Naruto by Masashi Kishimoto

Every character in Naruto doesn't belong to me.

Sasuke/Hinata fanfiction.

Hurt/Comfort. Family. Romance.

Read this on your leisure time.

--

--

--

Cascaded

-

-

-

Step 1: Their Marriage

-

-

-

-

-

Hinata selalu berharap menjadi seorang istri yang baik. Istri yang memegang teguh janji pernikahan. Berkelakuan manis, rajin, dan mengurus segala pekerjaan baik itu pekerjaan rumah maupun kegiatannya di luar rumah dengan seimbang. Apabila ia memiliki anak, ia ingin menjadi seorang ibu yang utuh untuk anak-anaknya. Menjadi orang pertama yang tanggap dengan segala kebutuhan dan perubahan mereka. Hinata ingin punya banyak anak, dengan begitu suara tawa mereka dapat menghangatkan seisi rumah. Melahirkan, membesarkan, merawat anak-anaknya kelak didampingi suami yang selalu membuat hatinya berdebar. Suami yang membuatnya rindu dan dan juga merindukannya. Suami yang menghujaninya dengan kecupan di pagi hari, dan memeluknya di malam hari.

Tapi semua itu hanya sebatas angan-angan. Pernikahannya saat ini bagaikan cinta bertepuk sebelah tangan. Hidup bersama selama hampir empat tahun sama sekali tidak mendekati apa yang selalu ia harapkan.

Matanya memandang foto pernikahannya di dinding ruang tengah dengan pandangan hampa. Sepasang suami istri yang ada di sana menampilkan senyum di depan kamera. Ah, hanya Hinata. Walaupun tampak sedikit malu, matanya masih berbinar rasa bahagia. Suaminya, Sasuke Uchiha memasang seringai tipis di ujung bibir kanan dan berdiri tegap dengan segala wibawanya. Tak terpancar apapun dari matanya, Hinata bisa melihat itu.

Mereka menikah saat Hinata menginjak umur 18 tahun. Ia sengaja menunda kuliah karena ingin sepenuhnya memperhatikan keluarga yang akan dibinanya. Sedangkan Sasuke, berumur 21 tahun, tepat setelah ia menyelesaikan kuliahnya. Dikenal sebagai Uchiha yang jenius, tak sulit bagi Sasuke menjalani studi untuk mengambil alih bisnis sang ayah, Fugaku Uchiha. Pernikahan mereka dibarengi dengan dikukuhkannya Sasuke sebagai pengganti ayahnya di perusahaan-perusahaan milik keluarga Uchiha. Bukan hanya itu, pernikahan mereka juga menjadi penghubung antara dua keluarga paling berpengaruh di Jepang. Keluarga Hyuuga yang berbudi luhur serta ayahnya, Hiashi Hyuuga sebagai kandidat paling mungkin menjadi senator bersanding dengan keluarga Uchiha yang paling dipuja seantero negeri.

Tentu saja, pernikahan mereka merupakan sebuah kabar besar. Penyatuan Uchiha-Hyuuga menjadi topik paling panas untuk dibahas selama satu bulan penuh. Sasuke Uchiha sebagai cinta pertama negeri yang tak lagi melajang membuat semua wanita patah hati. Tapi diumurnya yang masih terbilang muda, menjabat sebagai CEO juga banyak dipuji.

Meskipun begitu, pernikahan mereka bukanlah atas dasar perjodohan semata. Ia dan Sasuke bukanlah sepasang suami istri yang asing saat mereka menikah. Mereka sudah menjalin hubungan selama hampir satu tahun sebelum Sasuke datang ke rumahnya dengan lamaran.

