tangan putranya. Keduanya tersenyum sesaat sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan mereka.

Terik matahari sudah melewati puncak kepala keduanya dan Izuku sedikit lelah berjalan. Ia ingin berhenti, namun putranya kerap menyeretnya berjalan membawanya ke sana ke mari. Sesekali ia akan meminta agar putranya melambatkan langkah sementara ia menarik napas dan menghapus keringat. Ia tidak tahu bahwa menemani bocah berusia lima tahun ternyata semelelahkan ini.

"Ah, toko bunga Asui!"

Izuku mengulangi perkataan putranya dengan pertanyaan. Namun sebelum ia mendapatkan jawaban, putranya sudah menarik tangannya dan membawanya melangkah masuk ke dalam. Bahkan sebelum ia ragu-ragu, putranya sudah mendorong pintu hingga terbuka dan memandunya menuju ke ruangan yang dipenuhi dengan bunga beraneka warna.

"Selamat da... Ah!"

Si pemilik toko menghentikan ucapannya ketika melihat kedatangan mereka. Pandangannya lebih dulu tertuju pada si bocah kecil yang meneriakkan namanya dan lari menghampirinya dengan penuh semangat. Tentu saja ia menyapa bocah itu terlebih dulu seraya berkata, "Apa kabar, Shizuku-chan?"

"Asui!" pekik bocah itu dengan riang. "Tebak Shizuku datang dengan siapa? Tebak!"

Gadis pemilik toko itu mengerutkan dahi mendengar pertanyaan pelanggan mungilnya. Untuk sesaat pandangannya tertuju pada orang yang datang bersama dengan si pelanggan dan menyipitkan mata. Keduanya memiliki warna rambut yang sama dan senyum polos yang sama saat melihatnya, membuatnya tak sulit menyimpulkan. Kemiripan genetik di antara keduanya sudah begitu jelas baginya.

"Mama Shizuku-chan, ya?"

"Benar," Shizuku menjawab dengan bersemangat. Lalu dengan antusias, bocah satu itu menarik si pemilik toko bunga dan membawanya mendekat pada sang Ibu. Tingkah sok dewasanya diperlihatkan saat ia berkata, "Asui, Mama! Mama, Asui!"

Entah dari mana bocah itu belajar memperkenalkan seseorang. Kedua wanita itu saling bertatapan sejenak saat mereka diperkenalkan sebelum tersenyum dan berjabat tangan.

"Konnichiwa, Asui-san!" Wanita itu berkata, "Senang bertemu denganmu."

"Senang bertemu denganmu Nyonya Todoroki."

"Ah, namaku Izuku." Ia berkata cepat yang membuat Asui mengerutkan dahi. "Panggil saja Izuku."

Tanggapan yang sedikit terlalu cepat itu tak luput dari perhatian Asui. Ia menyadari ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu. Hanya saja, ia rasa tak pantas menyelidiki privasi seseorang sehingga ia praktis tak menanyakannya. Ia hanya membalas dengan senyum sebelum beralih pada si pelanggan kecil.

"Tumben sekali Shizuku-chan kemari tanpa Papa," ucap si pemilik sambil menggodanya. "Shizuku-chan kabur dari rumah, ya?"

"Siapa bilang?" Si bocah tersinggung mendengar tuduhan itu. "Shizuku sedang jalan-jalan dengan Mama. Ya, Mama, ya?"

"Ah, Shizuku-chan hanya beralasan."

"Tidak, kok!" Shizuku membalas dengan ngotot. "Shizuku benar-benar menemani Mama, nanti juga Shizuku pulang."

"Jangan bohong!"

"Tidak bohong!"

Izuku hanya bisa tersenyum mendengar percakapan keduanya. Walaupun usianya jauh berbeda, entah bagaimana dialog antar keduanya terkesan begitu natural. Dalam hati ia mempertanyakan, jangan-jangan gen nya yang mudah akrab dengan orang lainlah yang lebih kental mengalir dibanding gen pria itu.

