Awal Desember, bulan penghujung di tahun 1936 itu, Arthur pikir dirinya hanya akan menikmati kesibukan sendiri di pondoknya; di Arkholme, buat sekadar menulis jurnal laporan kerja atau menyesap teh panas ketika salju tengah turun dingin-dinginnya. Atau bermalas-malasan di tempat tidur sambil menontoni perapian yang menyala di seberang. Tapi itu harusnya.
Dia sudah menyeberangi dua kali perbatasan negara dengan menumpangi kereta uap. Dan Arthur sendiri tidak tahu kenapa tubuhnya bisa bergerak sejauh ini. Dia baru menyadari kebodohan itu saat kereta sudah melintasi pegunungan Pirenia yang udaranya begitu dingin―Arthur berkali-kali merapatkan mantel tebalnya―dan sesak di saat bersamaan, sebab kereta ini dipenuhi banyak orang.
Di sudut gerbong, paling ujung, Arthur bisa melihat dua tuan dengan perut buncit dan jaket kulit tebal―tudungnya berbulu wol―yang kemungkinan tengah bersawala; satu orang memegangi boks kayu berongga lebar berisi seekor ayam betina, satu lagi menunjuk-nunjuk lawan bicaranya sambil memaki dalam bahasa Prancis. Kemudian di seberang jendela, berkumpul muda-muda berseragam khaki pudar yang asik bercengkerama; dengan sigaret di masing-masing tangan dan minuman panas di atas galar jendela. Sekali dua kali tertawa-tawa; berisik, pikir Arthur. Sayangnya ini fasilitas umum dan dia harus meredam ego itu dalam-dalam.
Lelaki berusia awal dua puluhan itu menghela napas. Mungkin baru ingat kalau tujuannya adalah sama dengan kumpulan serdadu berseragam yang ada di sana.
Barcelona.
(Atau mungkin dia akan meniti satu persatu pelosok yang ada di sepanjang Katalonia.)
ujung langit huesca
hetalia © himaruya hidekazu
fanfiction © pindanglicious
saya tidak mengambil sedikit pun keuntungan dari pembuatan karya ini karena sesungguhnya saya hanya menulis atas dasar menambah asupan dan amunisi, bukan untuk memperkaya diri.
segala unsur historis di sini dipakai untuk tujuan pembelajaran, bukan menyudutkan satu pihak, bukan untuk propaganda, dan bukan untuk meromantisasi tragedi historis yang ada.
{alternative universe, historical-spanish civil war, multichap}
Barcelona yang pernah Arthur tahu adalah Barcelona yang sering diceritakan di buku-buku arsitektur atau jurnal-jurnal historikal―atau yang pernah dilihatnya adalah Barcelona yang sebatas diilustrasikan seberapa indahnya lewat lukisan besar di museum; atau di kantor-kantor besar tempatnya bekerja. Barcelona adalah kota besar yang cuma ada dalam imaginasi; sebuah utopia di kepala.
Tetapi kemudian Arthur bisa berhasil menapaki tanahnya ketika musim dingin di awal Desember berlangsung. Suasana Barcelona di hari pertama itu berbeda dari bayangan awalnya.
"Distopia," desisnya satir. Pandangan mata hijau lelaki Inggris itu bergulir ke sekeliling. Gedung-gedung di jalan dan gang-gang kecil dipenuhi bendera merah, beberapa merah-hitam―atau sebagian lagi berlambangkan palu dan arit; tembok-tembok bata ditempeli poster dan spanduk milik kaum anarkis.
Alunan musik revolusioner berkumandang lantang lewat pengeras suara dari bawah jalan Las Ramblas, Semuanya terdengar seperti balada yang bercerita tentang persaudaraan kaum proletariat dan keburukan seorang Mussolini yang begitu mengerikan.
Arthur menggerutu. Gatal untuk tidak mengomentari kondisi kota yang buruk buatnya. Jalanan dan bangunan di sini banyak yang rusak dan perawatannya sangat payah. Kalau malam menjelang, lampu-lampu jalan sinarnya terlalu redup; mungkin untuk menghindari serangan udara. Dan, ah, toko-toko di sini nyaris kosong melompong padahal dia memerlukan pemantik rokok. Sial sekali.
Hari pertamanya sudah sesuai dengan apa yang ia duga jauh sebelum sampai di Spanyol. Jelek. Tetapi Arthur tidak membenci semua itu.