Sasuke pertama kali mengajaknya bicara saat ia berada di kelas dua. Sasuke datang ke sekolah sebagai perwakilan dari Universitas Tokyo dalam rangka perkenalan perguruan tinggi bersangkutan. Hinata saat itu sedang menantikan sosok Naruto Uzumaki yang datang dari Universitas yang sama. Naruto, Sasuke, serta sepupunya Neji adalah lulusan dari sekolahnya. Hinata mengagumi Naruto yang selalu datang berkunjung ke klub sepakbola. Ia yang selalu jadi relawan di klinik sekolah sering melihat betapa cerianya pemuda itu. Bahkan, ia juga pernah mengirimi Naruto hadiah saat hari valentine. Hadiah yang ia sisipkan di antara hadiah para siswi yang dikirimkan untuk Sasuke, karena yang ia dengar bahwa Sasuke dan Naruto mengambil jurusan bahkan berada di kelas yang sama.

Kedatangan Sasuke dalam hidupnya perlahan menyingkirkan rasa kagumnya pada Naruto. Sasuke yang sering menunjukkan maksudnya dengan tindakan membuat hatinya lebih berdebar. Dua bulan masa pendekatan, mereka pun berpacaran, hubungan yang akhirnya diikat dalam pernikahan.

Pernikahan yang hingga kini berjalan stagnan tanpa perkembangan. Pernikahan yang dibumbui oleh isu perselingkuhan. Pernikahan yang tak berjalan namun dengan keras ia pertahankan.

"Mrs. Uchiha, apa ada yang Anda butuhkan?" Katsumi, pelayan di rumahnya yang berusia 50-an bertanya dengan tetap mempertahankan postur tubuhnya agar tetap sedikit menunduk.

Hinata melepaskan pandangan dari pigura di dinding, mendesah kecil melihat Katsumi lalu memegang bahunya. Terasa aneh melihat wanita yang lebih tua menunduk pada perempuan muda berusia awal 20-an. "K-Katsumi-san, tak perlu bersikap begitu formal. Aku juga sudah bilang, p-panggil saja Hinata."

Katsumi tersenyum kecil, namun tetap keras kepala. "Apa Anda butuh sesuatu?"

Hinata mendesah kalah, lalu menjawab, "T-tidak, dan aku pikir aku tak akan merepotkanmu bila aku butuh sesuatu. P-pulanglah, Katsumi-san, aku tahu ini hari ulang tahun cucumu."

Hendak menolak, tapi sebelum berkata apapun, Hinata menggelengkan kepalanya pelan. Meyakinkan Katsumi bahwa tak ada yang perlu ia pikirkan saat ini kecuali meluangkan waktu bersama keluarga. "A-ah, berikan ini juga padanya, walau aku tak yakin dia akan s-suka."

Tahu bahwa ia tak bisa lagi membantah, Katsumi menerima kotak besar dibungkus kertas kado dan mengucapkan terima kasih sebelum berbalik pulang. Tak lupa dengan, "Anda harus segera istirahat, sepertinya Mr. Uchiha akan pulang terlambat lagi hari ini. Udara malam terasa panas, saya rasa akan turun hujan. Pastikan Anda tidak membuka jendela malam ini, Mrs. Uchiha." Hinata mengangguk kecil mengiyakan, dan Katsumi pun pulang lewat pintu belakang.

Ah, hujan. Malam setelah pernikahan saat itu juga hujan.

Malam yang seharusnya menjadi malam pertama namun tak terlaksana karena Sasuke harus menghadiri rapat, dan baru pulang selepas tengah malam.

Meninggalkan Hinata di rumah baru mereka sendirian.

--

--

--

Seperti yang sudah diperkirakan, pesta pernikahan dipenuhi banyak orang. Hampir semuanya mengenal Sasuke dan Hinata dengan sabar tak lupa memperkenalkan diri. Hinata tak punya banyak teman, apalagi kenalan. Dirinya terlalu tertutup hingga membuatnya tak pandai bergaul. Entah perempuan, ataupun laki-laki banyak yang menyerah karena Hinata selalu merespon pasif. Posisinya sebagai anak sulung keluarga Hyuuga juga tidak memberi bantuan berarti, malah sering kali ada yang memandangnya sinis karena hal itu. Dengki yang didasari oleh cemburu, apalagi ketika tahu bahwa Hinata-lah yang mampu meluluhkan sang Uchiha, si tampan ekspresi batu.