"Baiklah, Shizuku-chan dan Mama Shizuku." Si pemilik toko akhirnya menyudahi kejahilannya pada si pelanggan cilik dan kembali pada tugas utamanya. Pelanggan yang datang biasanya memerlukan sesuatu darinya maka itu ia bertanya, "Ada yang bisa kubantu?"

"Ya, Shizuku mau bunga yang biasa," jawab si pelanggan kecil. "Bunga yang biasa, Asui!"

"Bunga yang biasa?" Si pemilik toko berkata sambil mengerutkan dahi. "Ah, bunga merah yang cantik itu? Bunga itu sedang kosong saat ini, Shizuku-chan."

Ekspresi yang tadinya berbunga-bunga kini berubah menjadi penuh kekhawatiran. Ditatapnya sang Ibu yang balas menatap dengan bingung, sebelum ia menghampiri si pemilik dengan panik. Si pelanggan kecil berbisik dengan berisik seperti biasa.

"Asui, tapi itu bunga kesukaan Mama," bisiknya keras. "Mama sangat suka bunga itu, Asui."

Untuk menanggapinya, si pemilik toko bunga pun menunjukkan ekspresi wajah yang serupa dan ia berkata, "Aku tahu, Shizuku-chan. Tapi yang ada hanya bunga berwarna putih ini. Apakah Mama juga suka bunga yang putih ini?"

Shizuku menatap bunga berwarna putih yang ada di tangan si pemilik bunga. Ia mengerutkan dahinya sebelum menerima bunga itu. Masih dengan ekspresi tertunduk, bocah itu berjalan menghampiri sang Ibu dan sembari memeluk bunganya erat ia berkata, "Mama, bunga yang merah tidak ada. Jadi.. um..."

"Hm?"

"Yang putih saja, boleh?"

Izuku berjongkok sedikit untuk menyamakan tingginya dengan tinggi putranya. Ia menatap bunga berwarna putih yang ada di genggaman tangan putranya dan dahinya berkerut. Bunga itu bunga yang sama dengan yang dilihatnya di samping ranjangnya. Bunga berwarna putih yang memberikan kesan berbeda dari bunga berwarna merah yang sering diterimanya. Ia ingat namanya dan karena itu ia berkata, "Tsubaki."

Si pemilik toko bunga terkejut saat mendengar gadis itu menyebutkan nama bunganya. Alisnya bertaut sejenak sebelum akhirnya berkata, "Betul, namanya Tsubaki, Izuku-san. Anda cukup mengenal jenis-jenis bunga rupanya."

Izuku menggeleng dan tertawa, "Tidak. Shouto yang mengatakannya padaku."

"Ah..."

Kembali pada putranya, Izuku pun berkata, "Apakah bunga ini boleh untuk Mama?"

Kepala si bocah kecil langsung terangkat mendengar perkataan sang Ibu. Manik kelabunya berbinar penuh harapan dan dengan antusiasme yang sama ia berkata, "Boleh. Boleh buat Mama. Mama mau semua? Ayo kita beli semua!"

Perkataan bertubi-tubi itu hanya ditanggapi Izuku dengan tawa ringan. Sembari mengusap rambut putranya dengan sayang, sang Ibu pun berkata, "Satu tangkai saja sudah cukup. Mama tidak mau merepotkan Asui-san. Sepertinya Asui-san sedang sibuk."

"Tidak apa-apa," jawab putranya menggantikan si pemilik toko, "ya, Asui? Tidak apa-apa, ya?"

"Iya, tidak apa kok," Asui menjawab sambil balas tersenyum. "Apakah kau mau kuambilkan lebih dari satu tangkai, Izuku-san? Akan kurangkaikan untukmu."

Menggeleng, Izuku pun berkata, "Satu saja, sudah cukup."

