Author's note :

First of all, thank you untuk Shirocchin yang sudah menggagas event ini sekaligus menarik keluar ide tergila yang pernah saya pikirkan dan membuat saya melampaui semua batas yang biasanya saya tahan. Saya nggak pernah mau buat fic tipe ini, karena sulit sekali deskripsinya, tapi silakan dinikmati! Hidup #OFA TODODEKU:

.

.

.

Boku no Hero Academia not mine

Warning : AU, OOC a lot, Typos, Fem!Izuku, Rape, Violent, really 18+

.

.

.

I've really warn you! Oh well!

MINE by Cyancosmic

Dedicated to OFA TODODEKU

.

.

.

Izuku:

Suara tetes air hujan yang jatuh ke jendela membuatku menoleh. Di luar hujan turun begitu deras diiringi dengan petir yang menyambar bergantian. Ketika aku mendekat, uap panas dari napasku membuat jendela berembun, menggodaku untuk menyentuhkan jemari dan menuliskan nama yang sudah kukenal dengan baik.

"Katsuki?"

Terkejut, aku pun segera berbalik dan menemukan sosok gadis berambut cokelat dengan pipi bulat tengah menatap tulisan yang kubuat. Buru-buru aku menghapusnya dengan telapak tanganku dan beranjak dari jendela. Namun sebelum aku sempat berlalu darinya, gadis itu sudah menghadiahiku dengan pertanyaan selanjutnya.

"Siapa itu Katsuki?"

Menundukkan kepala, aku pun berkata, "B-bukan siapa-siapa."

Alis bulat gadis itu terangkat sejenak. Ia menatapku selama beberapa detik sebelum mengangkat bahu. Saat kukira urusannya sudah selesai, gadis itu melanjutkan perkataannya, "Kau sudah minum pilnya?"

Kutelan ludah mendengar pertanyaannya. Pil itu masih tergenggam di tanganku dan tanpa sadar aku malah menyembunyikannya di belakang punggung, seolah menegaskan pada seluruh dunia bahwa benda itu masih di tanganku. Betapa bodohnya aku, terlebih setelah melihat pandangan menyelidik yang tertuju ke belakang punggungku.

Setelah beberapa saat berdiam diri dengan canggung, gadis itu menyentuhkan tangannya di atas tanganku. Pelan-pelan, ia menarik tanganku dan membuatku menunjukkan pil bulat yang berada di dalam kepalan tangan. Dengan jemarinya gadis itu mengambil pil yang ada di tanganku dan menyentuhkannya ke bibirku.

"Mm!"

"Makan!" Gadis itu berkata dengan nada tegas mengabaikan protesku. "Demi kebaikanmu!"

Kugelengkan kepalaku dan kualihkan pandangan. Namun gadis itu begitu memaksa, bahkan ia menggunakan kedua tangannya untuk membuatku membuka mulut. Berkat kegigihannya aku pun terpaksa menelan pil pahit yang diberikan sembari meringis.

"Sudah!" Gadis itu berkata lagi. "Kau boleh pergi menemui tamu."

Mendengar perintahnya, bukannya beranjak aku malah menundukkan kepala dan menatap lantai. Pandanganku menatap kosong jemari kakiku, sementara pikiranku berkelana ke tempat lain. Kakiku bergerak gelisah, sementara dalam hati aku bertanya-tanya, apakah yang kulakukan ini benar? Apakah yang kulakukan ini dapat menyelamatkan nyawanya?

"Izuku!"

Lamunanku buyar dan mataku langsung bertemu dengan bola mata milik gadis di depanku. Dengan gagap aku berkata, "Y-ya?"

Menghela napas, tangannya disentuhkan di atas bahuku yang terbuka karena pakaian minim dari kain satin berwarna putih yang diberikan olehnya. Pakaian yang benar-benar minim karena hanya menggantung di tubuhku. "Kau membutuhkan uang, 'kan?"

Kuanggukkan kepala kuat-kuat dan sekali lagi aku berseru, "Ya! Ya, aku butuh!"

"Kalau begitu, lakukan pekerjaanmu!" Gadis itu kembali menegaskan suaranya. "Layani tamu dan buat mereka puas! Kalau aku mendengar satu saja keluhan tentangmu, akan kupastikan bahwa kau tidak akan mendapatkan uangmu!"

Mendengar ancaman itu, aku pun terdiam. Keragu-raguan yang sebelumnya kurasakan sirna, namun bukan berarti rasa takutku memudar. Tubuhku gemetar, entah karena udara dingin atau rasa takut yang merayap di tubuhku. Kurasakan kakiku gemetar saat melangkah, namun aku memaksakan diri berjalan melewati gorden yang memisahkan ruangan kami. Sembari menelan ludah aku pun menyingkap gorden dan masuk ke dalam dentuman musik yang memekakkan telinga.

Oke! Mari berdoa semoga tidak ada hal buruk yang menimpaku.

.

.

.

"Itu dia! Tangkap dia!"

Doaku tidak terkabul. Bukannya menghindari masalah, aku justru berhadapan tepat dengannya. Aku tahu bahwa menjual diriku berarti aku harus mempersiapkan diri terhadap kemungkinan semacam ini. Tapi sayangnya instingku terus memintaku untuk melarikan diri setiap pria paruh baya itu menyentuhku. Bahkan sebelum aku menyadari apa yang kulakukan, aku sudah menyiram minuman beralkohol ke wajah pria itu dan melarikan diri.