Hinata bisa melihat banyak kamera dan wartawan yang memberitakan setiap momen pernikahan. Begitu banyak perhatian membuatnya gugup, ia bahkan merasa jantungnya hampir meletup. Hinata menghela nafas dan membuangnya keras-keras, berharap rasa gugup bisa terpangkas. Sebuah tangan yang hangat membungkus tangannya. Lalu suara Sasuke yang dalam terdengar. "Rileks, Hinata. Jangan dipikirkan." Hinata menatap suaminya, Sasuke tak menoleh, namun perkataannya barusan meringankan bebannya.

Pesta pernikahan yang dimulai sejak pagi baru selesai pukul delapan. Para keluarga terlalu lelah untuk melanjutkan pembicaraan dan akhirnya langsung pulang. Mikoto Uchiha, terlalu semangat untuk bisa dapat cucu menyarankan agar Hinata dan Sasuke langsung menginap di rumah baru mereka, rumah baru yang telah siap dihuni tentu saja. Sasuke bersikeras membawa mobil sendiri dan pasangan pengantin baru tersebut pulang ke rumah. Hinata menyiapkan diri menyambut hidup barunya.

Belum sampai lima menit tiba di sana, ponsel Sasuke berdering. Panggilan untuk rapat mendadak ia terima, dan Sasuke pergi tanpa kata. Hinata bahkan belum sempat bertanya. Mencoba maklum, Hinata masuk ke kamar, melepas gaunnya dan beranjak mandi. Siraman air hangat mungkin bisa merilekskan otot-otot tubuhnya. Berjam-jam berdiri dan tak henti menyapa tamu tentu menguras tenaga. Sehabis mandi dan berganti pakaian tidur, ia pun menanti. Ia tak pernah terlibat dalam rapat manapun, jadi Hinata mengestimasi mungkin Sasuke akan kembali dalam satu jam. Tapi hingga empat jam berlalu tak ada suara mobil apalagi suara pintu.

Hinata dapat dipastikan lelah, tapi memikirkan Sasuke pulang disambut dirinya yang tertidur bukanlah sikap istri yang bijaksana. Jadilah ia tetap menunggu, hingga pukul tiga pagi Sasuke muncul dari balik pintu.

Penampilan Sasuke sama sekali tidak terlihat seperti habis menghadiri rapat, karena sepanjang yang Hinata tahu rapat tidaklah membuat orang mabuk. Hilang sudah rasa kantuknya dan ia bergegas membantu suaminya yang tampak limbung. Pakaiannya tidak serapi tadi, tapi tidak juga terlalu berantakan. Kancing ketiganya terbuka atau lebih tepat dibuka paksa. Ada sedikit robek, butir kancing tak lagi tergantung. Aroma badan suaminya juga terasa aneh, Hinata bisa mencium bau alkohol, tembakau, asap rokok dan sedikit bau stroberi.

Hinata membimbingnya untuk duduk di sofa, lalu beranjak menutup pintu. Dilihatnya Sasuke yang duduk dengan gusar, Hinata berjalan ke dapur berniat mengambil minum, namun saat ia kembali Sasuke tak lagi di ruang depan. Suara pintu ditutup menandakan Sasuke yang masuk ke dalam kamar, dan ia bergegas menyusul dengan segelas air putih di tangan. Suaminya sedang melepas kemeja jasnya. Tirai jendela terangkat tinggi tertiup angin, jendela kamar ternyata masih terbuka.

Hinata masuk dan dengan ragu membuka suara. "A-apa terjadi sesuatu?" Diletakkannya gelas berisi air di atas meja dekat pintu dan bergegas menutup jendela. Sedikit berjengit mendengar petir yang tiba-tiba muncul. Hujan akan turun sebentar lagi, Hinata berharap bukan badai yang datang. "A-aku tidak cukup tahu tentang r-rapat, tapi kau bisa ceritakan p-padaku. Kau pulang dengan wajah tertekuk, k-kupikir-"

Hinata tak sempat selesai bicara saat badannya di balik, dan dihimpit oleh dada Sasuke. Tak ada kemeja yang terpasang. Tangan kiri Sasuke menekan jendela di belakang Hinata, bibir Sasuke berada sangat dekat dengan telinganya. "Apa yang kau pikirkan?" Hinata masih menunduk tanpa suara. "Lihat aku." Dagunya diangkat, matanya bertemu dengan mata kelam Sasuke. "Apa yang kau pikirkan, Hinata?"