"Begitukah?" Asui bertanya dengan bingung. "Apa tidak ada bunga lain yang kau inginkan, Izuku-san?"

Wanita itu tidak langsung menjawab. Pandangannya menyebar ke segala arah, memandangi satu per satu bentuk bunga yang ada di toko sementara putranya menggandengnya. Tentu saja, sebagai pemandu yang baik, putranya terus berceloteh, memperkenalkan beberapa bunga pada sang Ibu seolah ia mengenalnya. Sang Ibu hanya menanggapi dengan senyum sementara mereka membahas satu bunga ke bunga lainnya dan berakhir pada beragam bunga yang ditaruh di sudut ruangan.

"Asui!" Si pelanggan cilik pun memanggil. "Bunga-bunga ini tidak disusun sejenis."

Tergesa-gesa, Asui menghampiri pelanggan ciliknya. Lagaknya sudah seperti manajer toko, padahal dialah pemiliknya. Tingkah yang bagi Asui menggemaskan sehingga membuatnya menghampiri komplain dari si pelanggan cilik. Lalu ia pun berkata, "Ah, ini bunga sisa perayaan Obon."

"Obon?" Shizuku bertanya padanya. "Apa itu Obon?"

"Obon itu perayaan," jelas Asui sabar, "kalau Shizuku punya Kakek dan Nenek yang sudah pergi, Shizuku bisa bertemu dengan Kakek dan Nenek saat perayaan itu."

Mulut bocah itu membentuk huruf O besar, seolah memahami penjelasan dari si pemilik toko bunga. Ia hendak mengulang penjelasan itu pada sang Ibu, namun wanita itu lebih dulu menatap bunga dalam diam. Sikap yang mengundang tanda tanya besar bagi si pemilik toko bunga.

"Apakah... aku boleh meminta bunga ini, Asui-san?"

Dahi Asui berkerut mendengarnya, tapi dipertahankannya senyum profesionalnya. Ia menghampiri wanita itu dan berkata, "Tentu, Izuku-san, akan kurangkaikan untukmu. Apakah kau ingin memilih bunga tertentu atau hanya bunga untuk Obon saja?"

"Ng," ia terdiam sejenak, "aku ingin berterima kasih. Apakah ada bunga seperti itu?"

"Tentu saja ada," jawab gadis itu sambil berkeliling dan mengambilkan bunga lain di tangannya. Ia menunjukkan bunga itu dan berkata, "Sweet pea, dalam bahasa bunga berarti terima kasih untuk kenangan indah dan..."

"Dan?"

"Selamat tinggal," ucap Asui sambil menunjukkan raut sedikit sedih. "Mungkin bunga lain saja."

"Ah, tidak," kata wanita itu sebelum Asui berbalik dan menggantinya dengan yang lain. "Yang ini saja, aku suka."

Asui kembali mengerutkan dahi. Wanita di hadapannya ini sungguh memberinya banyak tanda tanya. Andai ia reporter yang haus berita, ia pasti sudah mengajukan berbagai macam pertanyaan pada istri satu-satunya dari mafia nomor satu di kotanya. Wanita yang membuat perhatian pria seperti itu hanya tertuju pada dirinya, pastilah bukan wanita sembarangan. Tapi... kepada siapa perhatian wanita ini tertuju? Kepada siapa wanita ini hendak berterima kasih dan mengucapkan... selamat tinggal?

Namun Asui bukan wartawan, ia tidak banyak bertanya. Ia hanya mengangguk dan memberikan senyum servis sembari mengambil beberapa tangkai bunga Sweet Pea. Ditinggalkannya rangkaian bunga yang tengah dikerjakannya sebelumnya, digantikan dengan beragam bunga Sweet Pea. Dalam sekejap, sebuket bunga yang cantik pun sudah berada di dalam genggamannya dan diberikannya pada wanita itu.

"A-ah," kata wanita yang terpana melihat hasil kerjanya, "terima kasih. Berapa biayanya?"