Bodohnya aku tidak memperhitungkan bahwa aku akan dikejar layaknya seorang buronan hingga ke tangga darurat. Langkah kakiku kupacu hingga maksimum meninggalkan para pelayan berseragam hitam di belakangku. Dengan kaki telanjang, aku berlari menyusuri karpet dan bersiap menaiki tangga.

Tanpa berpikir panjang aku melangkahi beberapa anak tangga sekaligus, begitu juga dengan para pelayan bersetelan jas hitam di belakangku. Dadaku sesak, paru-paruku menjerit meminta udara dan jantungku berdentum tidak keruan, namun tetap kupaksakan kakiku untuk melaju. Melambat sedikit saja bisa kupastikan bahwa mereka akan segera menyusulku.

Sebelum aku sempat memikirkan hal lain, anak tangga yang kunaiki berakhir di depan sebuah pintu. Dengan segera kuraih gagang pintu di hadapanku dan mendorongnya ke belakang. Begitu aku membukanya, di hadapanku terbentang lantai keramik dengan langit sebagai atapnya. Di sekelilingku tangki air berwarna biru berjajar rapi diikuti dengan mesin-mesin lain yang menderu.

Di luar, rintik-rintik hujan membasahi lantai menyulitkanku saat melangkah. Walaupun sudah berhati-hati, tetap saja aku terjatuh di lantainya yang licin dan harus terseok-seok untuk mencapai pinggiran pagar. Akibatnya, beberapa pengejarku tiba dalam waktu singkat dan berhasil mengepungku.

Salah satu pelayan bersetelan itu berbicara melalui microphone yang ditempelkan di telinganya, sementara yang lain mengawasiku. Berbeda denganku, para pengejarku memakai alas kaki dan berpakaian lengkap di bawah rintik hujan. Tidak sepertiku yang harus bertelanjang kaki dengan pakaian tipis sehingga harus menggerakkan tangan untuk menutupi tubuhku. Aku tahu apa yang ada di pikiran mereka yang menelan ludah saat melihat sosokku dan aku tak mau mencoba peruntunganku.

Sembari mengawasi, aku pun memandang waspada pada para pelayan. Walaupun tidak ada yang berani mendekat dalam radius dua meter, tetap saja aku memilih untuk menjaga jarak. Salah langkah sedikit saja mereka bisa menangkapku. Lebih parah lagi kalau mereka memutuskan untuk mengambil tindakan saat itu juga.

Selang beberapa detik berlalu, aku mendengar suara ribut-ribut di belakang dan membuat dahiku berkerut. Suara itu membuat para pelayan bersetelan hitam menyingkir memberi jalan pada sosok paruh baya yang sebelumnya kutinggalkan. Sebatang cerutu tersemat di bibirnya ketika ia muncul sementara para pelayan membungkuk yang dibalas sosok itu dengan mengangkat tangannya. Melihat itu, para pelayan pun langsung menyingkir dan meninggalkanku bersama pria paruh baya itu.

Aku menatap waspada pada pria paruh baya itu. Satu langkah mendekat kubalas dengan satu langkah mundur. Melihatku bersikap demikian, pria itu menyeringai. Langkahnya terhenti dan membuat kakiku mengikuti iramanya. Namun saat kukira ia sudah menyerah, pria itu malah bergerak dengan cepat dan mendorong tubuhku. Saat aku hendak bangkit, pria itu sudah berada di atasku dan menahanku dengan tubuhnya.

Panik menyerangku. Aku meronta, memukul dan menendang namun pria itu menahan tanganku. Aku semakin ketakutan sehingga kugerakkan tubuhku sedemikian rupa agar pria itu menyingkir. Namun bukannya menyingkir, pria itu malah mengambil cerutu yang ia isap sebelumnya dan menyentuhkannya ke pahaku yang terbuka.

Rasa sakit dan panas menyerangku dalam sekejap. Di tengah rintiknya hujan, aku menjerit sedemikian keras akibat rasa sakitnya. Berkat itu, kakiku berhenti bergerak sementara mataku menatap ngeri pada pria yang berada di atasku.

"J… Jangan…," ucapku sambil memohon, "kumohon…"

Permohonanku malah membuat seringainya melebar. Satu tangannya mencengkeram kedua tanganku erat, sementara tangannya yang lain menyentuh bagian atas lututku dan mengusapnya. Perlahan-lahan tangannya terus turun seiring dengan airmata yang terus menetes.

"Semakin kau memohon," ucapnya dengan suara serak, "darahku justru semakin mendidih."

Aku menelan ludah sembari menatap sosok tersebut ngeri. Tanganku bergerak, mencoba melepaskan diri namun genggamannya terlalu kuat. Sebersit pikiran negatif menyusup di benakku membuat ketakutanku semakin besar.

"Madam Ochako bilang aku harus mendidikmu," ujar pria itu sambil mengangkat satu kakiku dan menjilat leherku yang terbuka, "karena kau belum berpengalaman, Izuku."