Hinata meneguk ludah dengan canggung. "A-aku pikir m-mu-mungkin kau dapat m-masalah, atau rapat tidak berjalan lancar karena kau khawatir aku di rumah s-sendirian." Hinata memang tidak begitu paham membaca raut muka seseorang, tapi untuk ukuran orang yang sedang mabuk, mata Sasuke terlihat sangat tajam. "Aku baik-baik saja, Sasuke. K-kau tak perlu khawatir."

Lalu sorot mata itu menyiratkan kemarahan. "Ck." Sasuke menarik tangan Hinata dan mendorongnya ke atas ranjang. Tubuhnya di balik, lalu Sasuke menyurukkan kepalanya di perpotongan leher Hinata.

"A-apa yang kau laku-"

"Aku mencintaimu," potong Sasuke. "Kau istriku sekarang, tapi aku tak bisa." Tangan Sasuke merengkuh tubuh kecilnya, semakin erat setiap ia menghirup wangi tak biasa yang menguar dari tubuh istrinya. Ada sedikit aroma kayu manis dan sedikit vanila. Tubuh Hinata bergerak sedikit. Sasuke mengeratkan pelukan, meminta Hinata untuk diam.

Keduanya tak bicara, Hinata hanya memandang langit-langit kamarnya. Mendengarkan nafas Sasuke yang berhembus di lehernya. Irama detak jantung keduanya yang seakan saling menyahut. Hingga akhirnya rasa lelah kembali datang dan menawarkan Hinata sebuah pelampiasan. Matanya tertutup dan Hinata tertidur. Merasa nyaman dalam pelukan pria yang baru dinikahinya. Sebuah pelukan pertama dan akan menjadi satu-satunya yang ia terima dalam masa empat tahun pernikahannya. Hinata tak tahu apa yang terjadi setelahnya, yang ia ingat ia terbangun karena mendengar suara pintu kamar ditutup dan tak lama disusul suara mesin mobil yang menjauh.

Mengunci takdir atas kehidupan pernikahan yang ia perjuangkan sendirian.

--

--

--

Suara petir membawa kembali kesadaran Hinata. Kilat terlihat seolah membelah langit dan perlahan suara gemuruh dan tetesan air terdengar berirama. Saat hujan adalah saat yang paling dia suka, sekaligus yang paling dia hindari. Hinata selalu suka dengan suara hujan, bulir-bulir air yang jatuh ke tanah menyajikan nada yang memanjakan telinganya. Semuanya terdengar ramai sehingga mampu mengusir kesunyian di dalam rumah. Hal ini juga yang ia hindari, karena saat ia menikmati momen ini, semuanya seakan semakin jelas bahwa ia sendirian.

Ia dan Sasuke tidak berbagi kamar yang sama. Hinata mengambil kamar di atas, kamar yang sama yang mereka gunakan di malam pernikahan mereka, dan Sasuke mengambil kamar bawah. Suaminya selalu pulang malam, dan Hinata banyak mendengar tentang kegiatan yang Sasuke jalani setiap malam.

Emily, Momo, Jane, Shion, Tayuya, Ayako, Kumiko, bahkan nama sekretarisnya Vivian juga ia dengar dalam rumor tersebut. Bukan hanya itu, berbagai aroma parfum selalu tercium dari setiap setelan pakaian kotor Sasuke yang akan ia cuci. Tak sedikit cetakan pewarna bibir ia temukan di sisi kerah dan bagian dada kemeja suaminya. Mengetahui hal itu, Hinata tentu saja tidak serta merta diam, ia pernah bertanya pada suaminya tentang rumor-rumor tersebut saat mereka menikmati sarapan.