Asui menggelengkan kepala, "Tidak perlu, Izuku-san. Ini untukmu."

"Tapi..."

"Suamimu seringkali memberi tip berlebih padaku, ini hanya hadiah kecil dariku," jawab gadis itu. " Mohon diterima!"

Wanita itu masih tampak keberatan, namun Asui meyakinkannya sehingga si wanita terpaksa mengalah. Ia menerima buket bunga itu dalam pelukannya sementara putranya menatapnya dengan bingung. Namun sang Ibu hanya memberikan senyum yang misterius sebelum keduanya beranjak dan meninggalkan toko Asui.

Ketika keduanya sudah berada di luar, barulah si pemilik toko itu menggelengkan kepala dan berkata, "Apakah ini yang kau maksud dengan menunggu?"

.

.

.

"Mama? Kok bunga yang itu? Kok bukan yang putih?"

Pertanyaan itu disambut sang Ibu dengan kepala yang dimiringkan sedikit. Bunga yang berwarna putih tersemat di saku bajunya sementara sebuket bunga yang lain berada di pelukannya. Mereka berdua duduk di dalam bus sehingga Izuku meletakkan tangannya dan merangkul putra ciliknya.

"Ini untuk seseorang," jawab sang Ibu. "Orang yang akan kita temui."

"Orang yang akan kita temui?"

Izuku mengangguk dan ia mengecup dahi putranya. "Sabar, ya! Apa Shizuku sudah lapar?"

Putra mungilnya menatapnya sambil mengerjapkan mata. Namun dengan kesabaran seorang anak kecil, bocah cilik itu berkata, "Sedikit."

"Bukannya Shizuku baru makan eskrim?"

"Makanya Shizuku bilang sedikit," balasnya sambil mengulurkan jemarinya dan mengangkat ibu jari juga telunjuk membentuk huruf C sementara manik kelabunya menyipit. "Sedikit, Mama. Hanya sedikit."

Mendengarnya Izuku pun tersenyum. Ia memeluk putranya dan memberinya kecupan sayang pada dahinya. Putranya sangat menggemaskan, ia sendiri mengakuinya. Lima tahun berlalu dan ia tak pernah menyadari bahwa putranya sudah tumbuh hingga seperti ini. Kalau saja ia tertidur lebih lama, tentu ia akan melewatkan saat-saat menggemaskan seperti ini. Untung saja orang yang akan mereka temui tidak mengizinkannya.

Bus yang mereka tumpangi membawa mereka hingga ke tempat yang dituju Izuku. Ia sendiri belum pernah ke tempat ini, tapi ingatannya mengatakan bahwa orang itu ada di sini. Entah darimana keyakinannya berasal. Ia hanya terus melangkahkan kakinya, menaiki tangga satu per satu hingga berhenti di sebuah tempat.

"Mama?"

Izuku mengusap-usap kepala putranya sebelum berlutut dan meletakkan buket bunga itu hadapan nisan. Baru setelahnya ia menundukkan kepala dan menangkupkan kedua tangannya. Matanya terpejam sementara ia berdoa.

"Mama?" Shizuku kembali memanggilnya. Ia mengguncang lengan baju tangan pendek yang dikenakan sang Ibu sebelum perhatiannya tertuju ke depan. Dahinya berkerut dan kepalanya dimiringkan sedikit. Tanpa diduga siapapun, ia berkata, "Siapa?"

Sementara ibunya memejamkan mata dan berdoa, Shizuku merapatkan diri pada sang Ibu. Kedua tangan mungilnya memeluk sang Ibu sementara ia menatap nisan dengan dahi berkerut. Pandangan matanya menyiratkan keheranan, ketakutan dan keingintahuan sekaligus. Ia terus menatap ke depan dalam diam sebelum akhirnya ia berkata, "Tidak boleh. Paman siapa?"