Kugelengkan kembali kepalaku dan kucoba menggerakkan tubuh, namun tubuh pria itu menghentikan gerakanku. Aku menatapnya hendak memohon belas kasihan. Namun kuurungkan niatku ketika pria itu menjilat bahuku yang terbuka.

"Mereka bilang kau membutuhkan uang untuk temanmu yang sakit," kata pria itu sembari menarik pakaian tipis yang kukenakan dan menyingkap bagian atas tubuhku yang masih berbalut pakaian dalam tanpa tali. Satu tangannya meraba punggungku dan menaikkan kaitan pakaian dalam yang kukenakan.

Menyadari bahwa pakaian dalamku sudah disingkirkan, aku pun menggerakkan tangan hendak menutupinya. Sayangnya tanganku ditahan membuatku hanya dapat meringis saat matanya menatap nanar pada pemandangan yang kusuguhkan di hadapannya. "Sampai menjual dirimu sendiri untuk biaya pengobatan temanmu. Bukankah kau luar biasa?"

"Jangan…"

Pria itu tidak mendengarkan ucapanku. Pandangannya terpaku ke dadaku dan menatapnya dengan penuh nafsu. "Ngomong-ngomong, apa ia juga wanita?"

Aku mengerutkan dahi. Tidak mengerti kenapa tiba-tiba ia menanyakan soal temanku. Namun seperti sebelumnya kuputuskan untuk tidak menjawab dan terus bergerak. Sayangnya saat aku melakukannya, pria itu menempelkan lidahnya di salah satu puting dadaku membuatku kembali bergidik ngeri.

'Tidak, aku tidak mau,' batinku menjerit. Aku merasa geli juga jijik pada pria ini juga pada diriku sendiri. Bisa-bisanya aku melakukan ini. Bisa-bisanya aku menjual diriku sendiri hanya karena aku membutuhkan uang.

"Kau ini tidak bisa apa-apa, dasar Deku!"

Mataku terbuka dan aku pun menatap langit tanpa bintang di atasku. Rintik hujan jatuh dan membasahi wajah namun aku tetap membuka mata. Airmata atau air hujan tidak ada bedanya keduanya terus mengalir tanpa henti. Bagaimana mungkin aku mengingatnya di saat seperti ini?

"Eh?" Aku bertanya sambil menatap wanita berambut pirang yang sama dengan pemuda yang terbaring. "M-maaf! Aku pasti salah dengar tadi."

"Izuku," ucap wanita itu sambil menggenggam tanganku. "Katsuki sudah satu tahun tidak sadarkan diri. Harapan hidupnya pun sangat tipis, ia tak mungkin bangun lagi."

"K-kenapa Mama Mitsuki berkata begitu?" Aku berkata sambil menggelengkan kepala. "L-lihat! Aku mencatatnnya. Katsuki sempat menggerakkan jemarinya. Katsuki pasti akan sadar, aku… aku percaya itu."

"Izuku," ujar wanita berambut pirang itu sambil menundukkan kepala di depanku. "Maaf."

"K-kenapa Mama Mitsuki minta maaf?" Aku berkata sambil mengerjapkan mata. Samar-samar aku memahami maksud perkataannya hanya aku tidak mau menerimanya. "Kacchan pasti akan sadar. Bukankah Kacchan adalah pahlawanku? Kacchan tidak akan meninggal seperti ini."

Wanita itu menggelengkan kepala. "Katsuki sudah meninggal. Ia sudah meninggal. Tubuhnya hidup semata-mata berkat alat ini."

Kugelengkan kepalaku dan berkata, "Tidak! Katsuki masih hidup. A-aku tahu bahwa ia masih hidup. Mama Mitsuki jangan berkata seperti itu."

Sekali lagi, ibu dari pemuda yang tengah terbaring itu menggelengkan kepalanya. Kedua manik merah yang sewarna dengan bola mata pemuda yang kukasihi menatapku dengan pandangan memohon. Pandangannya membuat airmataku mengalir. Tidak. Manik semerah delima itu tidak seharusnya menatapku seperti ini. Ia tidak memohon.

"Izuku," ucap wanita itu sambil menyentuh tanganku, "Relakan Katsuki. Biarkan dia pergi!"

Kepalaku kembali bergerak ke kiri dan kanan ketika mendengarnya. "Tidak. Katsuki… masih hidup."

"Jangan menyiksanya lagi!" Wanita itu berkata sambil memelukku. "Ya?"

"Tidak," jawabku keras kepala dengan airmata yang terus mengalir. "Tidak mau."

"Izuku…"

"Kacchan masih hidup," ucapku sembari gemetar menahan emosi, "aku tahu ia masih hidup. Kenapa Mama Mitsuki berkata seolah aku ini penjahatnya?"

"Karena ia tidak akan hidup lagi," ujar wanita itu dengan suara pelan dan menyentuh wajahku. "Putraku sudah meninggalkanku sejak tahun lalu namun kita terus menahannya."

"Mama Mitsuki…"

"Ia tidak bisa pergi." Wanita itu berkata sambil menatapku dengan airmata berlinang. "Putraku terus terikat di dunia ini."

"Tidak!" seruku tiba-tiba sambil menggelengkan kepala. "Kumohon Mama Mitsuki, jangan seperti ini!"

"Izuku," pria berkacamata yang kelihatannya lelah akhirnya angkat bicara. "Katsuki sudah meninggal! Walau ditunjang alat-alat ini pun ia takkan sadar lagi."