"Kau bersama Ayako-san s-semalaman?" tanya Hinata sembari membereskan peralatan masak yang telah ia gunakan, membelakangi Sasuke yang tengah menikmati kopi pekat sambil membaca koran harian. Suara halaman koran yang dibaliklah yang hanya ia terima, pertanyaannya dibiarkan menggantung di udara.

"S-Sasuke, aku lelah terus mendengar p-perkataan-"

"Aku punya kekurangan, Hinata." Denting gelas kopi yang diletakkan kembali di atas cawan terdengar, Hinata menahan keinginan untuk menangis. "Tapi fakta bahwa aku mencintaimu tidaklah berubah."

Hinata berbalik, ingin kembali mencercanya dengan banyak pertanyaan. Namun Sasuke sudah berdiri, menahan suaranya dengan punggungnya yang dingin. Ia terpaku di tempatnya berdiri, melihat suaminya mengambil tas dan kunci lalu beranjak pergi. "Kau tak perlu menungguku lagi malam ini, Hinata," ujarnya datar dan menutup pintu depan.

Sebagai istri, tak begitu banyak yang Hinata inginkan. Ia hanya ingin Sasuke ikut berusaha menjalani pernikahannya. Sasuke tak pernah membuatnya kekurangan hal-hal yang bersifat material, tapi tetap saja, pernikahan bukan semacam memenuhi kebutuhan materil semata. Mama Mikoto menjadi orang yang paling rajin memeriksa keadaan Hinata, perhatiannya sebenarnya membantunya, hingga pembicaraan tentang anak diangkat ke udara.

Empat tahun menikah, tapi ia masih tak bisa memberi kabar bahagia. Jangankan itu, Hinata dan Sasuke hampir tak pernah saling sentuh. Tidur di kamar terpisah, berbicara seadanya dan saling tak tahu kabar satu sama lain. Kepada keluarga mereka suaminya beralasan bahwa mereka sudah berusaha, tapi mungkin memang belum saatnya. Hanya Hinata yang tahu bahwa perkataannya dusta.

Hinata tak pernah mengeluh, semua perkembangan dalam pernikahannya hanya mereka berdua yang tahu. Pernikahannya adalah tanggung jawabnya, masalahnya, dan apapun yang terjadi ia yang akan hadapi. Bahkan saat kabar bahwa Sasuke berselingkuh, tekad Hinata tak sedikitpun runtuh. Ia akan memenangkan hati suaminya dengan caranya sendiri, terus menjadi istri yang patuh agar suaminya menemukannya lagi sebagai tempat kembali.

Jam menunjukkan pukul dua belas, hujan di luar terdengar semakin deras. Hinata masih terjaga, enggan untuk tidur sebelum Sasuke pulang ke rumah. Ia turun ke bawah, berniat mengambil segelas air dan obat sakit kepala. Samar-samar suara mesin mobil terdengar di antara gemuruh angin dan guyuran hujan malam itu. Hinata tetap di tempatnya berada, sedikit menyembunyikan diri dalam keremangan, menanti suami yang biasanya langsung masuk ke kamar.

Suara langkah Sasuke menggema dalam ruangan sepi, iramanya terdengar tak terkendali. Hinata mengintip dari sudut penghubung antara dapur dan ruang tengah, tertutup oleh tangga. Kondisi suaminya terlihat tak cukup baik, persis saat malam pernikahan mereka. Entah berapa banyak alkohol yang sudah suaminya tenggak.

Hinata memutuskan untuk mendekat, memperhatikan suaminya lamat-lamat. Benar adanya, Sasuke sudah dipastikan mabuk, mungkin lebih dari itu. Ia bersyukur suaminya bisa sampai di rumah tanpa masalah. Sang pewaris Uchiha menghempaskan tubuhnya ke sofa, berbaring dan tidur. Hinata beranjak ke kamar, mengambil selimut dan juga bantal, meletakkannya di sofa lalu mulai melepas sepatu dan merenggangkan dasi suaminya. Tidurnya pasti tak akan nyaman.

Tubuh Sasuke ia lapisi selimut, bantal kecil ia selipkan di belakang lehernya. Setelahnya ia memandang wajah suaminya, menikmati setiap momen malam ini. Ini bisa dikatakan pertama kalinya Hinata melihat wajah suaminya ketika tidur. Ia tak mendapat banyak kesempatan untuk itu.