Mendengar perkataan anaknya, sang Ibu pun buru-buru membuka matanya. Ia menatap sekeliling dan ketika tidak melihat siapapun, ia pun menoleh pada sang anak. Dilihatnya bahwa sang anak tengah menatap ke satu titik, sehingga ia pun mengikuti arah pandangannya. Hanya saja, sosok 'Paman' yang dipanggil si Anak tidak ditemukannya di mana pun.

"Shizuku...," panggilnya. "Shizuku, ada apa?"

"Tidak boleh," Shizuku berkata dengan suara keras, "Paman tidak boleh membawa Mama."

Izuku mengerutkan dahi, namun sepertinya ia mengerti. Ia pun tersenyum sedikit dan berkata, "Tidak. Paman Katsuki tidak akan membawa Mama, kok."

"Mama?" Shizuku menatapnya dengan khawatir. "Mama! Paman pirang itu jahat. Paman pirang itu menakuti Shizuku!"

Alis wanita itu terangkat sementara ia menoleh ke arah nisan. Ditatapnya nisan bertuliskan 'Bakugou Katsuki' itu dengan lembut sebelum ia menatap putranya dan berkata, "Tidak mungkin, Shizuku. Paman Katsuki itu orang baik. Orang yang sangat baik."

"Tapi," si anak tampaknya tidak terima dan ia melanjutkan protesnya," Paman bilang bahwa Paman akan membawa Mama kalau Shizuku nakal. Mama jangan ikut Paman, ya? Shizuku tidak akan nakal. Shizuku janji!"

"Iya, Mama tidak akan ikut," jawab Izuku sambil mengusap rambut putranya. "Lagipula Paman Katsuki yang meminta Mama untuk pulang menemui Shizuku."

"Mama tidak bohong 'kan?" Shizuku berkata dengan ekspresi serius. "Shizuku dan Papa sudah lama menunggu Mama. Mama tidak boleh pergi. Ya, Mama?"

Sekali ini Izuku terdiam mendengar ucapan polos sang anak. Ia menatap putranya dalam diam dan ia berkata, "Shizuku dan... Papa?"

Putranya mengangguk, "Shizuku dan Papa bergantian membangunkan Mama. Jadi Mama tidak boleh pergi. Mama tidak boleh ke mana-mana."

Wanita berambut hijau itu tidak dapat berkata-kata. Tiba-tiba saja ia teringat pada gambar yang dilihatnya di buku gambar Shizuku dan seketika itu juga ia mengerti. Ia mengerti kenapa selalu ada tiga orang di gambar Shizuku. Ia mengerti hanya... ia tidak mengerti alasannya.

Kenapa?

Kenapa orang itu menunggunya? Kenapa orang itu mati-matian mempertahankannya? Kenapa orang itu tidak mencari orang lain selain dirinya? Ia sudah tertidur selama lima tahun dan sangat mudah bagi orang seperti dirinya untuk mencari orang lain menggantikannya. Tapi kenapa?

"Mama?"

"A-ah, iya," jawab sang Ibu. "Ada apa Shizuku?"

"Ayo pulang!" rengeknya sambil memeluk sang Ibu. "Ayo pulang, Mama! Shizuku mau pulang!"

Izuku menatap putranya sejenak sebelum ia kembali menatap ke arah nisan. Bibirnya menggumamkan sebuah kata dan ia tersenyum. Baru setelahnya ia menatap putranya yang mulai rewel dan berkata, "Ya! Ayo kita pulang, Shizuku!"

Shizuku menatap sang Ibu sebelum berganti menatap ke depan. Ia mengeratkan pelukannya pada sang Ibu sementara matanya menyiratkan kewaspadaan. Mereka berdua berjalan meninggalkan nisan, namun sesekali bocah cilik itu akan menoleh ke belakang, mengawasi. Seiring dengan setiap langkah yang diambilnya, bukannya takut bocah itu malah mengerutkan dahi dan perasaan bersalah menghinggapinya. Tangannya menggenggam erat tangan sang Ibu, dan sembari menatap ke belakang ia bergumam dengan suara pelan, "Jangan sedih, Paman! Sekali-kali Shizuku akan datang bersama Mama, tapi jangan bawa Mama, ya!"