"Tidak. Katsuki pasti akan sadar." Aku menjerit dengan keras kepala. "Katsuki akan sadar kembali."

"Izu…"

"Kenapa Mama Mitsuki dan Papa Masaru berkata begitu?" Aku bertanya pada keduanya. "Katsuki masih hidup. Kenapa kalian ingin membunuhnya?'

"Putraku sudah meninggal," ucap sang Ibu sambil menundukkan kepala menahan tangis. "Putraku… sudah pergi, Izuku."

"Belum, dia belum pergi." Aku kembali membantah. "Ia tahu aku tidak bisa apa-apa tanpanya, makanya ia takkan meninggalkanku. Kacchan sudah berjanji."

"Izuku," ucap Papa Masaru, "tolong mengertilah! Katsuki sudah meninggal. Kau tidak bisa terus keras kepala dan mengingat janji kalian di masa kecil."

"Tapi Kacchan…"

"Katsuki sudah meninggal," ayah dari pemuda yang terbaring itu angkat bicara. "Alat-alat ini tidak sanggup membawanya kembali pada kita. Alat-alat ini hanya menahan tubuh Katsuki di sini, sementara jiwanya sudah pergi."

"Tidak, Papa Masaru!" Kugelengkan kepalaku dan berpaling pada sang ayah. "Kumohon jangan begini! Katsuki masih hidup. Bukankah ia putra kalian satu-satunya? Kenapa kalian bisa-bisanya seperti ini?"

"Kami sudah mencoba menyelamatkannya, Izuku," pria itu berkata dengan nada sabar. "Semua yang kami miliki sudah tak bersisa, namun Katsuki tetap tak sadarkan diri."

"Papa Masaru…"

"Kami sudah menyerah," pria itu berkata. "Katsuki tidak akan kembali ke dunia ini."

Aku menggeleng, masih tidak mau mengerti. Aku tidak bisa mengerti. Katsuki masih hidup. Kenapa mereka mengatakan sebaliknya? Bukankah Katsuki adalah anak mereka? Putra tunggal mereka satu-satunya? Kenapa mereka semudah ini menyerah? Tidakkah mereka ingin memperjuangkan Katsuki?

Kuangkat kepalaku dan kutatap Papa Masaru. "Jadi… semua ini karena kalian tidak punya apapun lagi untuk membiayai Katsuki?"

"Bukan itu," balas Papa Masaru sambil menghela napas, "maksudku mengeluarkan uang sebanyak apa pun, Katsuki takkan kembali. Ia sudah meninggal. Ia…"

Telingaku tidak lagi mendengarkan. Aku bangkit berdiri dari tepian ranjang dan menatap kedua orang tua Kacchan. "Jadi… karena tidak ada biaya?"

"Izu…"

"Kalau begitu," ucapku tanpa berpikir panjang, "biar aku yang bekerja."

"Tidak mungkin!" Papa Masaru berseru sementara Mama Mitsuki hanya menundukkan kepala. "Biayanya terlalu mahal, Izuku. Kami tidak mungkin membebanimu dengan…"

Aku tidak mendengarkan ucapan Papa Masaru. Kusentuhkan tanganku dan kuselipkan di antara jemari pemuda berambut pirang yang mulai mendingin. Aku sangat sadar bahwa semua upaya ini sia-sia. Bahwa menunggunya membuka mata sama saja dengan mengharapkan mujizat yang takkan terjadi. Tuhan tidak mengabulkan permohonanku dan sebagai gantinya aku memohon pada yang lain.

"Tunggulah Kacchan," ucapku sambil menatap wajah pemuda berambut pirang terbaring itu, "akan menghidupkanmu kembali."

Mataku mengerjap ketika merasakan nyeri di antara kedua kakiku. Lamunanku pun buyar seketika dan kembali menatap sekeliling. Ruangan yang putih bersih telah berganti menjadi langit terbuka dengan hujan rintik-rintik dengan tangki air berjajar di sekelilingku. Sementara di atas tubuhku, pria paruh baya yang tak kukenali mendesah sembari menyeringai.

Kedua bola mataku melebar begitu melihat kedua pahaku telah diangkat sementara lidah pria itu menjilat salah satu pahaku. Aku ingin memberontak namun rasa sakit di antara kedua kakiku lenyap sehingga aku kembali mengurungkan niatku. Di depanku pria itu menunjukkan jemarinya yang telah berlumuran cairan lengket berwarna transparan.

"Diam-diam kau menikmatinya, eh?" Ia berkata sambil menjilat cairan tersebut.

Aku menggelengkan kepala dan buru-buru mengangkat tubuh dengan bertumpu pada kedua siku. Namun sebelum aku melakukannya, pria itu berkata, "Siapa tadi? Katsuki?"

Gerakanku terhenti sementara jantungku seolah berhenti berdetak. 'Darimana ia tahu namanya?'

Seolah menjawab pertanyaanku ia pun berkata, "Kau terus mengucapkannya, sepertinya itu nama temanmu."

'Aku menyebutkannya? Bagaimana mungkin… '

"Katsuki pasti akan berterima kasih sekali padamu,"ucapnya sambil menyeringai sementara ia menarik sedikit tubuhnya, "Sangat berterima kasih."