Raut wajah Sasuke terlihat kesal, tapi garis keras wajahnya tak kehilangan wibawanya. Suaminya memang luar biasa tampan, tapi saat ini Hinata tak yakin kata itu cukup untuk menggambarkan betapa istimewanya laki-laki keturunan Uchiha ini. Hinata seakan jatuh cinta lagi, dan ia tak keberatan akan hal ini.

Sasuke memang selalu bersikap dingin, walau sering mengucapkan bahwa lelaki itu mencintainya, Hinata sudah tak lagi merasakan debaran yang sama. Tak ada kehangatan, seakan itu sebuah rutinitas yang tak boleh ia lewatkan. Banyak rumor tentang suaminya, baru-baru ini malah ia mendengar adanya hubungan istimewa dengan Sakura Haruno, aktris cantik idaman para pria. Begitu cantiknya Sakura, hingga Hinata yang notabene istri sah sang Uchiha menjadi rendah diri karenanya.

"Sebenarnya apa yang kau dan aku jalani sekarang, Sasuke? Kenapa kau terasa begitu jauh padahal kau berada tepat di hadapanku?" Tak ada gugup, kalimatnya tak terbata, pertanyaan itu berulang kali berputar di otaknya meminta dijelaskan. Tersenyum kecil, Hinata bangkit untuk kembali ke kamarnya.

Pegangan kuat di pergelangan tangan kanannya menghentikan langkah Hinata. Sebelum sempat menoleh, tubuhnya ditarik dan ia terjatuh di atas tubuh suaminya. Mata hitam Sasuke menatapnya, tangannya mengurung pergerakan Hinata.

"S-Sasuke?" tanyanya bingung. Ia bisa melihat rahang Sasuke yang mengeras, hingga bunyi gemerutuk giginya terdengar. Tanpa kata, Sasuke membalik tubuh mereka, menimpa badan Hinata, menahan tangan istrinya yang sedikit gemetar.

"A-apa yang kau lakukan?"

Tangan Sasuke menggeranyang, membuka setiap kancing pakaian tidurnya dengan tergesa. Hinata menjerit panik, mencoba menghentikan Sasuke dan menuntut penjelasan. Lagi, Sasuke menyurukkan kepalanya di perpotongan leher Hinata, menghirup aroma yang sama, mengeratkan pelukannya.

"Maaf." Hinata terdiam, seketika membatu. Maaf atas apa? Maaf karena membuatnya sendirian, maaf atas aroma parfum dan warna lipstik yang tertera, maaf tak menjadi suami yang ia inginkan?

"Tapi malam ini, aku ingin lepas kendali." Tangan Sasuke kembali bergerak, menyentuh setiap inci tubuh Hinata, menunjukkan besarnya keinginan dalam setiap sentuhan.

Hinata tahu apa yang akan terjadi.

Ia juga tahu setelahnya Sasuke akan bersikap seolah semuanya tak pernah terjadi.

Ia tahu tak akan ada yang berubah setelah ini. Ia masih akan tetap berjalan di tempat dimana Sasuke mengabaikannya, tapi ia tak peduli.

Karenanya ia menjawab sentuhan suaminya, menjadikan malam ini sebagai malam pertama setelah empat tahun lamanya.

Setidaknya ia tak akan melewati waktu sendirian malam ini.

--

--Checkpoint--

--

It really feels good to be able to write again.

Mungkin banyak yang bingung sama sikap Sasuke, dan geram sama sikap Hinata. Banyak juga yang sensitif sama tema cerita yang begini. Pairing-nya juga crack banget kan ya, but I hope you're not pointing that as one of many flaws in this story.

Satu lagi, ceritanya memang aku buat di rate-M, tapi don't expect even single lemon scene in this story. Menurut aku cerita tentang perselingkuhan bukan bahan bacaan yang bagus untuk remaja tanggung ya hehe. Yah, aku memang sedikit kuno sih haha.

Thank you!