Barak Lepanto memberinya prolog cerita panjang yang akan dilakoni―barangkali untuk sekali seumur hidupnya. Ribuan orang berkumpul di sana; orang pribumi atau relawan asing sepertinya sekalipun. Mereka mengenakan pakaian yang seragam berwarna kusam.
Arthur masih belum berhenti uring-uringan mencari korek api sampai seorang lelaki Italia menendang pelan betisnya dari belakang sambil bersungut-sungut.
"Apa?" Arthur memicingkan mata, pandangannya dingin. Pemuda yang berdiri setinggi ujung daun telinganya itu balik menatapnya sengit. Kalau bukan rekan sekubu, dia pasti sudah menghabisi anak tak sopan ini.
"Hoi! Berbaurlah dengan yang lain, Signore. Jangan membuat harimu sia-sia selama di sini," cerocosnya agak ketus. Arthur baru saja akan melawan, tetapi niatnya terurung ketika anak itu melemparkan sesuatu dari mantel musim dinginnya.
Korek api.
Arthur meliriknya kikuk, tak tahu harus berkata apa. Mulutnya terlalu berat buat mengucap sebuah terima kasih.
"Tidak perlu berterima kasih. Cukup ingat namaku; Vargas. Semoga harimu tidak terlalu buruk seperti alis-alis kusutmu itu, Signore!"
Si bocah Vargas buru-buru berbalik badan dan menghilang di tengah keramaian sebelum lawan bicaranya mengomel lebih banyak soal permasalahan etika dan tatakrama. Arthur mendecak jengkel, lalu merapatkan jaketnya saat angin menampar kencang-kencang. Keinginannya untuk mengisap rokok tiba-tiba hilang dan ia memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar, paling tidak, supaya bisa mengenal satu sampai empat orang di barak besar itu. Atau bisa saja mencari orang yang sudah lama ia kenal.
Dia menghentikan langkah kaki, mengintip dari balik kolom-kolom gedung yang tinggi menjulang; sekumpulan orang yang tengah mengikuti pelatihan baris berbaris di tengah lapangan bawah. Derap langkah kaki mereka menggaung sampai ke tengah-tengah, dan Arthur menontoninya dengan kening mengerut.
Mereka tergabung atas orang-orang sipil dari berbagai usia, didominasi oleh remaja tanggung yang mungkin besok beranjak jadi orang dewasa―dan, ah, bocah-bocah ingusan kurang disiplin kisaran usia lima belas tahunan. Tak sedikit dari mereka yang tidak mau diatur, memberontak, dan susah sekali didisiplinkan. Arthur yakin sekali petugas militer yang jadi supervisor mereka pasti sudah kewalahan mengurusi anak-anak setan itu. Lagipula instruksi barisannya terlalu mendasar dan membosankan. Mereka terlalu sering melakukan gerakan tiarap, melata, belok kanan-kiri, dan berjalan langkah tegap. Arthur pikir, ada hal-hal lebih krusial yang harusnya mereka ketahui sebelum perang, seperti cara membangun parapet atau parit, memakai senjata, atau bergerilya di lapangan terbuka, atau menggantikan rekan.
Dan konyolnya, tidak ada seorang pun dari pasukan militer lokal itu yang mengajari tentara asing buat berperang―atau minimal memberi pelajaran strategi berperang. Mereka selalu beranggapan kalau tentara asing jauh lebih tahu tentang segala hal permiliteran. Arthur cuma bisa menggelengkan kepala; mungkin mereka tak punya banyak waktu untuk itu. Toh dia datang ke sini sebagai relawan, bukan wisatawan asing yang penuh tuntutan.
Arthur mengacak rambutnya kebingungan. Hari masih panjang kalau menunggu tiba malam, dia belum mengobrol dengan orang-orang sekitar, belum ada komando apa-apa untuk bertempur di medan perang, belum tahu bagaimana teknis dan standar operasional yang harus dia jalankan. Arthur baru sadar kalau yang waktu yang dibuangnya sepanjang hari ini cuma dipakai untuk berjalan-jalan dan mengobservasi―dan mengutuki situasi dalam hati.
Dia kemudian merapatkan tali ransel besarnya lagi, berniat berbalik badan dan pergi melanjutkan penjelajahan sebelum seseorang menyentilnya dari belakang.