Aku menggelengkan kepala. Ingatan akan peristiwa di rumah sakit kembali terngiang di kepalaku. Sosok pemuda berambut pirang yang terbaring itu terus menghantui benakku. Dulu aku berdoa dan memohon pada Tuhan, namun ia tidak mengabulkan permintaanku. Karenanya aku pun menjual tubuh dan jiwaku pada yang lain. Hanya saja aku tidak pernah membayangkan akan jadi seperti ini.

Kenapa aku menolak sekalipun ini jalan yang telah kupilih? Kenapa aku bersikeras melarikan diri sekalipun inilah cara untuk mendapatkan uang dalam waktu singkat? Kenapa aku tidak bisa pasrah dan menerimanya saja? Bukankah aku melakukan ini untuk Katsuki?

Mataku terpejam sementara batinku meneriakkan satu-satunya nama yang kutahu. Kuharap dengan menjeritkan namanya di benakku, aku bisa bersembunyi sejenak dari kenyataan, berharap bahwa ini hanya mimpi buruk.

Sembari menyebutkan nama Katsuki dalam hati aku pun menghitung detik demi detik yang berlalu. Beberapa saat lamanya aku menunggu namun tak ada yang terjadi. Penasaran, aku pun mengangkat kelopak mataku perlahan-lahan dan mengamati sekeliling.

Pria itu masih ada, begitu juga dengan kedua tangannya yang ada di sampingku. Namun mata dan mulutnya tak lagi menaruh perhatian padaku. Pandangannya seolah tertuju pada sesuatu yang ada di hadapannya, yang membuat tubuhnya gemetar ketakutan.

"K-k-kenapa… kenapa kau berada di si…"

Suara langkah kaki lain memasuki indera pendengaranku. Gema yang terpantul akibat langkahnya begitu lambat dan tenang, seolah tidak terganggu dengan hujan yang jatuh dari langit. Tak lama kemudian, aku mendengar suara bariton yang berkata, "Aku lebih dulu berada di sini."

Mengambil kesempatan saat pria itu tidak bergerak, aku pun mencoba mundur dan menjauh darinya. Namun sebelum aku melarikan diri, pria paruh baya itu menarik rambutku dan membuatku meringis. Aku mencoba menendangnya tapi pria itu memukulku keras hingga menubruk lantai.

"Diam!" bentaknya saat aku tersungkur. "Gadis sialan!"

Dari tempatku terjatuh, aku dapat melihat sosok pemuda dengan warna rambut dan mata yang berbeda tengah menatapku. Ekspresinya begitu datar saat kedua matanya bertemu denganku. Ia bahkan tidak melihat untuk kedua kali dan segera mengalihkan pandangan.

Orang ini kah yang membuat pria itu ketakutan? Pemuda yang usianya terbilang masih muda dan tampak lemah itu membuat pria ini gemetar? Bagaimana mungkin? Memangnya siapa pemuda ini?

"Mengganggu saja…"

Ia berkata sambil berjalan mendekat. Selama ia melangkah, pria paruh baya yang sebelumnya begitu bernafsu dengan tubuhku hanya diam seperti patung lilin. Ia tak bergerak hingga pemuda itu melangkah melewatinya. Setelah pemuda itu berlalu, barulah matanya kembali mencari-cari sosokku dan menyeretku kembali ke bawahnya.

Untuk sesaat akal sehatku kembali. Dengan segera, kuulurkan tanganku yang bebas dan berteriak dengan sekuat tenaga, "Tolong! Tolong aku!"

Teriakanku dihadiahi dengan tamparan sekuat tenaga dari pria paruh baya hingga membuat kepalaku pening. Namun di sela-sela kesadaranku yang perlahan memudar aku masih terus berteriak dan meminta tolong. Akibatnya, tamparan kedua kembali mendarat di pipi dan membuat kepalaku menubruk lantai.

"Jangan berteriak, sialan!" Pria paruh baya itu membentakku. "Dasar gadis sial! Ochako sialan! Aku akan mengadukan sikapmu ini padanya! Kau tidak akan mendapatkan uangmu."

'Apa? Apa katanya?'

"Akan kubuat kau menyesal telah mempermalukanku di hadapan Todoroki Shouto," kata pria itu sambil memegangi kedua pergelangan tanganku. "Aku akan mengadukanmu dan membuatmu menderita. Kau akan melayaniku tanpa dibayar."

Rasa ngeri menjalari kaki hingga kepalaku. Serta merta aku bergerak, meronta, menjerit, melakukan semua yang kubisa untuk melepaskan diri. Ditampar, dipukul atau disakiti sekalipun aku tidak peduli. Aku terus menerus melakukannya berharap bahwa mimpi buruk ini akan berlalu dariku.

Satu-satunya harapanku hanyalah pemuda yang tadi ditakutinya. Pemuda yang tadi membuatnya tidak bisa bergerak hanya karena kehadirannya. Pemuda itu. Siapa namanya? Tadi… kalau tidak salah ia berkata...

"Shouto!" Aku mengucapkannya ketika teringat nama yang sebelumnya diucapkan pria itu. "Shouto!To… long!"