"Shizuku?"

Kepala putranya menoleh padanya dan langsung memeluk lengan sang Ibu. Ia menggeleng sejenak sebelum akhirnya dengan manja ia berkata, "Mama, Shizuku lapar!"

"Baiklah, baiklah," jawab Izuku sambil tertawa.

.

.

.

"Tangan Mama panas," komentar sang anak ketika mereka kembali menaiki bus. "Lebih panas dari Shizuku."

"A-ah, ya," jawab Izuku sambil mengusapkan tangannya ke kepala putranya, "Mama sedikit kepanasan."

Dahi si bocah yang sulit dibohongi itu berkerut. Dari tatapannya, Izuku tahu bahwa bocah itu hendak mengajukan pertanyaan yang membuatnya sulit dikelabui. Karena itulah begitu mendengar bahwa tempat tujuannya telah disebutkan, ia pun segera bangkit berdiri. Mereka turun di halte dan baru saja hendak berjalan ketika hujan deras mengguyur keduanya.

"Hujan!" pekik Shizuku. "Mama, hujan!"

Bersama-sama, mereka kembali ke halte untuk berteduh. Keduanya menatap hujan yang turun tiba-tiba itu dengan mengerutkan dahi. Sembari mengusap-usapkan tangan keduanya memandang ke langit dengan ekspresi sedih.

"Shizuku lapar," keluh si bocah sambil menatap hujan. "Hujan berhenti! Shizuku lapar!"

Izuku membuat mental note. Ia harus mengingatkan dirinya sendiri untuk membawa bekal bila suatu kali ia dan putranya berjalan-jalan berdua. Putranya mudah kelaparan dan seorang bocah yang kelaparan bukanlah berita bagus untuknya.

"Maaf ya, Shizuku!" gumamnya sambil memeluk si bocah. Baju kaus bergambar All Might yang dikenakan bocah itu sedikit basah karena hujan yang mengguyur tiba-tiba. Tetes-tetes air pun masih menempel di rambut hijaunya sehingga Izuku menggerakkan tangan untuk menyingkirkannya. "Jadi kehujanan."

Bocah yang sebelumnya berkeluh kesah itu pun bergeming melihat kekhawatiran sang Ibu. Ia pun mengulurkan jemari mungilnya dan menyentuh pipi wanita itu. Membalas wanita itu, ia berkata, "Mama, panas!"

"Ng..."

"Mama sakit?"

Tangan yang bergerak di atas kepala si bocah berhenti saat mendengarnya. Ditatapnya si bocah sebelum seulas senyum kembali muncul di wajahnya. Lalu sang Ibu pun berkata, "Tidak, tidak sakit kok."

"Kata Papa, Mama tidak boleh sakit," ucap si bocah sambil menatapnya lurus, seperti sang Ayah. "Kalau Mama sakit, bisa berbahaya."

"Tidak," jawab Izuku cepat. "Mama baik-baik saja. Jangan khawatir, Shizuku!"

Shizuku ingin bertanya lagi, namun sesuatu menarik perhatiannya sehingga ia menghentikan perkataannya. Jemarinya menunjuk ke satu arah sebelum ia berkata, "Papa!"

Mendengar itu, Izuku pun ikut menoleh mengikuti jemari putranya. Ia berbalik dan menemukan seorang pria yang telah dikenalnya di antara pria-pria berjas lain yang memayunginya. Kelihatannya pria itu baru saja turun dari mobil sementara di sampingnya seorang wanita anggun berambut hitam memeluk satu lengannya.