"Arthur!" sapanya dengan cengiran lebar sumrigah sambil memutar kedua bahu si empu nama. "Ah! Benar 'kan, kau Arthur! Kenapa cuma sendirian? Menyedihkan sekali!"
Arthur bereaksi dengan mata terbelalak dan mulut sedikit menganga sampai guncangan di bahunya berhenti. "Antonio," panggilnya seraya menyipitkan kelopak mata. Dia menggenggam jari-jari kedua tangan bersarung itu sebelum menyambung pembicaraan. "Aku bisa mengenali bau obat yang menempel di tubuhmu," Arthur ingat kalau dia sempat mencium aroma obat bius―atau semacam analgesik yang kurang dia tahu―ketika orang itu mendekat menghampiri.
"Kabur dari rumah sakit karena sedang tidak ada operasi?" guraunya dengan wajah serius; keningnya berkerut, nadanya seperti sedang menyindir tajam. Arthur tidak pandai membuat lelucon segar selain yang satir. Antonio menarik cengiran maklum karenanya.
"Hampir benar. Tapi aku bertugas di Barak Lepanto juga, bagian operasional," jawabnya sambil mengacungkan telunjuk. Lagi, yang lebih muda dibuatnya melongo tak percaya.
"Wah? Kau melepas gelar doktermu? Sayang sekali. Kupikir kita masih sangat kekurangan tenaga medis,"
Antonio tertawa ringan, menggelengkan kepala dan mengibas-ngibaskan tangan. "Tidak, tidak, tenang saja! Kebetulan sekali aku tidak ditugaskan di rumah sakit, pasti akan lebih merepotkan. Aku cukup beruntung ditempatkan khusus untuk barak ini saja, buat memberikan penanganan pertama, atau sampai melakukan pembedahan kecil. Sayang sekali kami di sini serba kekurangan peralatan,"
"Oh. Ya ampun. Aku kira kau kembali mengambil sebuah keputusan bodoh," ungkapnya tanpa sebersit rasa bersalah. Antonio tidak menghiraukannya, sudah sangat terbiasa dihunjam kata-kata yang keluar dari mulut tanpa saringan itu semasa hidup satu atap bersamanya dulu.
"Kau ini tidak berubah, ya. Sinisnya. Ayo ikut aku supaya tidak seperti katak dalam tempurung!"
Lelaki yang lebih tua itu kemudian menarik lengan lawan bicaranya buat mengajaknya berjalan lagi menelusuri selasar sampai ke pelosok-pelosok kecil barak.
Seluruh penjuru barak sangat kotor dan begitu kacau balau. Di setiap sudut banyak tumpukan barang hancur, kereta derek yang rusak, helm kuningan tergeletak sembarang arah, gabus pedang yang kosong, dan sisa-sisa makanan yang terbuang berceceran; digerayangi lalat besar, baunya busuk. Orang-orang milisi hobi sekali membuang utuh sekeranjang roti di setiap kamar, dan pemandangan itu adalah yang paling menjengkelkan sebab di saat yang bersamaan, penduduk desa dan orang sipil lain sangat membutuhkan, sangat kekurangan bagian dari penjatahan makan.
Kemudian Antonio membawanya ke kamar medik. Arthur mengedar pandangan matanya. Ruangan itu lebih terlihat seperti gudang, sedikit berbeda dengan yang di luar; tidak berantakan―hanya dipenuhi tumpukan botol obat, alat bedah, logam-logam yang Arthur tak tahu fungsinya―, tidak ada roti yang sembarangan dibuang atau muntahan makanan di sini, dan bau yang menyengatnya adalah bau obat-obatan. Di setiap pinggiran tembok ada banyak boks kayu besar yang merapat ke dinding. Arthur yakin itu logistik suplai dari luar untuk kebutuhan medis.
Ada dua orang dokter berpakaian seragam yang sama persis, Antonio memperkenalkannya sebagai Dr. Rodriguez dan Dr. Brown, si rambut merah dari Irlandia. Arthur tidak sempat mengobrol banyak dengan mereka, Antonio hanya bertandang ke ruang itu untuk mengambil tas ranselnya sebelum menarik lagi tangan kawan lamanya dan kembali melanjutkan tur panjang menelusuri barak sampai ke luar bangunan.
"Hei, Antonio! Mau pergi lagi?" seru Dr. Rodriguez, logat katalannya masih sangat kental. Lelaki paruh baya itu tertawa ringan dan hidung merahnya bergoyang.