Bola mata pria itu melebar ketika aku menyerukan nama itu dengan suara lemah. Tangannya terangkat hendak menamparku sehingga aku kembali memejamkan mata. Namun di saat yang bersamaan, aku mendengar bunyi letupan senjata api dan saat aku membuka mata, yang kulihat hanya pandangan mata kosong sementara darah mengalir dari pelipisnya.

Mengerjapkan mata, aku pun menyingkir dari pria yang sudah tak bernyawa itu. Sembari menggigil, aku menatap ngeri pada pemuda yang berdiri di sampingnya dengan senjata api di tangan. Terlebih ketika kedua manik yang berbeda warna itu akhirnya tertuju padaku.

"T-Terima kasih," ucapku dengan gemetar, walaupun aku tidak yakin pemuda ini layak mendapatkan ucapan terima kasih. Ia membunuh pria itu. Entah apa konsekuensinya bila Madam Ochako tahu bahwa salah satu tamunya terbunuh.

Pemuda itu bergeming saat aku mengatakannya. Ia tetap menatapku sementara aku tidak berani bergerak. Tubuhku gemetar dan perlahan-lahan aku mulai mengerti mengapa pria yang sebelumnya begitu takut pada pemuda ini.

Bekas luka bakar di salah satu matanya tak mengurangi wajah rupawan pemuda itu. Namun seiirng dengan setiap langkah yang ia ambil, kengerian yang kurasakan kian meningkat. Udara yang kuhirup seolah menipis dengan cepat dan ketika ia berhenti di hadapanku. Paru-paruku turut berhenti mencari udara sementara pandangan mataku tertuju padanya.

Mulutku terbuka, mencoba berbicara namun tak ada suara yang keluar dari mulutku. Aku benar-benar terpaku pada pemuda di hadapanku. Terlebih saat ia berlutut dengan satu kaki, menyamakan pandangannya denganku.

Saat aku tidak bisa menjawab apa pun, pemuda itu pun berkata, "Nama?"

"N-Nama?"

"Siapa namamu?"

"A…," ucapku dengan terbata, "M-Midoriya. Midoriya Izuku."

"Midoriya…," ulangnya sambil menatapku, "Izuku."

Aku mengangguk, mengiyakan dan kembali menatapnya.

Pandangan pemuda itu tertuju pada wajahku dan ia mendekat. Satu tangannya terangkat dan menyentuh bahuku di mana seutas tali tergantung di bahuku. Begitu jemarinya berada di atas bahuku, secara defensif, aku mundur dan menutupi dadaku dengan kedua tangan.

Aku tidak percaya, betapa cerobohnya aku. Bagaimana mungkin aku bisa menatap mata seorang pemuda yang tak kukenali dengan tubuh setengah telanjang? Di mana kesadaranku selama ini? Apakah begitu besarnya rasa takutku hingga meninggalkan akal sehatku selama ini?

Tangan pemuda itu kini berada di pergelangan tanganku, membuat bola mataku melebar. Sebelum aku menyadari apa yang ia lakukan, satu tangan pemuda itu menarikku dengan kasar sementara tangannya yang lain mengunciku dalam pelukannya. Kucoba untuk membuat jarak dengan kedua tanganku namun semuanya sia-sia saat bibirnya bersentuhan dengan bibirku.

Mataku melebar sementara tubuhku meronta saat menyadari apa yang tengah ia lakukan. Hanya saja pemuda ini tidak peduli. Bibirnya meraup dengan rakus bibirku, sementara lidahnya menjilati ujung bibirku meminta akses untuk masuk. Untuk menghindarinya dengan sengaja aku merapatkan bibirku, tak mengizinkannya masuk.

Sadar apa yang tengah kulakukan, tangannya yang berada di punggungku merambat turun hingga membuatku terkesiap. Dari punggung tangannya merayap ke pinggang, menarik tali yang mengikat pakaian dalamku hingga menyingkapkan isinya. Dengan gelisah aku bergerak, sementara tangannya merayap dan menyusup masuk menuju ke lekukan di antara kedua kakiku, menyusuri dengan cermat setiap sudutnya.

Sebuah desahan yang tak kukehendaki lolos begitu saja dari bibirku dan membuat pemuda itu menyeringai. Tanpa membuang waktu, pemuda itu mendorong lidahnya masuk ke dalam rongga mulutku dan menghisap seluruh udara di dalamnya. Lidahnya menginvasi seluruh sudut sementara di bawah jemarinya bermain dengan tonjolan kecil di antara kedua kakiku.

Akal sehatku meminta untuk berhenti dan menolak. Namun alih-alih melakukannya, tubuhku malah melengkung sementara kedua kakiku melebar seiring dengan setiap sentuhannya. Di dalam mulutku, lidahnya bertemu dengan lidahku. Memaksa dan terus menekanku mengikuti keinginannya.

Seutas benang saliva tercipta ketika ia menarik dirinya dariku. Ia menatapku dengan seringai di bibirnya sebelum kembali mendekat dan menancapkan giginya di salah satu lekukan leherku. Ketika ia melakukannya, desahan kembali meluncur dari mulutku disertai dengan perasaan aneh nan menggelitik terlebih saat ia menghisap kulitku.