Melihat itu entah mengapa ia malah menundukkan kepala dan mengalihkan pandangan. Sedikit kekecewaan menyusup ke dalam dirinya namun ia tak membiarkan dirinya larut di dalamnya. Bagaimana pun juga, ia menyadari siapa dirinya dan ia tidak ingin berharap lebih. Bagi Todoroki Shouto ia bukanlah siapa-siapa. Bahkan ia tak layak untuk berada di sampingnya seperti wanita cantik itu.

Tangan yang menggenggam bahu putranya pun terlepas begitu saja dan bocah cilik itu berlari. Izuku hendak menyusulnya namun menyadari ke mana bocah itu berlari, kakinya pun terpaku di tempat. Ia membiarkan putranya menghampiri pria itu sementara ia hanya diam menunggu. Sakit kepala yang sedari tadi ditahannya kembali mengusiknya dan pandangannya mulai mengabur. Namun ia masih dapat mengawasi hingga putranya tiba di hadapan pria itu dengan selamat.

"Papa!"

Walaupun di tengah derasnya hujan dan percakapannya dengan seorang wanita, pria itu menyadari ada suara yang memanggilnya. Kepalanya mencari-cari si pemilik suara sebelum menemukan asalnya. Ketika ia menemukannya, matanya terbuka lebar sementara bocah itu menghampirinya dengan senyum di wajah.

"Shizuku!" Ia berkata saking terkejutnya melihat putra semata wayangnya berada di tengah jalan dengan baju dan kepala basah kuyup. "Bagaimana bisa..."

Sebelum ia mengajukan pertanyaan, putranya bersin terlebih dahulu yang membuat ekspresinya bertambah panik. Dibukanya jas yang tengah dikenakannya dan disampirkannya di atas tubuh putranya. Diabaikannya tatapan wanita di sampingnya juga bawahannya saat melihat tingkahnya. Baginya, putranyalah yang penting dan bukannya mereka.

"Pakai ini dulu ,ya!" Ia berkata pada putranya. "Tahan sedikit, sebentar lagi kita akan tiba di rumah."

"Shouto, kau tidak bisa..."

"Grup Shigaraki bisa menunggu," balas pria itu sambil mengangkat dan memeluk putra tunggalnya. "Sementara itu, aku penasaran kenapa putraku bisa berada di sini. Cari tahu siapa pelayan yang membawanya keluar dan hukum dia! Bisa-bisanya ia lalai seperti ini!"

Sang bawahan menghela napas mendengar perkataan bertubi-tubi dari atasannya. Walaupun ia sedikit jengkel tetap saja dilakukannya apa yang diminta oleh sang atasan sehingga pria itu mengangguk puas. Namun wajah jengkelnya berubah pucat ketika mendengar laporan dari ponselnya. Ekspresinya yang mudah dibaca membuat sang atasan menatapnya curiga dan mengajukan pertanyaan baru.

"Ada apa?"

"T-tidak," jawab sang bawahan. "Tidak ada."

"Iida!"

Iida ragu-ragu sejenak. Belakangan ini majikannya sedikit tidak punya toleransi terhadap hal-hal yang menyangkut wanita itu dan menyampaikan hal ini, hanya akan membuat majikannya bertambah kesal. Belum lagi, ia juga harus melaporkannya di hadapan wanita lain yang berpotensi menjadi Nyonya dari Tuan Mudanya.

"Ny... Nyonya Izuku," lapor Iida akhirnya tak punya pilihan, "Nyonya Izuku yang membawa putramu."

"Izuku?" Manik dwiwarna pria itu melebar dan ia hanya mengulangi perkataan yang sama. "Izuku?"

"Ya," jawab Iida sambil menundukkan kepala, tak berani menatap wajah majikannya. "Ia... keluar berdua bersama anakmu dan..."

Sebelum Iida melanjutkan ucapannya, Shouto sudah lebih dulu berkata, "Di mana dia? Kenapa dia tidak datang bersama Shizuku? Di mana dia?"