"Aku harus membimbing dulu anak ini sampai dia bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Aku akan kembali setelah makan malam, Dok. Dah!" Antonio mematri cengiran lebar sambil melambaikan tangan pada rekan-rekannya yang masih sibuk di dalam ruang ketika dia dan Arthur keluar dari sana.
"Bawakan kami minuman hangat selekas dari sana, oke?! Di sini dingin sekali!"
"¡Siempre!"
Dan Arthur cuma menontoni tanpa menimpali. Dia pernah diajari bahasa Spanyol oleh Antonio dan paham setiap obrolan orang-orang sipil selama perjalanan ke sini maupun ketika sudah di sini―dia sudah bisa membuang kamus saku―tetapi Arthur selalu enggan berbicara kalau bukan menanggapi seadanya.
Arthur sangat beruntung dipertemukan dengan kawan lamanya yang langsung menjadi pemandu tur itu. Kalau tidak, dia pasti sudah mati bosan di kamar tidur, atau menghabiskan rokok di luar, atau yang paling parah, lemas kelaparan karena tidak ada yang menunjukkan letak ruang makan besar.
Di sepanjang jalan meniti ruang ke ruang, Arthur hanya memfokuskan pendengarannya pada uraian penjelasan dari mulut Antonio perihal militia, ada PCE dan PSUC selain POUM, partai buruh Marxis anti-Stalinis yang―tanpa Arthur sadari―mereka ladeni sekarang. Arthur cumalah seorang kelas pekerja, bukan anggota partai komunis di negerinya bahkan. Dia datang ke sini bermodal alasan memberantas fasis-Franco. Dia hanya bisa mengutuk dirinya ketika tahu ternyata dia sendiri yang tanpa sadar mengabdi pada Partido Obrero de Unificación Marxista. Tidak ada yang menjelaskan itu ketika dia melakukan registrasi. Antonio menertawai dan mengoloknya habis-habisan.
Antonio menjelaskan juga soal unit komando; ada unit peleton yang terdiri dari tiga puluh serdadu, kompi―lebih dikenal dengan sebutan centuria―yang beranggotakan seratus orang, dan kolom yang isinya gabungan jumlah orang dari berbagai centuria.
Lelaki hispanik itu bersemangat ketika menyinggung orang-orang Prancis yang jadi relawan loyalis di negerinya. Katanya, orang Prancis itu sangat sangat berani― "¡Más valientes que nosotros!" begitu serunya―dan tentu saja tidak sejalan dengan pikiran lawan bicaranya. Arthur akan menyela dan berargumentasi pedas ketika Antonio berpendapat kalau orang Prancis itu lebih ahli dalam menggunakan persenjataan atau bom. Mereka sudah jauhari. Tetapi Arthur bilang tidak. Dia lebih sudi memotong jari-jari tangannya daripada harus menyetujui dan ikut-ikutan memuji.
"Kau akan melihat pemandangan ini terus menerus, terutama di Ramblas, kaum borjuis yang berbaur dengan proletariat selama perang saudara berlangsung. Manusia akan selalu berusaha bersikap seperti manusia pada umumnya, bukan roda gigi di dalam mesin kapitalis," ketika itu Antonio berbisik serius sambil menatap dingin orang-orang sekitar; mereka sudah berjalan sampai Ramblas lagi, jalan yang Arthur lalui siang tadi.
Arthur sudah seperti anak kecil yang diajari banyak hal oleh ayahnya seharian ini. Dia mengangguk paham, menanggapi seadanya, dan bertanya jika ada (mendebatnya tentang relawan asal Prancis adalah pengecualian). Selebihnya dia mendengarkan petuah seniornya yang begitu penuh faedah, sampai dia sendiri tidak menyadari kalau petang nyaris tergelincir. Sayangnya sampai sekarang belum ada panggilan―mandat dari atasan untuknya yang sudah susah payah datang ke sini jauh-jauh, itu yang membuat Arthur belum berhenti mengeluh, "Aku belum mendapat panggilan sama sekali hari ini, tahu."
"Kau terlalu tidak sabaran, baru saja sehari."
Antonio mendengus panjang. Mereka baru saja akan kembali ke barak untuk persiapan makan malam. Arthur menatap setapak jalan yang mereka lalui dengan nanar, sebab diam-diam, dia masih ingin berlama-lama dengan Antonio. Siapa tahu besok hari dia tidak akan bisa menemuinya karena Pak Dokter ini akan sibuk menangani pasiennya―ah ya setahunya tadi tukang bedah di barak ini cuma ada tiga orang termasuk Antonio saja―dan mungkin Arthur sendiri akan langsung ditugaskan ke barisan depan.