Salah satu tanganku yang berada di bahunya mencengkeram erat kemeja putih yang ia kenakan. Napasku memburu dengan cepat sehingga pemuda itu berhenti sejenak untuk mengamati hasil karyanya. Pandangannya menyusuri perlahan wajahku dan terus turun ke dadaku. Menyadari apa yang diinginkannya, aku pun menutupi kedua dadaku dengan satu tangan yang tersisa.

Pemuda itu tersenyum sinis saat melihat upayaku yang sia-sia. Ia menghentikan sejenak sentuhan di antara kedua kakiku untuk menyingkirkan tanganku. Dengan santainya, ia meletakkan tanganku di bahunya sementara kedua tangannya mengangkat tubuhku hingga melebihi tingginya. Sesaat aku mengerjap ketakutan dan sesaat kemudian aku pun kembali mendesah.

Permukaan lidahnya yang kasar menjilati ujung dadaku dan menghisapnya dengan rakus. Satu tangannya yang lain bermain dengannya dan mencubitnya perlahan membuat tonjolan di dadaku menegang. Tubuhku gemetar saat ia melakukannya sementara kedua tanganku berkeliaran tidak keruan di rambutnya. Aku merasakan dorongan yang besar untuk mendesah, namun aku memejamkan mata dan menutup rapat mulutku. Aku tidak menyukainya. Ini salah.

Ketika menyadari bahwa aku tidak mengeluarkan suara, pemuda itu pun berhenti dan menatapku. Manik heterochromenya memicing sejenak sebelum senyuman sinis kembali muncul di wajahnya. Perasaanku tidak enak sehingga aku menelan ludah tanpa sadar.

Satu jemarinya menyentuh pahaku yang terbuka dan terus ke atas. Aku tahu apa yang dicarinya, namun aku tak dapat menghentikannya. Pinggangnya menahan kedua kakiku agar tetap terbuka dan membuat tangannya meluncur dengan mudah ke lekukan di antaranya. Sekali lagi ia memijat-mijat tonjolan kecil di sana sebelum salah satu jemarinya meluncur masuk ke daerah kewanitaanku.

"Mm…"

Desahan yang tak tertahankan nyaris meluncur keluar saat satu jemarinya masuk ke dalam. Tubuhku bergidik sedikit sementara aku menahan napas, berharap agar semua ini segera berakhir. Sayangnya harapanku tidak terkabul.

Di dalam, jemarinya menari dengan lincah dan membuat mulutku terbuka. Aku berusaha menarik napas tapi efeknya malah semakin parah. Ketika jemarinya kembali bergerak aku hanya bisa menggeliat dan mendesah dengan napas terengah-engah sementara kedua tanganku bertumpu pada bahunya.

Aku baru saja hendak menghela napas lega ketika ia menarik keluar jarinya. Namun pemuda ini tidak memberiku waktu untuk istirahat. Satu jari sepertinya tidak cukup bagi pemuda itu untuk mempermainkanku sehingga kali ini ia memasukkan dua jemarinya dan menggerakkan keduanya di dalam dengan cepat.

Pikiranku kosong, benar-benar kosong. Mataku mengerjap namun yang kurasakan hanya kenikmatan semata. Aku bahkan tidak menyadari ketika ia tengah membaringkanku di bawahnya sementara ia menjilati jemarinya. Aku terlalu terlena hingga tidak memerhatikannya yang telah membuka ikat pinggangnya dan menurunkan celananya.

Apa ini? Perasaan apa ini? Aku takut, tapi aku pun tengah menanti sesuatu. Apa sebenarnya yang kurasakan? Apa yang sebenarnya kutunggu?

Kesadaranku kembali ketika sesuatu yang panas menyentuh lubang di antara kedua kakiku. Aku hendak bangun, namun tubuhku menolak bangkit. Aku benar-benar pasrah saat satu tangannya memegangi pangkal pahaku dan mengangkatnya ke atas sedikit, sementara satu tangannya memegangi sesuatu di antara kedua kakiku.

Ingin rasanya aku memohon, memintanya untuk melepaskanku. Namun alih-alih melakukannya, aku malah menatapnya dengan keinginan yang aneh. Aku menginginkannya. Tapi entah apa yang kinginkan darinya.

Anehnya, pemuda itu sepertinya memahami keinginanku. Senyumnya mengembang ketika melihatku dan sebelum aku menyadarinya, sebuah benda yang panas dan keras dimasukkan perlahan ke dalam lubang di antara kedua kakiku.

Lubang kewanitaanku menolak benda itu. Otot-otot di sekitarnya terus berkedut, meminta benda itu segera dikeluarkan karena membuatku tidak nyaman. Benda itu menusukku, membuatku nyeri dan sakit. Namun bukannya meluncur ke luar, benda itu malah menembus semakin dalam dan berdenyut-denyut.

Ini… menyakitkan. Sangat menyakitkan. Aku… aku tidak tahan. Aku…

Pemuda ini sepertinya menyadari apa yang kurasakan. Berbeda dengan sebelumnya, ia menarik benda tersebut dan membuatku kembali bernapas. Hanya saja sebelum aku dapat menghembuskan napas, benda itu kembali dimasukkan hingga membuat mataku membelalak lebar.

"A..."