"Shouto..."

"Apa yang kau tunggu? Segera cari dia! Aku ingin dia ditemukan segera, dia..."

"Papa!" Suara putranya menghentikan semua hiruk pikuk yang terjadi. Suara putranya menembus keheningan dan menyadarkannya. Terlebih ketika putranya berkata, "Mama di sana!"

Kepalanya bergerak mengikuti telunjuk putranya. Manik dwiwarnanya memicing sejenak sebelum akhirnya menemukan seorang wanita yang tengah memandangi mereka dari halte yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Begitu pandangannya bertemu dengan Shouto, wanita itu langsung mengalihkan pandangan dan menundukkan kepala.

Tanpa mengatakan apa pun, diserahkannya putranya pada sang bawahan sementara ia sendiri berlari. Meninggalkan bawahannya, meninggalkan wanita pilihan sang Ayah, meninggalkan kelompoknya, dan menghampiri wanita lain. Ia tidak peduli dengan hujan deras yang mengguyurnya, tidak peduli dengan berbagai pasang mata yang tertuju padanya. Langkahnya dipacu begitu kencang ketika melihat wanita itu berpaling dan hendak berjalan pergi, namun ia justru melambatkan kaki begitu sudah berada di belakang ibu dari anaknya itu.

"Izuku..."

Wanita itu tidak menoleh. Walaupun kepalanya sempat bergerak sedikit, wanita itu kembali berpaling dan memacu langkah, membuat semua pengendalian diri pria itu lenyap. Pria itu mengulurkan tangan, menahan wanita itu dan sekali lagi memanggil namanya.

Tangan wanita itu hangat, terlalu hangat untuk suhu tubuh manusia normal. Ia pun tak jadi menumpahkan semua pertanyaan yang tadinya sudah berada di ujung lidahnya. Sebaliknya ia menunggu sembari memegangi tangan wanita itu. Perasaannya tidak enak.

Dan benar saja, ketika wanita itu hendak melangkahkan kakinya lagi, tubuhnya tiba-tiba ambruk begitu saja. Manik dwiwarnanya melebar melihatnya dan ia segera mendekat. Dipeluknya wanita itu dan wajahnya ditepuk sedikit dengan harapan bahwa wanita itu akan segera sadar.

"Izuku!" Ia berkata ketika wanita itu bersandar padanya dengan mata terpejam. "Izuku!"

Wanita itu tidak menjawab. Kesadarannya sudah lebih dulu menghilang hingga ia tidak menyadari ada seseorang yang memanggil namanya dan memeluknya erat. Sorot matanya menyiratkan kekhawatiran dan ketakutan. Ketakutan bahwa ia tidak akan membuka matanya lagi dan membuatnya menunggu.

Selamanya.

.

.

.

A/N:

Holla, minna-san! Saia balik lagi. Sama dengan hachimanBoyss ; Panda Dayo; Sakura Matcha; Hikaru Rikou; Axerlio ; Nanami Yoru; Shin Aoi; dian ; ererigado ; anastaciafebby; Naru Frau Rivaille, saya juga belom bisa move on dari cerita ini, tapi keburu kepentok sama ikrar saya di awal bahwa saya nggak pengen buat cerita panjang. So di sinilah saya, membuat judul baru dengan cerita yang merupakan lanjutan dari MINE. Terima kasih buat dukungan semuanya dan selamat menikmati sequelnya. #iheartyouminna #maapsayasoksksd #disleding

Aniway, di sini saya turunin ratingnya berhubung saya nggak merencanakan adegan ena-ena buat keduanya. XD so don't worry and silakan baca dengan santai.Juga untuk reader baru, please tell me kalau nggak jelas settingny supaya saya bisa atur penjelasan tambahan.

Last, thank you for reading and as always, kasih tahu saya bagaimana kesan kalian ya XD

With love,

Cyan.