Petang menjelang malam, mulai banyak perempuan yang sibuk berkutat persiapan makan malam. Kebanyakan dari mereka adalah istri dari para milisi, berkontribusi lewat pemenuhan gizi para kadet maupun perwira yang sudah lebih senior. Suasananya sudah ramai berbondong-bondong orang. Antonio sudah mengajarinya untuk tidak membisu, tetapi lelaki yang lebih tua itu memberinya isyarat untuk mundur dan duduk di galar paling pojok belakang sebelum mereka menghadiri perhelatan makan malam besar-besaran.
"Satu lagi, Arthur. Tidak ada sebutan 'Señor', 'Don', atau 'Kamu' di sini kalau kau mau menyapa orang satu divisi. Silakan pakai kata ganti 'Rekan'," ujarnya sambil menaruh ransel di bawah dan di antara kedua betisnya. "Dan tidak ada sapaan 'Buenos dias', atau noches. Ganti itu semua dengan 'Salud!'."
Arthur mendelik. "Terlalu prosedural," protesnya enggan, lalu duduk di samping sang rekan. "Seorang bocah Italia bahkan baru saja menyebutku dengan panggilan 'Signor', kenapa tidak ada yang menegurnya?"
"Lalu aku harus mencari dan mengomelinya sekarang juga? Jangan merajuk seperti anak kecil," gelak Antonio seraya mengacak rambut pirang jabrik Arthur yang mengerang jengkel sebagai bentuk pemberontakan.
"Banyak hal mengesalkan hari ini. Apalagi ketika melihat roti-roti itu terbuang dan membusuk di selasar." Arthur menggerutu. Dia merogoh saku jaket sampai saku celana, berniat menyalakan sebatang rokok, tetapi nihil. Bahkan tidak ada di dalam ranselnya. "Bloody," umpatnya dengan decakan kesal setengah mati.
Antonio yang memerhatikan kemudian mendenguskan tawa pendek, meraih ranselnya dan mengeluarkan sekotak penuh sigaret dari dalam sana. "Ambil ini," dia menyodorkan kotak utuh yang masih tersegel itu di depan wajah Arthur yang kebingungan bercampur sebal.
"Aku hanya minta satu bat―"
"Ambil semuanya. Lucu tidak kalau kau melihat seorang dokter merokok di depan pasiennya? Kau akan tertawa sarkastis kalau ironi itu benar-benar ada di depanmu. Aku sudah berhenti sejak lama," kekehnya keras kepala. Arthur menaikkan sebelah alis.
"Lalu kenapa kau menyimpan ini di dalam ranselmu?"
"Untukmu. Karena aku tahu kau akan datang ke sini hari ini. Tapi berjanjilah padaku untuk berhenti merokok setelah yang ini habis!"
Antonio mengetuk dahi Arthur dengan buku jari telunjuk ketika lelaki pirang itu menerima ragu-ragu pemberiannya. Arthur menarik cengiran tipis lewat sudut bibir.
notes
so after a looooong loooong decade, i finally tried to be brave and decided to continue writing a multichap fic. masih mengangkat perang saudara spanyol because idk i really want to keep digging soalnya ada banyak sekali trivia yang bisa dieksplor dan ini menarik sekali untuk saya pelajari lebih dalam. saya mengambil banyak sekali referensi dari homage to catalonia karya pak george orwell dan film the land and freedom. yes, dua-duanya tentang peranan orang luar (yang jadi fokusnya relawan inggris) dalam membantu kaum loyalis (republik) spanyol melawan kaum fasis-franco di masa itu. mungkin rada bosen yah saya ngambilnya dari sudut kubu republik terus tapi emang itu yang dirasa paling pas untuk posisi arthur & antonio saat ini tapi barangkali nanti di lain waktu, saya bikin dari perspektif antonio sebagai negaranya :"
kayaknya multichap ini bakal agak panjang, sebab saya mau bikin sedikit lebih detail dari fic-fic tentang spanish civil war sebelumnya, dan saya bakal jelasin soal organisasi-organisasi selain poum di lain chapter whwhwhwhw
gracias por leer! :D see you in the next chap!