Lagi-lagi benda itu dikeluarkan sebelum aku bisa menjerit. Namun seperti sebelumnya benda panas itu ditusukkan lagi ke dalam dan terus begitu. Dikeluarkan sebelum dihunuskan kembali bertubi-tubi. Jejaknya membuat seluruh tubuhku panas dan berulang kali bibirku meloloskan desahan yang membuatku bergidik.

Desahan itu membuat pemuda di atasku menyeringai lebar. Ia terus bergerak maju mundur sementara di bawahnya aku mendesah. Jemariku mencengkeram erat kemeja yang ia kenakan sementara kakiku terangkat ke atas. Hingga di satu titik aku sampai tidak bisa berkata-kata dan pikiranku kembali kosong.

Pemuda di atasku tersenyum puas melihatku tak bisa berkata-kata. Ia mendekat padaku dan memeluk pinggangku. Di dekat telingaku ia berbisik, "Sebentar lagi…"

Saking terlenanya, aku tidak menyadari apa yang tengah ia katakan. Napasku memburu sementara kesadaranku entah ada di mana. Bagian bawah kewanitaanku panas dan sekali lagi perasaan itu menyergapku. Aku menginginkannya sehingga bukannya memohon agar dibebaskan aku malah memohon dengan mendamba.

"Iblis kecil!" Ia berkata dengan suara rendah di telingaku sementara benda panas miliknya kembali bersarang di bagian kewanitaanku. Napasnya pun menderu di telingaku dan ia berbisik dengan suara yang membuatku bergidik. "Aku datang."

Tepat setelah ucapannya, sesuatu yang panas menyembur di dalam perutku. Saat ia melakukannya desahan kembali meluncur dari mulutku sementara mataku menatap kosong ke langit. Napasku terengah-engah namun aku masih mencari-cari sesuatu hingga akhirnya kedua tanganku menemukan wajahnya. Begitu pasnya wajah itu di antara kedua tanganku terlebih saat ia menunduk dan menyentuhkan kembali bibirnya.

Sebelumnya aku menolaknya mati-matian, mencegahnya mendapatkan akses untuk menginvasi mulutku. Sekarang aku membuka mulutku lebar-lebar, membiarkannya mencecap semua yang ada di dalamnya. Dengan penuh nafsu lidah kami berpagut seolah tidak ingin melepaskan satu dengan lainnya.

Jalinan saliva yang terbentuk di antara kami membuatnya kembali menyeringai. Ia pun mendekat dan membelaiku lembut. Sekali ini ia berkata, "Aku mengenalnya."

Kugerakkan kepalaku dan menatapnya bingung. Aku tidak terlalu memerhatikan ucapannya dan terus mengincar bibirnya. Yang kutahu, aku masih menginginkannya hingga tidak menyadari apa yang tengah ia ucapkan

"Katsuki Bakugou," ucapnya yang membuatku berhenti, "temanmu."

Seketika itu juga aku berhenti bergerak. Pandangan mataku kembali fokus dan aku mengerjapkan mata menatapnya.

"Ia mengalami kecelakaan saat hendak menjemput pengantinnya," ujar pemuda itu yang membuatku kembali terdiam. Sebersit pertanyaan muncul di benakku, namun aku tidak memikirkannya sebelumnya. "Sebuah mobil menabrak mobilnya hingga kendaraan itu terbalik dan menubruk bangunan di depannya."

"Bagaimana…"

"Kenapa aku tahu?" Ia berkata sambil menyeringai lebar. "Kau tidak bisa menebaknya?"

Aku menelan ludah, terlalu takut untuk menjawab. Terlalu takut bila ternyata itu benar adanya.

"Tidak pernah kusangka bahwa aku akan bertemu dengan si pengantin wanita di tempat seperti ini," ujar pemuda ini sambil tersenyum. "Bahkan tidak pernah kubayangkan bahwa aku akan bercinta dengannya."

Kepalaku menggeleng kuat-kuat. Apa yang telah kulakukan? Apa yang telah kulakukan, oh Tuhan?

"Mobil itu milikku," ujar si pemuda sambil menyeringai lebar di atasku. "Izuku Bakugou."

Airmata kembali merebak di pelupuk mata. Aku terdiam mendengar nama yang ia sebutkan. Kenapa aku bisa melupakannya? Aku ini calon istri Katsuki Bakugou. Apa yang kulakukan di sini? Apa yang kulakukan dengan pemuda ini?

"Lepas…," ucapku akhirnya, "lepaskan aku…"

Mendengar ucapanku ia malah tertawa dan ia berkata, "Kenapa? Bukankah kau membutuhkan uang untuk calon suamimu?"

"Lepaskan aku…"

"Biar aku yang menanggungnya untukmu," ucapnya sambil berbisik di telingaku. "Kau bisa tenang."

"Tidak, kau tidak perlu melakukannya! Lepaskan aku!"

"Sebagai gantinya," kata pemuda itu sambil memelukku erat, "jadilah milikku."

.

.

.

Author's note:

Selesai! Tamat XD! Becanda ding! Saya pengen lanjutin, tapi nggak janji ya! Saya nggak terbiasa buat cerita dengan rating setinggi ini dan ini tantangan baru buat saya. Hope you guys like it. Sharingnya saya tunggu XD kasih tau saya gimana kesan kalian pas baca ini XD

Thank you sekali lagi dan …. PLUS ULTRAAA!

Hidup #OFATODODEKU!